4. Blushing

Nathan mengusap-usap kepalanya sambil menghembuskan napas panjang. Jelas bukan napas kelegaan, melainkan napas penyesalan. Pria itu tidak mengerti kenapa Lexi tiba-tiba marah seperti itu. Baginya, memarahi gadis itu adalah hal biasa dan Lexi biasanya hanya mengangguk-angguk dan tersenyum-senyum saat Nathan memarahinya.

Namun kali ini Lexi jelas tidak dalam kondisi yang baik, mungkin karena itu dia marah. Lagipula, wanita memang memiliki mood yang berubah-ubah dan pria tidak pernah tahu kapan dia akan merasa marah dan tiba-tiba menjadi senang.

"Bolehkah aku menggunakan kamar mandimu?" tanya Marline yang menyadarkan lamunan Nathan.

"Ya," jawab pria itu singkat dan langsung pergi menuju kamarnya lagi. "Dan kau bisa pergi jika sudah selesai," tambahnya sebelum benar-benar menutup pintu kamarnya.

***

Lexi terus menyumpah dan kesal pada dirinya sendiri. Gadis itu masih tidak mengerti kenapa dia marah pada Nathan dan menyianyiakan kesempatan langka untuk berlama-lama di rumah Nathan. Lexi justru membiarkan gadis lain tinggal di rumah Nathan.

"Sial, apa yang harus aku lakukan sekarang!" Lexi menyumpah kesal sambil memukul stir mobilnya.

Gadis itu melirik jam tangannya, jam tangan pemberian Nathan saat dia mendapatkan nilai tertinggi di kelas bertarung. Padahal saat itu, kondisi Lexi sedang kurang sehat. Tapi demi mendapatkan hadiah dari pria yang disukainya, Lexi berani mempertaruhkan semuanya. Gadis itu memang mendapatkan beberapa luka lebam yang hilang dalam waktu dua minggu, tapi semua itu terbayar saat Nathan memberikannya hadiah jam tangan itu.

Baru pukul delapan pagi dan dia belum mendapatkan makanan sejak kemarin. Selama mengintai, gadis itu tidak makan dan terlalu fokus untuk memikirkan makanan. Jadi, dengan cepat gadis itu memebelokkan mobilnya ke arah restoran cepat saji yang buka 24 jam dan menyediakan layanan drive thru. "Pesan dua burger ukuran besar dengan double cheese dan minuman soda berukuran besar," pesan Lexi.

Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit hingga pesanannya siap dan gadis itu langsung membayarnya. Suasana hatinya sedang tidak enak sekarang, tapi jika itu urusan perut maka dia akan dengan senang hati melupakan semua hal. Sudah beberapa hari ini dia tidak pergi ke Akademi karena sibuk dengan misinya. Jadi, gadis itu segera melesat menuju Akademi yang mungkin saja bisa membuat suasana hatinya berubah.

Sambil membawa bungkusan sarapan paginya, Lexi membuka pintu utama Akademi. Di dalamnya terdapat ruangan paling depan yang terdapat meja seperti meja receptionist. Seseorang duduk di sana dengan pakaian resminya, sambil mengamati layar televisi di depannya.

"Hai, Brad," sapa Lexi sambil menaruh kedua tangannya di atas meja.

"Oh, hai Lexi. Terlalu pagi untuk latihan? Aku tebak kau terbangun pagi sekali dan merindukanku," goda Brad pada Lexi.

"Kau yang terbaik." Lexi mengulas senyum sambil tertawa.

"Ngomong-ngomong, bagaimana misi pertamamu?"

"Baik, setidaknya ada kemajuan." Gadis itu benar-benar tahu caranya berbohong.

"Bagaimana dengan Mr. Alexander? Ada kemajuan dengannya?" tanya Brad lagi.

Pertanyaan yang membuat Lexi mengingat pria itu. "Aku beritahu, tapi rahasiakan ini ya." Lexi memelankan suaranya padahal tidak ada siapa pun di tempat itu.

"Ya," kata Brad sambil mencondongkan tubuhnya menghadap Lexi.

Brad sudah seperti sahabat bagi gadis itu. Pria itu yang tahu pertama kali bahwa Lexi menyukai mentornya itu. Dan hingga sekarang mereka masih sering bercengkrama dan berbagi cerita.

"Rumahnya tidak seperti yang kita bayangkan, lebih terlihat monoton dan modern," kata Lexi pelan.

Brad memelototkan matanya. "Kau masuk ke dalam rumahnya?"

"Iya, hanya sebentar sih. Tapi aku tidur di sofa miliknya." Lexi tersenyum kecil.

"Itu kemajuan yang bagus," kata Brad dan kemudian mengangkat kedua ibu jarinya.

"Baiklah, ini untukmu." Lexi menyodorkan satu bungkus paper bag berisi burger yang tadi dibelinya kepada Brad.

Pria itu mengambilnya kegirangan. "Whoa, kau sangat tahu kalau aku sedang lapar."

"Kau memang selalu lapar, Brad." Lexi tertawa dan kemudian menghilang masuk ke dalam lift.

Gadis itu menuju ruang persenjataan dan mengambil barreta di loker dengan beberapa peluru. Kemudian menuju ruang latihan menembak. Sebelum memulai latihannya, tentu saja gadis itu memakan burger kesukaannya dan menghabiskannya secepat kilat.

Sekarang gadis itu berdiri sejajar dengan target. Bidik, tekan pelatuknya, dan puluru melesat tepat ke kepala target. Lexi mengulang tembakannya berkali-kali.

***

"Mr. Alexander," ujar Brad yang sedang memakan burger pemberian Lexi.

"Apakah Lexi ke sini?" tanya Nathan.

"Ah, ya. Dia di ruang latihan. Mungkin ruang latihan menembak, aku lihat dia sedang meluap-luap," jawab Brad.

"Terima kasih," kata Nathan yang kemudian berjalan menuju lift.

Pria itu sebenarnya tidak ingin menyusul Lexi dan meninggalkan orang lain berada di rumahnya sendirian. Nathan benar-benar memiliki privasi yang tinggi, tetutama tentang kehidupannya dan masa lalunya.

***

Lexi masih menatap ke depan sambil memegang baretta-nya dan mulai menembak lagi. Kemudian tiba-tiba seseorang mendekapnya dari belakang, membenarkan posisi menembaknya.

"Kau masih saja lupa posisi yang benar saat menembak," ujar sebuah suara yang terdengar sangat jelas di telinga Lexi.

Suara yang membuatnya kesal pagi ini. Aroma tubuh Nathan terasa memabukkan bagi Lexi, padahal tercium bau sabun bercapur aroma jeruk dan lemon. Entah dari parfume yang dipakainya atau apapun itu. Lexi merasakan suhu tubuhnya naik sekarang. Nathan belum pernah mengajarinya dalam posisi yang sedekat ini.

Tapi, dengan cepat gadis itu melepaskan depakapan Nathan dan maju ke depan. "Kenapa kau menyusulku?" tanya Lexi tiba-tiba, yang tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Aku tidak menyusulmu, aku memang kebetulan ingin kesini dan melihatmu yang masih saja tidak benar saat mengambil posisi menembak." Nathan mulai menjelaskan alasannya yang tentu saja bohong. Pria itu ke tempat ini karena mengkhawatirkan Lexi.

"Aku tidak akan memasukanmu ke dalam misi saat ini hingga lukamu sembuh," katanya kemudian.

"What!" Lexi memelototkan matanya. "Tidak, kau tahu aku sedang dalam percobaan untuk bisa menjadi agent lapangan," bantah Lexi.

"Aku mentormu dan aku berhak memutuskan semuanya." Suara Nathan padat dan jelas. Terdengar seperti seorang yang sangat penting dalam hidup Lexi,

Pria itu benar, Lexi tidak bisa menjalani misi berbahaya saat luka tembaknya masih belum sembuh. Lagipula, Nathan juga mengkhawatirkan keadaan gadis itu jika masuk ke dalam misi lagi. Terlalu beresiko untuk Lexi bekerja di lapangan seperti dirinya.

Lexi menaruh baretta-nya di atas meja dan mengambil minuman soda berukuran jumbonya itu. Gadis itu hanya bisa pasrah dengan keputusan yang diambil Nathan untuknya. Semua itu memang beresiko dan Lexi tahu itu.

"Baiklah, setidaknya berikan aku satu misi yang tidak berbahaya menurutmu," Lexi memohon.

Nathan hanya diam, seolah berpikir. "Mungkin aku punya satu misi untukmu, tapi aku ingin kau mendengarkan semua perintahku atau aku akan mengeluarkanmu dari Akademi."Lexi mengangguk dengam cepat. Gadis itu selalu berharap mendapat misi mengintai berdua dengan Nathan, tapi sampai sekarang gadis itu belum mendapatkan apa yang diharapkannya selama ini.

"Lanjutkan latihanmu," perintah Nathan yang mendapati Lexi sedang memandanginya.

Gadis itu sadar bahwa Nathan memergokinya sedang menatap wajahnya. Lexi kemudian membuang pandangan wajahnya dan berusaha untuk tidak salah tingkah.

"Aku harus ke toilet," kata Lexi akhirnya. Gadis itu pun langsung menuju toilet yang jaraknya tidak jauh dari ruang latihan menembak.

Lexi cepat-cepat melepas jaketnya yang terlihat sudah lusuh itu dan mencium aromanya. Harum wangi dari tubuh Nathan masih menempel di jaket gadis itu.

"Ya, ampun. Aku tidak akan pernah mencuci jaket ini," ujar Lexi sambil mengenakan jaket itu kembali.

Sekarang wajahnya terpaku pada pantulan cermin di depannya. Wajah pucat, rambut coklat gelap yang berantakan. Gadis itu benar-benar butuh mandi sekarang.

Setelah keluar dari toilet, gadis itu juga tidak melihat Nathan. Lexi menatap jam tangannya, hampir pukul sembilan pagi dan sebagian para penghuni Akademi sudah datang.

Hari ini, hari kamis dan Nathan punya satu kelas untuk diajarinya. Jadi, pasti pria itu sedang berada diruang kelas. Dan waktu yang tepat baginya untuk mandi dan membersihkan semua kotoran di tubuhnya, terutama darah yang masih tersisa di beberapa tubuhnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top