IV
Written © Moonlight-1222
Story © Moonlight-1222
Cover © Phoenixlu
***Flashback tidak dijelaskan, diharapkan pelan-pelan membaca agar tidak kebingungan.
......................................................................................................................................................
Spring’s Tears
.
..
...
Langit, dengarkanlah permintaan ini. Di kehidupan ini aku menyerah atas kebahagiaan yang tidak mampu kujaga bersamanya. Apapun yang kulakukan, kebencian itu tetap menutup hatinya. Jadi biarkan kami bertemu di kehidupan selanjutnya untuk meneruskan kebahagiaan yang tertunda ini.
...
Saat tersadar, Chun Hua menemukan dirinya tengah terbaring di ranjang kayu bertirai sutera merah. Berusaha bangkit, ia melenguh saat terasa nyeri pada tengkuknya lalu menyandarkan punggung sambil menggosok jejak memar disana. Birunya menyadari tengah berada dimana dirinya saat ini. Menyibak selimut, ia melangkah turun dan meninggalkan tempat tidur. Sepasang tinjunya mengepal. Pria jahat itu membawanya ke tempat ini.
“Kau sudah bangun?”
Chun Hua terlonjak saat seseorang keluar dari balik kegelapan, penuh kebencian birunya mengawasi orang itu yang bersandar pada salah satu tiang kayu—menatapnya dengan tangan terlipat di dada.
“Kenapa kau membawaku ke tempat ini?” Chun Hua mengambil jarak saat pria itu menegakkan punggungnya, merasa terancam, teringat bagaimana pria itu memukul tengkuknya untuk membuatnya tak sadarkan diri.
“Kau diasingkan kemari, dan aku turut menemanimu.”
Mencemooh, gadis itu bertolak pinggang. “Tidak akan ada yang berubah meski dirimu menyertai pengasingkanku. Aku tidak akan luluh, kecuali bila melihatmu membunuh dirimu sendiri, mungkin aku akan memaafkanmu.”
Dingin sekali, rasa cinta gadis itu benar-benar sirna. Amarah dan dendam membakar hatinya, menyingkirkan kehangatan yang pernah ada. Pria itu, Jun Jie, terdiam di pijakannya. Putus asa menyambangi wajah tampannya. Sepasang mutiaranya menatap sendu Chun Hua, pada cintanya, berharap gadis itu mengerti bahwa ia sangat menyesal.
Chun Hua mendengus sebelum melontarkan sarkasme, “Kau takut dengan kematian, aku mengerti, tapi aku tidak takut dengan kematian, jadi hentikan semua ini dan biarkan aku menerima hukumanku. Bukankah aku adalah penjahat yang baik yang dengan sukarela menyerahkan dirinya.”
Tinju itu mengepal, Jun Jie tak kuasa menahan amarahnya. Kayu patah menjadi pelampiasannya, lubang besar tampak di dinding. Wajahnya tertunduk dalam, menyembunyikan mata dan wajahnya yang memerah emosi.
Awalnya Chun Hua kaget, tapi dengan cepat ia memperbaiki air mukanya. “Jangan hanya memukul kayu, lampiaskan padaku.”
“Baiklah.” Jun Jie menggeram. “Kita akan mati bersama.”
Saphirenya membola saat melihat Jun Jie menarik pedangnya lalu diacungkannya pada dirinya. Rahang pria itu mengeras, mutiaranya menatap dingin dirinya. Ia berhasil memancing sisi kelam pria itu, tapi kenapa ia malah gemetar ketakutan. Bukankah ini yang ditunggunya, saat dimana pria itu akan terus hidup dihantui oleh rasa bersalahnya setelah membunuhnya. Tapi ujung mata pedang yang dibalik oleh pria itu membuatnya tertegun.
“Lakukanlah,” suara Jun Jie terdengar parau.
Jadi ini yang dimaksud oleh pria itu dengan mati bersama. Setelah Jun Jie mati maka tidak akan ada lagi yang melindungi posisinya di istana, ia akan langsung diseret ke ruang hukuman dengan penambahan hukuman, tentunya, mengingat ia telah membunuh putra tiri sang kaisar. Hukuman yang lebih sadis dari belah delapan akan menjadi ganjarannya. Licik, Jun Jie memang licik.
“Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan darah menjijikanmu.”
“Tapi di dalam dirimu terdapat daging yang setengahnya berasal dari darah menjijikan ini.”
Chun Hua memerah, wajahnya pias. Ditariknya gagang pedang Jun Jie dan ditusukannya tepat di perut pria itu. Darah mengalir dari sela bibir pria itu, tapi tak sedikitpun ekspresi kesakitan mendiami wajahnya, hanya ada senyum hangat yang selalu pria dingin itu perlihatkan—hanya padanya. Chun Hua tercekat, terlambat menyadari pada kegilaan yang baru saja ia lakukan. Jemarinya gemetaran saat terlepas dari gagang pedang Jun Jie.
Birunya membola. “Hentikan.” Chun Hua menahan gagang pedang saat Jun Jie menarik pedang itu agar semakin dalam menusuknya. Ia mulai terisak, bertahan semampunya untuk mengimbangi kekuatan Jun Jie. “Tidak! Hentikan!” Ia histeris.
Jun Jie mengakhiri usahanya untuk membunuh dirinya, masih dengan gagang pedang yang ditarik oleh Chun Hua, jemarinya mendekat untuk membelai pipi Chun Hua, gadis itu terisak dengan wajah tertunduk. “Apa ini artinya kau masih mencintaiku?”
Chun Hua tak menjawab, ia hanya terus menangis, cengkramannya di gagang pedang kian mengencang sampai buku-buku jemarinya memutih. “...Aku melakukan ini karena aku tidak ingin memberatkan hukumanku.”
Pengakuan penuh isak itu membuat Jun Jie tersenyum pahit. “Baiklah,” ia bergumam sebelum dalam satu sentakan pedang itu tertarik dan menembus punggungnya, menyusul tubuh mungil Chun Hua yang menabrak dadanya, posisi itu digunakannya sebagai kali terakhir untuknya dapat memeluk gadis itu.
Dalam keterkejutan Chun Hua terlambat menyadari hal yang telah terjadi. Air matanya menderas saat kepala Jun Jie terkulai lemah di bahunya dengan merah yang membasahi bahu serta leher dan pipinya, lalu anyir yang mendiami dadanya serta jeritannya yang menggema di seantero paviliun peony menjadi saksi saat pelukan pria itu terlepas sebelum tubuhnya merosot jatuh.
***
Pedang itu terayun menebas angin, tubuh kekarnya yang bertelanjang dada basah oleh keringat. Chun Hua memperhatikan pria itu, gerakannya beberapa kali meliuk, melompat dan berputar. Setiap pagi, kala bulan menutup diri dia akan pergi ke tepi kolam peony untuk berlatih teknik bela diri serta ilmu pedangnya dengan diiringi semilir angin pagi dan aroma embun yang segar.
Chun Hua sangat mengagumi pria itu, dia gagah dan tampan, dan terlepas dari fisiknya yang sempurna, pria itu merupakan penolongnya, malaikat penjaganya, dan... suaminya. Ia bersyukur pria itu yang menemukan tubuh lemahnya saat terlantar di pinggir sungai, kebaikan hati pria itu telah membuat keinginannya untuk terus hidup menguat. Pria itu mengajarkan padanya bahwa masa lalu kelam bukanlah pembuka pintu untuk masa depan yang suram.
Dengan kebaikan hati serta cintanya yang tulus, dia memeluk semua ketakutan dan kesedihannya. Dia mengulurkan tangan padanya, melindunginya dan memberikan kasih sayang pada jiwanya yang berselimut duka. Pria itu merupakan matahari yang membagi sinarnya untuk dirinya, untuk musim semi yang hampir berguguran dan untuk musim semi yang hampir membeku. Pria itu membuat musim semi dalam dirinya terus berbunga dan menebarkan aroma kebahagiaan.
Senyum itu terkembang di wajahnya saat pria itu melambai padanya, ia keluar dari paviliun dengan membawa kain lap dan secangkir teh. Hatinya dipenuhi kebahagiaan yang meluap, rasanya sudah tak tertampung lagi, dan rasa syukur itu tak henti-hentinya ia panjatkan pada Langit atas karunia yang diterimanya setelah kepahitan yang memukul dirinya.
“Minumlah.” Chun Hua mengangsurkan cangkir teh itu yang langsung disambut pria itu dengan sukacita. Lembut ia mengelap tetes-tetes peluh di sekujur kulit pria itu. Hatinya berbisik pada Langit, Dewa, tolong lindungi pria ini, tolong jaga dia dari keburukan yang tercipta di dunia ini, dan bahagiakan kami dalam cinta yang menenangkan ini.
Terima kasih, aku mencintaimu, Jun Jie, bisiknya pada embun pagi saat pria itu berbalik untuk mengambil sarung pedangnya yang bersandar di rerumputan sebelum menggenggam jemarinya ketika mereka kembali ke dalam bangunan paviliun peony.
Terima kasih untuk kebahagiaan ini, Jun Jie.
.
.
.
To Be Continued
.......
Halo semua pembaca HAI. Terima kasih atas dukungannya di chapter kemarin, ini chapter terbaru dan sepertinya... ah entahlah gelap rasanya hahaha. Semoga semakin suka ya. Baiklah, selamat membaca, ya. Kritik dan sarannya silahkan serta jangan lupa vote dan komennya tentang cerita ini. Makasih :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top