Confession

-----------------------------❤❤
Keputusan yang diambil ketika marah itu laksana bercermin pada air yang mendidih

-- marentinniagara --
❤❤-----------------------------

.

.

.

Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍
-- happy reading --


~~ Katakanlah bahwa hidup itu adalah perjuangan. Semua tahu jalan menuju tujuan yang diimpikan itu tidak akan pernah mulus, selalu ada rintangan yang entah akan berakhir membahagiakan atau justru menambahkan beban. Satu hal yang aku yakini bahwa setiap hasil tidak akan pernah mengkhianati semua usaha yang telah kita lakukan.

Aku memilih duduk berhadapan dengan Hawwaiz saat Sproutsku tidur kembali. Tidak banyak yang ingin aku tahu, aku sangat percaya adikku bisa membawa diri. Tapi mengapa orang tua kami bahkan kedua mertuaku ikut murka dengan sikapnya.

"Apa yang telah kamu lakukan pada Vira?" tanyaku langsung pada inti permasalahan. Adikku ini kalau tidak dicerca, dia tipe orang yang tidak ingin berbagi dukanya kepada orang lain. Walaupun itu aku, kakak perempuannya sendiri. "Mengapa, Dek? Ayo jawab mbakmu."

"Mbak Ayya nggak usah ikut khawatir, semua bisa diatasi kok. Maaf, aku khilaf kemarin, tapi aku janji nggak akan lagi mengecewakan kalian."

"Khilaf? Jangan bilang kamu sudah terpengaruh habbit dan lifestyle lingkunganmu di sana hingga harus menodai Vira?" Kalimatku keluar tanpa sensor. Bayangan tentang kata khilaf itu bagiku sudah seperti momok yang mengerikan.

"Mbak....!" Hawwaiz menatapku tajam. "Aku tidak segila itu sampai harus mengambil kehormatan Elvira sebelum waktunya bisa kumiliki."

"Lalu?" Aku menuntut jawabannya. Hawwaiz berdiri, menyurai rambutnya dengan tangan kanan yang berakhir di leher belakangnya. Hal yang selalu sama dalam setiap perhatianku saat dia gelisah dan butuh ruang untuk mengungkapkan kegalauan dalam hatinya. "Dek, lets talking by adult person."

"Aibku, Mbak. Tidak pantas rasanya untuk diumbar. Aku telah mengakui semuanya di depan Daddy dan Bunda. Rasanya cukup, dan biarkan aku menyelesaikan dengan caraku sendiri."

"Kamu sudah bicarakan semuanya dengan Vira atau belum?" tanyaku. Hawwaiz menatapku sejenak kemudian meraih kedua tanganku untuk digenggamnya.

"Mbak Ayya nggak usah khawatir begitu, everything will be ok. Jadi apa tugasku untuk membuat Sprouts nyaman selama kalian tidak ada nanti?" Hawwaiz is Hawwaiz, he always thinks of other people's happiness and close his own sadness. Meski senyuman semu itu tapi Hawwaiz selalu berusaha untuk memberikan energi positif untuk lingkungannya supaya tidak larut dalam kesedihan.

"Loh, kok Mbak Ayya malah menangis? Hei, I'm absolutely ok." Entahlah, mengapa harus semelo ini pertemuan pertama kami setelah sekian lama berpisah. "Come, hug me tight."

Tidak ada kata yang bisa mewakilkan, aku tahu itu sangat sakit. Memilih untuk menjauh, mengingkari kata hati, dan berusaha semuanya baik-baik saja? Itu jauh lebih kejam daripada memfitnah diri sendiri.

"Sudah, jangan menangis. Malu loh sama Sprouts, punya momma cantik tapi cengeng. Mbak Ayya harus kuat, ya?" Ucapnya sambil tertawa sumbang.

"Ish, ini bukan tentang, Mbak. Tapi tentang kamu, Mbak bisa merasakan apa yang sekarang kamu rasakan. Dulu, Mbak diam karena tidak bisa berbuat apa-apa. Sekarang mengapa kamu justru ikutan diam?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Hawwaiz tapi berada di pelukannya saat ini adalah kenyamanan yang sama seperti yang pernah aku lakukan dulu. Namun, belum sampai aku puas bercerita dengannya suara Mas Aftab sudah kembali terdengar mengucapkan salam.

"Sudah dihapus dulu, Mbak, air matanya. Suami datang disambut dengan senyuman, ntar dikira aku yang buat Mbak Ayya menangis seperti ini." Aku memukul dada bidang adikku.

"Jangan pernah sembunyikan sesuatu dariku walau itu hanya sedikit. Laki-laki memang harus kuat, tetapi bukan berarti tidak boleh menangis. Kapan pun kamu butuh tempat cerita, Mbak selalu siap mendengarkan kapan saja." Aku mengalah, Hawwaiz memilih untuk bungkam. Mungkin inilah yang dia sebut sebagai aib sehingga enggan untuk membaginya dengan siapa pun.

Aku menarik tangan Hawwaiz, menyambut Mas Aftab tiba karena aku tahu suamiku itu tidak datang sendiri. Dia baru saja menjemput Vira di bandara.

"El...." Bibir Hawwaiz bersuara lirih saat tatapan mereka bertemu di ruang tamu.

Senyum manis Mas Aftab selalu membuatku jatuh cinta. Laki-laki berhati malaikat ini memberikan fasilitas walau sesungguhnya dalam hati ada ketakutan juga. Bagaimana jika keluarga besar kami mengetahui aksi nakal suamiku yang berusaha untuk memperbaiki komunikasi mereka?

Isyarat matanya mengajakku untuk meninggalkan mereka. Terlebih saat tangan kekarnya mulai melingkar posesif di pinggangku, tidak ada bantahan, aku harus segera mengikuti langkah lelakiku ini.

"Mas, belum juga satu jam kering sudah mau tambah lagi?" Mas Aftab mengernyit, lalu menimpali ucapan Hawwaiz beberapa saat kemudian.

"Masalahnya di mana?" Mas Aftab menatapku sambil mengerlingkan matanya. Ah, kode morse yang membuatku tersipu bila mengingat bagaimana caranya mengajakku melayang ke angkasa. Masih juga mencerna kalimatnya, tiba-tiba Mas Aftab menarikku untuk lebih mendekat lalu tanpa aba-aba dia memilih untuk menyatukan saliva kami di depan mereka.

"Kak Aftab...."

"Mbak Ayya...."

Kompak, suara protes Hawwaiz dan Elvira menggema di udara. Aku pun melakukan hal yang sama meski tanpa suara tapi enggan untuk melepaskan.

"Kak, you're trully crazy!" Elvira mendesah.

Bukannya marah, Mas Aftab justru terbahak mendengar suara adiknya kembali. "Dilarang protes, we're free for do everything."

"But not in front of us, kami belum cukup umur untuk menyaksikan adegan mesum seperti yang kalian lakukan."

"That's just the basics, there's more than that." Mas Aftab masih tertawa jahil.

"Ck," Hawwaiz melangkah pergi meninggalkan kami.

"Tuh kan, Kak. Marah deh, adik tersayangnya Mbak Ayya. Kak Aftab sih, ada-ada saja. Sudah tahu sensinya ngalah-ngalahin cewek PMS ini malah dijahili!" Aku tertawa mendengar perdebatan mereka.

"Aku bicara dengan Hawwaiz dulu, kamu ajak ngobrol Elvira. Biasanya sesama wanita akan banyak cerita." Menempatkan diri sebagai kakak yang baik, meski bukan adik kandungnya, Mas Aftab tidak pernah membedakan antara Elvira dan Hawwaiz. Misi terbesar mengundang adalah untuk mendamaikan perang dingin mereka, itu sebabnya dia pasti akan berbicara dan melihat dari dua sudut pandang yang berbeda.

"Gimana perjalanannya, Vir?"

"Eh, Mbak Ayya, baik, Mbak. Gimana, kaki aman kan sekarang?" Aku mengangguk. Lumayan canggung, sahabat saudara kembarku kini berubah status sebagai adik ipar.

"Maaf ya, kesannya jadi memanfaatkan kamu untuk kepentingan kami. Padahal kan, kamu pasti sedang banyak tugas di kantor, harus jauh-jauh datang kemari." Aku tersenyum tipis mengawali percakapan kami.

"Nggaklah, Mbak. Aku memang ingin ke sini kok. Sekalian nengokin ponakanku. Mbak Ayya jangan mikir gitu deh." Lagi-lagi aku menatap Vira dengan banyak tanya. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Mengapa Hawwaiz memilih untuk bungkam dan terkesan menghindar. Padahal aku tahu, sorot mata adikku itu tidak pernah berubah menatap Vira sebagai wanita yang istimewa di hatinya.

"Jadi....?" Vira memangkas tatapan kami saat aku meminta untuk mulai menjelaskan. "Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Maaf, kalau adikku bersikap kurang ajar kepadamu. Sebagai kakaknya, aku hanya bisa mengatakan itu."

"Mbak, bukan begitu. Bukan salah Bilal sepenuhnya, aku juga lebih banyak memberikan andil." Sumpah aku tidak mengerti apa yang dimaksudkan Vira. Sampai akhirnya kebungkaman kembali ada di antara kami lalu pengakuannya membuatku seketika menutup mulut saking tidak percaya, adikku bisa nekat melakukan itu pada adik suamiku.

"Jangan salahin Bilal, Mbak. Kalau mau menyalahkan, salahkan saja aku." Kegelisahan itu tertangkap jelas dari tatapan mata Vira yang menyorot padaku. Memang tidak bisa dibenarkan, tapi bukan berarti tidak bisa pula untuk dicarikan solusi.

"Mas Aftab sedang bicara dengan Hawwaiz, kamu sabar dulu ya. Atas nama keluarga...."

"Mbak, tolong, jangan seperti ini, aku semakin terbebani kalau sampai semua menyalahkan Bilal. Aku yang harusnya minta maaf kepada kalian."

Masih belum bisa aku pahami, mengapa Daddy begitu keras meminta Hawwaiz menyelesaikan kuliahnya. Bukankah tidak ada larangan menikah selama kuliah? Hawwaiz juga berusaha bertanggung jawab atas semua.  Tanpa bertanya pun semua tahu berapa penghasilan adikku itu. Menikah memang bukan hanya soal materi, kesiapan mental lebih utama, tapi bukankah Hawwaiz sudah cukup dewasa untuk mengerti? Kalau sudah terjadi seperti ini, siapa yang rugi?

"Sekarang apa mau kalian?" Sambil menidurkan Sprouts, aku masih mendengar sayup-sayup suara Mas Aftab di luar kamar berbicara dengan Vira dan Hawwaiz.

Sepertinya tidak lagi bisa ditawar, Hawwaiz memilih untuk menyetujui keinginan Daddy. Itu artinya, dia harus bisa menjauhi Vira dan fokus pada kuliahnya. Aku bisa membayangkan seperti apa terkekangnya hati, kala harus memaksakan diri bersahabat dengan rindu, membiasakan diri memenjarakan hasrat untuk sebuah kata bahagia semu yang sejatinya bukan menjadi fokus utama.

"Dengarkan Mbak Ayya, khususnya Vira, karena kita sama-sama perempuan. Makhluk yang gampang-gampang susah dipahami kata Mas Aftab." Aku melirik Hawwaiz yang masih setia dengan mode diamnya. "Sebanyak apa pun kita berusaha mengingkari, jatuhnya, kesakitan itu akan kita rasakan sendiri. Berkaca dari kami, Mas Aftab bolak-balik harus bedrest di rumah sakit. Lalu, Mbak, harus merepotkan kalian semuanya. Terlepas itu qodar yang memang harus kami terima. Pelajaran berharga yang bisa kita ambil hikmahnya...."

"Intinya satu, Mbak. Tidak satu pun orang tua yang tidak ingin melihat kebahagiaan putra-putri mereka. Terkadang keikhlasan itu menang harus dipaksa, berat pastinya di awal. Namun, jika kita tahu maksud mereka. Pasti tidak akan pernah ada lagi pertanyaan mengapa. Anggaplah itu sebagai wujud bakti kita sebagai seorang anak." Hawwaiz bersuara setelah bungkam.

Aku hanya bisa saling bertatapan dengan Mas Aftab. Tidak ada yang salah. Semua yang diucapkan Hawwaiz adalah kebenaran, tapi berbicara dengan lantang di depan Vira yang masih belum bisa menerima keputusan itu, sama halnya dengan menampar wajah seketika.

"Jadi benar, Bi? Kamu tidak ingin berjuang?" tanya Vira lantang. Meski tanpa jawaban aku bisa mengerti apa yang sesungguhnya ada dalam hati adikku. "Lalu kamu anggap apa aku selama ini? Apa?"

Flat kami tidak terlalu besar untuk suara selantang yang Vira ucapkan. Hingga pasukanku terdengar mulai menangis, mungkin mereka terbangun dari tidur karena kaget mendengar nada tinggi auntynya.

"Mas, Sprouts...." aku beralih tempat disusul Mas Aftab dan terakhir Hawwaiz pun memilih untuk mengikutiku.

Af, Ash dan Aeyz, ketiga malaikat yang selalu menghadirkan pelangi dalam keluarga kecilku memberikan protesnya. "Hi, anak hebat nothing serious, Uncle Haaz here." Hawwaiz meraih Aeyza ke dalam gendongannya.

Sebenarnya aku ingin memintanya supaya Hawwaiz bisa leluasa bicara dengan Vira, tetapi Mas Aftab menahan lenganku. "Tidak harus sekarang, biarkan mereka berpikir dengan cara dewasa. Keras tidak harus dilawan dengan keras, benar kata Hawwaiz. Vira juga harus belajar mengerti. Selama ini sebagai anak bungsu mungkin Mimi dan Pipi selalu mengabulkan banyak permintaannya. Biarkanlah kini dia bertanggung jawab atas apa yang nanti akan menjadi masa depannya."

"Mas, tapi dengan mengundang mereka kemari bukankah kita juga ikut bertanggung jawab untuk menasehati?"ucapku.

"Benar, tapi Mas merasa, ketidakberesan hubungan mereka sebenarnya bukan perkara Hawwaiz, tetapi karena Elvira, adikku."

"Maksud Mas Aftab?"

"Sebagai kakaknya tentu kamu sangat tahu perangai adikmu. Demikian halnya denganku, Mas, lebih dari sekedar hafal. Itu bukan Elvira yang bicara, tapi keegoisannya yang menutup mata untuk sebuah tuntutan ingin dilihat, dimengerti dan dipahami orang lain."

"Mas, tapi dia adikmu loh?"

"Lalu, apa karena adikku lantas aku membenarkan apa yang semestinya disalahkan? Tidak, Sayang, Hawwaiz cukup bijaksana dalam mengambil sikap. Selayaknya Mas, selayaknya kamu, tapi Vira?" Mas Aftab menatapku sekilas lalu beralih kepada Afzam yang ada di pelukannya. "Pelan-pelan kita berikan pengertian kepadanya nanti. Semoga, dengan ketiadaan kita, keduanya bisa berkolaborasi merawat Sprouts. Juga untuk membicarakan banyak hal tentang cita-cita mereka yang harus tertunda beberapa saat."

"Kuncinya memang sabar, sih." Aku setuju, selain kata sabar tidak ada lagi hal yang paling tepat membersamai langkah mereka.

"Sebaiknya kamu menyiapkan apa yang kita butuhkan nanti selama di Sydney dan Melbourne. Semoga adiknya Sprouts segera hadir ke dunia." Gurauan Mas Aftab yang langsung membuatku senewen. Percayalah, semua itu tidak lucu.

"Eits, nggak boleh marah. Kalau marah nanti aku tidur di luar. Emang mau nggak dikelon semalaman?" Biasanya aku yang bilang, tidur di luar. Ini belum juga disuruh sudah berinisiatif, bagaimana aku jadi marah kalau melihat wajah innocentnya seperti ini?

Si poppa Sprouts yang luar biasa bisa mengaduk emosiku dalam sekejap mata. Aku masih punya banyak mimpi, bersamanya aku yakin, mimpi itu bukan hanya sekedar mimpi. Mas Aftab lebih dari sekadar mampu untuk mewujudkannya.

"Kamu kenapa senyum-senyum?" tanya Mas Aftab. "Lagi bayangin bikin adiknya Sprouts kan?"

"Enggak!"

"Iya."

"Enggak!"

"Iya deh, enggak mau bayangin tapi minta dibuatkan langsung." Bener kan apa kataku, usilnya mulai muncul di saat yang tidak tepat.

"Mas, banyak balita di sini. Ngawur saja main sosor!"

Senyuman yang akhirnya menjadi canduku. Bahagia bisa selalu menyaksikan tawa itu menghias wajahnya. Allahu Rabb, terima kasih telah mengirimkan manusia berhati malaikat sepertinya untuk mendampingi perjalanan hidup kami.

✔✔

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 20 Juni 2022
*sorry for typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top