-----------------------------❤❤
Let none ever come to you without leaving happier
-- marentinniagara --
❤❤-----------------------------
.
.
.
Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍
-- happy reading --
~~ Seperti mendapatkan kesempatan hidup untuk kedua kalinya. Ungkapan rasa syukur itu jelas terucap tak hanya sekali, dua kali atau bahkan sepuluh kali. Kontinyu dan tidak akan pernah berakhir, rasanya bisa dikatakan seperti itu. Nikmat sehat, itulah yang terkadang banyak orang melupakan hal besar yang dipandang remeh hingga akhirnya terlupa mengucapkan syukur setiap hari telah diberikan nikmat dari rajanya nikmat yaitu kesehatan.
Peluh yang masih terlihat menetes, wajah laksana terbasuh air wudhu, sedangkan pakaian sudah tak lagi nyaman untuk dikenakan, semuanya basah oleh keringat.
Namun satu hal yang bisa membedakan sore ini antara tetesan peluh dan air mata yang bergulir. Senyum diantara kesakitan dimana kedua kaki bisa menapak kembali di tanah, berdiri menopang berat badan dan tidak lagi menggunakan alat bantu.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah dan helaan nafas berat menandakan bahwa usaha maksimal itu harus diistirahatkan kembali.
"Don't be forced, slowly but sure." Lima menit cukup untuk menyimpan energi dan kembali kaki ini melangkah, satu, dua, tiga, empat, lima, __sepuluh.
"Mas Aftab, I can't believe that. Both my legs are working perfectly again." Air mata ini tumpah seketika. Bercampur dengan peluh lalu berakhir di tshirt yang dikenakan oleh suamiku karena aku memeluknya untuk meluapkan rasa bahagia.
Bahwa perjuangan kami untuk mengembalikan fungsi kedua kakiku sepertinya telah menampakkan hasil. Aku bisa berjalan meski belum sempurna dan terkesan masih seperti robot.
"Congratulation Mr and Mrs. Aldebaran. Our effort shows the result. From now on, Mrs. Aldebaran has to familiar to used crutches so then your legs can used to walking normaly again."
"I will Doctor. Thanks for everything that you have been ever doing for me."
"With all my pleasure. Your spirit that make this therapy work so well. I think for the next time once a month is enough. I just have to control the progress, because everything is working perfectly." Dokter yang menyertai terapiku menyampaikan hasil dan perkembangannya hari ini. Dan jelas aku sangat bersyukurl.
"Alhamdulillah," ucap syukur kami bersama-sama. Rasanya setelah kami berdua dianugerahi sprouts dalam hidup kami, hari ini Allah kembali memberikan hadiah terindah dengan kesembuhanku.
Menelaah kembali dari awal mengapa Allah menciptakan rasa sakit, semua pasti akan terjawab bahwa Allah juga akan menyiapkan sehat untuk hambaNya. Tanpa sakit manusia tidak akan tahu seberapa berharganya sehat itu. Bahkan terkadang ketika sakit pun masih belum bisa menyadari betapa berharganya sebuah kesehatan.
Mas Aftab mengusap peluh yang membanjiri wajahku. Menghujaniku dengan kecupan sayang lalu membawaku ke dalam pelukannya, hangat dan menentramkan jiwa. Puncak kesyukuran setelah semua terlampaui dengan sempurna. Segala kesabaran, keikhlasan hati bahkan sampai dengan penghematan budget dilakukan sebagai bentuk ikhtiar untuk mengusahakan kesembuhanku. Suamiku bahkan tanpa mengeluh sedikit pun.
"Sprouts pasti tidak akan malu kepada teman-temannya nanti karena memiliki ibu yang bisa berjalan seperti teman-temannya yang lain."
"Hei, kamu ini bicara apa. Apa pun keadaan kamu, kami semua selalu bangga memiliki kamu. Wanita berhati malaikat yang dikirim Allah sebagai pelengkap kehidupan kami semua. Terima kasih Sayang." Mas Aftab meluruskan ucapanku, sepertinya dia tidak setuju dengan pernyataan yang aku buat. Padahal memang benar, bisa jadi tapi apa pun itu aku akan selalu bersyukur atas keadaanku hari ini.
"Aku yang harusnya berterima kasih kepadamu, Mas. Meski dengan keadaan yang sulit seperti sekarang, hidup penuh kesederhanaan, dan keadaanku yang tidak sempurna kamu tetap setia berada di sampingku. Merawatku dengan keikhlasan hatimu, I'm very blessed to having you in my life. Terima kasih suami, how do I not adore you." Ya, bagaimana aku tidak semakin memuja suamiku yang luar biasa ini. Perjuangannya, pengorbanannya dan semua yang telah dilakukan untuk kami berlima.
"I do love you, Dear. The best reward after Allah has matched us is loving you cause Him, melindungimu dan juga keluarga kecil kita. Tidak akan pernah terpikirkan untuk tidak membahagiakan kalian meski keadaan kita saat ini__"
"Mas__aku bahagia, anak-anak tumbuh dengan sempurna, sehat dan itu lebih dari apa pun di dunia ini."
"Jangan pernah menyesal telah memilihku untuk menjadi imammu." Aku tersenyum mendengarnya, jika dulu akulah yang begitu insecure dengan keadaan dimana kedua kakiku tidak bisa berfungsi justru kini mas Aftab berdiri di posisiku yang dulu.
"Setelah semua yang kamu lakukan untuk kami lalu aku menyesalinya? Sepertinya aku akan menjadi manusia paling bodoh di dunia jika sampai melakukan itu. Apa pun keadaan kita, terlebih dari sisi finansial yang terpenting jangan terlalu memaksakan diri untuk mengadakan sesuatu yang semestinya belum bisa kita miliki, Mas. Aku tidak ingin nantinya kita dikejar hutang hanya demi tuntutan duniawi saja. Apa adanya kita jauh lebih menentramkan." Dari dalam hati terdalamku tidak pernah terbersit pikiran seperti itu. Mas Aftab itu bukan hanya sebagai suami, tetapi juga malaikat penolong yang selalu merentangkan kedua tangannya untuk bisa menguatkanku kapan pun aku butuhkan. Kurang beruntung apa aku memilikinya.
Dan seperti biasa, setelah quality time kami berdua pasca terapi, aku dan mas Aftab kembali ke flat dengan semangat baru. Menyambut ketiga buah hati kami yang tentunya akan meminta haknya untuk bisa bermanja dengan kedua orang tua mereka. Hal yang paling menggembirakan sebagai orang tua tentunya.
"Jangan beritahu mimi dan bunda dulu, Mas. Aku ingin memberikan sedikit surprise kepada mereka, semoga jalan ala robotku tidak terlalu lama." Mas Aftab mengangguk menyetujui keinginanku.
Rasanya sebagai anak, aku merasa sangat tidak adil. Sudah lima bulan ini bunda tertahan di Perth bersama mimi yang juga ikut merawat sprouts. Sementara di Indonesia ada daddy dan pipi yang membutuhkan keduanya sebagai teman untuk berbagi banyak hal. Meskipun daddy sudah dua kali berkunjung ke Perth, dan pipi juga menyempatkan untuk mampir setiap kali ada jadwal penerbangan ke Perth, namun tetap saja bagiku yang sedari kecil hafal sekali bagaimana perlakuan daddy dan bunda merasa sangat bersalah. Mungkin tidak akan jauh berbeda dengan pipi dan mimi.
Itu sebabnya, setelah sprouts tertidur aku sengaja memanggil mereka dan mengajak mereka bicara ditemani mas Aftab.
"Bunda dan mimi, Ayya dan mas Aftab tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk mengucapkan rasa terima kasih kami kepada kalian. Mulai dari Af, Ash dan Aeyz lahir hingga kini mereka telah siap untuk mpasi kalian berdualah yang membantu merawat mereka." Aku melihat mas Aftab untuk meminta dukungannya lalu melanjutkan kembali kalimatku yang belum selesai. "Sepertinya sudah cukup Bund dan Mimi. Daddy dan pipi di rumah tentu juga membutuhkan kalian. Inshaallah Ayya dan mas Aftab bisa menjaga mereka sendiri. Ini bukan karena kami tidak ingin kalian ada di sini namun justru karena rasanya tidak adil bagi daddy dan pipi di rumah."
"Benar apa yang dikatakan dik Ayya, Bunda dan Mimi. Inshaallah kami berdua bisa menjaga mereka."
Bunda dan mimi saling memandang, seolah dari tatapan mereka bertanya siapa yang akan berbicara terlebih dahulu.
"Aftab dan Ayya, Sayang." Bunda yang akhirnya berbicara terlebih dulu untuk menanggapi ucapanku. "Baik bunda atau pun mimi memutuskan untuk berada di sini, menemani kalian merawat sprouts sesungguhnya juga atas izin dan permintaan dari para suami kami yaitu ayah kalian berdua. Kami bahagia bisa berada di dekat kalian, khususnya bunda. Selain bisa mengetahui bagaimana perkembangan Af, Ash dan Aeyz, bunda juga bisa memastikan bagaimana perkembangan kesehatanmu, Mbak Ayya. Daddy sangat memahami akan hal itu. Percayalah kepada bunda, meski kamu seringkali melihat daddy manja, seperti anak-anak saat bersama bunda, tapi untuk kali ini sepenuhnya beliau mendukung bunda berada di sini. Bunda rasa mimi Kania demikian halnya, pipi kalian pasti sangat mengerti akan hal ini."
"Tapi Bunda__" aku masih juga merasakan bagaimana kedua ayah kami merasa kesepian berada di rumah sendirian. Saat pulang dari kantor, capek, lelah, tidak ada seseorang yang bisa memperhatikan seperti ketika ada para istri jika mereka ada di rumah. Menyambut kedatangan mereka dengan senyum kebahagiaan.
"Buang jauh pikiranmu, Mbak. Kami ikhlas membantu kalian."
"Sesungguhnya kami tidak ingin merepotkan bunda dan mimi," ucapku lagi.
"Siapa yang merasa direpotkan, Ayyana? Kami berdua tidak merasa demikian. Mereka bertiga cucu mimi, anak kalian. Kami berdua neneknya. Sudah sangat wajar jika seorang nenek memanjakan cucu-cucunya. Apalagi mimi, mereka merupakan cucu pertama bagi mimi." Mimi Kania mengusap kepalaku. Ah, ibu mertuaku ini memang bukan seperti ibu mertua dan aku memang tidak pernah menganggapnya begitu sedari mula. Ya, 'mama Rossa'ku, sosok ibu mertua yang begitu perhatian kepada menantunya dengan takaran porsi yang pas. Tidak berlebihan, tidak mencampuri urusan dalam negeri rumah tanggaku dengan mas Aftab, tapi sangat memperhatikan semua kebutuhan kami terutama untuk kesehatanku dan pertumbuhan sprouts.
"Benar apa yang diucapkan mimimu, Mbak Ayya. Meski sprouts bukan cucu pertama bunda tapi tidak ada yang membedakan mereka dengan cucu-cucu bunda yang lainnya." Bunda menambahkan untuk meyakinkan kami berdua.
"Tapi cucu bunda yang lain juga butuh diperhatikan, Pouncik Orz misalnya, Ayya yakin kalau kak Al juga ingin bunda ada di sampingnya ketika merawat Orz."
"Untuk saat ini kalian yang sangat membutuhkan bunda. Kak Al, mas Hanif, bang Hafizh, tentu saja menginginkan, hanya saja mereka semua memahami mengapa bunda memberikan perhatian yang lebih kepada sprouts__"
"Bunda__" aku menatap kepada mas Aftab kembali. Rasanya sudah saatnya kedua wanita yang sangat aku hormati ini mengetahui apa yang ingin aku perlihatkan.
Mengerti akan maksud dari tatapanku kali ini, mas Aftab segera berdiri dan membantuku untuk berdiri juga. Selama ini aku memang bergerak dengan menggunakan kursi roda, atau jika mas Aftab ada dialah yang sering menggendongku ke sana kemari layaknya memindahkan sprouts. Beberapa kali aku mencoba mengenakan kruk tapi masih juga belum bisa dan nyaris terjatuh di depan bunda dan mimi. Malam ini aku akan menunjukkan, semoga waktunya tepat dan mereka tahu bahwa aku telah mampu berdiri dengan kedua kakiku tanpa penyangga meski belum dalam waktu yang lama.
"Aftab, what will you do? Mbak Ayya__"
"I let you know something, Bunda." Aku berdiri dan mencoba untuk melangkah satu, dua, tiga__. Menunjukkan kepada bunda dan mimi seperti apa progres terapi dan kesembuhan kakiku.
"Ayyana, mashaallah__"
"Mbak Ayya, apa ini sebuah mimpi. Bunda tidak sedang bermimpi kan?" bunda dan mimi histeris melihatku bisa berjalan setapak demi setapak.
"Ayya sudah sembuh Bunda, Mimi." Aku melihat ke arah mereka berdua dengan uraian air mata bahagia pun demikian halnya mereka.
"Aftab tolong jelaskan semua ini kepada bunda dan mimi kalian." Bunda meminta mas Aftab untuk bicara, menjelaskan semuanya. Sedangkan aku hanya bisa menangis haru di pelukan wanita yang melahirkanku ke dunia.
Mas Aftab mulai bersuara, menjelaskan secara detail bagaimana progres kesembuhan kedua kakiku. Menyampaikan secara runtut apa yang telah diucapkan dokter tentang kedua kakiku serta menunjukkan foto MRI tulang kaki dan persendianku terakhir yang dilakukan satu minggu yang lalu.
"Dik Ayya yang bisa menjelaskan ini secara detail Bunda dan Mimi. Yang jelas tadi dokter mengatakan bahwa semua sudah berfungsi normal, tinggal melatih kekuatan ototnya dengan rutin latihan berjalan seperti yang dik Ayya lakukan tadi. Inshaallah semuanya sudah bisa kembali, meski tidak bisa dikatakan sempurna seperti dulu. But overall, kami berdua cukup puas dengan ini dan sangat bersyukur, Allah masih memberikan kesempatan kepada dik Ayya untuk menikmati kesembuhannya."
"Alhamdulillah__" lirih namun sangat tulus. Kedua bibir ibuku ini mengucap syukur lalu memintaku untuk mencoba berjalan lagi. Kali ini tidak dengan tangan hampa. Mimi Kania mengabadikannya dengan merekam melalui gawai miliknya. Seluruh keluarga harus tahu berita luar biasa ini, begitu kata beliau. Dan aku, sekali lagi aku mencoba, dukungan, doa serta luapan rasa bahagia semakin memompakan semangat untukku berjuang. Aku harus bisa, menapak, berjalan hingga akhirnya berlari untuk rasa bahagia seluruh keluargaku.
Seperti malam-malam biasanya, sprouts, ketiga buah cintaku bersama mas Aftab tidak pernah rewel. Mungkin mereka bisa memahami karena sejak dari kandungan suamiku selalu berkomunikasi dengan ketiganya untuk bisa menjadi anak yang baik, membantuku dalam segala hal karena kondisiku saat itu, setidaknya jika belum bisa membantu poppanya selalu meminta untuk tidak rewel dan itu ternyata terbawa sampai kini.
"Mana yang capek, sini aku pijit." Selelah apa pun kegiatan kami, suami tercintaku ini selalu menyempatkan diri untuk menawarkan mengurut kaki atau anggota badanku yang lainnya. Terutama ketika selesai terapi seperti ini. Betapa durhakanya aku jika sampai membuatnya terluka, naudzubillah. Rabbi illahi, berikanlah kemuliaan disisiMu nantinya untuk orang yang telah mengorbankan segalanya demi membuatku bahagia. Suami yang mencintaiku dan yang sangat aku cintai.
"Kamu tahu Mas, harusnya aku yang melayanimu seperti ini. Memijat kakimu saat kamu baru pulang dari kantor, menyiapkan air hangat untukmu mandi, lalu menyiapkan pakaianmu. Tapi yang terjadi sekarang justru kamu yang memenuhi semua tugas-tugasku, Mas."
"Itu yang disebut sebagai emansipasi." Jawabnya seringan kapas beterbangan.
"Emansipasi itu bukannya wanita yang ingin mensejajarkan diri dengan pria atau bagaimana sih, kok aku mendadak lola." Mas Aftab mengusap kepalaku.
"Laki-laki dan perempuan secara kodrat memang berbeda, laki-laki memiliki tanggung jawab untuk memimpin, bukan berarti kami merasa lebih tinggi dan tidak bersedia untuk menggantikan pekerjaan wanita. Uzurmu merupakan tanggung jawabku sebagai pemimpin dan juga ayah dari anak-anak kita. Jadi, saat ada kalanya aku harus turun tangan untuk menjadi ibu bagi anak-anak dengan menyiapkan semua kebutuhan mereka karena uzurmu, itu bukan hal yang merendahkan diri dengan melakukan pekerjaan perempuan. Beda ceritanya jika kamu tidak memiliki uzur lalu suamimu ini bersikap seperti itu, artinya sebagai istri kamu belum bisa menghormat kepada suami." Mas Aftab mencoba untuk menjelaskannya secara gamblang sembari tangannya bergerak lincah untuk mengurut kedua kakiku secara bergantian.
"Bagi suamimu ini, emansipasi bukan berarti wanita yang ingin mensejajarkan diri kepada pria tetapi juga bagaimana pria juga bisa melakukan pekerjaan wanita. Saling membahu untuk bisa mewujudkan visi bersama dengan misi yang telah disepakati. Supaya waktunya tepat, tidak terlambat dan tidak berat sebelah, karena sejatinya dalam keluarga itu bukan masalah tentang siapa yang menjadi super. Ayah adalah super hero, bukan. Siapa yang paling berkuasa, siapa yang paling dominan dan siapa yang paling berhak atas semua hal dalam keluarga. Kita yang ada di dalamnya adalah super team. Informasi tidak hanya untuk satu jalan up down saja, yang artinya hanya dari orang tua kepada anak, hanya bisa memerintah kepada mereka. Sekali-sekali sebagai orang tua kita juga harus belajar dari mereka, menerima informasi secara bottom up, karena zaman kita kecil, zaman kita muda dulu tidak semuanya bisa diterapkan untuk anak-anak nanti karena perbedaan zaman, perkembangan teknologi yang luar biasa, atau hal-hal lain yang tidak bisa kita prediksi sebelumnya." Mas Aftab tersenyum, memberikan jeda kepadaku untuk berpikir dan memahami. Menyelaraskan konsep untuk pendidikan anak-anak nanti.
"Itu artinya, Mas Aftab tidak malu melakukan pekerjaan rumah walau aku bisa melakukannya?"
"Jika kita harus bergotong royong, bukan hanya masmu ini nanti yang akan membantu. Sementara ini kita masih memiliki sprouts sebagai pasukan, siapa tahu nantinya Allah memberikan tambahan untuk melengkapkan pasukan kompi kita?" Mas Aftab mengerlingkan sebelah matanya.
Ah suamiku ini, selalu saja bisa mengambil keuntungan diantara sempitnya kesempatan. Bagaimana mungkin aku bisa menolak kalau setiap kali ajakannya selalu diawali dengan peristiwa yang membuat otot tubuhku melemah seketika. Lumer seakan tak bertulang, pasrah pada keadaan dimana palagan telah disiapkan dan pertempuran sengit membayang di pelupuk mata. War, perang dunia akan disegerakan.
Ini hanya masalah emansipasi dan bapak dosen yang tercinta memberiku kuliah umum 5 SKS menjelang tidur, pillow talk lengkap dengan body talk yang super duper membuatku selalu ingat dengan slogan sebuah iklan susu di TV zaman dulu, 'nikmat hingga tetes terakhir'.
Iya, ini hanya masalah emansipasi dan aku mendapatkan kuliah umum 5 SKS dari bapak dosen tersayang. Lalu apa kabar jika sprouts sudah dewasa dan ketiganya mengcopy paste seperti yang poppanya lakukan? Bisa jadi aku lulus dengan predikat mahasiswa tercepat, karena memiliki dosen-dosen yang sangat luar biasa.
'Aku mencintai kalian, bagaimana tidak?'
✔✔
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 29 Juli 2021
*sorry for typo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top