3. Bleeding

Nathan membaringkan tubuh Lexi di sofa bersih miliknya, yang tentu saja akan dipenuhi darah setelahnya. Tapi Nathan sudah tidak peduli, yang dia pentingkan sekarang adalah Lexi.

Nathan mengambil beberapa alat untuk membedah dan barang-barang yang dibutuhkannya. Kemudian dia beralih melihat gadis yang tadi membawa Lexi sedang berdiri di ambang pintu kebingungan.

"Bantu aku dan jangan diam saja disana!" Nathan memerintah.

Dengan cepat gadis itu menghampiri Nathan yang sedang membersihkan darah di tubuh Lexi dan membuka pakaian Lexi untuk mulai mengambil peluru yang tertinggal di tubuhnya.

"Tunggu! Apa yang akan kau lakukan padanya?" gadis itu menyentak tangan Nathan. "Seharusnya itu dilakukan oleh dokter!" gadis itu mulai berteriak lagi.

"Aku seorang dokter, jadi biarkan aku menyelesaikan tugasku atau dia mati." Nathan sekarang membungkam gadis itu.

Gadis itu hanya diam sambil mulai membantu Nathan dengan mengambilkan barang-barang yang dibutuhkannya.

Hampir setengah jam lebih, Nathan menyelesaikan tugasnya. Mengambil peluru yang bersarang di tubuh Lexi sampai menjahit lukanya. Pria itu sekarang sudah mengenakan pakaiannya dan duduk di sofa dengan sisi yang berlawan dengan Lexi. Gadis yang membantunya tadi juga duduk di sampingnya.

"Jadi kau seorang dokter?" tanya gadis itu kemudian.

"Hmmm," gumam Nathan.

"Maaf, hanya saja kau tidak terlihat seperti seorang dokter." Gadis itu menunduk malu. "Ngomong-ngomong namaku Marline."

Nathan hanya diam. Pria itu memang memiliki sifat yang sangat dingin, bahkan dia belum pernah memasukkan siapa pun kedalam rumahnya hingga hari ini. Dan langsung dua orang gadis yang masuk ke dalam rumahnya.

"Bisakah aku tahu namamu?" tanya Marline, gadis itu berusaha mencairkan suasana yang benar-benar canggung.

Lagi-lagi Nathan hanya diam.

"Jika boleh tahu, kau siapanya gadis ini?" tanya Marline lagi.

"Bisakah kau diam untuk sesaat! Kepalaku sakit sekali mendengarmu bicara," ujar Nathan yang tiba-tiba bangkit dari sofa dan pergi meninggalkan Marline menuju kamarnya.

Mata Marline mengekor hingga Nathan masuk ke dalam kamarnya. Rupanya, Marline belum pernah bertemu seseorang yang sangat dingin namun baik hati. Kalau tidak, pria itu mungkin tidak akan membiarkan Marline masuk dan menolong Lexi.

Gadis itu bersandar pada sofa di belakangnya dan membaringkan kepalanya. Sudah beberapa hari belakangan ini, Marline tidak tidur dan tidak mendapatkan mandi dengan layak. Bahkan pakaiannya belum diganti selama tiga hari.

Marline menguap kemudian memandang Lexi sebentar dan menutup matanya.

***

"Cepat masuk ke dalam ruang bawah tanah!" perintah ayahnya.

"Mom, apa yang terjadi?" tanya Lexi dengan kebingungan.

"Dengarkan perintah ayahmu dan jangan keluar! Jika kami tidak selamat kau harus segera pergi lewat pintu rahasia di bawah tanah." Ibunya mengecup kening Lexi sesaat sebelum meninggalkannya.

Lexi menuruti perintah orang tuanya dan menunggu di ruang bawah tanah. Hingga suara tembakan terdengar dari ruangan di atasnya. Lexi segera berlari keluar dan mencari sumber suara tersebut.

Darah berceceran di setiap sudut ruangan. Lexi menutup mulutnya, berusaha agar tidak menjerit. Namun, gadis itu sudah meneteskan air mata. Dia kemudian mengikuti jejak darah yang berakhir menuju ruang dapur. Ibunya sudah tergeletak dengan mata terbuka, terlihat dia sangat kesakitan. Di sisi yang berlainan, Lexi melihat ayahnya yang sudah tersungkur di bawah sambil menatapnya. Ayahnya melototkan matanya pada Lexi untuk mengisyaratkan pergi.

Lexi menutup mulutnya agar tidak berteriak. Gadis itu tidak bisa melakukan apapun selain menangis dan suara tembakan memekikkan telinganya. Ayahnya tertembak tepat di kepala. Lexi menjerit saat melihat hal itu.

Pria yang baru saja membunuh kedua orangtuanya menatap Lexi dan langsung mengacungkan senjatanya pada gadis itu. Lexi terdiam di tempatnya tanpa bisa melakukan apapun. Kakinya sudah terasa lemas dan dia akan pingsan.

Saat pria itu menekan pelatuknya, Lexi sudah pasrah dan yakin bahwa dia akan mati saat ini juga. Namun, ternyata peluru pria itu habis dan Lexi segera berlari dengan cepat.

Pria itu mengejar Lexi dan berhasil mendapatkan lengannya. Gadis itu menronta-ronta agar terlepas. Tapi tenaga pria itu lebih kuat dan lebih besar darinya. Lexi menendang-nendang pria itu dan berhasil melepaskan lengannya dari pria itu.

Sekali lagi pria itu mencapainya dan manarik kakinya. Lexi terjatuh dan kepalanya terbentur lantai. Bayangannya kabur sesaat dan kepalanya terasa sangat pusing. Darah mulai mengalir dari dahinya dan Lexi bisa melihat pria itu memegang benda untuk memukul Lexi. Gadis itu sekarang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Suara tembakan lagi, entah sudah berapa kali Lexi mendengar suara tembakan dan terus membuat telinganya berdengung. Gadis itu mengira dirinya telah mati, tapi pria itu tidak memegang senjata. Tiba-tiba pria itu terjatuh dan sebuah lubang peluru menghiasi jantungnya.

***

Lexi terbangun dengan tenggorokkan yang terasa sangat kering serta perutnya yang terasa perih. Sebuah perban menghiasi perutnya yang terlihat ramping. Gadis itu bangkit dari sofa dan memandang sekeliling. Dia berada di sebuah rumah, yang sebelumnya dia belum pernah masuki.

Lexi ingat kata-kata terakhirnya pada gadis itu untuk membawanya pada Nathan. Tapi, tidak mungkin pria itu membolehkannya masuk. Nathan tidak pernah membiarkan siapa pun masuk kedalam rumahnya. Namun, jika dia benar berada di rumah Nathan, maka Lexi akan sangat senang sekali.

Gadis itu berjalan sambil memegangi perutnya yang perih dan pergi menuju dapur. Lexi baru saja bermimpi buruk lagi, mimpi yang selalu menghantuinya selama tiga tahun ini. Hari di mana ayah dan ibunya dibunuh secara kejam di depan matanya sendiri.

Hampir selama satu tahun Lexi mengalami gangguan mental dan tidak bisa tidur. Karena, setiap gadis itu menutup matanya, bayangan kedua orang tuanya yang dibunuh selalu terbayang dan Lexi benar-benar merasa trauma akan hal itu.

"Jadi gadis itu namanya Lexi," kata sebuah suara dari dapur.

"Ya, orang tuanya dibunuh tiga tahun lalu dan itu sebabnya dia membenci orang-orang seperti itu," jelas sebuah suara dari dapur juga. Lexi mengenali suara berat bariton itu.

Nathan dan seorang gadis duduk berdampingan di meja makan. Lexi berdeham saat berada diambang pintu. Gadis itu dan Nathan menoleh.

"Kau sudah bangun? Ya ampun, sebaiknya kau tiduran saja, lukamu belum sembuh." Gadis itu berdiri dari tempatnya dan menghampiri Lexi.

"Kalau aku menunggu sampai lukaku sembuh, aku akan mati kehausan." Lexi berjalan menuju lemari es milik Nathan.

"Dia hanya mengkhawatirkanmu," ujar Nathan tiba-tiba.

"Ah ya, ini semua karena aku menolongnya dan jujur, aku tidak meminta imbalan untuk itu," kata Lexi sinis.

Sebenarnya gadis itu tidak ingin bersikap sinis seperti itu, tapi entah mengapa mulutnya berbicara seperti itu."Kalau begitu aku akan membuatkanmu bubur, kau pasti lapar." Gadis itu menatap Lexi yang sedang meneguk air dingin dari botolnya langsung. Kebiasaan yang sangat jarang dilakukan oleh seorang gadis.

"Tidak perlu, aku akan pulang." Lagi-lagi gadis itu berkata sinis.

"Biarkan saja dia melakukan apa yang dia inginkan. Kau sangat bodoh, tahu!" Nathan memarahi Lexi.

"Kalau aku bodoh, maka aku tidak dapat nilai sempurna di setiap kelas di Akademi." Lexi melototkan matanya pada Nathan.

Gadis itu benar-benar marah, entah karena Nathan mengatainya bodoh atau hal lainnya. Tapi itu hal biasa bagi Lexi, kalau Nathan memarahinya. Pria itu adalah mentornya dan gadis itu sedang dalam masa percobaan untuk tugas di lapangan.

"Ah ya, kau memang pintar sampai-sampai membahayakan dirimu sendiri dan berbohong padaku." Nathan mulai menyindir.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Lexi berjalan keluar ruangan dan mengambil sisa barangnya yang tertinggal di meja dekat sofa. Gadis itu mengenakan jaketnya yang lusuh dan membanting pintu dibelakangnya.

"Sial! Kenapa aku jadi semarah ini? Apa penyebabnya?" Lexi menyumpah di depan mobilnya, bukan tapi mobil pinjaman dari Akademi. Gadis itu memiliki sebuah motor, tapi karena dia sedang menyamar, dia tidak ingin motornya tergores sedikit pun.

Padahal gadis itu sudah susah payah untuk bisa masuk kedalam rumah Nathan dan gadis itu membuangnya sia-sia dengan marah-marah tidak jelas. Tentu saja gadis itu gengsi untuk masuk kedalam lagi. Jadi dengan sedikit penyesalan dan kekesalan, gadis itu menyalakan mesin mobilnya dan melesat menjauhi rumah Nathan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top