Epilog
=== Epilog ===
Mereka saling menatap meskipun tak ada suara yang mereka keluarkan. Maddie mendorong ayunannya pelan sementara laki-laki tersebut mengamati gerakannya. Maddie mengenakan pakaian yang sangat bagus, gaun selutut berwarna merah muda yang melebar di bagian bawahnya. Pakaian laki-laki itu juga tak kalah cemerlang, jas hitam dengan dasi kupu-kupu berwarna abu-abu. Hingar bingar pesta pernikahan menandakan bahwa mereka berada di suatu acara resmi.
"Siapa namamu?" tanya laki-laki itu kemudian, matanya mengamati rambut hitam gadis itu yang bergoyang seiring gerakan ayunannya.
"Maddie," jawab gadis itu kemudian, tanpa menghentikan laju ayunnya.
"Kau bisa jatuh jika terus berayun seperti itu." Kali ini, kening laki-laki itu berkerut.
Maddie memutar bola matanya bosan. "Biar saja." Kening laki-laki itu semakin berkerut, tapi Maddie melanjutkan tanpa diminta. "Aku bosan hidup."
"Kenapa?"
Maddie berhenti berayun, dia menatap laki-laki tersebut sesaat lalu memalingkan tatapannya. "Aku selalu menjadi yang kedua."
"Bukankah itu bagus?"
Tatapan Maddie kembali fokus pada laki-laki kecil itu.
"Maksudmu?"
"Menjadi nomor satu tidak selalu penting. Aku pertama, tapi aku tidak merasa itu adalah kebanggaan. Kebanggaan adalah ketika kamu bahagia dengan apa yang kamu punya sekarang, bukan pada apa yang kamu inginkan."
Maddie terpengkur, meresapi kata bocah berumur lima tahun.
"Siapa namamu?" tanya Maddie kemudian, dia beranjak dari ayunannya dan mendekati laki-laki itu.
Laki-laki itu tersenyum, dia ingin menjabat tangan Maddie yang terulur padanya.
Tepat begitu dia hampir bersuara, seseorang memanggil namanya. Keduanya menengok, tampak seorang wanita cantik berambut cokelat dan memakai gaun merah mendekati mereka berdua. Dia mengelus puncak kepala laki-laki itu.
"Mommy ...."
"Abel, kita harus pulang—hei siapa gadis cantik ini?" Wanita tersebut menundukkan kepalanya, tangannya terulur untuk memeluk laki-laki kecil itu dari belakang, hingga ia mendongak dan matanya bertemu dengan Maddie.
"Dia Maddie," jawab Abel sembari tersenyum.
Maddie tersenyum sekilas.
"Maddie, senang bertemu denganmu. Tapi, kami harus segera pulang. Ayo, Abel." Wanita itu menarik tangan Abel menjauh dari Maddie.
Abel menurut meski tatapannya tak lepas dari Maddie.
Hingga bayangan Maddie tidak terlihat, Abel masih menengok ke belakang.
=== (Fat)e ===
Tak lama, perempuan berambut cokelat kemerahan berlari mendekati Maddie yang masih terpaku di tempat tadi. Perempuan itu memakai gaun senada dengan Maddie, dia menubruknya dari belakang.
Maddie tersenyum lebar,. "Hey Taylor!"
Perempuan yang menubruknya, cemberut. "Tadi, kau ketus sekali padaku. Sekarang, kau sepertinya berubah, D."
Tawa pelan Maddie terdengar di hingar-bingar pesta. Renyah seperti kue biskuit yang sering Taylor makan. "Maafkan aku. Lebih baik kita menemui Mami dan Papi. Mereka pasti mencari kita."
Taylor mulai tersenyum, tangan mereka saling mengait dan mereka berjalan bersisian. Di tengah jalan, Maddie bercerita.
"Aku bertemu teman," mulai Maddie bersemangat.
"Oh, ya? Bukankah ini pertama kali kita berada di tempat ini?" tanya Taylor heran.
Maddie tertawa kecil. Ini memang kali pertama mereka ke Indonesia, ke tempat kelahiran Bunda kedua kembar itu. "Dia menghampiriku tadi."
"Siapa namanya?" Taylor tampak tertarik.
"Sayangnya aku lupa." Dengan menyesal, Maddie menatap Taylor.
"Yah ...." Taylor cemberut dan membuang muka.
"Tapi, dia merubah semuanya ...."
Taylor menengok kala ia mendengar bisikan Maddie. "Maksudnya?"
Maddie tersenyum lebar lagi. "Kau masih kecil."
"Hey, umur kita sama tahu!"
Keduanya tergelak.
Mereka mendekati Ayah dan Ibu yang ada di tengah ruangan, tampaknya pasangan muda itu sedang mencari anaknya. Jeff, Ayah mereka tersenyum lega begitu melihat kedua anaknya berlari kecil ke arah mereka.
"Papi!" teriak Taylor lucu.
"Astaga, kami mencari kalian kemana-mana." Sahut Ibu Taylor dan Maddie, lega.
Maddie mengikuti di belakang Taylor sambil tersenyum kecil. Tangan kecilnya terulur minta dipeluk Sana. Sana, Ibu anak kembar itu tersenyum, lalu menggendong Maddie. Sementara Taylor di gendongan Jeff.
Biasanya Maddie tidak suka digendong, tapi sepertinya hari ini dia sedikit berbeda.
Hari ini kerabat keluarganya menikah, dan ada acara selingan berfoto keluarga. Pasangan muda itu tertarik dan ikut mencoba berfoto bersama.
"Kau siap untuk difoto? Senyum yang manis ya, Sayang." ucap Sana pada Maddie begitu mereka duduk nyaman di studio kecil, siap untuk difoto.
"Oke, Mam!" Seru Maddie bersemangat.
Mereka berfoto, cahaya kamera membuat mata Maddie berkunang. Lalu, Sana meminta pada fotografer untuk memotret masing-masing anaknya.
"Maddie, jangan lupa senyum!" peringat Jeff ketika giliran Maddie difoto.
Maddie tersenyum.
=== (Fat)e ===
London, 16.03
"Axel, kamu menyukai gadis kecil itu? Kau sudah melihatnya beberapa kali," ucap Nathan pada si kecil Axel yang sedari tadi memperhatikan satu titik kecil.
Axel kecil mendongak, wajahnya merah padam. Mata lugunya menatap kembali pada satu titik tersebut. Dia tidak berbicara apa-apa, kembali asik melihat seorang gadis kecil yang bermain dengan seseorang di taman. Gadis itu berambut cokelat kemerahan, pipinya tembam dan merona merah, matanya bersinar jenaka.
Nathan menghela nafas.
Ternyata Axel masih marah padanya karena tidak bisa bertemu dengan Ibunya, juga dengan kembarannya. Dia berjongkok di samping Axel yang mengintip di balik tembok.
"Kamu mau memberi balon cokelat ini pada gadis tersebut, tidak?" Nathan tersenyum kecil begitu Axel kembali mendongak.
Laki-laki berumur lima tahun itu mengangguk antusias, tapi masih membungkam mulutnya. Matanya menatap balon berbentuk hati yang berada di tangan Nathan. Tak lama, dia bersuara. "Daddy saja yang memberikannya."
Barulah Nathan bisa menghembuskan nafas lega mendengar Axel kecil meresponnya. "Oke, anak baik. Setelah ini, kita kembali ke mobil dan kau boleh bertemu dengan Abel dan Mom. Oke?"
Axel tersenyum, namun Nathan tidak tahu itu senyum sendu atau bahagia. "Daddy tidak ingin bertemu dengan Mommy?"
"Daddy—" nafas Nathan tercekat begitu melihat tatapan penuh harap anaknya, dia menghela nafas, berusaha tidak mengeluarkan air mata, "Daddy ingin, tapi Dad takut Mom terkejut melihat Daddy ...."
"Apa Dad dan Mom tidak bisa berdamai untuk aku dan Abel?" Pertanyaan itu mengejutkan Nathan, pertanyaan dari seorang anak kecil yang berumur lima tahun.
"Axel sayang, tunggu di mobil ya? Dad ingin memberikan balon ini untuk gadis beruntung itu," ucap Nathan sambil mengelus puncak kepala Axel.
Axel diam sesaat. Akhirnya dia mengangguk dan beringsut menuju mobil. Dad tidak akan mau berdamai demi dirinya. Axel tahu benar itu. Dia tidak akan pernah melihat Dad dan Mom dalam satu ruangan. Mereka selalu berpisah, entah sejak kapan. Axel masih kecil, tapi, Axel yakin tidak akan membuat anaknya nanti merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan sekarang.
Sebelum Axel masuk ke mobil, dia melirik gadis tersebut yang masih tertawa riang.
=== (Fat)e ===
Nathan menunggu di mobil sementara Axel keluar, berlari menuju rumah mungil yang tampak nyaman.
Di sana menunggu Abel yang berada di pilar balkon, dia melambaikan tangannya pada Axel. Tersenyum sumringah, Axel mempercepat larinya dan memeluk kembarannya tersebut.
"Aku kangen padamu," sambut Abel senang.
Axel tertawa kecil. "Aku juga."
"Mana ayah?" tanya Abel, dia memanjangkan lehernya mencari figur Ayah yang ia duga berjalan di belakang Axel. Begitu mata Abel bertemu dengan Ayahnya yang berada di mobil menunggu Axel, kerongkongan Abel tercekat.
Hening sebentar.
"Dia menunggu di mobil," jawab Axel menguatkan hati Kakaknya. "Tak apa."
Abel berusaha menghela nafasnya. "Ayo masuk. Ibu baru saja membuat pie dengan sirup maple kesukaanmu."
Mereka berjalan bersisian, tangan mereka saling mengait erat. Seiring mereka berjalan pelan memasuki rumah, Abel bercerita.
"Aku jatuh cinta," mulai Abel.
"Oh, ya?" Axel menganga takjub, dia melihat ke sekeliling takut Ibu mencuri dengar.
"Bukannya itu ilegal?"
"Apa? Kau sok tahu sekali." Mata Abel melebar, jengkel. "Perempuan itu manis sekali, tahu. Aku tidak bisa melupakan wajahnya ...."
"Itu menjijikan, kau tahu?" Axel dengan jengah menonjok bahu Abel.
Kini, Abel memutar bola mata. "Kau belum merasakannya."
"Kita masih lima tahun, ingat?" tegur Axel.
"Aku tak perduli. Aku cinta pada Maddie." Mengkerucutkan bibirnya, itulah yang Abel lakukan jika sifat keras kepalanya keluar.
Axel menyeringai. "Jadi namanya Maddie?"
"Kau pikir siapa?" Abel melotot sebal.
"Lagi ngobrol apa?" tanya Ibu mereka, Seira.
Seira mengerutkan dahinya heran begitu melihat ekspresi terkejut berlebihan kedua anaknya.
"Tidak ada apa-apa." Keduanya menjawab serempak.
"Oh, begitu, Axel, Abel, ayo makan. Mommy sudah membuat pie kesukaanmu," Seira tersenyum pada Axel.
Axel mengangguk kaku, dia ingat Dad yang menunggu sendirian di mobil.
Setelah Seira berlalu, Abel melanjutkan, berbisik di telinga Axel. "Sudah kuputuskan, aku tidak akan mencintai siapapun kecuali Maddie yang manis ...."
=== (Fat)e ===
Jantung Axel berdetak kencang begitu mengingat ciuman itu, wajahnya merah padam, malu dan senang. Sampai dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia senang bisa bertemu dan begitu dekat dengan gadis itu. Hingga dia tidak sadar ponselnya berdering keras minta ampun.
Barulah Axel sadar ketika sampai di rumah, dia menerima telepon dari ayahnya. "Kenapa, Dad?"
"Ibumu! Astaga, Ibumu kecelakaan!"
Secepat kilat dia mengambil baju asal dan menaruhnya di kopor. Abel yang baru pulang langsung membantu Axel. Kedua tangan anak tersebut bergetar, sinar mata mereka menunjukkan rasa takut yang amat dalam.
"Lo udah tau Mom kecelakaan?"
"Iya, gue jaga rumah. Lo ke sana aja. Bisa kan sendiri? Bawa kartu pelajar," Abel melihat jam tangannya, "ini masih jam sembilan. Semoga bandara belum tutup. Gue bakal nyatetin pelajaran buat lo, Xel. Hati-hati. Ah, itu taksinya udah dateng. Buruan, Xel. Bilang kalo udah nyampe."
Tak tahukah mereka bahwa tadi pagi keduanya bertengkar hebat? Meski begitu, mereka kompak saat masalah datang.
Axel langsung menuju rumah sakit ketika sampai, begitu sampai di kamar rawat inap ibunya, dia melihat Nathan duduk lemas di sana. Baju pestanya masih melekat di badan. keadaannya tak beda jauh dengan Axel. Rambut acak-acakan dengan lingkaran mata hitam.
"Dad?" Axel menyentuh pundak Nathan, membuat pria setengah baya itu mendongak.
"Axel ...."
Sambil menangis sesegukan, cerita Nathan mengalir dari mulutnya. Dia dan Seira bertengkar karena ternyata istrinya masih mencintai mantan pacarnya. Hal itu diketahui Nathan saat Seira melahirkan kembar Damaryan. Axel terpaku ketika Nathan berkata, lebih baik menjauh dari Seira daripada membuat istrinya tertekan padanya. Dia mulai gila bekerja. Sampai hari ini, mereka akhirnya bertemu kembali.
Axel tidak percaya waktu pagi dia terbangun di ruang tunggu, terdengar suara tawa dari celah pintu. Dia mengintip.
Ternyata ayahnya sedang menyuapi Seira bubur. Axel tersenyum. Tapi dia tidak masuk ke dalam dan memilih mencuci mukanya.
=== (Fat)e ===
Sekarang gadis yang dia impikan berada di bahunya, tertidur. Axel tersenyum menatap perempuan itu. Wajahnya lucu. Lalu dia menulis sesuatu di atas kertas meskipun sedikit susah karena ada gadisnya.
'Akhirnya Sang Putri bertemu Pangerannya. Keduanya tahu, setelah hari dimana Pangeran melamarnya, hari-hari sulit masih terjalin.
Meskipun begitu, bagiku semua akan baik-baik saja jika Pangeran dan Putri tetap bersama.
Selamanya.
Hingga akhir hayat menjemput mereka.'
=== END ===
A/N:
Alhamdullilah akhirnya cerita ini berakhir juga. Bye-bye Axel-Abel. Jangan kangen sama eke ya.
Axel : Siapa dia sebenarnya? *mengedik pada Abel*
Abel : Tak tahu. Kasian sekali dia. Kayaknya dia harus masuh rumah sakit jiwa.
Penulis : Teganya kalian! Ahh hatiku ... hatiku perlu ke UGD sekarang juga! *mendesah dramatis*
Axel : Lihat tingkahnya. *menunjuk Penulis*
Anyway! Terima kasih pada kalian yang sudah mensupport cerita ini dari awal...
SALAM JOMBLO!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top