2. Shoot!

TTepat pukul enam malam. Lexi sudah berada di sebuah gedung tua seperti yang dikatakan pria itu. Sebenarnya, misinya hanya sampai menintrogasi pria tadi, tapi gadis itu bersikeras untuk dapat bagian dalam situasi ini. DIa tentu saja belum mengatakan apa-apa tentang hal ini. Saat mentornya meneleponnya, Lexi hanya bilang, informasinya masih kurang dan dia segera menutup teleponnya.

Nathan, adalah mentor Lexi. Pria itu adalah orang yang tegas, keras kepala, tipikal para orang tua terhadap anaknya. Tapi dengan tampang Nathan yang lebih seperti super hot mentor, membuat Lexi menyukainya. Terlebih lagi, Nathan sudah menjadi mentor Lexi sejak awal gadis itu masuk ke Akademi, kira-kira sekitar tiga tahun yang lalu.

"Baiklah, ini akan menjadi hari terbaikmu, Lexi," ujarnya pada diri sendiri, berusaha menyemangati. Gedung-gedung tidak terpakai ini dulunya adalah pabrik sepatu yang sekarang sudah tidak digunakan lagi dan dibiarkan terbengkalai begitu saja. Bentuknya yang menutupi seluruh sisi dan kosong di tengah-tengah menjadikannya terlihat seperti rumah sakit daripada bekas pabrik.

Lexi terus-terusan bergerak tidak sabaran. Ini akibat baju yang dikenakannya yang lebih tepatnya seperti kulit keduanya. Pakaiannya ini membuatnya tidak bebas bergerak, ditambah lagi lexi mulai merasakan gatal. "Persetan dengan pakaian ini!" Lexi menyumpah.

Gadis itu berdiri di balik salah satu gedung dan mengamati setiap penjuru gedung itu dengan teropong yang dibawanya. Sebuah baretta terpasang lengkap di balik bajunya yang disembunyikan. Ada juga pisau lipat di sepatunya yang bisa keluar dengan sedikit memberikan tekanan lebih di bagian belakang sol.

Hampir dua jam lebih gadis itu menunggu dan seseorang muncul dari balik gedung di sisi kanannya. Seorang pria yang di kawal dengan tiga orang berpakaian hitam yang membawa senjata di setiap pinggangnya.

Lexi memicingkan mata dan mengamati lewat teropong jarak jauhnya. Lima orang lagi muncul dari sisi yang berlawanan dan salah satunya adalah seorang gadis yang mengenakan pakaian berwarna merah muda. Gadis itu mengenakan make up yang sudah berantakan dimana-mana. Maskara yang luntur, lipstick yang sudah hampir tidak kelihatan dan rambut yang berantakan, seperti tidak pernah disisir berbulan-bulan.

Lexi bisa mendengar suara isakan gadis itu. Kemudian salah satu pria mendorongnya untuk diserahkan pada pria yang satunya lagi. Sejumlah uang di dalam koper diberikan kepada orang yang membawa gadis itu. Uang, gadis, dan pria mata keranjang. Pasti ini adalah perdagangan manusia, lebih tepatnya perdagangan wanita.

Gadis itu menangis lagi, Lexi menyumpah. Lexi tidak pernah suka melihat gadis lemah seperti itu. Dulu, Lexi pernah merasakan seperti yang dirasakan gadis di depannya itu sekarang, hingga Nathan yang menjadi mentornya sekarang, menolongnya.

Saat itu Lexi merengek untuk ikut bersamanya. Awalnya Nathan tidak mengizinkan Lexi mengikutinya, tapi karena melihat keadaan Lexi yang saat itu hampir terlihat seperti orang mati, pria itu mengizinkannya tinggal beberapa hari hingga Lexi mendapatkan tempat tinggal.

Tapi Lexi bersikeras agar Nathan membawanya ke organisasi mata-mata tempat di mana pria itu bekerja, The Eye, mereka menyebutnya begitu. Akhirnya, Nathan memasukkan Lexi ke dalam Akademi The Eye. Membuat Lexi menjadi gadis yang tangguh, kuat, tidak seperti Lexi yang pertama kali Nathan kenal. Menjadi slah satu murid dengan nilai teratas di kelasnya. Sekarang, setelah hampir tiga tahun berguru pada organisasi mata-mata itu, Lexi mendapatkan kesempatan untuk terjun langsung kelapangan. Memburu para mafia itu.

Di saat beberapa orang lebih suka bekerja di belakang meja dan bersantai-santai. Lexi lebih suka berlari-lari kesana-kemari dan melesatkan peluru dari pistol baretta kesukaannya. Walaupun resiko yang diambilnya sangatlah besar, gadis itu tetap ingin menjadi seseorang yang tangguh dan berbeda dari dirinya yang dulu.

Sekarang pikirannya kembali pada gadis di hadapannya yang sedang menangis. Membuat Lexi bergidik setiap melihat adegan seperti itu. Kemudian, pria yang membawanya tadi sudah pergi dan sekarang hanya tinggal pria yang membelinya dan pengawalnya yang sedang mengamati gadis itu dengan garang dan nafsu yang sangat besar.

"Tolong, terserah kau mau apakan aku, asal jangan bunuh aku." Gadis itu memohon.

Pria yang berada di depannya tersenyum licik dan kemudian menatap dengan penuh kebencian. "Kalian boleh melakukan apapun pada gadis ini, setelah itu bunuh dia dan tinggalkan mayatnya di sini," perintah pria itu. "Aku harus pergi, ada urusan yang lebih penting dari ini dan aku ingin kalian selesaikan dengan cepat. Aku butuh kalian satu jam lagi."

Setelah mendengar perkataan tuannya dan memastikannya sudah pergi, mereka menatap gadis itu lagi yang sekarang tangisannya terdengar lebih keras lagi.

Lexi mengerjap beberapa kali dan menyumpah lagi. "Sialan! Aku harus menolong gadis itu," katanya.

Pria-pria itu menatap gadis itu jijik.

"Tolong, jangan bunuh aku." Gadis itu memohon lagi.

"Kami tidak akan membunuhmu sampai kau memuaskan kami," kata salah satu pria itu.

Dan kemudian, dua orang memegangi tangan gadis itu. Lexi menyumpah lagi, dia harus bertindak sekarang. Dengan cepat, Lexi meraba senjata yang disembuyikan di balik bajunya. Lexi mulai membidik salah satu pria yang berada di tengah dan mulai menekan pelatuk baretta-nya.

Suara tembakan memekikkan telinganya, pria itu terjatuh dengan peluru yang menembus kepalanya. Gadis itu tersenyum puas melihat bidikannya tepat mengenai sasaran. Latihannya tidak sia-sia selama ini dan dia merasa beruntung karena itu.

Dua pria yang sedang memegangi gadis itu langsung cepat-cepat menarik senjata mereka yang berada di pinggang. Tapi Lexi lebih cepat beberapa detik dari mereka dan melesatkan pelurunya lagi. Satu orang tersungkur lagi, Lexi berhasil mengenai kakinya. Yang satunya lagi mengenai bahunya. Kedua pria itu terkapar di tanah sambil menyumpah.

Lexi keluar dari tempat persembuyiannya dan menghampiri gadis itu. Gadis itu menatap Lexi terkejut sambil membelalakkan matanya.

"Tolong jangan bunuh aku," pinta gadis itu lagi.

"Bodoh! Kau kira saat seseorang datang sambil membawa senjata dan menembakkan pelurunya pada pria yang hampir saja mau membunuhmu dia juga akan membunuhmu?" Lexi menatap gadis itu kasihan sekaligus kesal.

Sekarang Lexi berpaling dari gadis itu dan menerjang salah satu pria yang kesakitan akibat tembakan yang dilesatkannya.

"Beritahu padaku siapa bosmu!" perintah Lexi.

"Enyah kau, jalang!" teriak pria itu.

Sambil masih mengacungkan senjatanya, Lexi terkekeh. "Well, kau bukan satu-satunya yang memanggilku jalang," katanya sambil tertawa. "Berikan aku informasi dan aku akan mengampunimu." Lexi menatap kedua pria itu merendahkan.

"Bosku akan membayar semua ini padamu," sergahnya.

Lexi terkekeh lagi. "Bagaimana dia bisa membayarnya jika kau mati terlebih dulu."

Mereka diam. Sekarang Lexi mulai kesal dan tidak sabaran. Gadis itu melesatkan pelurunya pada pria itu lagi, mengenai bahu kirinya yang belum tertembak. "Katakan cepat! Kalian membuang-buang waktuku, tahu!"

Saat Lexi sedang teralihkan dengan salah satu pria itu, pria yang lainnya menendang kaki Lexi hingga gadis itu kehilangan keseimbangan dan berlutut di tanah. Gadis itu mengerang kesakitan, sambil menyumpah. "Sialan!"

Tentu saja, dua pria itu memanfaatkannya dengan mengambil senjata mereka. Saat Lexi menoleh pada para penjahat itu, mereka berdua telah memegang senjata di tangan masing-masing yang diacungkan pada Lexi. Gadis itu mentap datar kedua pria itu untuk berusaha tenang. Keadaannya tidak menguntungkan untuk Lexi, kedua pria itu juga tidak. Mereka hanya menodongkan pistol agar mereka selamat.

Lexi bisa menembak mereka lagi, tapi setidaknya mereka juga bisa menembak Lexi dan mereka yakin Lexi tidak ingin mengambil resiko mati di tempat ini. Lexi mundur perlahan sambil menarik gadis itu.

Saat mereka berada di ujung gedung dan sudah sampai pada salah satu pintu keluar, Lexi menyuruh gadis itu untuk membukanya.

"Ini terlalu keras, aku tidak bisa membukanya." Gadis itu mengaduh.

"Pegang ini dan terus bidik mereka. Tekan pelatuknya jika mereka bergerak," perintah Lexi sambil mengintruksi.

Lexi berbalik dan mendorong pintu di belakangnya. Memang cukup keras, tapi dengan kekuatan penuhnya Lexi akhirnya berhasil. Gadis itu memberikan senjatanya kembali pada Lexi dan tiba-tiba peluru mulai melesat ke arah mereka.

Hujan peluru menghantam mereka. Untungnya mereka bisa segera keluar sebelum mereka tertembak. Saat sampai di depan gedung itu, Lexi berlari menuju mobilnya yang di parkir sembarangan olehnya. Namun gadis itu tiba-tiba merosot di tanah seperti orang lumpuh.

"Kau-tertembak," gadis itu menjerit histeris. Kebiasaan seorang gadis yang tidak pernah Lexi suka.

Lexi terkapar. Dia membuka baju untuk memeriksa tubuhnya dan mendapati peluru tepat mengenai perutnya. "Bawa mobilku," ujarnya sambil memberikan kunci mobil.

Gadis itu mengambil kunci yang diserahkan Lexi dan membantunya hingga masuk ke dalam mobil. "Aku akan mengantarmu ke rumah sakit." Gadis itu sudah menyalakan mesin mobilnya.

"Jangan!" perintah Lexi. "Bawa aku pada Nathan, bawa aku padanya." Lexi terengah-engah saat mengatakannya. Sepertinya efek dari kehilangan banyak darah.

"Siapa Nathan? Aku tidak tahu dia tinggal di mana." Gadis itu menatap Lexi khawatir yang pakaiannya sudah penuh dengan darah.

"Aku akan memberi tahu jalannya, dasar bodoh!" Gadis itu masih saja memarahi seseorang yang akan menolongnya.

Sebenarnya Lexi yang menolong gadis itu tadi, tapi sekarang dia yang terkena tembakan dan gadis itu satu-satunya harapan untuknya pergi dari tempat terkutuk itu sebelum dia benar-benar kehilangan banyak darah dan pingsan atau lebih parah lagi, mati.

Setelah memberikan petunjuk pada gadis yang tidak dikenalnya itu, Lexi sudah tidak bisa menahan rasa sakit dan kantuknya yang datang secara tiba-tiba.

"Tetaplah sadar," kata gadis itu yang sekarang sudah berhenti pada sebuah rumah berukuran besar yang disekelilingnya hanyalah pepohonan dan tanah yang ditumbuhi rerumputan liar setinggi mata kaki.

Lexi sudah tidak sadarkan diri sekarang dan gadis itu harus menopanya hingga ke teras rumah. Ukuran tubuh Lexi memang lebih kecil dari gadis itu, tapi Lexi memiliki bobot yang luar biasa berat. Ini pasti karena latihan kerasnya yang dia jalani selama ini.

Gadis itu menekan bel pintunya. Sambil berharap dia tidak perlu menekan untuk yang kedua kalinya. Seorang pria yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana olahraga, keluar sambil terkejut.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya?" Pria itu langsung menopang Lexi yang seakan-akan tidak berat sama sekali.

"Dia tertembak," kata gadis itu berusaha menjelaskan.

"Aku tahu, tapi apa yang dia lakukan sampai seperti ini?" tanya pria itu penasaran.

"Dia menolongku agar mereka tidak membunuhku."

Sekarang pria itu kelihatan sangat khawatir sekaligus marah.

"Sial!" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top