SENJA DI UJUNG BARITO

[Terpilih dalam 100 naskah terbaik di Lomba Cerpen Nasional EventHunterIndonesia, Peringkat 84, 2019]

~oOo~

Derap langkah kaki orang-orang semakin cepat, beriringan dengan bunyi gemeletuk tetesan hujan di atap rumah warga, langit yang awalnya biru, kini mulai menguning seiring matahari turun ke peraduannya, pintu-pintu tertutup rapat, tak memperbolehkan siapa pun keluar dari rumah, terkecuali dua orang, seorang pria umur lima puluh tahunan, yang bersikeras untuk pergi memancing sore itu, ia mengajak serta putranya, Andri, yang berumur sepuluh tahun.

"Kami berangkat dulu," ujarnya lembut,

Mang Hadran, panggilannya di kampung itu, pria ini cukup dikenal karena kesanggupannya untuk memiliki pekerjaan yang banyak dalam waktu yang bersamaan, terdengar seperti orang yang gigih. Namun, sifat keras kepala dan terlalu irit, membuatnya banyak digunjingkan masyarakat. Meski begitu, Mang Hadran tak pernah ambil pusing, semua itu ia lakukan demi mencukupi kebutuhan istri dan sepuluh anaknya.

"Sekarang sedang senja kuning, Bah. Sebaiknya kalian berdua tidak perlu pergi, lauk kita masih cukup untuk malam ini. Kalau tidak cukup, besok Mama ke pasar." Sang istri, Bu Ati, menatap suami dan anak laki-lakinya itu dengan khawatir, Andri mengernyitkan dahi, tapi dia hanya bisa diam.

"Kami akan menunggu di dalam klotok –perahu tradisional, jadi jangan khawatir, kita juga bisa menghemat pengeluaran untuk lauk beberapa hari." Mang Hadran masih bersikukuh dengan keinginannya.

Bu Ati menghela nafas panjang, dia menyerah untuk melawan kepala batunya Mang Hadran, lalu akhirnya meninggalkan suami dan anaknya itu di beranda belakang, tempat ia memakirkan kelotok-nya.

"Ini bekal untuk nanti, Bah. Hati-hati di jalan kata Mama." Ujar Yani anak tertua dari keluarga Hadran itu, Mang Hadran mengangguk sembari tangannya mengambil bungkusan nasi, gadis itu mengantarkan mereka sampai memasuki klotok dan beranjak dari rumah.

Rumah keluarga Mang Hadran bergerak pelan, seiring air menghempas pelan punggur-punggur penopang rumah kayu di pinggir sungai barito itu, klotok Mang Hadran yang menyebabkan itu pun, kini sudah mulai menjauh. Dia semakin fokus mengemudi, keheningan menyeruak di sungai sore itu, membuat Mang Hadran kadang tersenyum jengah, meremehkan orang desa yang terlalu percaya pada cerita nenek moyang mereka. 

Kini, mesin yang menderu pun, menjadi musik latar perjalan mereka, Andri sendiri masih setia duduk di sampingnya, sesekali memberi arahan, jika ada batang kayu atau semak-semak besar di depan mereka.

"Kenapa sore ini sepi sekali?" Andri akhirnya menyuarakan pikiran yang kurang lebih sama seperti Ayahnya.

"Karena senja kuning," Mang Hadran menjawab datar, Andri kembali mengernyitkan dahi,

"Senja kuning saat gerimis itu menyeramkan kata orang, sebenarnya kita dilarang keluar rumah, karena banyak makhluk buas akan muncul untuk mencari mangsa, mereka akan mengeluarkan kekuatan spiritual mereka untuk menjebak mangsanya, lalu sisanya... kau pasti bisa menebaknya 'kan?" lanjut Mang Hadran menjelaskan, bulu kuduk Andri meremang, sedang Mang Hadran terkikik kecil, merasa berhasil menggoda anak lelakinya itu.

"Hmmm... tapi ada juga yang mengatakan, di saat seperti ini, jika sebuah pelangi muncul maka itu menjadi tangga untuk dewi sungai naik ke kahyangan. Sungai akan ditingalkan pemiliknya untuk sementara, jadi manusia tidak boleh menangkap ikan, karena dikhawatirkan manusia bisa-bisa menangkap salah satu anaknya, jika itu terjadi maka nyawa menjadi balasannya."

"Sepertinya kita harus berhati-hati, Abah." Andri menelan ludah, cerita itu membuatnya nyaris merengek untuk pulang, tapi dia berusaha untuk tetap tenang, karena menurut Abahnya, hal itu hanya cerita orang terdahulu dan belum tentu kebenarannya.

Lima belas menit kemudian, Mang Hadran mematikan mesin klotok-nya, lalu menancapkan sebilah bambu ke dasar sungai, mengikatkan kendaraan kesayangannya itu agar tak terbawa arus tenang aliran sungai Barito. Setelah memasang pancing dan jaring, ia pun masuk ke dalam klotok, Andri masih sibuk menghidupkan kompor minyak tanah untuk memasak air. Mang Hadran berbaring, karena cukup penat dan suasana yang mendukung, ia pun tenggelam dalam tidur nyenyaknya di senja hari itu.

"Bah...bangun Bah...!" Andri menggoyang-goyangkan badan Abahnya, sontak Mang Hadran terbangun. Ia menatap Andri dengan ekspresi terkejutnya, Andri terlihat menenteng sesuatu, wajahnya tampak sumringah.

"Sudah lama rasanya, kita tak memakan ikan pari," Mang Hadran mengangkat ikan pari yang masih kecil itu, lalu membersihkannya untuk dijadikan sup.

Keduanya pun menikmati hidangan kala itu, bersama nasi yang hampir mendingin, namun kembali hangat saat diguyur oleh kuah sup, mereka tampak senang menyantapnya. Mang Hadran menyelesaikan makannya, membiarkan anaknya menghabiskan lauk yang tak seberapa. Lalu di luar, sebersit warna pelangi seakan berhenti tepat di depan klotok-nya, ujungnya tenggelam ke dasar air, Mang Hadran nampak curiga, dia mendekat perlahan. 

Kemudian, tampak sebersit cahaya putih dari dalam sungai, air sungai beriak dan membentuk gelombang yang terlihat hampir mencapai langit, ketika itu muncul lah sesosok bayangan putih yang berparas cantik, jika Mang Hadran tak salah tebak, dialah sang dewi sungai.

"Beraninya kau memakan anak sang dewi!!!" Tatapannya nampak berkilat, langit pun tiba-tiba dilapisi awan gelap, petir menyambar bersahutan, hujan gerimis dan angin lembut berubah menjadi badai yang dahsyat.

"A...Ampun, dewi. Kami tidak pernah melakukannya," Mang Hadran menjawab gelagapan, lalu berlutut, tangannya menyatu tepat di depan wajahnya, Andri memeluk erat Abahnya itu.

"Ikan pari yang ditangkap oleh anakmu itu adalah anakku! Sebagai ganti anakku, aku akan mengambil anakmu dan akan aku jadikan santapan para buaya di sungai ini!" 

Teriakkan sang dewi membuat suasana semakin kacau, Mang Hadran mendekap erat Andri, tapi kekuatan angin yang begitu dahsyat menerpa anaknya itu hingga dekapannya terlepas, Andri melayang ke tangan sang dewi sungai, ia menangis ketakutan, begitu pun Mang Hadran yang tak mampu berbuat apa-apa selain memohon ampun.

"Abah!!! Abah!!!" teriakkan Andri dan suara tangisnya bercampur, begitu pun Mang Hadran yang berusaha meraih tangan putranya itu. 

Namun, sang dewi menarik Andri ke dasar sungai, hingga menimbulkan gelombang besar yang menghempas klotok mereka hingga terbalik, Mang Hadran ikut tenggelam, air memenuhi saluran pernafasannya, sampai akhirnya gelap.

"Abah!!!" teriakkan itu melengking di udara, Mang Hadran terhengal-hengal, matanya terbuka dan membulat sempurna, "Apa itu tadi?" dia membatin.

"Bah, pancingannya bergerak," Andri membantu menaikkan salah satu pancingan, di sana ada seekor ikan gabus yang terperangkap, dahi Mang Hadran berkerut.

"Lepaskan saja, Ndri." Ucapnya lembut, lalu terdiam sesaat, 

"Tolong bantu Abah membereskan pancingannya, lebih baik kita pulang sekarang." Lanjunya, Andri hanya menatap heran, tetapi dia tetap membantu Abahnya merapikan alat pancing itu.

Selepas membereskan alat pancing dan mengangkat jaringnya, Mang Hadran melepaskan bambu dan mulai menyalakan mesin, dengan perlahan dia berputar, klotok itu pun pulang tanpa membawa apa-apa. Mang Hadran masih merenung, keadaan yang baru saja terjadi seakan- akan nyata, tapi syukurnya itu hanyalah sebuah mimpi.

Terpikir kisah senja kuning, Mang Hadran tersenyum keruh, lalu dia teringat keluarganya, sebelum pulang ia mampir ke pasar, membelikan beberapa lauk masak yang enak, membiarkan keluarganya merasakan kemewahan meski sedikit, dia tersenyum seindah pelangi di kala senja itu. Sementara itu, di ujung pelangi, sebersit cahaya putih menyembul dari dalam air, seorang wanita cantik muncul dengan menggendong seorang bayi, ia tersenyum bak dewi, kakinya melangkah ke jembatan pelangi, menuju ke langit jingga itu.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top