Malaikat Kecil

-----------------------------❤❤
Bayi, sedikit syurga yang turun ke bumi

-- marentinniagara --
❤❤-----------------------------

.

.

.

Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍
-- happy reading --


~~ Terlahir ke dunia sebagai anak kembar, kalian tahu seperti apa rasanya? Tentu saja semua akan berkata menggemaskan, semua serba sama, pakaian, tas, sepatu dan banyak hal yang menjadi milikku akan juga sama seperti milik saudara kembarku.

Memang, rata-rata keluarga kembar, bukan hanya tentang kedua orang tuaku yang teramat istimewa di hati kami. Keluarga kembar akan memperlakukan anak-anak mereka seperti itu. Membelikan barang yang serupa sebanyak jumlah kami supaya tidak berebut. Paling hanya warna yang membedakannya itu barangku atau milik saudara kembarku.

Daddy dan bunda selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk kami semua. Pendidikan sekolah, pendidikan agama juga adab dalam kita bersikap sehari-hari. Tidak ada yang sempurna, kodrati manusia memang demikian halnya hanya saja kami berusaha untuk bisa memperbaiki diri setidaknya baik dan berusaha menjadi lebih baik lagi.

Tanpa harus kuperkenalkan diriku, semua juga tahu dokter bedah fenomenal yang terkenal dengan mode on kulkasnya memiliki 5 orang anak, salah satunya diriku. Meski kami berlima terlahir dari rahim ibu yang berbeda, maksudku mas tercinta dan abang tersayangku adalah putra dari daddy dan almarhumah mommy, namun bundaku tidak pernah membedakan bagaimana beliau harus membagi perhatian dan rasa cinta kasih untuk kami berlima. Bunda justru orang yang paling sering meminta kami untuk mengirimkan doa kepada mommy Amel yang telah mendahului kami ke syurga.

Menginjak kata dewasa, kesamaan benda itu rasanya sudah bukan lagi hal yang semi wajib buatku juga kak Al. Karena kami berdua memang memilih dua jalur pendidikan yang berbeda. Seperti halnya mas Hanif dan Bang Hafizh. Meski mereka sama-sama jagoan melahap bacaan tentu ada perbedaannya dan aku, sepertinya aku cenderung lebih tertutup mirip mas Hanif. Apa karena hal itu juga yang membuatku tertarik dengan ilmu kedokteran seperti halnya mas tercinta dan juga daddy teristimewaku? Wallahu alam.

Perjalanan hidup dengan bertambahnya usiaku, membuat getar hatiku mulai bisa merasakan sentuhan perhatian dari lawan jenisku. Itu artinya orang lain selain kedua kakak laki-laki, adik semata wayang juga daddyku tercinta.

Semesta seolah mengabulkan bahwa intuisi kami berdua juga telepati hati yang seringkali tersambung meski tanpa mengucapkan kata membawa dilema yang luar biasa dalam kehidupan kami. Saat tanpa sengaja aku dan kak Al menyukai pria yang sama. Keluarga terhentak, terlebih abangku tersayang yang sempat memiliki cerita kelam di masa lalunya dengan laki-laki yang pada akhirnya dituliskan Allah untuk bisa mengiringi langkah dan mendampingi hidupku di dunia.

Drama keluarga yang membuatku memutuskan untuk mundur dan menjauh. Aku berpikir dengan seperti itu kami bertiga bisa move on dengan baik, nyatanya tidak. Kak Al telah menentukan pilihannya untuk menerima pinangan dari salah seorang dosen yang juga kakak dari sahabatku. Meski aku tahu itu pasti tidak akan mudah untuk mereka berdua, mengawali semua cerita cinta dengan luka hati yang masih menganga lebar. Namun aku tetaplah aku dengan besarnya rasa cinta yang kupendam sendiri. Dan hal serupa pun dilakukan oleh suamiku. Aftab Dayton Aldebaran, laki-laki yang 'terpaksa' menikahiku di Malinau sesaat setelah kecelakaan yang menimpaku terjadi. Keluarga akhirnya memberikan restunya kepada mas Aftab untuk menikahiku walau aku belum bisa menyelesaikan program koasku. Semua sepakat aku harus berobat ke Aussie dan dengan kebesaran hati mas Aftablah aku bisa di rawat di rumah sakit dengan dokter-dokter terbaik.

Dia bukan hanya sebagai partner hidup yang luar biasa, tapi Allah memang telah menuliskan garis hidupku dengan didampingi suami yang paling sempurna.

Namun sepertinya Allah masih belum cukup mencubit hatiku untuk bisa belajar tentang ilmu sabar. Dia meniupkan tiga ruh ke dalam rahimku saat dimana aku masih harus memperjuangkan kesembuhan kakiku untuk bisa berjalan kembali dengan normal.

Sampai akhirnya kesabaran itu berbuah manis. Keikhlasan mas Aftab merawatku membawakan berita dari dokter kandunganku bahwa operasi terakhirku bisa dilakukan mengingat ketiga janin yang ada dalam rahimku berkembang sempurna walau dengan ukuran dibawah standar bayi tunggal.

Semua berjalan baik, keluarga juga menyambutnya dengan penuh suka cita. Daddy, bunda, pipi dan mimi, keempat orang tuaku membahu untuk bisa membantu kami. Aku berhasil melahirkan ketiganya dengan selamat, hanya saja proses fisioterapi tidak bisa maksimal aku lakukan ketika aku sedang mengandung mereka.

"Siap untuk berangkat?" suami gantengku sudah bersiap dengan peralatan dan bekalku fisioterapi hari ini.

"Inshaallah," jawabku dengan senyuman lebar. Hampir satu setengah tahun berobat di negeri kanguru ini. Bahkan ketiga anakku juga merupakan produk dan lahir di negeri kanguru yang kata keluargaku mereka lahir dengan tempat yang sulit dieja di akta lahirnya.

"ASI sudah cukup di pump, Sayang?" selalu, pagi hari menjelang aku fisioterapi atau berurusan di luar rumah. Suamiku adalah orang yang berada di garis paling depan untuk menyiapkan nutrisi untuk ketiga buah hati kami.

Afzam Rafkaiza Aldebaran, Ashraf Sarfarasya Aldebaran, dan Aeyza Maezurra Aldebaran. Baby Af, Ash dan Aeyz yang kami singkat dengan satu panggilan untuk mereka, Sprouts. Ya, kecambah kecil hasil olahan cinta antara aku dan mas Aftab, kami berdua telah menyepakati itu.

"Sudah Mas, stok kemarin juga masih ada di freezer." Bunda dan mimi mengangguk tanda mengerti bahwa kami memang harus segera berangkat ke rumah sakit untuk terapi lanjutanku.

"Bunda dan mimi yang akan menjaga mereka di sini. Kalian pacaran saja dulu berdua." Itu suara bunda yang selalu memberikan support kepada kami. Terlebih mimi Kania, wanita yang baru menyandang panggilan 'Nena' itu tidak ingin sedetik pun berjauhan dari cucu-cucunya.

"Mimi kelihatan banget bahagianya, kalau sudah bersama sprouts susah digangguin." Mas Aftab tersenyum menyetujui ucapanku.

"Maklum, nenek baru dan langsung mendapatkan tiga sekaligus. Makanya banyak kursus ke bunda tuh, mereka memang besan yang terlalu kompak mengurus cucu-cucunya." Bapak baru ini juga sangat bersemangat. Suamiku kini telah bekerja sebagai tenaga pengajar di salah satu lembaga pendidikan.

Memang cuti mengajar di Indonesia bisa diperpanjang, hanya saja kami juga butuh kehidupan yang layak di negeri orang. Tidak mungkin hanya mengandalkan tabungan, gaji mas Aftab sebagai PNS tanpa sertifikasi, atau bantuan dari saudara-saudara meski jujur aku sangat terharu adik kecilku secara rutin mengirimkan sebagian penghasilannya untukku. Dia bilang untuk membelikan susu keponakannya.

Sementara bersama mimi dan bunda, aku merawat sprouts sedangkan mas Aftab mencari penghidupan untuk kami berlima di luar rumah. Allahu, semoga lelahmu yang menjadi lillah untuk kami digantikan Allah dengan pahala yang sepadan ya Mas.

"Kok melamun, sebentar lagi terapisnya datang. Kamu sudah siap? Kemarin dokter Bryan mengatakan bahwa tulang kakimu sudah cukup kuat untuk bisa menyangga berat badanmu. Tidak harus diet ketat karena memang masih harus menyusui namun mulai sekarang harus memperhatikan berat badan. Supaya kedua kakinya tidak terlalu berat untuk menopang tubuh."

"Berarti sudah diperbolehkan berjalan dengan bantuan kruk, Mas?"

"Boleh tapi jangan dipaksakan dulu. Hanya saja mas masih belum sempat ke toko alat kesehatan untuk membelikannya untukmu. Setelah ini mungkin nanti kamu bisa memilihnya sendiri."

"Ah mas Aftab membuatku selalu terharu berada di sampingmu."

"Hei, mas ini bukan orang lain Sayang. Suamimu, ayah dari ketiga anakmu."

"Iya, tapi beneran aku sangat terharu. Memiliki kamu itu seperti menang undian yang tak ternilai harganya."

Percakapan kami harus terhenti karena panggilan nomor urutku untuk bersiap ke ruang terapi. Jika kalian bertanya seberapa berat fisioterapi itu? Baiklah aku akan menjawab dan menjelaskannya. Seberat apa? Tentu bagiku rasanya sama beratnya seperti para ibu yang bertekad untuk bertaruh nyawa melahirkan putra-putrinya ke dunia. Semua sakit bergabung menjadi satu.

Dua jam terlewati itu serasa remuk redam mendapatkan rejaman dari cemeti yang dilemparkan di tubuh kita terus menerus. Butiran keringat, bahkan tetesan air mata berpadu dengan tekad dan keyakinan bahwa kesembuhanku adalah senyuman untuk orang-orang yang mencintai dan sangat aku cintai. Sakit selama dua jam itu tidak ada artinya kala sampai rumah melihat ketiga buah hatiku tersenyum dan berguling-guling di kasur mereka.

Pakaianku sudah tak layak lagi disebut sebagai pakaian bersih, nyatanya saat selesai aku seperti mandi keringat. Dulu aku berpikir mengapa mas Aftab selalu membawakan pakaian ganti untukku. Ternyata jawabannya seperti ini, istirahat sebentar lalu suami tergantengku membantu mengganti pakaianku lalu biasanya kami akan 'pacaran' dulu sebelum bertemu dengan Afzam, Ashraf dan Aeyza, sprouts kami.

"Kamu ingin kita 'pacaran' dimana, Sayang?" kata dokter dan terapis aku membutuhkan relaksasi setelah melakukan beberapa terapi yang sulit untuk aku ikuti.

"Taman kota saja Mas," seperti biasanya. Murah meriah dan menentramkan. Di sini kami bisa menceritakan banyak hal. Rajutan mimpi untuk masa depan keluarga kecil kami termasuk kesepakatan mendidik sprouts nantinya.

Lebih pada pembicaraan terbuka antara dua orang sahabat, lalu berubah status menjadi sepasang kekasih dan meningkat menjadi sepasang suami istri. Banyak hal yang kami buka untuk membangun yang namanya chemistry dalam suatu hubungan.

"Alhamdulillah kita hidup sementara di negerinya kanguru ya Mas. Jadi mau 'pacaran' model apa saja nggak ada yang mengurusi."

"Karena di sini tidak ada akun squadnya mulut tante jadi hidup aman dari cibiran 'mulut tante'. Memangnya kenapa, kita tidak pernah melakukan sesuatu yang salah."

"Iya, tapi terkadang malu Mas. Kita 'pacaran' begini, mesra-mesraan di tempat umum. Padahal rasulullah telah mengajarkan kepada kita untuk menyimpan apa yang menjadi kesenangan antara suami istri itu dari khalayak termasuk sebagaimana kita menyimpan dengan sebaiknya hubungan antara suami dan istri." Benar bukan seperti itu, aku pernah belajar saat menjadi santri di pondok dulu. Namun mas Aftab justru tertawa renyah menanggapinya.

Suamiku ini kaku tapi sangat romantis. Sumpah, awalnya dulu aku malu melakukan seperti ini terlebih ketika bunda atau mimi meledek kami berdua. Kala itu,

Sedikit tergesa aku membantu mas Aftab mempersiapkan kebutuhan yang akan kupergunakan di terapiku. Bunda dan mimi bahkan memastikan semua tidak ada yang tertinggal.

"Aftab titip sprouts dulu ya Mi, nanti setelah terapi kami mau 'pacaran' dulu."

"Mau 'pacaran' dimana kalian? Di rumah jauh lebih mengasyikkan." Bunda yang justru menyambung pertanyaan mimi.

"Kalau di rumah dik Ayya malu nanti, ada Bunda dan mimi."

"Mau nginep di hotel begitu?" tanya bunda sekali lagi. Bukannya menjawab mas Aftab malah tertawa renyah. Ada-ada saja dia mengambil istilah 'pacaran'.

"Awas saja kalau sampai macam-macam. Ini anak kalian masih bayi tiga-tiganya. Jangan membuat mantu kesayangan mimi hamil lagi dalam waktu dekat." Ultimatum mimi membuat mukaku semerah kepiting rebus karena malu. Tapi lagi-lagi mas Aftab hanya nyengir lalu memindahkanku ke kursi roda dan kami segera berangkat ke rumah sakit setelah taksi yang dipesan mas Aftab datang.

Aku memang sudah terbiasa dengan keromantisan yang ditunjukkan mas Aftab kepadaku. Hanya saja saat ada bunda dan mimi jelas aku masih merasa kaku dan malu.

"Bunda saja biasa melakukan dengan daddy di depan kita, mulai dibiasakan Sayang. Supaya sprouts juga tahu kalau kedua orang tuanya saling menyayangi."

"Mas Aftab ingin seperti daddy dan bunda?" tanyaku.

"Kalau itu baik untuk kita, mengapa tidak."

"Tapi aku malu, terkadang."

"Makanya mulai sekarang harus terbiasa dengan perlakuan masmu ini yang menjelma menjadi daddy Ibnu."

"Nggak banget deh, nggak ada yang bisa mirip daddy kecuali mas Hanif."

"Memang tidak ada yang bisa menandingi pesona daddy Ibnu di hadapan putra putrinya."

"Karena aku ingin mas Aftab menjadi diri mas Aftab sendiri, bukan menjelma seperti daddy Ibnu. Mas Aftab yang mencintai Ayyana dengan caranya."

"Aku mencintaimu, Ay."

"Aku lebih sedikit," jawabku menggodanya. Namun suamiku tetaplah pria yang selamanya membuatku semakin jatuh cinta dengan semua tingkahnya. Demi apa dia mengusap lembut bibirku dengan bibirnya di taman kota ini. Menyesap sedikit agak dalam lalu membuatku membuka dan memberikan ruang gerak bebas kepadanya untuk mengeksplore lebih dalam lagi.

"Mashh, mmppthh__" kesadaranku pulih, sepertinya kami sudah terlalu lama terbuai. Ah mengapa pikiranku kembali mengingat tiga malaikat kecil kami di rumah. "Kita pulang, sprouts membutuhkan ASIku."

"Bukannya di freezer tersedia."

"Pabriknya kalau tidak dikeluarkan juga terasa, Mas."

"Ough, boleh mas bantu berarti ya?" suami gantengku ini sudah lihai ternyata memainkan alis dan kedipan mata. Belajar darimana dia bisa menjadi segenit ini di hadapanku.

Cinta itu bukan jatuh kan? Cinta itu dibangun, dengan rasa percaya, rasa menyayangi dan juga rasa mengasihi.

"Nah itu poppa dan momma sudah datang, kami juga sudah wangi semuanya. Nebun dan nena sudah mandiin kami tadi." Suara bunda menyambut kedatangan kami bersama mimi dan juga sprouts yang telah rapi.

Ngomong-ngomong tentang sprouts, iya ketiga anakku ini memang kembar hanya saja Afzam dan Ashraf benar-benar identik mirip sekali dengan poppanya. Sementara Aeyza ada mata dan hidungku yang menjadi miliknya. Yah setidaknya sebagai ibu yang mengandung mereka bertiga selama 9 bulan, aku tidak hanya dikatakan sebagai mesin scanner dari genetik poppanya saja.

"Adik itu mirip kamu banget, Sayang. Dua kakaknya malah nggak ada yang mirip mommanya sama sekali. Padahal dulu aku selalu berdoa loh bisa seperti bang Hafizh."

"Kok jadi ngomongin abang?"

"Iya pengen banget seperti Kabsya yang memiliki kemiripan hampir 90% dari abang. Ternyata Allah malah beri dua jagoan kita yang mirip aku."

"Kalau Kabsya jangan ditanya lagi, Habeel yang dikata orang mirip banget dengan mas Hanif saja masih kalah jika dibandingkan dengan miripnya Kabsya pada bang Hafizh." Mas Aftab menyetujui pendapatku.

"Sayang__"

"Hmmm."

"Af dan Ash kan sudah mirip aku nih."

"Iya, terus?"

"Aeyz sedikit mirip kamu." Aku masih berusaha mendengarkan meski rasa kantuk sudah mulai menyerang. Sepertinya lelahku yang menghilang karena melihat polah sprouts setelah kedatangan kami sore tadi hingga mereka tertidur, sekarang datang menghampiri kembali. "Mau nggak malam ini aku buatin satu yang mirip banget sama kamu nanti?"

Sumpah demi apa ini ya Allah, suamiku meminta haknya untuk bisa kupenuhi.

"Aku kangen kamu mengucap kata__'zidni', Mas."

Malaikat tolong jangan laknat aku malam ini, aku telah berjanji untuk bisa menjadi istri yang baik untuk suamiku.

✔✔

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 28 Juni 2021
*sorry for typo

Very slowly update nantinya, biar beriring dengan kisahnya kak Almira juga. Ok kita sepakat ya?

Menggunakan POV 1 mengapa? belajar untuk bisa menulis dengan berbagai sudut pandang. Semoga berhasil 😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top