Aussie, Up Close
-----------------------------❤❤
One father of more than one hundred school teachers
-- marentinniagara --
❤❤-----------------------------
.
.
.
Baca mushafnya dulu baru buka WPnya 👍
-- happy reading --
~~ Menghitung waktu dan biaya, meski Aussie bukanlah benua yang besar namun untuk bisa berpindah dari satu kota ke kota yang lain tentu saja harus menggunakan pesawat untuk menghemat waktu. Masalahnya itu tidak baik untuk kesehatan dompet kami. Bukan karena pelit, namun aku merasa sayang untuk mengurangi tabungan mas Aftab hanya karena keinginannya mengajakku melihat Aussie dari dekat. Lebih baik tabungan itu dipergunakan untuk kebutuhan Sprouts.
Namun laki-laki yang telah memberiku tiga anak ini memang telah menyiapkan untuk menyisihkannya sedikit untuk membuatku bahagia.
Apa lagi yang harus aku katakan untuk menjelaskan bahwa kebahagiaanku adalah bersama mereka. Itu sudah cukup, apalagi dengan kondisiku sekarang, ini jauh dari sekedar kabar membahagiakan yang diceritakan orang lain. Bersama mereka adalah hal yang membuatku menjadi manusia yang sempurna.
"Nyatet apa sih? Sepertinya serius sekali." Pertanyaan sederhana namun justru membuatku merasa istimewa. Komunikasi yang kami bangun memang tidak pernah luput dari hal-hal kecil atau sekedar remeh temeh seperti ini. Meski dikatakan anak millenial, namun aku lebih menyukai segala sesuatu itu tercatat dengan rapi meski itu hanya sekedar pembukuan sederhana dan ala kadarnya saja, sehingga aku bisa tahu bagaimana kebutuhan, keinginan dan urgency masing-masing pos keuangan keluarga kecilku.
"Biasa Mas, menteri keuangan sedang menghitung budget anggaran." Aku memperlihatkan catatan kecilku yang membuatnya tertawa. "Ih kok tertawa sih?"
"Rinci banget bu menteri ini." Suara mas Aftab kembali terdengar setelah dia mengambil alih catatanku dan membacanya sekilas. "Sedikit ya yang aku beri, bahkan nafkah saja masih jadi satu dengan biaya kebutuhan kita sehari-hari."
"Ih, bicara apa itu?" Aku memutar bola mata. Memang mas Aftab tidak memberiku nafkah tersendiri. Dia selalu bilang untuk kebutuhanku dan kebutuhan keluarga menjadi satu. Tidak banyak namun juga tidak sedikit, setelah apa yang telah menimpaku rasanya tidak adil baginya jika aku masih menuntut untuk diberikan secara terpisah.
"Tapi ini mengapa bisa saving sampai segini besarnya Sayang? Jangan pelit-pelitlah sama diri sendiri. Anak-anak butuh entertain kamu juga butuh." Aku tersenyum, jujur sampai saat ini aku masih menerima kiriman uang dari saudaraku terutama dari adik bungsuku. Meski berulang kali aku telah berkata jangan namun meski berulang kali dia mengiyakan, transferan itu tetap saja masuk ke rekeningku.
"Dik Hawwaiz selalu mentransfer setiap bulan, Mas. Meski aku telah melarangnya. Katanya jika aku tidak ingin memakainya, berikan semuanya untuk Sprouts."
Jujur mengenai keuangan, adik bungsuku itu tidak perlu lagi dipertanyakan penghasilan dari mana. Semua tahu dan mengerti bahwa hobi yang ditekuninya memang menggendutkan pundi-pundi euronya.
"Mas takut nggak bisa membalas kebaikan Hawwaiz untuk kita, Ay."
"Hawwaiz tidak akan menghitung semuanya, percayalah."
"Mas tahu, tapi__" ada nada berat di ujung ucapan mas Aftab. Meski aku tahu itu bukanlah masalah tentang berapa banyak uang yang telah Hawwaiz berikan kepada kami. Ada hal lain yang mungkin belum diceritakan oleh suamiku ini padaku.
"Mas__?" Aku melihatnya dengan kepala tertunduk. "Ada sesuatu yang belum aku tahu, Mas?"
Mas Aftab menatapku dalam-dalam, "daddy dan bunda belum bercerita kepadamu? Atau mungkin Hawwaiz sendiri yang bicara." Aku menggeleng, ada masalah apa di keluargaku yang tidak aku tahu. Mengapa mimik muka mas Aftab berubah menjadi serius sekali seperti ini.
"Tentang Hawwaiz dan Elvira, mas tahu dari mimi dan cerita Vira."
"Hawwaiz dan Vira, bukankah mereka baik-baik saja di Inggris?" Mas Aftab mengangguk kemudian menggeleng setelahnya.
"Keadaan mereka baik-baik saja tapi tidak dengan hubungan keduanya."
"Sejak kapan?" Jelas aku terkejut, di mataku Hawwaiz masih tetap sama. Ceria dan selalu membuatku tertawa meski aku tahu dia membubarkan group yang dia buat dalam flatform aplikasi percakapan kami.
"Sejak kamu melahirkan Sprouts bahkan mungkin sebulan sebelum itu."
"Eh tunggu, itu berarti sejak Hawwaiz left group percakapan kita berempat dulu?"
"Iya." Mas Aftab menjawabnya dengan mantap. "Awalnya mas bingung lalu bertanya kepada Vira dan mimi, ternyata mereka memang sedang ada masalah."
"Mas, jelasin deh sejelas-jelasnya kepadaku. Biar aku nggak seperti sapi ompong yang cuma haho-haho nggak tahu apa-apa." Mas Aftab duduk di sebelahku, meraih kedua tanganku untuk beringsut menghadapnya. Sepertinya memang sangat serius hingga dia memintaku untuk mendengarkan dengan serius juga.
"Kamu tahu kan Hawwaiz menginginkan untuk menikahi Vira secepatnya, bahkan kalau bisa setelah Vira diperbolehkan dari perusahaan meski Hawwaiz belum lulus sarjana kedokterannya?" Aku mengangguk, Hawwaiz memang telah bercerita kepadaku akan hal itu. "Dari kedekatan mereka akhirnya Vira pun mengiyakan. Namun daddy tetap pada pendiriannya, supaya Hawwaiz menyelesaikan semuanya. Sayangnya ada hal yang membuat pipi marah, entah karena masalah apa hingga membuat daddy meradang juga akhirnya dan membuat mereka sepakat untuk menjauhkan Vira dengan Hawwaiz."
"Mereka berdua bersedia?"
"Apakah kita dulu bisa menolaknya hanya karena rasa cinta?" Mengingat semua itu membuat ngilu di hatiku kembali hadir. "Mereka mengalah."
"Mengapa daddy berkeras hati sih, apa belum ada pembelajaran yang bisa diambil dari kisah kita? Mengapa harus Hawwaiz yang merasakan apa yang pernah aku rasakan?"
"Jangan pernah menyalahkan orang tua kita, mereka pasti memiliki alasan."
"Mas tapi Hawwaiz itu nggak pernah neko-neko loh selama ini. Masa iya daddy tetap nggak percaya."
"Justru karena daddy belajar dari kisah kita, kamu yang akhirnya harus menunda menyelesaikan program doktermu. Daddy tidak ingin Hawwaiz seperti itu, apalagi dia seorang laki-laki yang memiliki tanggung jawab besar pada keluarganya."
"Mas tapi kan secara materiil dia mampu."
"Menikah itu bukan hanya sekedar masalah materiil, Sayang. Tanggung jawab yang melekat di dalamnya langsung kepada Allah loh. Mungkin daddy melihat Hawwaiz masih belum mampu secara psikologisnya. Usia memang bukan suatu jaminan yang bisa menjadi patokan berhasil atau tidaknya sebuah pernikahan. Tapi contohnya nggak hanya satu atau dua orang saja yang gagal dalam pernikahan ketika mereka memutuskan untuk menikah di waktu muda. Mungkin itu yang menjadi pertimbangan daddy, terlebih yang dipilih Hawwaiz adalah Vira."
"Memang apa salahnya dengan Vira, dia juga wanita sepertiku." Mas Aftab mengusap kedua tanganku dengan lembut.
"Tidak ada yang salah, wanita itu secara psikologis lebih dulu dewasanya daripada laki-laki. Vira dua tahun lebih tua dibandingkan Hawwaiz, meski tidak ada batasan usia dalam mencinta atau ikatan pernikahan kalau laki-laki masih belum matang dalam kedewasaan dikhawatirkan nanti akan berubah inginnya di tengah jalan." Aku baru tahu kalau suamiku bisa berpikir sebijak ini. Apa karena dia juga telah dewasa ketika menikahiku dan selisih usia kami lumayan jauh sehingga tidak serta merta menghakimi sesuatu hal dari satu sisi sudut pandang saja.
"Kecelakaan yang menimpamu itu adalah ujian terberat untuk kami, Sayang. Terlebih daddy, laki-laki yang mencintaimu melebihi apa pun di dunia ini."
"Maaf," aku hanya mampu mengucapkan kata itu saat mas Aftab menyentuh lubuk hati terdalamku.
"Mengapa harus minta maaf? Semua sudah tertulis, kita hanya tinggal menjalani saja." Mas Aftab menarik daguku untuk menatap manik matanya.
Ada kejut di hatiku saat mata kami bertaut, selalu, hal yang sampai kini memabukkan dan membuat numani, seperti candu yang ingin kembali meregutnya tanpa ada kata akhir. Paham akan kelebihan lain setelah ini terlebih saat Sprouts masih nyenyak mengukir mimpi. Bukan hanya mata yang bertaut tapi mas Aftab berhasil menyempurnakan main course pagi ini dan membuatku kelabakan saat Afzam mulai menggeliat ketika kami masih berada di puncak asmara.
Ah, ternyata seni bela diri juga harus mempertimbangkan mining time. Seperti bermain cilukba dengan mereka dan kekasih halalku ini memilih untuk terbaring setelahnya, membiarkanku sendiri menenangkan Afzam yang telah membuka mata dengan lebar.
"Just slept for a while, why are you awake, Dear?" Aku mengambilnya ke dalam gendongan. Matanya mengerjap lucu. Sungguh aku melihat suamiku dalam kemasan sachet, mini mas Aftab ada di gendonganku sekarang. Aku melihat jam dinding di kamar, masih jam 10 pagi harusnya Afzam masih tertidur seperti dua saudaranya yang lain.
Kupikir dia sedang tidak enak badan tapi ternyata aku salah, Afzam baik-baik saja. Biasanya kalau seperti ini dia akan tenang kembali jika sudah berada di pelukan poppanya. "Want to sleep with poppa, hmm?" Aku membaringkan Afzam di sebelah mas Aftab. "Mas, anaknya rewel, biasanya dikelon kamu diam dia. I take a shower first, it's all sticky and not comfortable."
"Sayang, I'm not wearing anything." Kudengar suara mas Aftab sambil bergumam.
"Ck, tutup dengan bedcover dulu." Sudahlah, aku tidak lagi bisa menundanya. Biarkan mas Aftab bercengkerama dengan si sulung.
Rasanya menghabiskan waktu 20 menit di kamar mandi itu bukanlah waktu yang lama tapi setelah keluar dari kamar mandi mataku langsung mengerjap tidak percaya. Laki-laki yang sedang bermain dengan Afzam bukanlah laki-laki yang telah membuatnya ada di dunia. Namun, laki-laki yang sama denganku, pernah bertapa di rahim bunda selama sembilan bulan. Baru satu jam yang lalu aku dan mas Aftab membicarakannya sekarang dia sudah ada di kamarku, bermain dengan Afzam. Apakah aku sedang tertidur di kamar mandi hingga harus bermimpi seperti ini.
"Mbak Ayya, hey, you took a long time to shower." Aku masih belum percaya, bagaimana mungkin? "Heh, malah bengong, adikmu datang bukannya disambut malah mandi nggak kelar-kelar. Habis berapa ronde sih dengan mas Aftab, aku sampai mas Aftab malah masih topless padahal si pinguin lagi pesta di luar saking dinginnya. Mentang-mentang kaki sudah normal ya." Mulut pedas crat-crot ini memang milik Hawwaiz dan aku telah hafal perangainya. Dia tidak berubah tetap menampakkan keceriaannya meskipun aku harus menatapnya lebih dalam lagi untuk bisa mengerti bahwa dia memaksakan untuk tidak berubah kepadaku. Ada hal yang memang disembunyikan adik bungsuku ini.
"Mbak Ayya, don't you want to hug me, your child has been hugging me all this time." Aku berlari, air mataku tumpah. Pertemuan terakhir kami adalah di pernikahan kak Al, Hawwaiz memberikan bahunya untukku menangis. Setelah itu kami hanya berkomunikasi melalui sambungan video call atau aku melihat daily vlog yang diunggahnya di youtube.
"I miss you so much, Dek."
"I miss you much too, how are you, Mbak? Feel better? I hope mas Aftab give everything that you need, I believe that he did as his promised to us, protecting you."
"Mengapa kamu nggak cerita kepada mbak, mengapa kamu harus merasakan apa yang pernah mbak Ayya rasakan, dan mengapa kamu menyimpannya sendiri? Kalau hari ini mas Aftab tidak cerita, mbak nggak pernah tahu Dek, mengapa?"
"Hei lihat aku," Hawwaiz melepaskan pelukannya untukku. "Apa mbak Ayya melihatku seperti orang susah? Aku baik-baik saja Mbak. Jangan khawatirkan itu, perihal jodoh bukankah sudah ditulis Allah. Seperti mbak Ayya dan mas Aftab misalnya."
"Tapi Dek__" belum sampai aku melanjutkan kalimatku, Afzam sudah mulai menangis, disambung dengan suara Ash dan Aeyz yang mulai bangun dari tidur mereka. "Mas Aftab kemana?"
"Mandi, kalian ini ya. Sempat-sempatnya, untung aku nggak datang pas kalian sedang kuliner ke luar angkasa. Yang mau mas Aftab atau yang ganas kamu, Mbak Ayya?" Hawwaiz berkata sambil terbahak melempar guling mini milik Afzam padaku.
"Mulut tuh dijaga, keponakanmu sudah mulai besar. Jangan sampai mereka paham di usia dini, bisa cepat tua mbakmu nanti ngejagain mereka kalau sampai bertingkah di luar kendali." Rasanya bukan kalimat yang menyakiti hati, aku berkata wajar kekhawatiran orang tua atas anaknya. Namun, kalimat sederhana itu seolah membungkam Hawwaiz hingga dia memilih untuk keluar kamar dengan tangan hampa. Padahal dua ponakannya meminta untuk diraih segera.
"Hi Sprouts, be patient ya. Uncle Haaz datang dari England loh, kok mau nangis semuanya. Come, momma beri susu kalian semua. Kalau sudah seperti ini aku tidak mungkin memberinya asi ekslusif dari pabriknya. Lebih cepat aku menyumpal mulut mereka dengan asi yang telah aku pompa sebelumnya dan kuletakkan di botol. Saat aku repot dengan botol dan susu, mas Aftab masuk lalu membantuku.
"Maaf ya mas tidak bilang kalau mas undang Hawwaiz kemari. Jadi selama kita jalan-jalan Sprouts akan aman dengan nanny Hawwaiz." Kata mas Aftab saat Sprouts telah mendapatkan makanannya.
"Jadi yang Mas Aftab bilang two nanny free itu Hawwaiz?" Suamiku mengangguk. "Lalu satunya? Jangan bilang__"
"Mungkin ini keliru, tapi aku tidak ingin Hawwaiz dan Vira berseteru dalam perang dingin yang tidak pernah berakhir. Aku ingin menjadi mediator, setidaknya meski mereka sepakat untuk tidak lagi berhubungan jangan pernah ada ganjalan di hati."
"Mas, kalau sampai daddy atau pipi tahu bisa habis kita."
"Vira tahu akan hal ini, aku telah memberitahukannya bahkan dia yang meminta. Tapi adikmu belum tahu kalau aku juga mengundang Vira untuk menjaga Sprouts."
"Subhanallah, Mas. Keputusan besar begini mengapa tidak dimusyawarahkan dulu. Kita dulu pernah salah loh, dan sekarang dengan memfasilitasi mereka?"
"Jangan berburuk sangka dulu."
"Kita berdua pergi, mereka berduaan di flat ini, walaupun ada Sprouts tapi kan__"
"Percayakan pada suamimu ini, tahu kok batasan seperti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Yang jelas aku ingin mengajakmu melihat Australia dari jarak dekat. Bukan hanya sekitar Joondalup, kita akan ke Sydney dan Melbourne, kata orang kota paling romantis di Aussie."
Aku pasrah, menentangnya bukanlah tipeku. Entah apa yang kini sedang direncanakan oleh suami tercintaku. Ternyata, membesarkan tiga buah hatiku membuat waktuku banyak tersita untuk memperhatikan mereka. Bahkan aku sampai tidak tahu adikku sedang berusaha mengobati luka hatinya.
"Maaf kalau mbak salah ucap, Dek."
"Eh, Mbak Ayya. Sudah nggak perlu dipikirin. Aku hanya capek. Perjalanan dengan dua kali transit yang subhanallah. Sampai di Joondalup disuguhi pemandangan kalian habis wisata kuliner. Gimana nggak tambah capek tuh?" Aku melihat Hawwaiz tersenyum rekah meski menutup sesuatu dengan samar.
"Istirahat gih sana, pengen makan apa aku masakin?"
"Emang bisa?"
"Sembarangan, bisa sih walau tidak sehebat bunda dan mimi."
"Ok, aku tidur tapi awas ya kalau kalian kuliner lagi dan sampe kedengaran di telingaku desahannya."
"Balita nggak boleh dulu itu, kelasmu itu sama seperti Sprouts." Aku menepuk pundaknya perlahan dan mendorong adik yang tingginya sudah melebihi tinggiku.
Ada banyak cerita yang belum kami keluarkan. Dua tahun, tentunya banyak sekali perubahan, Hawwaiz yang tentunya akan segera mendapatkan gelar dokternya. Aku tahu dia laki-laki yang tangguh, mandiri dan tidak ingin merepotkan keluarga. Tapi sungguh, dalam kacamataku dia masih adik kecil yang sering aku bonceng naik sepeda ke sana kemari saat aku bermain dengan teman sebayaku di kompleks perumahan kami.
'Kamu hutang penjelasan kepada mbakmu, Dek.'
✔✔
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 28 Desember 2021
*sorry for typo
Kalau nggak ngebintang bakalan lama updatenya 🤭🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top