PETAKA
Tuhan aku ingin bertanya pernahkan dunia mengeluh kepadamu tentang manusia yang melubangi hatinya dalam, padahal dia sudah tua, padahal dia melindungi manusia itu sendiri dengan segenap kekuatannya. Dunia ini seperti Ayahku, ah... bukan! Ayahku mungkin seperti dunia ini bagiku
Tangan yang hampir dua puluh tahun itu ku cium setiap pergi ke sekolah, berubah baunya beberapa tahun yang lalu, bau mesin-mesin semen berkarat itu selalu muncul dan melekat padanya dalam sekejap, dari situ aku mengerti meski tak melihat secara langsung bahwa dia bekerja sangat keras, sampai hari ini pun ketika aku melihat tangannya 'kaku' di atas kasur pelipur lara atas semua kelelahan selama ini.
Sayangnya waktu telah berhenti untukknya dan Ibuku terduduk dengan sesegukkan, aku perlahan mendekat menatap wajahnya yang terakhir, dengan garis-garis keriput yang menceritakan kerja keras itu, bahkan disaat terakhir, raut mukanya masih terlihat lelah. Aku duduk di sampingnya bersama Ibu, menyentuh tangannya dan menciumnya perlahan dan lucunya lagi masih melekat bau mesin karat itu.
"Kejam!" teriakku dalam nafas bisu orang-orang yang menangis lirih.
Semua terkesiap, mereka memandangku dengan raut muka 'Relakan saja,nak'. Aku menyeringai panjang, aku bertanya dalam hati 'Siapa yang sebenarnya dibodohi?', mereka pikir pria-pria kuning berjas hitam itu akan membantu kehidupanmu, dengan kerja yang layak, dengan kantor ber-AC layaknya negara-negara luar, dengan tambahan finansial yang membutakan mata, benar, tapi salahnya hidup kita sendiri yang dijajahnya dalam kemewahan. Penjajahan di atas dunia dihapuskan? Benar, tapi bagaimana dengan dunia bawah sadarmu? Sadarkah? Penjajahan itu terasa, tapi kita pura-pura buta dan bisu.
Aku memandang berandaku dengan karangan bunga berwarna-warni, indah, bahkan terlalu indah, seakan mereka menyelamati bukan berduka atas kepergian duniaku, apakah karangan bunga itu dapat membantunya bernafas kembali? Semacam lelucon kecil dari pria-pria kuning berjas hitam itu. Aku pun heran, beberapa di antaranya adalah pemberian saudara setanah, sebangsa dan setumpah darah dengan duniaku yang berjas hitam dengan singgasananya di atas sana, duduk di depan meja dengan senyum manis sejuta makna, meski mereka tahu waktu duniaku terhenti tepat di kantor dinginnya, mereka hanya diam dan bersuara bahwa Tuhan lebih menyayanginya daripada kita semua, omong kosong.
Sekarang, langit menjadi kelabu. Rintik hujan menyapa lewat seruan sejuta alam, kata orang saat ada orang meninggal dan hujan turun, orang itu adalah orang baik. Aku mengamini. Tentu saja, ayahku adalah yang terbaik bagi keluarga kami.
"Sabar ya, Nak. Jangan khawatir, pendidikan kamu dan adik-adikmu akan kami biayai sepenuhnya."
Bibir ku bergetar, berusaha mengangkat senyuman tapi tidak bisa. Bahkan, di dalam duka ini mereka masih memikirkan tentang biaya hidup, bukannya meminta maaf karena memaksa ayah bekerja siang malam. Uang menjadi tameng mereka, takut disalahkan dan dituntut akan satu nyawa.
"Terima kasih," ibu setengah berbisik.
Orang-orang berjas hitam itu silih berganti datang ke rumah, tapi satu pun dari mereka tak ada mengucap kata maaf. Ayahku terbunuh oleh lelah yang mereka bebankan. Menjadi seorang supir truk yang harus mengemudi puluhan kilo, belum lagi menaik dan turunkan tumpukan semen berdebu itu.
Kejadian seminggu yang lalu masih hangat diingatanku, sebuah telepon langsung dari rumah sakit, orang di seberang mengabarkan bahwa ayah sedang dalam keadaan kritis di unit gawat darurat saat itu dan perlu segera di operasi, ayah mengalami pendarahan otak. Aku dan ibu bergegas pergi setelah menyetujui operasi lewat telepon, sesampainya di sana pun hanya satu orang yang menunggu ayah, teman seperjuangannya selama ini.
"Ayah kamu tidak tidur dengan benar selama tiga hari perjalanan, dia bilang sedikit pusing sebelum berangkat, kami pikir hanya pusing biasa dan hanya makan obat migrain. Tidak tahunya malah seperti ini," paman itu menjelaskan kejadian lengkapnya pada ibu, aku cukup mendengarkan sekenanya karena jiwaku rasanya bahkan tidak berada di ragaku.
Aku berharap detik waktu terus berjalan di sisi ayah, tapi setelah satu minggu ayah menyerah dan kami hanya bisa merelakan dia, setidaknya di sana dia tidak sakit lagi dan juga bisa beristirahat dengan tenang. Walau begitu, aku tetap tak dapat mengikhlaskan orang-orang yang memperlakukan ayahku dengan semena-mena, selama dirawat pun mereka tidak pernah mengunjungi, hanya paman satu truk ayah yang menyampaikan uang bantuan.
Hari ini diiringi hujan tipis-tipis, kami berangkat menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Semua orang sudah mulai mengundurkan diri, seiring hujan yang turun dengan lebatnya. Aku dan ibu masih setia di bawah naungan payung berdiri di samping pusara ayah.
"Kami akan selalu mengingat kerja keras dan kasih sayangmu, sekarang berikan saja semua kekuatanmu padaku dan bantulah aku dari sana menjaga anak-anak." ibu bergumam lirih, aku tahu dia sedang menangis sekarang, tapi suara hujan menyamarkannya.
Aku pun membisikkan perasaanku pada ayah.
"Ayah, sampai kapanpun Ayah adalah duniaku dan siapapun yang berani menghancurkan duniaku, pasti akan mendapatkan balasan. Kita lihat saja,"
Aku menatap yakin pada batu nisan itu. Benar saja, hanta perlu waktu lima tahun. Perusahaan itu menjadi bulan-bulanan awak media, berita simpang siur juga penolakan masyarakat lokal terhadap pekerja asing semakin bertambah, belum lagi satu persatu para korban diskriminasi seperti ayahku bermunculan untuk menyuarakan hak mereka. Paman mengajakku untuk melapor juga, tapi kata ibu tidak perlu. Ibu ingin keluarga kami aman dan sudah cukup bagi kami untuk melihat mereka hancur dari jauh.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top