LEPASKAN & HILANGKAN
[Telah terbit di salah satu buku Antologi Tema : Yang Ingin Ku Lupakan, Yusi Kurniati Dkk, 2018]
Sydney, 1994
Menikmati sendu dalam secangkir kopi saat subuh, bukanlah kebiasaanku, tapi nyatanya, sudah hampir enam jam aku kecanduan olehnya. Sepekan telah berlalu dari saat surat itu sampai ditanganku, isinya bukanlah hal yang menyentuh atau pun dapat membuatku tenggelam dalam amarah, hanya saja setelah membacanya aku menjadi tak karuan, aku bahkan menjadi terlalu malas untuk sekedar terlelap, surat itu membuatku semakin ingin membenamkan diriku pada seubreg pekerjaan kantor, yang sekarang hanya tersisa lembaran saja.
Jika aku bertanya lebih dalam lagi pada hatiku, aku yakin surat itu bukan lah apa-apa, karena hatiku dan hatinya sama-sama meyakini bahwa ini jalan terbaik untuk kami. Namun, rasa khawatir itu bisa-bisa saja muncul dalam waktu aku sendirian, mataku tak mau terkatup bagaimana pun caranya. Aku tak mengerti, sungguh.
"Baiknya aku bagaimana?" Pertanyaan itu selalu terngiang.
"Bagaimana jika aku ambil langkah ini, mungkinkah semuanya akan berakhir tragis? Atau mungkin, tidak?" Kebimbangan itu menelusup dalam relungku, tak pernah akan terbayangkan menjadi seperti ini.
Aku mengingat waktu, satu tahun lalu tepatnya, aku menganggap sepele hal ini. Saat itu aku masihlah seorang mahasiswi tingkat atas, artinya aku sudah berada di semester tua, tinggal empat bulan lagi aku harus menyelesaikan segalanya, tanpa terkecuali. Aku menjalani waktu dengan perasaan setengah-setengah, karena kuliah sudah mulai membosankan, sedang aku harus berkutat dengan bayang-bayang tugas akhir, yang katanya super sulit itu, hal yang membuatku kadang lebih senang untuk membolos dan menyelesaikan tulisanku dalam diam di kamar kost ku.
Sydney, 1993
Aku beberapa kali mendapat pesan dari sahabat lama, isinya selalu menanyakan hal yang sama.
"Dia kembali!"
Sejujurnya aku tak peduli, karena menurutku hal itu sudah tak ada hubungannya lagi denganku, tapi siapa sangka, wajah si Pria jangkung itu tiba-tiba merasuk dalam mimpiku, hampir setiap malam setelah kawan-kawanku mengabarkan kehadirannya.
"Dia kembali, Ran" Sapa kawanku sambil cekikikan.
"Berhenti menggodaku," Sanggahku,
"Kami tidak menggodamu, kami hanya menyampaikan berita."
"Aku pikir, kami tidak punya hubungan seserius itu sampai harus kalian beritakan kedatangannya," Air mukaku perlahan mengeruh, dua orang gadis di kiri kananku ini hanya tersenyum.
"Kalau tidak serius, kenapa dia selalu mengirimkan surat di ujung minggu?"
"Nah, betul itu. Kau juga sering balas suratnya, kan?" Tampak sekali mereka menatapku penuh curiga,
"Tak apa kan kalau teman lama saling bertukar surat?" Lagi-lagi ku coba mengelak.
Mereka serempak memutar bola mata, dan tentu saja dengan wajah yang tersenyum jengah.
"Kau pasti bercanda!"
"Sudahlah, kita pulang saja. Lama-lama di kampus bikin aku sakit kepala..." Aku menarik lengan keduanya, dan mereka hanya ikut saja.
Aku menutup pintu kamar kost dengan lesu, sejujurnya jika saja aku boleh jujur, aku cukup senang dengan semua hal ini, maksudku bertukar kabar melalui sebuah surat seperti ini, ada perasaan aneh dalam setiap kalimat yang ku baca, bahkan senyumku kian mengembang, entah... mungkin perasaan cinta yang dulu pernah muncul antara kami, kembali bermekaran. Akan tetapi tetap, aku tetap saja mengelabui hatiku.
Senja kala itu, aku menemukan surat di balik tirai jendela kost ku, tepat di atasnya tertera nama lengkapku dan nama si pengirim, aku tersenyum sembunyi-sembunyi dan bergegas memasuki kamar. Tentu saja surat itu langsung dibuka, aku membaca kalimat pertama dan aku terhenyak.
"Dia akan mengunjungiku sebelum kembali ke Indonesia?"
Aku masih terdiam, surat itu masih menggantung di udara dengan tanganku sebagai penyangga. Aku merebahkan diri dan coba untuk mengatur nafas. Apa maksud dari kunjungan itu merupakan sebuah misteri, karena saat aku memperhatikan kalimat di bawahnya hanya tertulis 'Mari bertemu hari senin. Salam rindu, Sam'. Aku melempar surat itu ke samping dan tertawa kecil, tapi lama kelamaan seperti orang kesurupan. Aku baru saja berdebar lagi, pada mantan kekasihku.
Lima belas menit lagi, maka hari minggu akan segera berakhir. Malam itu juga aku tak dapat tidur, aku begitu gugup dengan segala bayangan olehnya, si Pria jangkung, yang meninggalkanku beberapa tahun lalu tanpa alasan jelas, kini kembali. Aku mungkin akan tampak sangat bodoh, karena selama dua tahun terakhir ini aku mengungkapkan bahwa aku sudah berhenti menunggunya, aku sudah meneriakkan kebebasanku dan menjadi wanita independen. Namun, aku benar-benar lemah, hanya karena surat yang dikirimkan berlembar-lembar di tiap mingguku oleh tukang post langgananku, secara harfiahnya begitu, meski sebenarnya Samuel lah sang pengirim surat.
Aku terbangun di ujung kasur, aku tertidur karena mataku ternyata lebih kuat dari perasaan gugupku. Hari ini adalah harinya, aku tak tahu kami akan bertemu di mana, tapi hal itu tak akan ku pusingkan, yang jelas sekarang adalah aku harus bergegas menyiapkan diriku, sebelum aku terlambat dan tidak diizinkan masuk oleh Ma'am Rose dosen Grammar yang menjadi legenda di kampus, karena sosoknya yang disiplin waktu dan tidak pernah neko-neko.
Beberapa menit sebelum pelajaran di mulai, aku berlari di sepanjang koridor dengan perasaan campur aduk, pelipis ku basah karena rentetan keringat. Untungnya badanku yang mungil ini memberikanku kelebihan dalam berlari, jadi aku dapat mengejar waktu beberapa menit itu dan berhasil datang tepat waktu, sangat tepat waktu. Pelajaran pun dimulai, seketika dengan suara bersih dari Ma'am Rose meluncur dari ujung daun pintu.
Perkuliahan berakhir tepat pukul dua belas siang, dua gadis yang membututi ku kemarin hari ini datang lagi.
"Aku pikir kau bakal tak hadir hari ini," Dua gadis Indonesia ini langsung duduk di sampingku,
"Jika aku tak hadir, nilaiku mungkin bakal seperti kalian," Aku cekikikan, membuat mereka berdua menatap bingung,
"Surat kemarin isinya apa? Kok, tiba-tiba kau terlihat sumringah macam ini?" Gadis berdialek Batak ini menangkup kedua pipiku, membuatku menatapnya lekat-lekat.
Aku tak bisa berbohong jika melakukan kontak mata dengan orang lain, jadi aku cuma bisa mengatakan yang sebenarnya, "Dia mau bertemu, sebelum pulang,"
"Jadi, kau mau?"
Aku mengangguk, mereka tersenyum dengan tatapan "Apa kami bilang?"
"Kalau pun aku bilang tidak mau, suratnya juga bakal tak sampai padanya tepat waktu," Aku menghempaskan tangkupan tangan si Kana, mereka cekikikan sambil mengelus pipiku yang memerah.
Aku hanya tersenyum jengah, kemudian mengajak mereka pergi untuk makan siang di kafeteria. Entah, mungkin perasaanku saja, tapi hari itu kafetaria tampak lengang, biasanya mahasiswa-mahasiswa Australia atau dari negara lain akan berjejal atau paling tidak hanya duduk-duduk di sini, tapi ini benar-benar sepi, hanya satu dua orang saja dan kami bertiga.
"Jika kalian mencari manusia-manusia yang biasa ada di sini, kalian bisa temui mereka di auditorium, katanya ada beberapa tentara Indonesia berkunjung dan memberikan sosialisasi,"
"Tentara?" Sahut kami berbarengan,
"Iya, dan ku dengar mereka sangat tampan," Bibi penjual minuman itu tersipu.
Aku menatap kedua sahabatku ini, mereka menatapku dengan tatapan yang sama. Hingga kami pun bergegas menuju auditorium.
Pintu otomatis terbuka saat kami bertiga menginjak sensornya di depan bangunan ini, ada dingin yang menusuk tiba-tiba, karena ruangan ini menggunakan pendingin ruangan. Aku terkesiap melihat seorang pemuda dengan gagahnya berdiri di panggung, senyumnya terukir pada tiap orang menyapanya, mataku hanya tertuju pada satu orang itu, padahal ada lima orang di kiri kananya berjejer.
Aku berjalan mendekat dan terus mendekati panggung, dua sahabatku mengekori. Aku berhenti sekitar lima meter dari panggung, dengan tatapan masih tertuju padanya, dan saat wajahnya berpaling ke arahku, mata kami bertemu, dia langsung sumringah, aku hanya balas senyum kecil, sedikit tersipu.
"Hi~" Ia menyapa tanpa suara, tangannya terangkat di depan dada dan melambai kecil.
Aku juga balas menyapa dan melambai malu-malu, sembari menutup air mukaku yang mungkin sudah berubah kacau balau, karena menimbulkan ekspresi aneh, antara berusaha keren dan malu.
Kedua sahabatku menarikku langsung ke kursi penonton, karena mereka menyadari bahwa hanya kami yang berdiri di tengah-tengah tribun, hingga menarik perhatian pembawa acara. Aku akhirnya sadar saat tepuk tangan riuh dari penonton yang ditujukan untuk kami, pembawa acara mengatakan bahwa kami adalah penonton yang cukup bersemangat, menyadari lagi akan hal itu, aku hanya bisa menutup wajah seolah dikejar oleh paparazzi.
Pewara itu pamit undur diri, sembari bersalaman, para tentara itu yang berjejer rapi tadi di ajak untuk berfoto bersama dengan para mahasiswa, sehingga mahasiswa yang tadi hanya bisa menonton dari jauh dapat mendekati panggung. Acara ini sebenarnya cukup sederhana, hanya bercerita tentang kehidupan para tentara yang menjadi delegasi dari negaranya untuk bertanding, lalu kemudian memberikan sosialisasi tentang pesan perdamaian dunia yang di serukan oleh PPB beberapa tahun terakhir.
"Semuanya menghadap ke kamera!" Salah satu staff member aba-aba.
Kami –aku, Kana dan Rasha berlari mendekati panggung agar dapat terlihat jelas di kamera, tapi seseorang menahan lenganku, membuatku tertinggal dari keduanya, aku berbalik dan mendapati pria jangkung itu tersenyum, menarikku dan merangkulku, hingga ku rasakan cahaya menyilaukan sesaat masuk ke retinaku. Demikian ini akhir hidupku, aku yakin baru saja berfoto dengan wajah linglung, sedang pria di sebelahku ini tersenyum dengan deretan gigi putihnya.
"Kau ini mengagetkanku saja..." Aku menepis rangkulannya,
"Oh, Sorry. I didn' mean that..."
"Jangan sok Inggris!" Aku menyikut perutnya dan berusaha bersikap ketus,
"Baiklah, dasar orang Indonesia," Dia cekikikan.
Aku menatap tajam ke arahnya dan dia berhenti, aku hanya tersenyum kecil dan dia balas tersenyum juga.
Kana dan Rasha menatap kami berdua, mereka memandang kami yang nampak canggung, karena dari tadi tak ada yang memulai pembicaraan, percakapan kami berhenti saat Samuel mengajakku ke luar auditorium, untungnya dua sahabatku ini mengikuti, aku mungkin saja bisa mati berdiri karena gugup.
"Kami pergi saja, ya!" Dua orang itu melangkah pergi, aku coba menarik mereka tapi percuma.
"Begini lebih nyaman..." Dia berbicara dengan halus, setelah dua orang itu pergi,
"Akhirnya..." Batinku.
Percakapan kami tentu saja tidak jauh dari pertanyaan apa kabar, lalu dilanjutkan dengan kabar sanak keluarga dan mungkin tetangga masing-masing, hanya untuk pemecah suasana saja sebenarnya. Dia menyeruput kopi kemudian tersenyum, wajahnya nampak serius dari sebelumnya.
"Jadi, aku ingin minta maaf, tentang dulu pernah pergi tanpa alasan yang..."
"Berhenti di sana, aku pikir kita tidak perlu membahas masa lalu," Aku dengan sigap memotong pembicaraan, agar dia tidak mengungkit rasa sakitku yang teramat dalam itu.
"Tapi aku hanya ingin kau tahu, agar semua bisa kembali lagi, kita bisa membuka lembaran baru,"
"Tunggu, aku tak mengerti. Lembaran baru? Bukankah kita sudah membuka lembaran baru masing-masing, kita sudah mulai membuka hati untuk berteman satu sama lain. Benar,kan?" Aku berusaha tak mengerti dengan apa yang dikatakan olehnya, tapi jujur aku mengetahui arah pembicaraan ini. Aku cukup senang, sungguh.
"Yah, kau tahu, aku memang mengecewakan, seharusnya tidak pergi, aku menyesal telah pergi. Aku ingin kita bisa kembali, aku masih menyayangimu," Matanya menatapku lekat, membuatku salah tingkah.
Ada perasaan aneh dalam hatiku, yah... perasaan klasik yang mungkin dirasakan tiap orang saat mendengar pernyataan cinta, tapi ada perasaan di mana seonggok daging tersangkut di ujung tenggorokanku, rasanya ngilu dan membuatku berat menelan ludah. Aku ingin, tapi tak ingin. Aku bimbang.
"Bagaimana,ya? Sulit untuk mengucapkannya..." Aku menggantung kalimatku di awang-awang.
"Apa? Kau tidak ingin bersamaku lagi?" Wajahnya nampak kecewa.
Jujur aku bukanlah orang yang bisa menolak orang lain, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku, aku tahu seonggok daging tadi itu apa, itu bekas hatiku yang robek dan luluh lantah. Dia menjadi pengingatku, sensor ketika jantungku berdegup dengan cepat untuk orang lain, bahwa ada dia yang sudah susah payah untuk bertahan. Ya, dia hatiku.
"Kau tahu kan pepatah, kalau jodoh tak akan kemana?" Dia mengangguk,
"Aku pikir hal yang serupa, aku merasa senang bisa berteman denganmu, kita bisa dekat seperti ini, menyenangkan. Tapi, aku tidak bisa memberikan jawaban atas permintaanmu. Sejujurnya, jika maksudmu kembali bersama adalah berpacaran, aku pikir aku tidak berminat lagi, aku lebih memilih menikah saja, tapi karena tugasku sebagai mahasiswi belum selesai, kewajibanku pada orang tuaku belum gugur. Jadi, ya seperti itulah, aku tidak meng-iyakan ataupun menolak."
Dia mengangguk-angguk, wajahnya yang serius dengan dagu yang bertopang pada kedua tangannya ikut berayun naik turun, tanda mengerti. Lalu, ia tersenyum.
"Baiklah, aku pikir kita masih bisa seperti ini saja, tetap dekat. Nanti, jika sudah sampai waktunya, maka aku akan bertamu ke rumahmu, bertemu dengan orang tuamu."
"Iya, aku setuju. Mari berteman dengan baik," Aku menawarkan kedua tanganku dan kami berjabat tangan dengan ria, wajah kami menarik sudut sempurna, seperti pelangi terbalik, dengan mata yang memancarkan harap.
Sydney, 1994
Aku berkaca pada cermin yang memunculkan setengah bagian tubuhku, aku membalut diriku dengan gaun semata kaki berwarna putih yang memiliki kesan jatuh, membuatku tampak terlihat tinggi. Riasan sederhana ku sebarkan di seluruh wajahku, memberikan warna yang lebih cerah tepat di bawah mataku, tujuannya hanya untuk menutup kantung mata, yang berhari-hari ini bergelayut di bawah mataku.
Aku mengambil sepatu warna senada dan tas tangan berwarna putih tulang, rambutku ku biarkan tergerai, menutupi bahuku yang juga di tutupi oleh blazer hitam, sampai ke pinggang. Aku berdecak kagum menatap diriku dari kaca besar di depan auditorium, hari ini aku akan di wisuda.
"Rani!!!" Dua gadis yang biasa bersama ku berhambur dalam pelukanku,
"Cantiknya...!!!"
"Kalian juga," Ucapku lembut, mereka tampak sumringah. Beberapa menit kemudian, kami memasuki auditorium, bersama keluarga kami.
Hari wisuda sudah terlewati, sejujurnya aku masih merasa terganggu dengan surat yang dikirimkan Samuel beberapa minggu lalu, aku tidak menjawabnya, karena aku ingin membalas perbuatannya, karena hampir dua bulan dia tak mengirim kabar, lalu di surat terbaru dia hanya mengucapkan 'Maaf'.
Ini aneh, kami dekat kembali setahun terakhir, dan sejujurnya aku mempertanyakan ucapan manisnya, yang sekitar enam bulan yang lalu ia lontarkan itu. Lalu, kenapa dia melakukan hal yang sama seperti dulu,? Pergi tanpa sepatah kata pun. Aku hanya berharap dia tertembak saat bertugas, untuk membuat hatiku dapat lebih mudah menerimanya. Namun, bagaimana mungkin dia bisa mengirimkan surat permintaan maaf itu?
Aku akhirnya mendapat jawaban setelah sebulan berlalu, tepat sehari setelah aku kembali ke Indonesia. Aku kembali menerima surat, bukan surat pribadi, melainkan surat undangan. Lalu, yang lebih lucunya lagi adalah dua sosok pengirim surat itu.
"Undangan Pernikahan Samuel dan Rasha,"
Tanganku bergetar, kaki pun ikut bergetar, pada kenyataannya seluruh tubuhku bergetar hebat, bukan karena gempa bumi, tapi gempa yang melanda hatiku dan jiwaku. Aku baru saja dikhianati, oleh dua orang yang menjadi pendamping hidupku selama beberapa tahun terakhir. Aku terluka hingga aku tak tahu bagaimana caranya berdiri, Kana yang mengirimkan surat itu padaku menatapku iba dan memelukku. Kami sama-sama tak mengerti dan terluka, dia menguatkanku, sedang air mataku tak lagi terbendung. Dia yang kembali mengakhiri ini dengan tragis.
Minggu itu sudah terlewati, hari kapan mereka bersanding. Aku kembali ke Sydney, seminggu setelah badai berlangsung. Lagi, dengan hati yang baru aku menguatkan diri, berusaha melupakan yang telah terjadi, mengikhlaskan cinta ini terluka lagi, dengan orang yang sama. Hingga aku tak peduli lagi, kali ini mari kita lupakan yang telah terjadi.
Luka... Selamat Tinggal, selamat berpisah. Dari 'hanya' Aku. Tambahan: si Penimang Luka dan Penabuh Tawa.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top