POROS WAKTU
[Telah diterbitkan dalam antologi cerpen berjudul "Kebaikan itu, Asik" Pejuang Antologi, 2019]
Waktu beputar pada porosnya, terus maju dan tak ada kesempatan kembali. Tinggi rendah derajat seseorang pun sering tumpang tindih, bergantian dari satu individu ke individu lainnya. Aku terlahir dari garis keturunan warga Indonesia yang paling sederhana, hidup kami tak pernah bergelimang harta, ayah pun hanya bisa bekerja sebagai pegawai biasa di salah satu kantor swasta. Jaraknya jauh dari rumah, tapi ia tak pernah menyerah dan selalu berusaha ikhlas dalam pekerjaannya.
Sejak kecil, kami membiasakan diri dengan kehidupan sederhana, meski begitu keluarga kami terasa damai, walau hanya dengan sebuah televisi. Ayah selalu senang menonton berita, sampai aku harus berebut dengannya kadang, tapi akhirnya aku terbiasa dan ikut menyaksikan juga.
"Coba lihat Syifa, sekarang banyak orang berjanji manis, tapi akhirnya diingkari. Orang-orang ini dulunya berkata akan menjadi wakil rakyat yang dapat dipercaya, tapi lihat sekarang? Semuanya diborgol dan digiring ke satu tempat."
"Mereka orang jahat, Yah?" Aku menoleh padanya.
Dia mengangguk dan membelai lembut puncak kepalaku. "Hmmm... sayangnya mereka kadang tidak diberi hukuman setimpal." Ia menghela nafas, lalu lanjut berbicara.
"Ayah ingin, suatu hari nanti kamu pergi ke sekolah hukum, agar bisa membalas semua perbuatan orang jahat seperti mereka!"
Aku pun balas mengangguk mantap, dengan mata berbinar aku membulatkan tekad suatu hari nanti akan aku tegakkan keadilan dan hukum di Indonesia.
Namun, ketentraman itu akhirnya terusik, saat suatu ketika, ayah pulang bersama dengan ibu, wajah mereka tampak sendu. Aku berasumsi ada berita buruk yang akan mereka sampaikan padaku, padahal umurku baru 12 tahun waktu itu dan aku diminta oleh alam agar dewasa lebih cepat dari masa pertumbuhanku. Berhari-hari ayah disibukkan dengan pekerjaan kantor, sedang ibu hanya wara-wiri di rumah tanpa melakukan aktivitas yang dulunya ia sukai, memasak. Waktu senggang pun terasa sunyi, karena obrolan hangat itu sudah hilang begitu saja, wajah ayah murung dan ibu tampak tajam. Meski sakit, aku hanya bisa mengabaikan, tak ingin fokusku terancam demi sebuah cita-cita mulia.
~oOo~
Suatu hari pun datang, ketika akhirnya senyum ibu kembali mengembang dengan kedatangan ayah. Aku terkejut, sekaligus terharu. Betapa aku menunggu momen ini, begitu rindunya aku, hingga akhirnya meneteskan air mata. Butuh waktu 5 tahun terbebas dari kekakuan itu. Selepas itu, ayah sering mengajakku dan ibu makan di luar, sering sekali kami dipertemukan dengan orang-orang berdasi yang selalu tersenyum ramah, dari yang ku tahu mereka semua adalah rekan kerja ayah, yang kini sudah berubah profesi menjadi anggota partai. Semua tampak menyenangkan, aku bisa membeli barang yang aku inginkan tanpa harus lama menabung seperti dulu, ibu pun sudah mulai bersosialisasi lagi dengan sahabat-sahabatnya, kami juga sering merayakan pesta kecil atas segala pencapaian. Kami, bukan keluarga biasa lagi.
Akan tetapi, hidup itu tak melulu soal harta, karena kehangatan itu akhirnya memudar, saat aku tak bisa lagi melihat ayah berada dalam lingkaranku setiap waktu, seperti dulu.
"Bagaimana kuliahnya, lancar?"
Sapaan hangat itu kini sungguh terasa asing ku dengar, karena jujur aku sudah lupa berapa lama aku tidak melihat sosok itu di rumah.
"Baik, Yah."
Canggung, benar-benar perasaan yang tidak pernah ku bayangkan akan kami alami.
"Ah, Syifa sudah pulang? Sudah makan siang?" Untungnya ibu datang di saat yang tepat, aku mengangguk seiring tangan ibu merangkulku dan ayah, kami akhirnya bisa makan bertiga lagi setelah beberapa bulan ditinggal berdua.
Kini aku sudah di penghujung semester dan aku sedikit banyaknya sudah cukup mengerti dengan keadaan hukum di Indonesia, aku sudah tahu bahwa, tak ada seorang pun yang bisa bermain bersih saat maju dalam hal politik dan kadang aku begitu khawatir pada ayah yang mungkin bisa melakukan hal yang sama. Namun, semua perasaan yang berkecamuk di hati itu ku tepis jauh-jauh, karena aku percaya ayah sangatlah benci dengan hal seperti itu, jadi dia tak akan mungkin melakukannya.
"Ayah, nanti malam bisa temani Bunda ke mall?"
Ayah tersenyum, mengangguk lalu menyuap makanannya. Dia menatapku juga seolah ingin tahu responku, jika dulu aku mungkin akan bersorak kegirangan, tapi kali ini aku diam sejenak.
"Sejak kapan Ibu dipanggil Bunda?" Aku mencibir ibu, berusaha untuk tidak memberikan respon canggung.
"Terserah Ibu, dong. Biar lebih anggun kesannya, Syifa." Ibu mentoyor pipiku dan aku hanya bisa tertawa kecil, ayah juga ikut tertawa.
"Senang rasanya bisa pulang melihat kedua bidadariku ini tertawa," ucap ayah,
"Makanya sering-sering pulang, Yah. Jangan dinas terus!" seruku.
Makan siang hari itu kembali memberikan nuansa hangat di hati kami masing-masing.
~oOo~
Cuaca cukup terik di pertengahan bulan April tahun ini, walau begitu aku dan kawan-kawan satu organisasiku tak patah arang untuk menyuarakan keresahan hati masyarakat Indonesia. Sebagai seorang mahasiswi, meski sudah di akhir jabatan, aku tetap bertekad untuk tidak membisu, pada setiap kecurangan dan pada tiap 'kekhilafan' para wakil rakyat yang semakin merajalela. Kali ini, kami mendapat informasi mengenai sekumpulan 'Pejanji' yang terjaring OTT (Operasi Tangkap Tangan), mereka tertangkap basah sedang melakukan transaksi di sebuah restoran kosong.
"Ini air minum, jangan sampai dehidrasi lagi!" Sebotol air mineral dingin terulur di hadapanku, disusul oleh suara berat yang selalu membersamai ku.
"Iya, terima kasih. By the way, para pelaku suap itu jam berapa datangnya?"
Dia mengerdikkan bahu, seraya duduk di sampingku yang bernaung pada sebuah payung hitam. Ya ... kami sekarang, sedang berdemontrasi di depan gedung KPK, menunggu sekumpulan orang berompi jingga itu untuk tersenyum dan melambai pada awak media, menjengkelkan.
Aku diam mengisi tenaga, sesekali ku seka keringat di pelipis dengan ujung sapu tangan milik kekasihku ini, dia juga sesekali mengipasiku dengan banner yang kami cetak berpuluh lembar itu. Isinya? Kami ingin semua orang berlaku adil dan memberikan hukuman yang berat pada para pelaku. Mereka patut mendapatkannya, karena telah membiarkan salah satu tersangka pencucian uang pajak di DPRD lolos dari jerat hukum, sekumpulan orang itu tidak lain merupakan sesama rekannya di parlemen yang hampir menerima 'bonus' untuk memberikan kesaksian palsu di pengadilan. Asas mereka adalah Give and Take, memberi kesaksian palsu artinya berhal menerima 'bonus' padahal jelas- jelas itu haram dan ilegal, menjijikan.
Tak lama kemudian para pers lari tunggang langgang, mobil hitam berbondong-bondong masuk ke halaman gedung itu. Kami berdiri dan para polisi 'meladeni' kami dengan perisai dan pentungan.
"Tangkap habis para koruptor! Jangan kasih kendor!" teriak ketuaku, Hanif yang tak lain juga kekasihku. Ia lalu mempersilahkanku, kini giliran sang sekretaris organisasi yang bersuara.
Aku berdiri dengan tangan menggenggam erat pengeras suara, ku lihat dari luar pagar orang-orang berseragam jingga itu menaiki anak tangga, satu persatu dari mereka berdiri membanjar, terpampang jelas wajah sumringah mereka di hadapan kamera, satu dua orang menaikkan tangannya dan menghadap ke seluruh arah.
"Teras gedung KPK bukan karpet merah, siapa kalian yang berani tertawa dan melambai di sana, hah? Kalian hanya pencuri uang rakyat! Hukuman kalian harusnya yang paling berat, tegakkan keadilan, hukum berat para koruptor!" Aku berteriak dengan lantang, tangan kiriku mengepal di udara, emosi di dada benar-benar membara.
Hanif menepuk pundakku dua kali, itu petunjuk agar aku menyuarakan slogan kami. Aku menghela nafas sesaat, kini aku berdiri satu tingkat pada sebuah balok kayu sehingga orang di sana bisa dengan jelas melihatku. Aku kembali mengepalkan tangan kiri di udara, lalu mengambil ancang-ancang.
"Hidup! Ma..."
Namun, sialnya aku tertegun. Semua orang yang ikut berseru juga terdiam. Hanif menarik ujung jas almameterku, tapi aku hanya bergeming.
Aku menangkap sosok yang tak bisa ku percayai juga berdiri di sana, ia berompi jingga dengan senyuman dan juga lambaian tangan. Tetapi, itu bukan untuk awak media, melainkan padaku, gadis yang selama ini selalu bergelayut manja pada tangan hangatnya.
"Ayah?" lirihku dan terdengar jelas lewat pengeras suara.
Ku dengar orang-orang mulai berbisik di belakangku, Hanif langsung saja menarik lengan dan melepaskan pengeras suara itu dari tangan kiriku, ia membawa ku ke barisan belakang. Dekapannya pada pundakku, membuat diriku tak kuasa untuk menahan buliran air mata yang tiba-tiba menggunung.
"Orang itu... benar, kah? Ayah?" Aku beringsut ke tanah, untung saja ada Hanif yang mampu menahan.
Aku menangis sejadi-jadinya.
"Tidak, tidak. Orang itu bukan Ayah, dia membenci koruptor. Dia tidak mungkin melakukannya, Hanif. Aku yakin dia dijebak, benarkan? Dia dijebak! Aku harus pergi ke sana dan memberi tahu orang-orang, Ayahku bukan orang seperti itu!!!"
Hanif menarikku dalam pelukannya, aku terus meronta rasanya ingin berlari pada ayah di sana. Meneriakkan penolakan atas hatiku pada segalanya.
~oOo~
Kali ini aku termenung di hadapan bilik kaca, ada ayah di sana. Dia masih menciptakan senyuman hangat itu, tapi aku bahkan tak tahu harus membalas apa. Satu hal yang ada dibenakku dan harus ku utarakan saat itu juga.
"Aku tak peduli pada kasus ini, yang jelas aku ingin Ayah bertanggung jawab dan mengikuti semua proses hukum, tanpa terkecuali. Karena bagaimana pun, salah atau tidak, ayah adalah warga negara Indonesia yang punya kewajiban untuk diadili. Untuk saat ini ku harap, demi aku dan Ibu. Aku tahu Ayah adalah orang baik, kebaikanmu masih terasa dalam hatiku, tapi aku tidak bisa membela kesalahan kecil itu. Ayah bisa jujur, jangan berdalih atau bahkan mencari jalan pintas. Sama seperti Ayah yang dulu membenci orang-orang jahat ini, seluruh rakyat Indonesia pun demikian, apalagi mereka yang tak pernah kenal Ayah, yang tak tahu kebaikan Ayah. Namun, percayalah Ayah. Aku hanya membenci perbuatanmu, bukan dirimu. Aku dan Ibu akan selalu menunggumu dengan sesuatu yang lebih baik lagi di masa depan. Berjuanglah!"
Aku bergegas pergi, tanpa harus ku lihat wajah itu karena aku tak kuasa menahan tangis. Aku bisa mendengar gumaman kecilnya, "Ayah minta maaf," ujarnya.
TAMAT
Dirgahayu Indonesiaku yang ke-75 🇲🇨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top