SUARA DARI RENJANA

Aroma terapi menyeruak pada lembab embun pagi itu, aromanya mengudara seiring dengan sapuan lembut angin pegunungan. Langit kelabu menyapaku, bau basah bercampur kembali dengan minyak kayu putih yang sedang ku pakai sekarang, ada sensasi hangat merembes masuk dalam kulitku yang terus mendingin, akibat hujan deras sejak subuh tadi menerpa wilayah kami. Aku melangkah terus keluar dari desa, rumah-rumah tampak berjejer rapi di samping aspal hitam yang masih harum itu, jalan baru saja terbentuk setelah berpuluh tahun masyarakat tinggal di sini. Aku hanya bisa tersenyum kecil, ada sesal di balik hal itu tapi ada juga rasa syukur akhirnya wacana pembangunan telah terlihat di desa dari pintu pohon sawit ini.

Pagi itu aku menempuh jarak yang cukup jauh untuk menuju terminal bus, orang-orang tampak sepi karena sibuk bergumul pada selimutnya. Siapa yang mau pergi keluar di hari hujan dan melawan terpaan angin dingin seperti ini? Jawabannya adalah aku. Hari ini aku menguatkan hati untuk menyambut pagi, karena audisi yang harus ku ikuti. Tanganku mengayun ke kiri dan ke kanan, mengiringi musik yang ku lantunkan lewat pita suara. Aku menunggu hari ini dengan hati yang selau bergetar, takut dan bersemangat.

Kaki ku sudah berada di terminal, orang-orang tampak lebih ramai dari sebelumnya, suasana naik-turun para penumpang menyambutku. Ku langkahkan kaki menuju loket, membelinya dengan harga yang lumayan lebih tinggi dari biasanya, aku melongo.

"Bensin naik, Mbak."

Wajah datar pria paruh baya itu menghenyakkan hatiku, beliau mungkin juga merasa kesal karena beberapa keputusan yang diambil pemerintah. Namun, aku tidak mampu protes, karena pasti ada alasan penting di balik hal itu.

Sebuah mini-bus berhenti tepat di depanku, di sana tertulis nama wilayah yang harus ku tuju. Selama perjalanan, ku rasakan kembali lembabnya suasana desa. Hijau bercampur cokelat pepohonan sawit, menjadi pemandangan yang sangat biasa di sini, sulit untuk menemukan warna lain. Aspal yang harumnya menyeruak tadi pun sudah berlalu, jalanan merah dan bergelombang menghampiri kami, tubuhku yang duduk di paling belakang beberapa kali harus merasakan benturan, kadang itu di bahu, punggung bahkan kepala. Beginilah jalan yang harus kami lalui untuk menuju kota.

Matahari terik menembus kulit, namun embunnya tak berhenti untuk turun. Meresapi baunya, aku yakin ini bukanlah embun sembarangan, tapi asap, yang entah kapan mulai merasuki Kabupaten kami, lagi. Ya.... Lagi, bencana asap atau kebakaran hutan adalah hal yang biasa terjadi di tempat kami, kemarau panjang yang biasa terjadi di Indonesia kadang sering berdampak pada hangusnya hamparan hijau di sini. Miris? Memang. Tak ada yang tahu pasti bagaimana api bisa menyebar dengan luas, jelasnya disetiap pemberitaan banyak orang menyalahkan petani, yang katanya membiarkan bekas bakaran sisa hasil panen mereka.

Namun, asap tak pernah menjadi penghalang. Kabut atau apa pun itu namanya tak akan menyurutkan langkahku memasuki gedung full-AC di depanku, pintunya bening dan memintaku untuk mendorongnya. Aku masuk dengan perasaan kalut, banyak orang mondar-mandir tanpa perduli akan kekhawatiranku. Sebuah tangga akhirnya menjadi tujuanku selanjutnya, menghantarku pada ruangan yang pintunya sudah ramai dikerumbungi para pemuda dan pemudi sepertiku. Pakaian mereka tampak rapi, setelah hitam dan putih menjadi andalan, untunglah karena itu tak membuatku tampak kumuh di antara yang bergaya.

Nomor urut dibagikan setelah peserta menyerahkan berkas, biodata dan hal pribadi lainnya, tak lupa pula selembar kertas merah bergambar dua tokoh terkenal Indonesia. Setelahnya, ku istirahatkan kakiku pada kursi besi di ujung koridor, yang tampak sepi. Semua orang tampak berbincang, mereka mungkin sudah mengenal satu sama lain dari cara mereka tertawa dan menyapa. Aku tahu mengikuti audisi seperti ini, bagiku untuk mendapatkan tempat bukanlah hal yang mudah, karena begitu banyak orang yang pernah berhasil, kembali mengikuti audisi yang sama.

Aku tenggelam pada kenangan seminggu yang lalu, saat Kakek Hadran menyapaku untuk bertandang ke berandanya yang tampak lusuh, diatapi dengan anyaman dau kelapa yang sudah mengering. Tubuhnya sudah layu dimakan usia yang hampir satu abad, beliau adalah sosok yang dihormati di desa kami. Meski telinganya tak terlalu berfungsi dengan baik, tapi matanya masih dengan mudah mengenali orang-orang di sekitarnya, maka tak ada satu orang pun yang tak percaya bahwa beliau adalah mantan penembak jitu. Seorang veteran yang telah menyelamatkan Indonesia dari tangan penjajah, tapi sudah terlupakan seiring berkembangnya zaman.

"Kenapa, Kek?" Aku bersuara cukup keras dan tanganku berusaha member isyarat sesuai dengan apa yang ku ucapkan.

"Munduk, hetuh. Cu!" Tawanya merekah, menampilkan gusinya yang merah muda, menggantikan gigi putihnya selama ini.

Aku balik tersenyum, mendatanginya yang sedang duduk manis dengan radionya yang bersuara nyaring. Aku merendahkan volume agar aku bisa leluasa berbicara dengannya.

"Kenapa dimatikan, Jan?"

Aku menahan tawa, lalu menggeleng, menandakan radio itu masih menyala, hanya saja dengan suara yang lebih pelan.

"Biasanya orang akan memutarkan lagu wajib dan nasional di jam segini, membuat Kakek rindu pada teman-teman seperjuangan. Kenang baik-baik para pahlawan karena jasa mereka Indonesia menjadi seperti sekarang, jika kamu pergi jauh jangan lupa untuk selalu menjemput rindu pada Negara-mu dengan lagu-lagunya yang syahdu" Beliau berujar pelan.

Aku tahu kebiasaan beliau satu ini, mungkin satu kampung sangat tahu akan hal ini, karena selepas ashar beliau pasti akan menaikkan volume radio agar bisa mendengar lagu-lagu kebangsaan. Begitulah beliau melestarikan rasa nasionalisme di kampung kami, kadang Kakek Hadran mengajakku untuk menyanyikannya bersama-sama, padahal yang ku tahu beliau tidak mendengar dengan baik, tapi saat tahu itu lagu kebangsaan beliau akan sangat fasih mengumandangkannya, tanpa meleset satu nada pun. Hingga aku terbiasa berlatih bersama beliau dan pada perayaan Hari Kemerdekaan, aku akan menjadi pemimpin dalam menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, beliau selalu tersenyum dan memuji suaraku, walau ku tahu beliau mungkin keliru.

"Nomor 23...Nomor 23. Atas nama Renjana Putri! Silahkan masuk ke ruang audisi!"

Panggilan itu menggema di seantero koridor, membangunkan aku pada lamunan hari-hari saat aku berlatih untuk audisi paduan suara hari ini. Aku melakukannya atas permintaan kakek dan juga masyarakat di desa, mereka ingin melihatku di televisi, katanya. Kelompok paduan suara yang membuatku audisi hari ini adalah kelompok yang akan menyanyikan lagu wajib dan nasional di Istana Merdeka, Jakarta. Aku akan melewati tahap pertama kali ini, untuk menentukan kelompok paduan suara tingkat Kabupaten, jika aku lolos maka aku akan mengikuti tahap selanjutnya di ruangan sebelah.

Aku melangkah dengan perasaan penuh cemas, gugup pastinya menjadi hambatanku sekarang, tapi aku berusaha menghapusnya, ketika kakiku sudah berada di ambang pintu. Tiga orang juri menyambutku dengan senyuman, entah apa arti senyuman mereka. Untuk tahap ini aku diminta menyanyikan lagu daerah, Isen Mulang sebagai lagu wajib dan aku memilih Ampar-ampar Pisang sebagai lagu pilihan, tanpa menunggu lama setelah keyboard berhenti berbunyi, semua juri bertepuk tangan dan meloloskan aku pada tahap selanjutnya, artinya aku memiliki kemungkinan untuk pergi ke tingkat Provinsi Kalimantan Tengah.

Ruangan selanjutnya memintaku untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta, dua lagu wajib yang biasanya akan dinyanyikan di upacara bendera. Aku menyanyikan keduanya dengan rasa yang berbeda, pertama penuh semangat dan kedua penuh khidmat. Aku begitu mencintai dua lagu ini, karena keduanya adalah lagu yang paling sering aku nyanyikan saat di sekolah. Selain itu, lagu kebangsaan Indonesia Raya ini, memiliki tempat tersendiri di hatiku, lagu yang benar-benar membangkitkan jiwaku, setiap kali aku mendengarnya air mataku mengalir tanpa terasa, apalagi saat aku mendengar lagu ini di perayaan-perayaan besar di Indonesia, begitu takjub, membayangkan perjuangan pahlawan sampai menjadi negara besar seperti sekarang.

Audisi pun diistirahatkan sejenak, sesaat setelah kami semua mendengar lantunan adzan di balik kaca jendela yang besar itu, semua orang bergegas untuk melaksanakan kewajibannya kepada sang Pencipta, yang lain pun mulai berlalu lalang mencari barang sesuap nasi, untuk pengganjal perut di siang hari yang terik di kota Sampit ini. Aku sendiri saat ini tak bisa ikut melaksanakan kewajiban karena berhalangan, hingga ku putuskan untuk membuka bekal dari ibu di depan sebuah televisi tipis. Aku menonton dengan seksama, sebuah siaran yang menayangkan sinetron Indonesia yang penuh dengan intrik dan drama, kadang aku hanya bisa geleng-geleng kepala saat membaca judul sinetron yang ditayangkan itu.

"Pengumuman sudah ditempelkan!" Suara itu kembali mengisi pendengaranku, bergegas ku bungkus kembali nasi putih dan ikan gabus kesayanganku itu ke dalam kantong plastik.

Aku melangkah dengan perasaan campur aduk, sekali lagi. Jika aku berhasil lolos pada tahap ini, maka aku memiliki kesempatan menuju ibu kota. Langsung saja bayangan dari senyum Kakek Hadran menyambut imajinasiku, begitu pula orang tua dan seluruh masyarakat desaku. Ku hentikan langkah tepat di depan kertas selembar yang nampak rapi, deretan nama dan juga nomor peserta tersusun berurutan. Hingga ku dapati air mataku mengalir tanpa permisi, telunjukku yang sibuk menunjuk nama-nama kini bergetar hebat, aku hampir saja berteriak dengan kuat, kalau saja tanganku tak dengan spontan menutupnya.

"Aku...LOLOS!" Sorakkanku membahana dalam hati, aku berjalan mundur menghindari segerombol manusia yang sudah selesai dengan urusan mereka. Aku tak perduli lagi, langsung saja aku mencari telepon umum di gedung itu. Setelah ku dapati, jemariku dengan tak sabar memijit-mijit tombol angka agar segera tersambung ke rumah.

Dering telepon masih setia menemaniku, aku yang masih dengan perasaan campur aduk, juga masih setia menunggu jawaban dari seberang sana. Lalu sembari menunggu, mataku berpendar, telingaku menangkap suara pembawa berita terkini, seketika aku menoleh saat wanita dengan kemeja merah muda itu menyebut 'Sampit' dalam beritanya. Sekejap kemudian ganggang telepon itu tak lagi berada di antara tangan dan pipiku, melainkan jatuh terkulai dengan tali karetnya yang naik turun.

"Kebakaran hutan yang terjadi di perkebunan sawit, memakan korban. Seorang kakek berinisial H ditemukan tewas di rumahnya akibat kebakaran yang merembes ke tengah desa, masyarakat sudah diimbau untuk mengungsi ke desa sebelah, tetapi nahas sang kakek tertinggal saat dilakukannya evakuasi oleh petugas, diketahui juga kakek ini hanya tinggal sendiri tanpa keluarga, perkembangan selanjutnya masih dalam pemeriksaan yang bertugas. Berita selanjutnya...."

Tak sanggup lagi aku berdiri, kakiku bahkan seluruh tubuhku bergetar hebat. Air mata kebahagiaan tadi sudah berubah dengan hujan deras penuh luka, aku benar-benar tak mampu meresapi kejadian mengejutkan hari ini. Sekuat tenaga ku angkat tubuhku, beberapa orang nampak memperhatikan, tapi aku tak perduli. Setengah berlari, ku dapati diriku berdiri di depan tangga turun, sesekali aku menengok kembali ke koridor di belakangku, memantapkan hati untuk menentukan pilihan terbaikku.

~oOo~

Bunga kenanga dan melati menguar baunya dari atas gundukan tanah yang sudah kering itu, timbunanya sudah rapi diberi keramik untuk mempercantik, meski batu nisannya sudah mulai memudar. Sebuah bambu runcing dengan bendera negara Merah Putih tertanam di atasnya, menandakan si empunya adalah mantan pejuang. Kakek Hadran sudah nyaman di alam sana, aku pun di sini kembali setelah menajadi anggota paduan suara perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke – 73 di Istana Merdeka. Tepat dua tahun setelah kepergian beliau untuk selama-lamanya.

Hari ini pun, aku kembali mengenang kakek yang mengajariku segala hal, mengajariku bahwa bernyanyi bukan hanya karena aku suka, melainkan karena rasa cinta yang dalam pada Tanah Air, mengajariku bahwa tanpa adanya rasa ingin berubah pada diriku, maka tak akan pernah ada yang bisa merubah Negara-ku, begitulah cara beliau membekaliku, bagaimana cara mencintai Indonesia-ku. Seperti Renjana, sebuah daun rindu, pelukis rasa yang artinya hati yang kuat, begitulah seuluruh manusia yang terlahir di sini, menjaga hatinya agar selalu mampu berjuang di bawah tekanan sedikit pun, itulah orang-orang Indonesia.

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top