Fate - 27

Selain Secret Café, danau di belakang rumah Tiffany adalah salah satu tempat untuk menenangkan diri. Permukaan airnya berwarna biru kehijauan dan beberapa bunga teratai mengapung di sekitarnya. Aku mengambil kerikil kecil, lalu melemparnya sejauh yang kubisa ke danau tersebut. Sementara keenam sahabatku berada di belakangku, memperhatikan kesialanku yang datang bertubi-tubi. Aku bolos sekolah, dan mereka pun menemani kesialanku di sini. Seseorang menepuk pundakku dari belakang begitu aku ingin melempar kerikil ke tiga puluh-dua. Aku menengok. Menatap Mikayla lesu. Dia balas menatapku iba.

"Sudah ingin cerita?" tanyanya yang ke sepuluh kali.

Aku menggeleng, lalu melempar kerikil lagi. Sementara Mikayla mendesah. Entah dia kecewa atau kesal. Aku tidak tahu.

"Tay," suara lembut Ammabel membuatku kembali menengok hingga aku merasa leherku sakit. "Sebenarnya tadi pagi ada apa? Kenapa kau menangis?" tanyanya.

Ingatanku kembali melayang pada pagi hari.

AKU SEBEEEL! Jadi dari tadi malem aku meluk-meluk Axel gitu? Tuh-tuh kan aku digigit nyamuk. Gatel banget lagi, merah-merah kulitku. Aku bakalan gigit lengan Axel kalau begini caranya, biar tahu rasa dia! Huahahaha. Aku turun dari lantai dua melewati tangga spiral, lalu mengambil roti selai yang ada di ruang makan. Mami biasa keluar dari kamar jam 8, jadi sekarang aku tidak bisa melihatnya.

Aku kembali berlari karena sudah telat, tampak keenam sahabatku sedang berbincang di teras sambil bersedekap. Tidak, semuanya bersedekap. Aku nyengir pada mereka dan menahan rotiku di mulut seraya menggunakan sepatu. Mereka masih memperhatikan.

"Jadi tadi malem...?" Mulai Carmen dengan nada menuduh. Aku memutar bola mata. Mengunyah roti selaiku sampai habis. Baru aku berbicara.

"Gak ada apa-apa. Sungguh-"mereka menaikkan satu alis mereka, dengan sangat terpaksa aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah menandakan damai"-Sueeeeeer."

"Kok aku gak percaya," Danies mengernyitkan dahinya, menatapku menyelidik. Aku tertawa hambar, mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan resah. Jangan tanya lebih jauh. Jangan tanya soal mimpi-mimpi buruk itu. Jangan tanya-jangan tanya. Aku tidak tahu ini keberuntunganku atau apa, tapi mataku dengan segera menangkap pengaman lutut yang tergeletak di halaman depan rumah.

"E-e-eh mau kemana lo?" tanya Carmen--tidak, dia berteriak.

Aku yang sudah berada di ambang gerbang rumah, menjulurkan lidahku pada mereka. Lalu mengangkat pengaman lutut Axel tinggi-tinggi. Oh ya, aku tahu ini punya Axel. Kulihat di belakangnya terdapat nama iblis itu. Dasar Axel pelupa. Hadeh...

"Aku mau ngembaliin ini!"

"Jangan pelukan lagi yaaa! Oiya kami tunggu di mobil."

"Siapa yang pelukan sih, elah," aku cemberut, secepat yang aku bisa, aku berlari menuju rumah Axel uang tepat berada di hadapanku. Ledekan mereka membuat pipiku selalu panas.  

Rumah Axel seperti biasa, kaku, seperti penghuninya jarang ada di rumah. Semua barang di teras diletakkan di tempatnya. Rumah Axel tanpa gerbang, tipe minimalis. Duuuhh kenapa aku jadi ibu-ibu yang merhatiin rumah orang gini sih?

Kugetok kepalaku. Pusing sedikit. Tapi aku masih bisa mendengar suara teriakan dari dalam rumah Axel. Juga bentakan yang familiar.

Huh? Teriakan? Aku berjingkat, mengetatkan peganganku pada pengaman lutut dan ponsel yang ada di tangan. Untung saja pintu utama rumah Axel terbuka. Jadi suaranya sangat jelas terdengar. Aku mengintip dari balik pintu. Tampak Abel yang melempar sesuatu.

"Gak usah ngalihin topik. Apa sekarang lo mulai suka sama dia?"

Wow, Axel dan Abel bertengkar karena masalah cewek? Wow lagi. Baru kali ini liat orang kembar berantem. Tonton ah...

"Itu bukan urusan lo!"

Cie cie cie Abel, malu-malu gitu sama kembaran sendiri. Hahahaha. Aduh kenapa tingkahku seakan aku tidak sakit hati Abel malu-malu karena cewek? Yaaa harusnya aku nangis. Ayo nangis sekarang. Loh rasanya kok biasa sih?

"Abel, cepat lambat gue juga bakal tau! Jangan kekanakan bisa gak sih?"

Axel sok dewasa nih. Ngomong-ngomong mereka lagi ngomongin siapa sih? Seru banget. Mungkin saja Vivian ya? Oh ya! Mungkin saja Abel menyukai Vivian, lalu Axel marah dan... dan...

"Lo yang bertingkah kekanakan. Misalkan gue suka sama dia, apa masalah lo?"

Dan... dan Abel benar-benar suka pada Vivian-INI BURUK- Lalu... lalu...

"Gue juga suka sama dia, goblok! Dari dulu gue suka sama dia, gue cinta sama dia!"

AMAT BURUK! Jadi kemungkinan konyolku tadi benar? Jadi... jadi... Axel benar-benar mencintai Vivian? Aku kira mereka hanya ditunangkan oleh orang tua mereka. Jadi... selama ini Axel menganggapku apa???

Trak!

Kenapa kebiasaan tangan lemasku keluar disaat aku benar-benar shock seperti ini sih??? Tuh kan tertangkap basah. Oke Taylor, bersikap seperti tidak ada apa-apa. Kau bisa...

"Eh... maaf mengganggu. Ak-aku hanya ingin mengantarkan pengaman lutut milik Axel. Permisi." Ucapku sambil mengambil barang-barang yang tadi kujatuhkan dengan tangan bergetar.

Aku sama sekali tidak melihat Axel. Aku hanya berlalu dari situ, masuk ke dalam mobil milik keluarga Carmen dan tidak memperdulikan teriakan Axel dari luar. Menyuruhku berhenti dan keluar dari mobil sekarang juga. Siapa dia? Menyuruhku ini itu. Memangnya aku babu.

"Tay, Axel ngejar mobil ini," seru Mikayla khawatir.

Aku menggeleng. Mulutku bungkam. Rasanya sangat susah berbicara ketika hatiku sangat sedih. Aku menatap mata Tiffany yang menenangkan. Dia di sebelah kiriku. Dia juga menatap mataku. Mata biru Tiffany, membuatku seperti tenggelam di kedalaman mata itu. Juga memberikan efek menenangkan. Tak kuat, setitik air mata meluncur turun dari pipiku.

"Cengeng," Tiffany menghapus air mataku pelan. "Kau kuat, ingat? Kau bisa melempar bangku kayu dengan kekuatanmu itu." Dia mengelus rambut cokelat kemerahanku sambil tersenyum kecil.

Air mata malah berembes turun dari mataku. Aku jadi mengingat Axel lagi kan. Aku sebel sama dia. Aku benciiiiiiiii. Carmen yang tadi ada di kursi depan ikut menengok penasaran. Dia langsung terbelalak.

"Astaga, Taylor. Lo kenapa?! Pak! Kita ke danau." Aku kangsung menatap Carmen sengit.

"Lo mau ke sekolah kayak gitu?" Carmen balas menatapku sengit.

Aku hanya bisa menggeleng.

"Ehm... Tay?" Danies membawaku ke realita lagi, aku menatap matanya yang tersembunyi di balik kacamata hipsternya. "Axel meneleponmu ratusan kali."

Kali ini aku merespon, "biarkan saja."

"Tapi-"

"Danies."

"Tapi... dia bilang demi tuhan dia akan bunuh diri jika kau tidak mengangkat teleponnya."

"Berikan padaku," seruku jengkel, menengadahkan telapak tanganku di hadapan Danies. Danies memberikan ponsel yang panas tersebut padaku. Aku memencet tombol hijau, mendekatkan telingaku di sana.

'Halo?'

'Akhirnya lo mau ngangkat telepon gue.' Dia terdengar sangat lega, seperti tahu kalau istrinya berhasil ngelahirin anaknya. Aduh kenapa mikir ke situ sih?

'Cepetan ada apa.'

'Kok lo jadi sensi sih.'

'Bodo.'

'Tadi...' Axel menghela nafas, 'lo denger sampe bagian mana?'

'Apa peduli kamu.'

'Taylor.'

'Axel.'

Axel lagi-lagi menghela nafasnya. 'Please...'

Aku ikut menghela nafas, 'aku gak akan ngasih tau ke siapapun kalo kamu sebenarnya cinta setengah mati sama Vivian. Bye.'

'Ha--'

Tut.

-Princess Series-

Pesta kembali dimulai. Malam ini keluarga Hitama meresmikan gedung baru mereka-itu kata Mami-. Selepas dari danau kami bersiap-siap di rumah Tiffany. Aku diam saja selama mereka memoleskan wajahku dengan apapun itu namanya aku tidak tahu. Rasanya hari ini untuk senyum saja susah.

Sesampai di gedung baru tersebut, kami mencari meja bundar untuk duduk. Di pojok. Kami langsung duduk. Selama itu diselingi obrolan biasa. Kiera selalu menghidupkan suasana, tapi sekarang aku tidak berpendapat seperti itu. Karena walaupun semuanya tertawa, aku hanya tersenyum sangat tipis.

Mataku lebih bertingkah aneh. Aku mencari-cari sosok Axel. Berharap dia juga diundang ke sini. Aku menghela nafas, dia tidak mungkin ada di sini kan?

Aku pamit pada mereka untuk pergi ke toilet. Masih bisa kurasakan tatapan tajam dari Tiffany saat aku berlalu. Aku tahu, dia masih khawatir.

Aku bercermin sebentar. Wajahku ternyata kembali kuyu. Aku mencuci tangan di wastafel. Menunduk. Lalu mendongak, mataku langsung bertemu pemilik mata cokelat itu.

"Tay."

"Hm," ucapku seraya memutar kran wastafel.

"Gue... Uh gimana ya," dia menatapku sebentar. Lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling terlihat salah tingkah. Tangannya ia larikan ke antara rambutnya. "Gue... maksud gue..."

"Axel, ngomong yang jelas dong," aku menatapnya jengkel.

"Tungguuu," rengeknya seraya menahan lenganku. Aku menepisnya, menatapnya sengit.

"Paan si."

"Itu... gue... gue..."

"Astaga."

"Ish tungguuuuuu."

"Iya apaan."

"Gue gak cinta Vivian."

Deg.

"Trus...?"

"Gue... Gue... Gue cinta cewek laen."

Bagus sekali. "Jadi kamu selingkuh dari Vivian?"

"Enggak."

"Axel, Vivian tunangan kamu!"

Dia menatapku gusar, lalu mundur beberapa langkah. Terlihat terluka. Entah karena apa. Aku bersedekap. "Gue... Vivian dan gue gak bertunangan lagi."

Heh? "Oh, maaf." Ucapku kaku seraya membuang muka. Tengsiiiiin. Jadi dari tadi pagi percuma dong aku ngeluarin air matanya sampe selaut? Aishhh.

"Axel!" Tepat begitu Axel ingin mengucapkan sesuatu, seseorang memanggilnya. Kami berdua menengok ke arah suara.

Deg. Aku mematung.

Dia... dia berjalan mendekat ke arah kami. Lalu saat sudah sampai di hadapan kami, dia tersenyum ramah padaku.

Deg. Deg. Deg. Aku menatapnya nanar.

Wajah itu...

Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Jariku bergetar...

Wajah itu...

"Taylor, kenalin ini Ayah gue. Nathan Damaryan." Kata Axel, tersenyum bangga pada Ayahnya.

Dia. Nathan Damaryan. Wajah itu. Orang yang menghantuiku setiap malam.

Dia adalah Mr. Balon.

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #wattys2016