II

Written © Moonlight-1222

Story © Moonlight-1222

Cover © Phoenixlu

......................................................................................................................................................

Spring's Tears

.

..

...

Hangatnya cinta itu seharusnya masih berdetak di dalam dada, tapi kebencian dan dusta perlahan telah mematikannya.

*

Si permata biru itu menyerah, mendesah frustasi ia menghentikan kegiatan menyulamnya--yang sangat membosankan. Ia melemparkan pandang pada kolam ikan yang berada di hadapannya. Memejamkan mata, ia memijat pangkal hidungnya. Pikirannya bercabang, ia tak bisa konsentrasi dalam hal apapun. Tidak untuk menyulam, tidak untuk jalan-jalan, dan tidak juga untuk istirahat; bahkan untuk makan dan minum saja ia enggan.

Perlahan jemarinya terangkat untuk menyentuh sesuatu yang menghiasi telinganya, sepasang anting giok biru berukiran kuda yang sewarna matanya. Sentuhan itu mengeras, mengepal dan menjerat: berniat untuk memutuskan ikatan yang menambah muak hatinya. Kemudian melemah dan terlepas, jemarinya menjauh dan bersandar pada meja, menekan erat disana sampai buku-buku jemarinya memucat dan ingatan itu mulai bermain di pelupuk matanya.

Gong yang berdentang sebanyak enam kali membuatnya terjaga, mengerjap, matanya mencoba beradaptasi. Ia merasakan hangat yang menyentuh leher belakangnya telah berpaling pada lekuk leher depannya. Mendesah sebal, ia melirik pada helai hitam yang menyembunyikan wajahnya dengan nyaman disana sembari memeluknya posesif. Cara jitu dari pria menyebalkan itu untuk membuat dirinya tak dapat berpaling di pagi hari sebelum dia membuka mata.

Ia menunggu dalam muak, menunggu mata terpejam itu membuka dan memperlihatkan sepasang mutiaranya. Oh, mata itu, ia menggigit bibir bawahnya. Ia benci pada tatapan mata itu, ia benci pada tatapan memuja penuh cinta itu. Ia benci, sangat membencinya. Tatapan itu, tatapan itu seolah tak merasa bersalah sama sekali, dan itu merupakan tatapan terkejam yang selalu pria itu berikan. Tatapan paling egois yang pernah ada. Hati kecilnya menjerit, ia akan merasa sangat lega bila berhasil menarik keluar mutiara memuakkan itu.

Satu gumaman kecil menyadarkannya, pria itu sebentar lagi akan terjaga. Senyum berpuranya menghiasi wajahnya saat kepala pria itu bergerak naik, mutiara hitam itu menatapnya sayu. "Pagi," ia menyapa lembut sebelum melarikan jemarinya pada helai hitam panjang pria itu.

Tebakannya bahwa pria itu akan langsung bangun dan melepaskan dirinya ternyata meleset. Siapa sangka bahwa mata sayu itu masih terlalu berat untuk membuka diri, terpejam lagi dan tidur tanpa rasa bersalah. Belaiannya mengambang, mengeras, dan berniat berubah menjadi jambakan saat pria itu bergumam agar ia meneruskan kegiatannya. Terpaksa, dengan hati dongkol ia kembali melarikan jari di sela-sela rambut pria itu.

Pria ini bukanlah seorang yang manja, pria ini bahkan dijuluki si hati beku kepala batu. Tapi entah kenapa saat bersama dirinya dia menjelma menjadi bayi besar yang selalu merepotkan. Huh, anggaplah semua perubahan pria ini dibawa oleh perasaan yang disebut cinta dan kenyamanan. Ia mencibir. Perubahan itu baik untuk diri pria itu, tapi tidak untuk dirinya setelah tipu muslihat pria itu terbongkar. Lidah pria itu mengandung bisa, bisa yang lebih mematikan dari ular. Pria penipu!

Dunianya buyar saat kecupan kecil mendiami dahinya, ia menatap bibir dan dagu pria itu yang perlahan menjauh. Tubuhnya lolos dari jerat lengan pria itu saat dia bangun dan duduk di pinggiran tempat tidur. Ia menatap punggung pria itu dengan wajah heran, tanpa kata pria itu turun dari pembaringan dan menuju meja rias. Dia meraih sebuah kotak persegi panjang dengan ukiran peony lalu membawa kepadanya yang sudah dalam posisi duduk--menunggu.

"Kuharap kau menyukainya." Dia mengangsurkan kotak perhiasan kecil tersebut.

Perasaan tak suka menggelayutinya saat kotak tersebut berpindah di tangannya. Satu lagi perhiasan atas nama cinta dari pria itu yang akan menghiasi--membelenggu--dirinya. Kotak itu membuka diri, memamerkan sepasang anting giok biru berukiran kuda yang... sangat indah. Ia terpaku dalam rasa takjub dan amarah.

"Bagaimana?" Pria itu mengambil anting-anting tersebut dan menautkannya pada sepasang telinganya. "Anting-anting ini tahu bagaimana cara mencerminkan kecantikan pemiliknya. Warnanya sangat serasi dengan permata matamu."

Senyum itu lagi, senyum tanpa dosa yang dia layangkan padanya. "Ini sangat cantik. Terima kasih." Hanya kata-kata kepalsuan yang akhirnya lidahnya rangkai. Selalu seperti itu, yah memang selalu seperti itu. Hanya kebohongan, tak ada ketulusan seperti dulu. Seandainya ia tahu siapa pria itu dulu, ia pastikan tidak akan ada kisah untuk mereka berdua, apalagi sampai membuahkan rasa cinta. Tidak untuk nyata, dan dalam mimpi sekalipun.

"Aku senang kau menyukainya." Senyum hangat itu lagi, ah, dadanya sesak. Berhenti bersikap manis padanya.

Kasim Yu yang baru saja sampai di taman terdiam kaget saat gebrakan meja menyambangi telinganya. Ia terpaku di tempatnya, gelisah mendiaminya saat melihat sang majikan dalam suasana hati yang tak baik--ah, memangnya pernah suasana hati gadis itu cerah sejak kepindahannya dari paviliun peony? Selain keberpuraannya, selebihnya hanya pahatan wajah beku. Seandainya saja berita yang ia bawa bukanlah sesuatu yang penting, mana berani ia mendekati gadis itu. Ini sama saja dengan melemparkan diri ke dalam bara api.

***

Jemarinya meremas erat selendang sutera yang melingkari bahunya, amarah merasuk semakin dalam ke raganya. Kurang ajar. Apa-apaan itu? Hatinya memaki. Tidak! Aku pastikan rencana busukmu itu akan gagal! Sampai mati aku tidak akan sudi meninggalkan istana ini! Kobar kemarahan membenamkan kecerahan permata birunya, hilang sudah kelembutan yang selalu terpancar indah disana.

Hatinya berhenti marah-marah saat seseorang yang tengah ditunggu kehadirannya sudah mendudukkan diri di hadapannya. Ia tersenyum hangat pada pria itu, berusaha menyembunyikan emosinya--meski dirinya sudah berada di pinggir jurang, tak ada salahnya ia mencoba bermanis lidah dan rupa pada pria itu. Bukankah dia mencintai dirinya? Ia pasti akan segera luluh. Tapi lihatlah, betapa dinginnya tatapan mata pria itu. Ini buruk.

"Setelah Kasim Yu menemuimu siang tadi, algojo langsung menyeretnya ke ruang hukuman."

Napasnya membeku, birunya membola tak percaya. Ingatan akan hukuman keji 'belah menjadi delapan bagian' merambat ke tengkuknya yang mulai mendingin.

"Melaui kasim kepercayaanmu itu, kau pasti sudah mengetahui bahwa aku sudah mengetahui rencanamu. Bukan hanya aku saja, bahkan seluruh penghuni istana, termasuk ayahanda kaisar."

Lututnya serasa lemas, kursi yang memangku tubuhnya seakan terasa patah. Ia tak pernah menduga bahwa sampai kaisar pun telah mengetahui rencananya. Dan mendengar nada datar pria itu saat berkata, telah meyakinkan dirinya bahwa saat ini pria itu tidak akan termakan lidah manisnya lagi. Tinjunya mengepal. Jadi lebih baik mengakhiri semua ini dengan berani, setidaknya ia tidak akan mati dalam penyesalan karena terintimidasi.

"Jadi kau datang kemari untuk menggantikan para algojo itu menyeretku, begitukah?" Sirna sudah suara lembutnya. Ia berdiri. "Manis sekali," sinisnya datar. "Baiklah, malam ini juga aku siap menerima hukumanku." Ia berbalik, hendak pergi, tapi langkahnya terhenti oleh kata-kata parau pria itu.

"Kenapa? Aku pikir kau bahagia hidup bersamaku. Ku pi--"

"Hentikan omong kosongmu itu!" Tinjunya masih mengepal, kian erat, birunya menatap nyalang saat ia berbalik. "Bagaimana bisa pikiranmu seegois itu! Aku? bahagia? Bahagia hidup bersama pria yang telah menghancurkan keluargaku? Membunuh kedua orang tuaku? Jangan bercanda!" Ia menggebrak meja. "Kebencian yang tertanam di dalam hatiku ini sudah terlampau dalam, tidak akan bisa dikikis begitu saja--oleh cinta busukmu. Membayangkan kau menipuku dan menjebakku agar jatuh cinta pada..." Suaranya tercekat saat air matanya memaksa untuk keluar. Susah payah ia berkata, ia tidak akan memperlihatkan kelemahannya pada pria itu. "Aku sangat membenci diriku yang telah menggantungkan hidup pada pembunuh kedua orang tuaku. Aku sangat benci!"

Pria itu terdiam, mutiara dinginnya meredup, perasaan bersalah melingkupinya. Ia tidak bisa mencegah kebencian gadis itu, karena keberadaan rasa benci itu wajar berada di dalam dirinya. Tapi--

"Aku juga benci pada kehidupan yang sudah tak berguna lagi untukku ini!"

Ia melompat kaget saat melihat gadis itu melayangkan tinjunya pada perutnya. Sigap ia menangkap kedua pergelangan tangan gadis itu, menahan dan mencengkramnya erat. "Apa yang kau lakukan!" Amarahnya meledak. "Kau boleh memukulku tapi tidak bayi ini!"

Saphire itu sudah tenggelam dalam api. "Kenapa tidak untuk bayi ini? Aku tidak menginginkan bayi ini! Sebentar lagi aku akan mati, jadi tidak ada gunanya lagi aku mempertahankan bayi tak berguna ini. Bayi ini membuatku muak! Sama muaknya aku dengan dirimu!"

Rahang pria itu mengeras, cengkramannya mengencang, dan dalam satu gerakan cepat ia telah melayangkan satu pukulan pada tengkuk gadis itu yang terus saja berontak sekuat tenaga. Perlawanan itu melemah bersama kesadarannya yang meredup dan menghilang, dia jatuh terkulai dalam dekapannya. Tatapan amarah itu melemah dan menyendu. "Maafkan aku, Chun Hua. Aku tahu kau tersiksa, tapi aku takkan sanggup bila harus kehilanganmu. Apapun yang terjadi, aku akan mempertahankanmu dan melindungimu."

.

.

.

To Be Continued

.......

Halo semua pembaca HAI. Terima kasih atas dukungannya di chapter kedua. Ini chapter tiganya. Maafkan karena ini mungkin pendek dan rada aneh ya, hahaha (galau T_T). Baiklah, selamat membaca, ya. Kritik dan sarannya silahkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top