BAB #2
1365
"Jadi, apakah percakapan kita tempo hari disambut baik oleh putramu, Arjuna, Anumerta?"
Saudagar itu masih diam. Wajahnya tampak tenang. Setelah meneguk minuman yang baru dihidangkan abdi dalem dari kawan saudagarnya, Panupala, Anumerta berdehem.
"Nanti, kamu bisa tanyakan sendiri. Percayalah, Panupala. Arjuna ndhak akan pernah mengecewakanku. Dia selalu menuruti apa pun permintaanku."
Panupala membalasnya dengan senyuman. Dia memiringkan wajahnya ke arah Pramita, putri tunggal dengan istri pertamanya.
Dia yakin, Arjuna tidak akan pernah menolak Pramita. Sebab, Panupala tahu. Semua aspek yang dimiki Pramita lebih dari cukup untuk ukuran seorang putri dari saudagar. Terlebih... untuk menjadi seorang istri. Bahkan selama ini, Panupala harus bersusah untuk menolak beberapa pinangan yang ditujukan untuk putrinya.
Bukan karena Panupala tidak suka. Hanya saja, sedari dulu, sejak ia pertama kali bertemu dengan Arjuna. Keyakinan Panupala, hanya Arjunalah yang pantas berdampingan dengan putrinya.
Arjuna pemuda yang welas—asih, pemuda yang memiliki ketampanan luar biasa. Terlebih, ilmu politik dan sastra Arjuna, seolah menjadi nilai tambahan di mata Panupala. Dia sudah tidak sabar, melihat Pramita bersanding dengan Arjuna. Kemudian, Arjuna akan membantunya menjadi seorang saudagar paling disegani di Majapahit.
"Ngapunten, Romo... saya terlambat. Tadi, ada sedikit masalah."
Arjuna datang, setelah ia menunduk dan sungkem kepada Romonya pun Panupala. Dia duduk di samping Romonya.
Lagi... Panupala tersenyum. Betapa bakti pemuda ini. Bagaimana bisa Anumerta memiliki putra seperti Arjuna. Terlepas dari gembar—gembor dunia per—saudagaran jika Anumerta—adalah sosok suami paling setia. Anumerta hanya memiliki satu istri hingga kini, yaitu Biung dari Arjuna.
"Ndhak apa-apa, Putraku Arjuna. Sesungguhnya, kami berada di sini adalah, untuk memberitahumu sesuatu. Kami tengah berunding." jawab Anumerta.
Sore ini, mereka duduk melingkar di balai rumah Panupala. Balai sebagai tempat untuk menjamu tamu—tamu yang datang.
Panupala memanglah saudagar tersohor di Trowulan. Jelas sekali tampak dari bahan rumahnya yang sebagian besar sudah dari bata merah dengan balai-balai terbuat dari kayu jati.
"Sebenarnya, kalian sedang berunding apa, toh, Romo... sekiranya Arjuna boleh tahu?"
"Nanti... kita bahas nanti, Cah Bagus," sela Panupala. Mata cokelat Arjuna menatap ke arah Panupala. Dan itu, berhasil membuat darah Panupala berdesir.
Dia tidak salah, Arjuna benar-benar pemuda yang paling cocok untuk putrinya. Mata cokelat bening itu, begitu tajam bak elang. Terlebih, Panupala yakin, melihat wajah rupawan Arjuna, putrinya tidak akan bisa menolak. Wajah khas seorang lelaki jawa yang benar-benar menggoda setiap perempuan.
Kulitnya cokelat bersih, dengan otot-otot lengan yang tampak sering terlatih. Ah... Panupala lagi-lagi mengagumi pahatan Gusti Pangeran yang sempurna itu. Untung, dia bukanlah perempuan muda. Jika iya... Panupala pasti juga akan jatuh hati pada sosok Arjuna.
"Putriku, Pramita... mendekatlah. Ada seorang pemuda datang berkunjung ke rumah. Kenapa engkau ndhak jamu dengan baik? Kemarilah, Pramita."
"Sendhiko dawuh, Romo."
Pramita mengambil cangkir, diletakkan dengan hati-hati di depan Arjuna. Setelah itu, tangan kecilnya meraih kendi, dan menuangkan minuman di dalam cangkir. Setengah berlutut. Perempuan berkulit kuning langsat itu pun mencuri-curi pandang ke arah pemuda rupawan yang ada di sampingnya.
Arjuna, masih diam di dalam duduknya. Dia bersila dengan posisi tegap. Bahkan, pikirannya sekarang tidak karuan. Bisa saja jika raganya ada di sini, di rumah saudagar kaya bernama Panupala. Boleh saja sekarang ada seorang perempuan yang tengah menjamunya dengan hidangan-hidangan. Namun tetap saja, sosok yang bernama Srikanda—yang ia temui di hutan tadi benar-benar menghilangkan semua kewarasan jiwanya.
"Silakan, Kakang... ada minuman beserta singkong rebus yang kubuatkan untuk menjamu Kakang."
"Oh... iya." jawab Arjuna terbata.
Dia meraih gelas yang ada di depannya. Meneguk minuman yang ada di dalamnya tanpa sisa. Pramita tersenyum, dia merapikan rambutnya yang terjatuh dari sanggulnya.
"Kang Arjuna... usianya berapa?"
"Enam belas tahun. Adhinda sendiri?"
"Empat belas tahun, Kang."
"Lihatlah, Anumerta... baru bertemu tampaknya mereka sudah saling akrab saja," ujar Panupala.
Pramita menunduk, senyumnya terus merekah dari sudut bibirnya. Tatkala Panupala mengisyaratkan sesuatu padanya. Perempuan itu mengangguk, sambil memilin bagian ujung kebayanya.
"Usia kalian ini... lebih dari cukup untuk melakukan sebuah pernikahan. Bukan begitu, Anumerta?"
"Benar sekali. Aku pun sudah ndhak sabar untuk menimang seorang cucu dari putra kebanggaanku, Arjuna."
Arjuna diam. Ia mencoba menerka kata-kata tersirat yang diucapkan Romonya pun Panupala. Ada yang aneh di sini. Terlebih, keanehan itu menyangkut dirinya, dengan Pramita.
"Apa maksud dari rundingan Romo dan Paman Panupala hari ini adalah untuk menjodohkanku dengan putri dari Paman Panupala, Adhinda Pramita ini?"
"Benar sekali, Putraku. Kedatangan Romo terlebih mengajakmu bertandang jauh-jauh ke Jawa Timur adalah, untuk menjodohkanmu dengan putri dari sahabatku, Panupala. Putri tercantik di Jawa Timur, dan Romo yakin... kamu pasti suka."
Mulut Arjuna tercekat mendengar jawaban dari Romonya. Bagaimana ini? Dia memang disuruh Biungnya untuk memilih seorang istri. Tapi, Arjuna sudah menentukan pilihannya sendiri.
Andaikan, tadi... Arjuna tidak bertemu dengan perempuan itu terlebih dahulu, pastilah Arjuna akan mau. Tapi, ia juga lebih tahu dari siapa pun. Jika titah Romonya adalah hukum wajib yang harus ia lakukan. Dia tidak mungkin untuk melawan perintah itu. Dia tidak mungkin untuk menentang Romonya.
2016
"Jun!" Arjuna terbangun dari tidurnya.
Matanya yang masih mengantuk memicing. Memandang Arka yang membusungkan dada ke arahnya. Membungkuk tepat di depan meja kerjanya.
"Jika kamu lelah, tidurlah, Jun! Semua karyawan juga tidur sekarang. Jangan duduk tapi kamu ketiduran seperti ini!"
Arjuna mengabaikan Arka, dia kembali menatap layar laptopnya. Ah... dia bahkan meninggalkan coding-coding—nya masih dalam keadaan error dan malah tidur seperti ini.
"Ada apa?" tanyanya, setelah lama Arka menggeledah tumpukan file di meja Arjuna.
"Print—out rancangan program kita mana, sih, Jun? Anak-anak nyari dari tadi. Ada beberapa yang harus diubah, katanya."
"Bukankah, berkas-berkas itu ada pada Arya?"
Arka memukul jidatnya. Dua hari tidak tidur, rupanya membuat dia pikun. Apakah, sebentar lagi dia akan jadi Kakek-Kakek? Arka tidak mau! Dia masih jomblo, dan dia tidak mau pikun sebelum meremas dada atau pun pantat perempuan!
"Jun! Juna! Lho... Arka!" pekik Arya.
Wajahnya yang kusut tampak bersinar, dia berlari menghampiri meja Arjuna dengan napas terengah.
"Itu! Itu!" pekiknya terbata.
"Apa?"
"Itu?!"
"Ada majalah porno?"
"Bukan!"
"Ada film porno?"
"Buka, Ka!"
"Pasti ada cewek bugil? Ini pasti iya, kan?!" tanya Arka semangat. Lagi, Arya menggeleng, dan berhasil hal itu mendapatkan toyoran Arka.
"Selain itu, diamlah, Ar... aku nggak mau mendengar apa pun selain cewek bahenol, cewek montok, cewek bugil atau pun vidio porno!" kini, giliran Arya yang menoyor kepala Arka.
Arjuna mengabaikan dua sahabatnya itu. Dia sudah sibuk dengan layar laptopnya. Ada 34 line error yang harus ia perbaiki. Dan itu penting. Lebih penting dari pada pertikaian jomblo ngenes seperti sahabatnya.
"Ada cewek! Cewek cantik!" jawab Arya pada akhirnya.
Arjuna menghentikan kegiatan mengetiknya di keyboard. Jantungnya terpacu saat mendengar hal itu.
Bukan karena dia juga memiliki pikiran mesum seperti Arka, atau pun terlihat menderita sebagai jomblo seperti Arya. Hanya saja... dia takut, jika mimpi yang baru saja ia alami akan menjadi nyata.
"Siapa? Cewek? Mana? Ukuran dada berapa? Pantat... pantat?"
"Anjir kamu, Ka! Dasar, programmer mesum! Sana, kelonin CPU sebelum kamu berani ngelonin cewek!"
"Monyet kamu, Ar!" dengus Arka tidak terima.
Arya menarik leher Arka, kemudian menunjuk satu titik dengan dagunya. Mata Arka terbelalak, menangkap sosok yang ditunjuk Arya. Bahkan, mulutnya yang sedari—tadi terus berbicara, langsung diam tanpa kata.
"Itu?" tanyanya.
"Iya... cantik, ya?" Arka mengangguk.
"Namanya Ratu, dia adalah menejer operasional dari perusahaan fashion yang meminta kita membuatkan web dengan harga murah itu. Dan kabarnya, Ratu ini... cewek paling cakep di kantornya. Jomblo lagi!"
"Serius? Dia jomblo? Benar-benar jomblo?" tanya Arka semangat.
"Tapi, dia nggak mungkin mau sama kamu, Ka."
"Kenapa?"
"Dia cewek pemilih, katanya seperti itu. Dia tipikal orang yang keras dan mandiri. Bahkan, ada beberapa karyawan di kantor yang mencoba mendekatinya, mental semua."
"Kamu kok banyak tahu, Ar? Dari mana?" tanya Arka penasaran.
Arya membenahi kemejanya, kemudian dia merapikan rambut ikalnya yang berantakan dengan sombong.
"Arya! Apa sih yang nggak Arya tahu."
"Kamu hack komputernya?"
"Bukan hanya itu."
"Lalu?"
"Aku banyak bertanya dengan rekan-rekan kantornya saat kemarin meeting dengan pemilik perusahaan itu."
"Anjir! Kamu hebat, Ar!"
"Arya!" sombong Arya lagi.
"Apa kalian akan mengobrol di sini dan membiarkan tamu menunggu seperti orang bodoh, hm?" celetuk Arjuna.
Arya dan Arka terjingkat. Keduanya langsung membalikkan badan ke arah Arjuna. Sementara Arjuna, masih enggan tahu dan malas untuk mencari tahu tentang perempuan yang kini ada di kantornya.
Bagi Arjuna... itu tidak penting.
"Siap, bos!"
"Eh, apa?" tanya Arka tidak terima.
"Apa?" tanya Arya bingung.
"Biar aku yang nemuin cewek itu."
"Aku!"
"Aku!"
TIK!
Keduanya terjingkat. Kemudian menutup mulutnya rapat-rapat. Saat Arjuna menekan tombol keyboard dengan keras. Itu, adalah peringatan untuk mereka agar segera pergi dan membiarkan Arjuna sendiri. Keduanya sudah hapal akal hal itu.
Keduanya langsung pergi. Meski masih dengan dorong-dorongan dan seolah ingin saling menyaingi.
Arjuna kembali asik dengan coding-coding yang ada di layar laptopnya. Kemudian dia mencoba menjalankan program yang baru saja ia benahi.
Dia tersenyum simpul, setelah aplikasi itu berjalan dengan lancar. Kemudian, dia beranjak dari tempatnya duduk untuk mengambil air.
Saat ia memutari meja kerjanya. Pandangannya diedarkan pada beberapa karyawan yang sedang sibuk di depan meja mereka masing-masing. Kemudian, matanya menangkap sosok yang kini duduk di sebuah sofa berbentuk L yang berada di ujung ruangan bersama dengan Arya dan Arka.
Untuk sesaat, Arjuna mengaibaikan keinginanya mengambil air. Setelah dia memasukkan kedua tangan di saku celana. Dia pun berjalan mendekat ke arah dinding kaca sebagai pembatas ruangannya dan ruang lainnya.
Dinding kaca berwarna hitam. Yang tidak bisa dilihat oleh luar namun apa pun yang ada di luar terlihat jelas di dalam.
Lagi... Arjuna tersenyum tipis. Matanya seolah membelai sosok yang ada di sana. Mulai dari rambut hitam yang panjangnya sepinggang, alis hitamnya yang tertata rapi. Mata bulat dengan sinar yang menyejukkan, hidung mancungnya yang menawan. Terlebih... bibir merahnya yang... ah, Arjuna memijat pelipisnya yang tiba-tiba sakit.
Setelah ia menunduk dengan kekehannya. Dia pun kembali menatap ke arah perempuan itu. Dia ingat, nama perempuan itu Ratu, kata Arya. Dan dia juga lebih tahu dari siapa pun. Jika sosok itu adalah Srikandinya yang ia temui di waktu lampau.
Arjuna duduk, sambil menyilangkan kakinya. Dia merogoh HP yang ada di saku celananya. Kemudian mengetikkan sesuatu di sana.
Lagi, dia tersenyum sebelum ia memencet kirim untuk Arya. Setelah itu, Arya di seberang sana, tampak merogoh HP—nya yang sedang bergetar. Mata Arya tampak melotot, seketika, dia memandang ke arah ruangan Arjuna.
To : ARayap
Setujui berapapun bayarannya.
From : ARayap
Hah? Km gila, Jun?!
Arjuna mengabaikan balasan Arya. Dia merebahkan kepalanya di sofa. Pikirannya kembali melayang pada kata-kata Mamanya beberapa hari yang lalu. Dengan senyum simpul ia berkata;
"Ma... Juna sudah menemukan menantu buat Mama."
==000==
Sore ini, saat Arjuna pulang ke rumah. Suasana rumahnya tampak berbeda. Tampak Mang Ujang berlarian dari arah gudang, kemudian keluar sambil membawa beberapa peralatan.
Apakah akan ada tamu? Tebak Arjuna.
Setelah ia memarkirkan mobilnya. Dia pun berjalan ke arah rumah. Mang Ujang yang berpapasan dengannya pun menunduk. Kemudian memberi salam kepada anak majikannya.
"Sudah pulang, Den?"
"Sudah. Mau ada tamu?"
"Iya, Den... teman lama Tuan."
"Oh."
Setelah membantu Mang Ujang membawa meja ke halaman rumah. Arjuna langsung masuk ke rumah. Menaiki tangga kemudian masuk ke kamar. Belum sempat dia merebahkan tubuhnya di ranjang, Mamanya sudah menerjangnya dengan sebuah pelukan.
"Anak Mama!" pekik Meera girang.
Arjuna mengabaikan Mamanya. Setelah ia melepas sepatu, dia langsung tidur di ranjang.
"Ih... Juna! Dengerin Mama!" protes Meera marah.
"Hm?"
"Akan ada tamu jam 18.00 nanti."
"Hm."
"Dia dari Jawa Barat, Jun."
"Hm."
"Sahabat lama Papa."
"Hm."
"Dia ke sini bersama anak perempuannya."
"...."
"Jun?" tanya Meera.
Saat melihat putranya terlelap, Meera pun langsung mencubit pipi Arjuna. Arjuna memekik. Matanya melotot memandang ke arah Mamanya.
"Apa, sih, Ma?!" marah Arjuna.
"Kebiasan. Kalau Mama ngomong, didengerin."
"Udah... Juna udah denger."
"Apa?"
"Sahabat lama Papa dari Jawa Barat akan berkunjung dengan putrinya, kan?"
Meera tersenyum lagi. Tangannya membingkai wajah putranya. Tapi Arjuna segera menepisnya.
"Jadi, kamu harus ikut makan malam nanti."
"Arjuna mau keluar sama Arka dan Arya."
"Nggak boleh, Jun! Untuk malam ini, kamu nggak boleh ke mana pun!"
"Ma...."
"Dengerin Mama sekali ini saja."
Arjuna berdecak. Memangnya, kapan dia tidak mendengarkan Mama dan Papanya selama ini? Arjuna selalu mendengarkan mereka. Lalu, apa istimewanya makan malam kali ini dengan adanya dia? Ah... Arjuna tidak ingin ambil pusing.
Malamnya, Arjuna sudah siap dengan kemeja hitamnya. Rambut gondrongnya ditata rapi. Kemudian, dia meraih jam tangan yang ada di meja samping tempat tidurnya. Sebenarnya, dia tidak harus melakukan seperti ini, kan? Padahal, hanya makam malam di rumah. Seharusnya, dia bisa hanya memakai kaus berkerah. Tapi, Mamanya terus saja memaksa agar dia berdandan rapi. Ah, Mama!
"Sayang, sudah siap?" Meera, masuk ke dalam kamar putranya. Mata Arjuna mengisyratkan tidak suka. Tapi, Meera tidak peduli.
"Ma, Mama tahu, kan berapa usia Arjuna sekarang?"
"Dua puluh tujuh?"
"Kalau Mama tahu kenapa Mama suka sekali masuk ke kamar Juna tanpa mengetuk pintu terlebih dulu? Apa Mama mau, saat Mama masuk, Mama melihat Juna telanjang?"
"Kebiasaan anak Mama itu tidak akan pernah keluar kamar mandi tanpa sehelai kain. Kalau nggak pakai celana, ya handuk!" jawab Meera acuh.
Arjuna menghela napas panjang kemudian dia berjalan mendekat ke arah Mamanya. Matanya memandang lekat-lekat ke arah wanita yang rambutnya kini sedang disanggul ke atas.
"Kalau Juna sedang mimpi basah?" tanyanya. Wajah Meera memerah, dia langsung menutup wajahnya. Memukul dada Arjuna pelan.
"Itu tandanya kamu harus segera menikah, Juna!"
"Ah... itu lagi."
Arjuna mengerang, saat lengannya ditarik Mamanya keluar. Sungguh, dia adalah seorang lelaki berusia dua puluh tujuh tahun. Tapi, kenapa Mamanya seolah menganggap ia seperti anak berusia lima tahun?
Ketika Arjuna menuruni anak tangga. Matanya menangkap dua sosok yang sedang berdiri memunggunginya. Seorang lelaki bertubuh subur, dan yang satunya adalah, perempuan muda yang memakai gaun renda putih selutut.
Arjuna mengerutkan kening. Matanya menangkap sosok yang kini perlahan memutar tubuh ke arahnya itu.
"Hey... Panupala! Sudah lama?"
Langkah Arjuna terhenti, tubuhnya bergeming mendengar nama itu disebut. Matanya terbelalak ketika perempuan bergaun renda itu menatap ke arahnya. Wajah perempuan itu?
Lalu, apa maksud kedatangannya ke sini? Terlebih, dengan semangat Mamanya yang memaksa Arjuna untuk mengikuti acara makan malam ini? Apakah... apakah acara perjodohan di waktu lampau juga akan terulang di masa ini? Ya Tuhan... sebenarnya, takdir macam apa yang menimpa Arjuna?!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top