MENATAP KEJUJURAN
Matahari mulai bangun dari tidurnya, memancarkan sinarnya yang menyilaukan, hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang pun kini berubah menjadi sehangat dekapan seorang ibu. Para petani di desa itu pun mulai menyiapkan peralatannya,hanya satu tempat yang akan mereka datangi, sawah berpetak-petak yang berada di sekeliling desa yang bernama Barimba itu. Tak terkecuali dengan Pak Narto, ia juga sudah menyiapkan segala perlengkapannya menuju sawah, anak gadisnya yang bernama Murtie mengantarnya hingga teras rumah.
"Hati-hati di jalan,bapak!" ucap Murtie terdengar lembut, Pak Narto berpamitan sebentar lantas melangkah pergi.
"Kakak juga mau bekerja dulu, Mur." pamit kakaknya Murtie, Murtie mengangguk mengiyakan.
Setelah semua keluarganya pergi, Murtie terdiam di warungnya, warung yang sederhana dengan makanan yang seadanya, dia tampak mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja kayu tempat makanan kecil tersusun. Murtie mulai bosan, ia mulai menyalakan radio kecil di sampingnya, memutar-mutar tombol bulat pada radio itu untuk mencari stasiun radio favoritnya.
Sesaat kemudian mulailah terdengar alunan musik yang indah dari radio itu, Murtie mengangguk-anggukkan kepalanya, matanya terpejam seiring menghayati musik yang diciptakan dari beberapa alat musik tradisional Kalimantan itu, cukup terdengar bunyi gong yang menggetarkan hati.
Murtie masih sibuk mendengarkan radio, seskali tangannya meliuk-liuk, kadang tubuhnya juga ikut bergerak tanpa ia sadari, mengikuti tempo musik yang mendayu-dayu.
"Tarian yang bagus, Mbak!" ucap lembut seorang gadis, menyadarkan Murtie dari dunianya,
"M...Maaf?" ucap Murtie gugup sembari menoleh ke tempat sumber suara,
"Tarian Mbak cukup bagus, Mbak punya potensi jadi penari profesional," ucap gadis itu lagi, mengacungkan ibu jarinya, menandakan dia sangat kagum pada Murtie,
"Saya tidak sehebat itu, Mbak. Ngomong-ngomong mau beli apa, ya Mbak?" tanya Murtie mencoba mengalihkan pembicaraan,
"Saya pesan kopi aja, Mbak." tanya gadis itu,
Murtie mengangguk tanda mengerti, tangannya mulai meraba-raba permukaan toples, mencari toples yang berisi serbuk kopi dan gula, lantas memasukkannya ke dalam cangkir,
"Perkenalkan nama saya Sri, 19 tahun" ucap gadis yang bernama Sri itu,
"Nama saya Murtie, 16 tahun" ucap Murtie sembari menoleh ke arah gadis bernama Sri tadi, lantas tersenyum,
"Mbak ini penari, ya?" tanya Mbak Sri,
"Bukan, Mbak. Saya malah enggak bisa nari, ini minumnya, Mbak." Ucap Murtie sembari menyodorkan secangkir kopi hangat,
"Tapi kok saya lihat tubuh Mbak ini gemulai sekali, saya pikir tadi saya ganggu Mbak latihan." Ucap Mbak Sri diselingi tawa kecil,
"Mbak bisa aja, saya belajar sama ibu saya. Kebetulan ibu saya dulu seorang penari, jadi saya dituntun untuk mengikuti beberapa gerakan dari ibu," ucap Murtie lantas mengambil posisi duduknya berhadapan dengan Mbak Sri,
"Ooo... gitu. Gini lo Mbak, saya ini sebenarnya diutus sama pihak sanggar tari Riak Nyalong di Kapuas, buat mencari penari berbakat seperti Mbak ini,kira-kira Mbak tertarik, gak?" ucap Mbak Sri menerangkan tujuan kedatangannya ke desa Barimba ini,
"Wah ... gimana,ya? Saya malu,Mbak. Saya nggak bisa nari, nanti malah mempermalukan, Mbak." Ucap Murtie menggelengkan kepalanya,
"Ya ... kalau Murtie nggak mencoba mana bisa tau, Murtie kan nanti dilatih sama saya dan kakak yang lainnya," ucap Mbak Sri, Murtie terlihat gelisah, perasaan ragu terpancar di wajahnya,
"Begini saja, kalau Murtie tertarik sama tawaran saya, Murtie bisa datang ke alamat ini atau menghubungi nomor telepon saya yang ada di sini," ucap Mbak Sri menunjukkan secarik kertas ke hadapan Murtie , bisa dikatakan kalau itu adalah kartu nama dari Mbak Sri,
"Maaf, Mbak. Bukannya saya tidak tertarik, tapi saya tidak bisa membaca tulisan di kertas ini, saya nggak bisa membaca tulisan biasa, saya hanya bisa membaca dan menulis huruf braile," ucap Murtie sembari menundukkan kepalanya,
Mbak Sri tersentak kaget mendengar ucapan Murtie, dia benar-benar tidak menyadari keadaan gadis manis yang ada di hadapannya ini, "dia buta?" sebuah pertanyaan yang melintas di benak Mbak Sri, Mbak Sri mulai meneliti setiap jengkal dari mata gadis di hadapannya itu, matanya menyipit lantas terbelalak seiring ia menyadari kalau ada yang lain di bola mata Murtie dari gadis lain seumurannya. Mata Murtie yang notabennya memiliki bentuk yang sipit itu membuat orang yang melihatnya sepintas tidak akan menyadari dengan kekurangan yang dimiliki Murtie.
"Maaf, Murtie. Mbak nggak punya maksud menyinggung kamu," ucap Mbak Sri lirih,
"Iya, Mbak. Murtie ngerti kok . Nanti kalau Murtie mau menghubungi Mbak, nelponnya ke nomor berapa?" ucap Murtie yang sudah siap dengan buku braile-nya,
"67797, hubungi saja saya di nomor itu, ini kopinya berapa, Mur?" ucap Mbak Sri,
"Dua ribu,Mbak" ucap Murtie singkat.
Mbak Sri mengangguk, ia mengeluarkan uang lima ribu-an dari sakunya, lantas memberikannya pada Murtie. Mbak Sri pun berpamitan pulang.
Terangnya siang digantikan oleh kegelapan malam, malam itu tidak terlalu bertabur bintang, bulan pun hanya bisa bersembunyi di balik dedaunan, angin malam yang cukup kencang melewati kawasan desa itu, tidak lama setelah itu mulailah terdengar pekikkan nyaring dari petir-petir di langit desa Barimba.
Hujan mengguyur kawasan itu dengan lebatnya, sedangkan Murtie yang kala itu sedang campur aduk pikirannya masih setia mengurung diri di kamar, memikirkan setiap kata-kata yang akan diucapkannya pada bapaknya nanti,
"Kuman, Mur!" terdengar teriakan kecil dari dapur memanggil namanya, Murtie bangkit dari tempat tidurnya, meraba-raba dinding untuk membantunya berjalan,
Setelah makan malam, Murtie mulai mencari-cari kata untuk disampaikan pada bapaknya, ia terlihat sangat gelisah,
"Kenapa, Mur? Ada yang mau dibicarakan sama bapak?" tanya Pak Narto lembut,
"Iya, Pak. Tadi pagi ada seseorang datang ke warung, dia menawari Murtie belajar menari di sanggar Kapuas" ucap Murtie akhirnya,
"Bapak kan sudah sering bilang sama Murtie, bapak tidak ingin kamu jadi penari," ucap Pak Narto,
"Iya, Murtie ingat, Pak. Tapi kakak itu tadi bilang kalau Murtie berbakat, Murtie bisa menjadi penari Profesional," ucap Murtie meyakinkan bapaknya,
"Menari itu bikin kamu susah, Mur. Tidak punya masa depan, itu hanya akal-akalan orang saja, biar banyak ngumpulin uang buat dia sendiri." Ucap Pak Narto sembari mengibaskan tangannya,
"Tapi, Pak..." Ucapan Murtie terputus,
"Tidak ada tapi-tapi an, kamu tidak boleh menjadi penari! Mending kamu sekolah yang rajin, kalau kamu memang kepingin punya kegiatan di luar sekolah, pergi sana ke hilir, ikut pelatihan pengolahan sampah organik, itu juga menghasilkan uang yang cukup buat kamu. Ingat! Jangan jadi penari, mengerti?!" Ucap Pak Narto mebentak Murtie cukup keras.
Murtie akhirnya bungkam, dia lebih memilih kembali ke kamarnya dan meninggalkan bapakknya sendirian di dapur. Murtie menelungkupkan wajahnya di kasur, ia mulai menitikkan air mata. Ia ingin, dia bahkan sangat memimpikan hal ini beratus-ratus kali.
Ia ingin menjadi seorang penari berbakat seperti ibunya, tapi harapannya pupus saat kejadian ibunya yang hilang selama semalam 5 tahun yang lalu, hingga ditemukan tewas pada pagi harinya yang tidak jauh dari tempat ibunya mendapat undangan pementasan. Kejadian itu membuat Pak Narto trauma, ia tidak bisa menahan amarahnya apabila Murtie berbicara mengenai tarian, dia tidak ingin kehilangan orang yang dicintainya untuk kedua kalinya.
Matahari mulai menyapa Murtie kembali, meski bagi Murtie siang dan malam tidak ada bedanya, tapi dia menyadari kalau hari ini akan menjadi hari yang bersejarah, tekadnya sudah bulat. "Aku akan pergi ke sanggar itu! Aku harus! Ini mimpiku, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini." Murtie membatin, degup jantungnya memacu saat memikirkan hal ini. Pagi itu, Murtie masih ditugaskan menunggu warung seperti hari sebelumnya, Murtie sedang punya waktu bebas sekarang, karena kebetulan sekolahnya sedang libur semester.
Suasana rumah hening, Murtie mulai melangkah pergi dari rumahnya menuju rumah tetangga untuk meminjam telepon rumah. Satu hal yang terpaksa akan dilakukan Murtie untuk mendapatkan impiannya, satu hal yang benar-benar tidak menunjukkan dirinya yang selalu berkata jujur. Ia mulai berbicara di telepon, Mbak Sri menjawabnya dengan lembut.
"Murtie jadi ikut belajar menari di sanggar? Syukurlah, saya benar-benar mengagumi bakat kamu, Mur." Ucap Mbak Sri di seberang sana,
"Iya, Mbak. Bapak sudah mengizinkan Murtie ikut sanggar tari, tapi Mbak bisa nggak kalau saya minta diantar-jemput sama, Mbak?, nanti kalau Mbak jemput Murtie, Mbak jangan bilang dari Kapuas, ya?!" tanya Murtie,satu kebohongan telah dilontarkan oleh Murtie. Mbak Sri langsung mengiyakan saja, semua yang diminta oleh Murtie tanpa ragu sedikit pun.
Sore harinya, Mbak Sri sampai di depan rumah Murtie lantas mengetuk pintu pelan, "Tok...tok...tok..." suara ketukan pintu itu. Murtie perlahan membukakan pintu untuk Mbak Sri, perasaan bersalah mulai berkecamuk di hati Murtie, dia telah membohongi Mbak Sri dan dia melakukan hal yang sama terhadap bapaknya, dia mengatakan kepada bapaknya kalau dia pergi ke hilir untuk berlatih mengolah sampah. Setelah berpamitan dengan bapaknya, Murtie yang digandeng oleh Mbak Sri mulai menaiki sepeda motor, mereka lantas melaju ke sanggar tari itu.
Mesin sepeda motor mulai tidak terdengar lagi oleh Murtie, terasa sekali ada hawa yang lain dari tempat itu, Murtie mendengarkan alunan musik yang sama persis dengan yang ia dengar di radio, Murtie mengerti ia telah sampai di sanggar itu. Mbak Sri menuntun Murtie untuk masuk, terdengar olehnya suara hentakan kaki dan suara para pelatih yang member arahan.
"Hai... Cantik!" sapa seseorang, suaranya terdengar berat,
"Ia laki-laki,?" Murtie membatin, tanpa sadar wajahnya memunculkan semburat merah muda, Murtie hanya bisa tersenyum, lantas melangkahkan kakinya lagi terus ke dalam.
Mbak Sri memecah konsentrasi anak-anak yang sedang berlatih itu, ia mengajak Murtie berdiri di depan semua orang,
"Perkenalkan, ini teman kalian yang baru, perkenalkan diri kamu, Mur!" ucap Mbak Sri, sembari memegangi pundak Murtie,
"Hai...! Nama saya Murtie, umur saya tujuh belas tahun..." ucap Murtie mencoba menggantungkan ucapannya sebentar,
"Aku mungkin tidak sesempurna kalian, aku punya sedikit kekurangan di sini. Aku tidak bisa melihat seperti kalian, jadi aku mohon bantuannya," ucap Murtie lirih, tangannya menunjuk tepat ke matanya.
Semua yang ada di dalam sanggar terperangah, terlebih lagi laki-laki yang menyapanya tadi,ia hampir pingsan, beberapa anak mulai berbisik.
"Ya sudah, kita mulai latihan lagi,ya?" ucap Mbak Sri,
"Baik!" jawab anak-anak itu.
Mbak Sri mulai melatih Murtie, dia memgangi tangan Murtie sama seperti yang dilakukan Ibu Murtie waktu dulu, Mbak Sri membiarkan Murtie berlatih sendiri dan memperhatikan tarian Murtie, Murtie sungguh berbakat hanya dalam hitungan detik dia sudah bisa menghafal lima gerakan sekaligus, ia mulai terbuai dalam tariannya itu sampai akhirnya ia menyenggol penari lain hingga tersungkur,
"Maaf,ya? Maafkan saya," ucap Murtie lembut sembari meraba-raba udara di sekitarnya, mencari sosok yang telah ia senggol,
"Eh... kamu sengaja, ya? Anak baru, udah buta ganggu lagi, dasar Buta!" ucap gadis yang Murtie tidak sengaja menyenggolnya,
"Saya nggak sengaja, Mbak. Saya benar-benar menyesal," ucap Murtie menunduk,
"Alaaah...! Aku tau kok kamu itu mau ngerebut posisi aku,kan? Mentang-mentang Mbak Sri yang ngajak kamu ke sini. Dengarkan ini baik-baik, aku nggak akan rela kasih posisi aku buat gadis buta seperti kamu, ngerti?!!!" ucap gadis itu,
"Iya, saya mengerti." Ucap Murtie, gadis tadi pun pergi meninggalkan Murtie sendirian.
Mbak Sri ketika itu sedang keluar pun sedikit bingung dengan Murtie yang duduk bersimpuh di lantai, ia lalu menghampiri Murtie,
"Kenapa duduk di sini, Mur?" tanya Mbak Sri lembut,
"Tadi saya nggak sengaja nyenggol orang,Mbak." Ucap Murtie, Mbak Sri membantu Murtie berdiri
"Tapi kamu nggak apa-apa,kan?"
Murtie mengangguk pelan, menandakan ia baik-baik saja.
"Ya sudah, kalau begitu saya mau memasang alat bantu buat kamu, kamu mau sekalian bantu saya?" ucap Mbak Sri.
Murtie mengangguk mengerti, ia lantas mengikuti langkah kaki Mbak Sri. Mbak Sri mulai memasang sesuatu di lantai sanggar, Murtie membantunya memasang sesuai arahan yang diberikan Mbak Sri. Kalau dilihat sepintas mungkin orang akan berpikir kalau itu adalah keset yang berduri, tapi saat orang-orang memperhatikannya, itu sebenarnya adalah sebuah pola, pola untuk melangkah sesuai gerakan tangan dalam menari dan pola agar Murtie tidak menyenggol siapa-siapa lagi.
"Ini sudah siap, Mur. Kamu bisa mencobanya," ucap Mbak Sri menuntun Murtie untuk memijakkan kakinya di atas pola-pola itu,
Murtie sedikit terhenyak, saat ia menginjak duri-duri itu ia merasa sesuatu yang aneh tengah menjalari seluruh urat sarafnya,
"Gimana,Mur? Duri-durinya nggak tajam,kan? Itu pola langkah kaki dalam tarian yang saya ajarin tadi sama kamu, kamu di sini aman, nggak akan nyenggol orang-orang lagi. Besok Mbak akan jemput kamu lebih awal, jadi kamu bisa latihan menghafal pola ini." Ucap Mbak Sri, Murtie mengangguk mengerti dan mulai melangkah ke pola-pola berikutnya.
Hari demi hari berlalu, kebohongan Murtie pada bapaknya dan Mbak Sri belum terendus sama sekali, bapaknya memang awalnya sedikit curiga saat Murtie pulang cukup sore, walau belum sampai magrib, tapi itu bisa dikatakan sangat sore, ditambah lagi teman-teman Murtie yang mengikuti pelatihan itu terlihat pulang lebih awal, saat Murtie ditanya bapaknya, Murtie menjawab kalau Mbak Sri mengajaknya makan dulu, bapaknya akhirnya kembali mempercayai Murtie.
Setelah dua minggu mengikuti sanggar tari itu Murtie mendapat kejutan yang sangat membahagiakan, mimpinya yang ia tunggu selama ini akhirnya akan tercapai, Murtie akan menjadi salah satu penari yang menyambut kedatangan gubernur Kalimantan Tengah di Kapuas, betapa bahagianya Murtie saat namanya disebutkan oleh kakak pelatihnya, di sisi lain gadis yang memiliki posisi nomor satu di sanggar itu pun hanya bisa meratapi kegagalannya, ia tidak bisa marah karena itu keputusan senior-senior di sanggar itu bukan hanya keputusan dari Mbak Sri yang menyayangi Murtie, gadis itu akhirnya mengakui kehebatan Murtie dan memberikan selamat kepadanya, mereka akhirnya memulai pertemanan dari awal.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, tapi Murtie kembali diliputi rasa bingung di dalam dirinya, acara penyambutan itu sekitar jam delapan pagi dan dia harus ada sejam sebelum acara itu dimulai, itu jam sekolahnya dan dia tidak mungkin meminta izin tanpa surat yang ditanda tangani oleh bapaknya. Hari sudah mulai menunjukkan pukul 06:45 WIB, terdengar bunyi sepeda motor berhenti di pekarangan rumahnya, Murtie mulai meraba jalan di sekitarnya lantas membukakan pintu untuk Mbak Sri.
"Udah siap, Mur?" tanya Mbak Sri,
Tiba-tiba Pak Narto keluar dengan raut muka keheranan.
"Ada apa, Mbak? Pagi-pagi sudah kesini," tanya Pak Narto,
"Saya mau mengantar Murtie ke Kantor Bupati Kapuas, Pak. Kebetulan Murtie ada undangan menari di situ, Murtie belum bilang ya sama bapak?" tanya Mbak Sri menjelaskan sedikit maksud kedatangannya yang sangat pagi itu,
"Saya tidak tau,Mbak. Murtie tidak bilang sama saya, bahkan dia tidak bilang sama saya kalau dia belajar menari," ucap Pak Narto menatap ke arah Murtie yang berada di belakangnya,
Mbak Sri sedikit terkejut mendengarnya,
"Bukankah bapak sudah mengizinkan Murtie berlatih nari?" tanya Mbak Sri, Pak Narto menggeleng ada raut tidak suka terhadap Mbak Sri,
"Ini semua karena, Mbak. Seharusnya Mbak tidak perlu memberikan dia harapan untuk menari, Mbak tidak lihat anak saya ini buta, bagaimana orang melihat anak saya nanti? Mereka akan mengejek anak saya, menyebut dia sebagai "si buta yang menari", apa Mbak ingin anak saya dipanggil seperti itu? terus terang saya tidak ingin mendengar itu,Mbak. Mbak lebih baik pergi dari rumah kami!!!" bentak Pak Narto pada Mbak Sri, Mbak Sri bergidik mendengar bentakan itu.
Murti menitikkan air mata lantas memeluk kaki bapaknya, pemandangan haru terpampang di depan matanya, Mbak Sri tidak mampu menahan air matanya juga.
"Pak, tolong ... untuk satu kali ini saja, Pak. Biarkan Murtie menari, Pak." Ucap Murtie lirih, air matanya terus mengalir di pipinya,
Pak Narto terdiam, sesak mulai menjalar di hatinya,
"Maaf, selama ini Murtie berbohong, Pak. Murtie benar-benar ingin menari, Pak. Cukup untuk satu kali ini saja, Murtie berjanji ini tarian yang pertama dan terakhir, Pak. Murtie berjanji..." ucap Murtie sesegukkan, tangannya menyatu memohon-mohon kepada bapaknya,
Pak Narto tak sampai hati melihatnya, ia membantu Murtie berdiri, menghapus air mata yang mengalir di pipi anak gadisnya itu,
"Baiklah, kamu boleh menari sekarang, Pergilah! Bapak akan menunggu kamu di rumah," ucap Pak Narto, Murtie mengangguk, ia memeluk bapaknya sebentar, menghapus bekas air matanya, lantas mendekati Mbak Sri yang juga tengah menghapus air matanya.
Acara pun dimulai, Murtie tengah berdiri tepat di depan pintu gerbang, menunggu yang terhormat bapak Gubernur Kalimantan Tengah, sampai akhirnya beliau pun memasuki pintu gerbang itu, Murtie dengan mahirnya meliuk-liukkan tubuhnya dengan gemulai menarikan tarian penyambutan bersama kakak-kakak pelatihnya.
Hari itu adalah hari yang paling sempurna bagi Murtie, senyum terus menghiasi wajahnya, meski dia memiliki kekurangan, keterbatasan dalam melihat, tapi Tuhan telah menyelipkan kelebihan dalam kehidupannya, menyempurnakan hidupnya, melalui tarian yang sangat indah yang tersimpan dalam dirinya.
***TAMAT***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top