SENTUH

[Telah diterbitkan dalam buku antologi tema Misteri "Face Your Fears" oleh Pejuang Antologi : 2019]

~oOo~

Amis, bau zat besi dari cairan merah yang nampak masih segar itu, menguar dan merasuk ke dalam penciuman tiap orang, para siswa nampak bergumul di antara lapisan-lapisan jendela setinggi dada mereka, mencari tahu apa yang sedang terjadi di kelas yang terkenal dengan anak-anak jenius dan orang kaya.

"Ada apa? Apa kamu baik-baik saja?" Gadis berambut ikal itu menegur pemuda yang merenung di pagar belakang sekolah, wajahnya tampak pucat pasi.

"Ah... aku baik-baik saja," Dia nampak ragu-ragu.

Gadis itu mengeluarkan tatapan curiga, dia hendak berujar kembali sebelum bunyi ambulance menutup mulutnya.

"Eh, kenapa lagi ada ambulance pagi-pagi?" Dua orang gadis lain yang berseragam putih abu-abu persis seperti mereka mulai mendekat.

"Gi, kenapa ya ada ambulance? Sepertinya tadi juga berbelok ke arah pintu gerbang sekolah?"

"Saya kurang tahu, belum sampai sekolah soalnya."

Mereka saling tatap, berbicara dalam pikiran mereka masing-masing. Pastinya ambulance itu tidak datang tanpa sebab, kesimpulan mereka hanya satu, kejadian dua hari yang lalu kemungkinan terjadi lagi pagi hari ini.

"Sebaiknya kita bergegas," Gadis paling tinggi di antara mereka itu mengepalai, seketika saja ketiganya mengikuti dengan setengah berlari menuju sekolah.

Sesampainya di sana, keempat orang tadi telah mendapati kasur dorong itu terisi, ada bercak-bercak merah di sepanjang kain putih yang menutupi sosok seseorang. Para siswa kembali tampak membanjiri lapangan sekolah, sebagian dari mereka memegangi ponsel mereka, mencari sudut yang tepat agar bisa mengabadikan kejadian yang mencekam ini.

"Dito, silahkan ke ruangan BP sekarang." Pria setengah baya dengan kumis tebalnya itu menepuk bahu Dito, wajahnya yang mulai normal awalnya kembali memucat.

Ketiga gadis yang bersamanya tadi hanya bisa melihat dari jauh, mereka tidak bisa mengikuti Dito karena mungkin kejadian ini tidak ada hubungannya dengan mereka, tapi dari semua hal itu, yang paling mencurigakan adalah kejadian naas ini.

"Sudah kedua kalinya 'kan? Mengapa hal seperti ini bisa terjadi di sebuah SMA bergengsi? Kalau tahu begini Nanda enggak akan mau di sekolahkan di sini."

Gadis yang paling kecil dari keduanya itu nampak kusut, dia benar-benar tak mengharapkan kejadian ini, tentu saja bukan hanya dia, tapi juga seluruh individu yang ada, apalagi pihak sekolah. Sekolah tampak kehilangan muka akibat kejadian ini, padahal sekolah ini adalah SMA terbaik yang berhasil meluluskan siswa dan siswi yang berprestasi, bahkan hingga mereka telah lulus kuliah dan dalam dunia kerja. Namun, kejadian ini mencorengnya dengan mudah, membuat kepala sekolah harus rela dipanggil lagi oleh Kepala Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan daerah setempat.

"Ngomong-ngomong, siapa yang meninggal menurut kalian?" Anggi si gadis berkaca mata dan paling pendiam di antara mereka, dia mulai penasaran pada TKP (Tempat Kejadian Perkara) kasus ini.

Dua gadis dihadapannya menatap satu sama lain, menggeleng dan menggendikkan bahu.

"Dia Guntur," Suara yang nampak familiar bagi seluruh siswa di sekolah.

"Oh, Kak OSIS!"

"Nan, jangan berlebihan," Ayu menyikut pelan perut Nana yang tampak bahagia melihat pemuda itu.

"Kak Danu sudah lihat TKP-nya?"

"Sudah, kebetulan tadi aku yang menjadi salah satu saksi mata."

"Salah satu? Memangnya ada berapa orang saksi mata?" Anggi kembali melontarkan pertanyaan.

"Dua, aku dan Dito. Aku sudah dimintai keterangan, tapi Dito .... Entah kenapa dia berlari tadi, padahal orang pertama yang menemukannya adalah dia."

"Jangan bilang Dito pembunuhnya!" Suara melengking itu keluar mulus begitu saja dari mulut si gadis mungil itu, langsung saja beberapa siswa yang tadinya juga sibuk membicarakan kejadian itu, menatap ke arah mereka berempat.

"Nana!"

"Maaf, Rin. Kelepasan,"

Arin kembali mendengus dan melipat tangannya di dada, ada perasaan tak suka muncul, apalagi Danu nampak terlihat tidak yakin dengan ucapannya, seolah-olah dia baru saja memberi tuduhan tak beralasan kepada Dito.

"Eh, Danu. Perkataanmu itu tersirat memberikan tuduhan pada Dito, jadi lebih baik jangan katakan hal itu pada orang lain."

"Kau pikir begitu?" Danu tersenyum jengah, "Aku bahkan tidak menuduhnya secara langsung, tapi kalian bisa menyimpulkannya sendiri 'kan?"

"Hey! Ku bilang berhenti menuduh Dito!"

"Aku tidak menuduhnya, aku hanya mengatakan apa yang aku lihat. Mengerti?"

"Biarkan saya memeriksa TKP," Anggi berlalu meninggalkan perdebatan Arin dan Danu, yang mungkin tak akan pernah bisa menemukan titik terangnya.

"Duh, hati-hati." Tanpa sengaja dia menyenggol bahu Danu.

"Maaf, saya..." Anggi terhenyak sesaat, kepalanya terasa tertekan dan tatapan matanya kosong.

"Iya, tak apa. Hmmm... Kenapa tiba-tiba diam? Gi? Anggi?" Danu mengibaskan tangannya dihadapan wajah Anggi dan membangunkannya sesaat kemudian, dengan menghela nafas panjang, ia menatap Danu dengan tajam, lalu berlari menjauh.

Gadis berkaca mata dengan tubuh kurusnya itu bergerak dengan sangat cepat, lututnya bahkan tak terangkat sempurna setiap kali ia melangkah, ia berjalan seakan sedang berlari. Nafasnya pun naik turun sesampainya di TKP, belum ada garis polisi, karena pihak sekolah belum melaporkan hal ini. Pertanyaannya adalah kenapa tidak langsung dilaporkan? Tentu, jawabannya sama, takut media meliput dan menjatuhkan pamor sekolah, menyedihkan.

Anggi menarik roknya yang semata kaki itu sampai ke betis, kakinya berjinjit agar tidak menginjak bekas darah yang sudah tampak mengering dan hitam. Darah itu tidak hanya ada di lantai, tapi juga ada sebagian bercak noda di dinding. Hal itu memang menunjukkan pembunuhan dan hal yang paling mengejutkan adalah tempat ini, ruang kelas ini adalah ruang yang sama dengan TKP penemuan mayat dua hari yang lalu.

"Apa ini semacam pembunuhan berantai? Lalu, apa motifnya? Tak ada yang aneh, tapi..." Gumaman itu terhenti setelah ia melihat sebuah botol di balik pintu, airnya masih tersisa sedikit dan di sana sebuah kertas tertempel.

'Jangan lupa minum, ya. By. Manda' ada secarik kertas berwarna jingga, tapi bentuknya sudah acak-acakan seperti pernah digenggam kua, terlempar di balik pintu.

"Tunggu, Manda? Bukankah dia adalah korban dua hari yang lalu? Oh, Tuhan!!!"

"Nana!" Kembali Arin membentak Nana, setelah mendengar lengkingan tak beraturan itu.

Anggi tampak terkejut, badannya bergetar. Dia terkejut bukan karena teriakan Nana yang tiba-tiba muncul bersama Arin tanpa suara. Bukan, bukan tanpa suara, hanya saja Anggi tidak menyadari kedatangan mereka, karena dia merasakan hal yang lain. Gadis berkaca mata itu berdiri kaku, matanya menatap kosong pada langit-langit, kemudian terjatuh dengan dua lututnya lebih dulu menyentuh lantai. Sekarang, dia tidak perduli lagi pada nodar darah yang merembes pada rok abu-abunya.

"Anggi, kenapa? Ada apa?" Nana bergegas memegangi bahunya. Kemudian, semuanya menghitam bagi Anggi.

~oOo~

Suasana kelas nampak sepi, hanya ada empat orang yang berada di sana, satu orang menunggu di pintu, menjaga-jaga kalau ada seseorang yang akan datang. Pemuda dengan postur tubuh gempal itu duduk di sana, di kursi paling ujung di sebelah kanan. Dua orang di depannya, seorang gadis dengan dandanan kekinian dan pemuda lain dengan badan yang lebih tegap dan tinggi, semua orang yang melihat mereka pasti berpikir mereka sempurna, ditambah lagi dengan sikap ramah dan supel yang mereka miliki, maka lengkaplah. Namun, kenyataan kadang memang terlalu nyata, hingga semua manusia pasti suatu saat akan menunjukkan belang aslinya.

"Apa yang kalian inginkan?" Pria gempal itu akhirnya buka suara, setelah keheningan panjang meraupnya karena kebingungan akan hal yang terjadi di depannya.

"Uang, serahkan uangmu!" Gadis cantik itu menggebrak meja dengan cukup kuat,

"Apa? Ada apa dengan kalian? Aku tidak membawa uang,"

"Kau bohong 'kan?"

"Tidak, aku... tidak..."

"Berhenti! Sudah cukup!" Suara berat itu memekakkan telinga.

"Kau pikir kami tidak tahu, hah? Kau yang paling kaya di sini, kau berkerja setiap hari di toko, pastinya kau punya uang jajan yang banyak setiap hari," Pemuda itu menepuk bahu dan menggapai isi saku celananya.

"Lihat, apa yang aku temukan, Manda?"

Mereka berdua menarik dompet itu keluar dan mengambil semua lembaran warna-warni yang nominalnya cukup banyak itu.

"Dasar pembohong, kau Dito!"

"PLAK!" tamparan keras mulus mendarat di pipi Dito.

"Jangan, aku mohon jangan!"

Dua orang itu keluar tanpa memperdulikan rengekkan Dito, dia hampir mengejar mereka, tapi Guntur sudah menghentikannya dengan bogem mentah tepat di perutnya, membuatnya tersungkur dan tak sanggup untuk bangkit. Ketiganya memberikan seringai kepuasan dan berlalu dengan uang yang banyak ditangan mereka.

~oOo~

Hangat lembut sinar matahari, menyapu wajah mulus Anggi yang terbaring di sebuah kasur. Lambayan angin terbangkan gorden tipis di ruangan itu, memberikan bayang-bayang yang lewat di antara wajahnya. Anggi mengernyitkan dahi, matanya kemudian terbuka sedikit. Dua gadis di sampingnya, jelas terlihat khawatir.

"Kau sudah sadar, Gi?"

"Saya di UKS?"

Keduanya mengangguk, Anggi membenarkan duduknya. Setelah sadar dengan sempurna, ia pun langsung berlari menuju ruangan di ujung lorong ini, Nana dan Arin yang kebingungan pun hanya bisa mengejar gadis itu sembari memegangi sepatu mereka yang belum terpasang dengan benar.

"BRAK!"

"Dito!" Untuk pertama kalinya dia bersuara cukup tinggi.

Guru-guru yang sedari tadi mengelilingi Dito tampak terheran-heran, sebagian hampir memuntahkan minuman mereka karena terkejut. Langsung saja setelahnya Anggi menunduk dan mengetuk pintu.

"Assalamualaikum, Pak Yan. Izin masuk."

Pria berkumis tebal itu berdehem dan mempersilahkan ketiganya masuk, mereka akhirnya duduk bersama Dito dalam satu sofa.

"Kenapa, Nak Anggi? Tidak biasanya kamu lari-lari dan masuk teriak-teriak begitu," Dengan ramah, Pak Yan mengajak mereka untuk berbicara mengenai alasan kerusuhan sesaat tadi.

"Begini, Pak. Jika Bapak dan Ibu di sini beranggapan bahwa Dito yang membunuh Guntur dan Manda hari ini dan lusa, bapak salah besar."

Ucapan Anggi membuat semua orang terhenyak, baru saja mereka menghubungi polisi untuk mengamankan Dito, tapi tiba-tiba saja pernyataan itu muncul.

"Dia dijebak, oleh salah satu dari mereka..." Anggi berhenti sejenak, dengan ragu-ragu ia pun bersuara.

"Saya adalah buktinya Pak, saya bisa melihatnya"

"Ba...Bagaimana, Nak? Duh, Bapak benar-benar bingung sekarang, soalnya setiap bukti mengarah pada Dito, apalagi setelah mendengar pernyataan dari saksi utama, Danu." Pak Yan kembali membetulkan tempat duduknya.

"Izinkan saya menyentuh bahu Dito, saya akan melihat kejadian di pagi hari ini."

"Jangan bercanda, Nak."

Pak Yan terkekeh pelan, dia menertawakan aksi konyol yang dilakukan Anggi sekarang. Gadis itu menyentuh bahu Dito dan memejamkan mata, dahinya kembali mengkerut, nafasnya tak terkendali, dan dengan sangat terkejut dia membuka mata seketika bersama sentuhan tangannya di bahu Dito.

"Jadi, apa yang kau lihat? Apa kau semacam dukun, paranormal, seperti itu Anggi?" Terus Pak Yan menahan senyumnya, dia menganggap aksi itu begitu konyol.

"Tolong panggilkan Danu untuk saya," Anggi berbicara dengan tatapan lurus tepat ke retina Pak Yan dan sampai Danu datang, dia tidak pernah mengalihkan pandangannya.

Sunyi sejenak mengisi penuh ruangan BP pada waktu pagi menuju siang hari itu, hanya bunyi detik yang terus berputar dan beberapa serangga yang berputar-putar di antara mereka. Penjelasan Anggi mengenai kondisinya yang seorang anak Psychometry itu menjadi perdebatan di hati setiap individu yang berada di sana, mereka berkutat pada rasa percaya dan tidak percaya. Namun, tidak bagi Dito dengan yakin pikirannya meyakini bahwa Anggi benar-benar bisa melihatnya, lebih tepatnya dia berharap itu benar, hanya dengan menyentuh seseorang gadis ini bisa mengetahui apa yang terjadi pada orang itu selama hidupnya.

"Dengan itu, saya bisa buktikan bahwa yang berencana membunuh orang-orang adalah... Danu,"

Semua orang sekali lagi terhenyak, tak percaya pada hal itu.

"Kau bercanda, ya? Gi, aku itu teman-teman mereka, tak mungkin aku berbuat sekeji itu kepada temanku, aku bahkan tak mahir memegang pisau, kau lihat kan setiap kita praktek di dapur umum, aku selalu terluka. Lalu, begitu teganya kau ini, aku sering membantumu menghadapi orang-orang yang suka merundungimu,"

"Bukan masalah sikap yang sering kamu tampakkan, Danu. Melainkan, sikap yang kau tutupi bersama mereka, saya tahu kamu sering mengganggu Dito dengan mengambil uang hasil jerih payahnya."

"Jangan bergurau, kau ini!" Danu berubah merah wajahnya, dia kesal.

"Cukup, Nak Danu. Lebih baik kita bereskan saja hal ini di kantor polisi." Pak Yan coba melerai keduanya.

"Tunggu saya tak bilang hanya Danu pelakunya, tapi ada satu orang lagi."

Semua orang kembali memandang mereka dengan tatapan 'Siapa lagi? Cepat selesaikan semua ini,'

Perlahan namun pasti, Anggi bergerak menuju sebuah bahu yang akan menjadi penentu dan menjadi bukti pasti semua kejadian ini. Tangannya pun bergerak dan terhenti tepat di sebuah bahu kanan, milik Pak Yan. Tentu saja orang-orang tampak tak percaya, tapi dengan keyakinan yang pasti Anggi menutup mata dan mencengkram kuat bahu Pak Yan yang dibalut pakaian dinas cokelat itu. Kembali dengan nafas memburu dan tubuh yang bergetar hebat, Anggi mencari penglihatannya. Di sana ia dapati Pak Yan dan Danu, mereka dalam sebuah ruangan, juga ada Manda yang sibuk menghitung uang, mereka berdua memiliki niat untuk menggunakan uang itu sebagai tambahan uang untuk kehidupan sehari-hari, karena keduanya adalah anak dan orang tua, sehingga memilih bersekongkol dalam kegiatan ini. Sayangnya Manda dan Guntur yang mengetahui itu, tidak akan pernah mendapatkan bagiannya, karena pasangan anak dan bapak ini hanya saling percaya satu sama lain.

"Pisau itu ada di laci," Anggi berujar lemah, sekali lagi dia hampir pingsan dengan darah mengucur dari lubang hidungnya.

"Berhenti, jangan sentuh itu!" Pak Yan hampir gila dibuatnya, dia mengamuk dan hampir mencekik Anggi yang sudah lemah di sebelahnya, untung guru-guru lain dengan sigap menghentikannya.

Setelah bunyi sirine mobil polisi terdengar nyaring, barulah Pak Yan berhenti, dia terduduk lesu, sedang Danu hanya bisa menangis. Semua hal yang terjadi dalam waktu 48 jam itu pun menemukan titik terang, dengan pelaku utama pasangan anak dan bapak ini. Kasus yang mencekam, hanya karena masalah sepele.

Selepas kejadian itu, bau amis dari zat besi cairan merah itu pun sudah tak tercium lagi, siswa dan siswi mulai melupakan kejadian yang awalnya membuat mereka tak mau berangkat sekolah, tapi akibat dari peristiwa itu Anggi dan kawan-kawannya menyadari, bahwa setiap orang memiliki masalahnya masing-masing, meski kita melihat masalah hal itu adalah hal yang mudah, tapi bagi sebagian orang akan sangat sulit bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Pada hari itu, matahari masih menyengatkan cahayanya pada kulit mereka para pejuang kebenaran, ada banyak hal yang akan menjadi sebuah pertanyaan dan ada juga yang masih menjadi rahasia, dan semua akan terungkap mungkin nanti waktu di masa depan,

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top