JANGAN LUKAI, JANGAN ABAIKAN
[Telah terbit dan berhasil mendapat penghargaan 3rd Winner dalam Antologi Cerpen : Sepenggal Kisah Perjalanan, CatatanSeorangEha dkk, 2018]
Benarkah? Jika kisah di masa lalu adalah sebuah pelajaran? Lalu bagaimana dengan aku? Aku yang tersemayam dalam laut kepedihan masa lalu, tak pernah mampu menjadikannya pelajaran, karena setiap aku mengingatnya, aku hanya mengenang tangis lirih dan tawa kejam makhluk-Nya. Tolong... untuk kali ini saja, jangan lukai dan jangan abaikan aku. –Keyla Yuniar-
Langit bagai pemecah sinar matahari, cerah begitu cerah sampai mata ini berat untuk membuka walau sedikit, tapi lain cerita bagi Keyla yang memiliki mata kuliah di jam siang yang begitu hangat –panas membara-. Bahkan angin pun tampak malu-malu barang untuk lewat sedikit saja, semua orang tampak begitu sesak dan layu, begitu pun Keyla, tapi lagi-lagi dia harus selalu waspada pada setiap pertanyaan dari orang di depannya.
"Jadi, bagaimana? Apa kamu yakin dengan susunan rencana pembelajaran itu, Key?"
Tangan gadis itu mengepal dengan kuat, pandangan matanya tak fokus, hatinya bahkan terasa panas seakan seseorang baru saja menyalakan api di sana. Mulutnya yang terkatup rapat, kini membuat getaran kecil di bibirnya, sesekali dia berdehem pelan.
"Saya sudah merasa puas, Pak." Dengan sigap Keyla menjawab pertanyaan dosennya itu, meski dia masih belum mampu menatap lurus pada mata sang dosen.
"Kamu yakin hanya dengan menggunakan aplikasi ini saja?"
Lagi, pertanyaan andalan sang dosen. Beliau ini memang suka membuat mahasiswanya ragu dan tak yakin, sehingga sulit untuk memutuskan apa yang harus dikatakan padanya.
"Sejujurnya tentang aplikasi, saya benar-benar tidak tahu, jadi dalam pembuatan rencana pembelajaran ini pun, saya hanya bisa menggunakan aplikasi sederhana ini untuk mengajar. Akan tetapi, mungkin Rasya, Marhan dan yang lain bisa memberikan pendapat. Bukan kah di kelompok ini saya tidak sendiri?"
Keyla memandang segerombolan mahasiswa dan mahasiswi di sampingnya, mereka tampak menunduk, mengabaikan dan bungkam.
"Sya! Han! Bagaimana pendapat kalian?!"
Suara Keyla penuh dengan penekanan dan sedikit bergetar menahan amarah, dia benar-benar tidak mengerti terhadap dua orang yang benar-benar hebat ini, ya... mereka hebat, mereka dua orang yang paling dibanggakan di kampus, sang ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) tingkat universitas dan fakultas. Keyla terhenyak, mendapati anggukan dan senyum tengil mereka, yang menganggap bahwa perkuliahan ini sangat mudah dan tidak ada apa-apanya.
"Ya, bagaimana, Sya? Han?" Pak dosen melempar pertanyaan.
"Menurut saya sudah tepat," Dengan santainya dia menjawab, sedang tangannya masih sibuk dengan game yang muncul di layar ponselnya. Begitu pun dengan Marhan yang hanya mengangguk-angguk tanda setuju.
Hal itu membuat Keyla kembali mengeratkan kepalan tinjunya yang kanan di atas meja kuliahnya itu, sedang tangan kirinya sibuk memijit pelipisnya. Benar-benar tidak ada reaksi bantuan dari mereka sedikit pun, apalagi dari teman-temannya yang mahasiswa biasa saja.
"Saya pastikan tetap menggunakan rencana pembelajaran itu, Pak. Mungkin akan sedikit revisi di bagian evaluasi dan penilaian nantinya." Keyla berusaha tersenyum, padahal suhu badannya sedang meningkat tajam, karena hatinya yang tertohok di dalam.
"Baiklah, kalau begitu. Silahkan beres-beres," Dosen itu mengangguk, lalu memberikan kesimpulan dan menutup perkuliahan.
Keyla dengan cepat membereskan segala peralatannya, dengan wajah es batunya yang dingin dan juga kaku. Dengan sekali tarik, tas ransel itu sudah berada di bahunya, selang dua detik setelah dosen keluar dari lokal, Keyla juga beranjak dari ruangan itu tanpa satu kata pun terangkai dari mulutnya, bahkan senyumnya pun terhapus begitu saja. Gadis itu berjalan tanpa memandang ke belakang sedikit pun, toh tak ada satu pun orang yang akan memanggil namanya, apalagi untuk bertanya bagaimana keadaanya. Batu kerikil di area parkiran, serasa semakin tajam saja di kaki gadis bertubuh gempal itu, membuatnya mengatup mulut menahan sakit di kakinya, padahal sakit itu juga berasal dari hatinya.
Dengan cepat, ia mengendarai sepeda motor dan meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan dia memutar otak, berbicara dalam hati bahwa dia bahagia, dia harus bahagia dan jangan terluka, dia mensugesti dirinya agar tidak menyimpan itu dalam hatinya dan biarkan saja berlalu. Namun, nyatanya hati tak akan pernah mau ditipu, air yang terkandung dalam jendela dunianya, terhempas begitu saja menggenang bak aliran sungai yang berarus deras, tangannya kanannya sibuk menahan laju kendaraannya, sedang yang lain sibuk menghapus aliran itu. Meski dia menepisnya, aliran itu tetap terbuat, hingga tanpa dia sadari, dia sudah melewati perbatasan antar kota, dengan sedikit kekuatan dia pun berusaha mengembalikan akal sehatnya, dan memutar balik sepeda motor kembali ke kosnya yang nyaman.
Keyla berbaring, matanya menatap lurus pada dinding beton kamar kosnya, ada bercak bekas tetesan hujan di sana, aliran itu entah kenapa tidak mau menghilang, sepertinya hujan ingin dirinya selalu dikenang dalam kamar ini, meski kadang terabaikan.
Keyla tersenyum miris, "Kita sama, kita terlihat dan kita selalu ada di sana, tapi kita selalu diabaikan, tidak tahu apa gunanya jika berada di sana dan dianggap menghancurkan pemandangan, ya kan? Maaf ya, jika aku mengabaikanmu,"
Gadis itu tampak meringis, hatinya sakit lagi, buliran air matanya mengalir lagi.
Hari esok adalah ulang tahunnya yang ke-21, hal ini pun terjadi setahun yang lalu, saat dia harus menyampaikan seluruh isi hatinya kepada teman-teman sekelasnya, dia mengalami banyak pergolakan saat itu, membuatnya sering uring-uringan dan marah tanpa sebab, membuatnya sedih tak berujung dan bahkan kadang tertawa pada lelucon yang benar-benar tidak memiliki sisi lucu untuk ditertawakan. Gadis itu sudah menyadari gelagat jiwanya ini sejak saat itu, dia mengalami kenaikan dan penurunan emosi dalam taraf yang dia sendiri bahkan tak bisa mengukurnya. Sebenarnya dia masih ragu, kalau ada trauma yang dideritanya, dia takut bahwa kemungkinan mengidap bipolar itu benar, sehingga Keyla hanya mampu memendamnya sendiri, daripada pergi ke psikolog.
Sewaktu air matanya mengalir, waktu akan selalu berjalan mundur di pandangannya. Otaknya akan mengulang kembali kisah masa lalu yang tidak akan pernah terlupa, sayangnya dia tidak mampu mengingat walau hanya sebuah kenangan bahagia, semua kenangan itu selalu tertutup pada kenangan yang menyebabkan luka dan rasa pahit. Ada hal yang tak pernah dia lupakan, kisah hidupnya yang bahkan hanya segelintir orang yang tahu, atau mungkin orang yang mau mendengarkan tetang cerita itu.
Lima belas tahun yang lalu tepatnya, saat dia menginjakkan kakinya di lantai sebuah SD swasta di daerah tempat tinggalnya, memiliki teman baru dan harus mempelajari hal yang baru, menjadi tantangan setiap anak saat itu, akan tetapi untuk Keyla ada dua hal yang menantang kehidupannya lebih dari orang lain, yang menjadi awal baru sekaligus cerita menyakitkan dalam hidupnya. Semua itu tentang sikap ayahnya dan sikap teman sekelasnya.
Gadis itu tak pernah tahu sejak kapan ayahnya mulai berubah, karena meski pemarah saat dia di taman kanak-kanak, ayahnya tetap ramah padanya, tapi amarah ayahnya itu lebih parah saat dia SD.
"Kamu ini benar-benar bodoh!!! Begini saja kamu tidak bisa?!" Teriakan ayahnya menggema di seantero rumah, membuat Keyla terperanjat dan menitikkan air mata.
"Kenapa menangis? Siapa suruh menangis, hah? Bodoh!!!" Ayahnya nampak beberapa kali mendorong kepala Keyla, membuatnya kembali menangis sejadi-jadinya.
"Malah tambah nyaring? Berhenti menangis dan kerjakan PR kamu dengan benar!"
"PAKK! BUGH!" Tamparan keras di pipi dan punggungnya, membuat Keyla terdorong ke atas meja, membuat perutnya terbentur pada ujung meja.
"Ampun, Ayah... Ampun..." Rengekkan Keyla berayun dengan suara tangisnya yang semakin pecah.
Ibu Keyla nampak memandang dari jauh, sedikit ketakutan muncul di semburat wajahnya, dia bingung harus melakukan apa, dia serba salah. Ayah Keyla pun hanya menggeram dengan tatapan tajam, dia benci ketika anaknya tak mampu mengerjakan sebuah soal dan hanya bisa menangis, meski begitu dia hanya berlalu ke kamar tanpa sedikit pun menenangkan Keyla.
"Kamu kenapa sih? Sudah jangan nangis lagi! Kalau kamu nangis lebih kencang, Ayah nanti malah tambah kesal," Ibu Keyla nampak menarik Keyla dalam pelukannya, meski sebelumnya dia sempat mencubit beberapa kali tangan Keyla agar berhenti menangis, Keyla pun masih sesegukkan walau air matanya sudah berhenti berderai.
Hal itu terjadi berulang-ulang, tapi ada saat semua orang mendapati sikap ayahnya yang penyayang, saat itu adalah waktu dimana semua keluarganya berkumpul di rumah neneknya Keyla, keluarga dari luar kota akan datang dan semua orang menyambut dengan kebahagiaan. Dua sepupunya –anak paman kakak ayah- merupakan dua anak yang ceria, ramah dan berprestasi, mereka sangat disayang kedua orang tuanya, apa pun yang mereka lakukan akan diceritakan pada sanak keluarga.
Keyla selalu menatap mereka penuh hormat dan takjub, keinginan untuk dipuji di hadapan sanak keluarga oleh ayah sendiri merupakan keinginan terdalamnya. Tetapi, itu bukanlah keinginan yang mudah, ayahnya bukan orang seperti itu, dia justru lebih senang memuji orang lain dan bersikap ramah pada orang lain. Sejak saat itu, Keyla menyadari bahwa dia diabaikan, dia dilukai perasaanya oleh ayahnya sendiri, membuatnya cemburu dan membenci sepupunya.
Begitu lah seterusnya, setiap Keyla tidak mengerti dan tidak mampu menjawab soal dari pelajarannya, ayahnya akan dengan suka rela memainkan tangan untuk memukul dan mengeluarkan sumpah serapah terhadap anak gadisnya itu. Pernah suatu hari ayahnya berucap untuk menghabisi nyawanya, membuat Keyla tak bisa tidur dan takut sewaktu-waktu ayahnya benar-benar akan membuatnya pergi dari dunia ini. Padahal pada anak-anak lain ayahnya itu mampu menjadi sosok ayah idaman, yang bisa membawa keluarga dalam suka cita. Perasaan itu pun muncul dalam benak Keyla, rasa takut hingga perasaan diabaikan muncul dalam hatinya, hingga sulit untuknya memaafkan sikap ayahnya itu, membuat trauma dalam hatinya.
Walau kehidupan di rumahnya benar-benar hancur dan luluh lanta, Keyla selalu berusaha tersenyum saat di sekolah, dia berpikir di sinilah dia bisa merasa tentram, menjadi orang lain yang selalu ceria, bertolak belakang dengan hidupnya di rumah. Sekolah menjadi rumah yang indah untuk Keyla, ada sahabat-sahabat baik yang membawanya berbincang dan tertawa. Bermain disertai belajar membuatnya menjadi anak yang berprestasi di kelas, dia selalu mendapat peringkat 1 sejak dirinya berada di kelas satu. Mungkin, itu salah satu keuntungan belajar yang dipaksa dengan keras oleh ayahnya selama ini, meski begitu dia tidak pernah bahagia karenanya. Peringkat pertama hanyalah kebanggaan kecil untuk dirinya sendiri di lingkungan sekolah, sehingga setidaknya saat di sekolah dia dapat menjadi orang yang dibanggakan para guru, meski di rumah prestasi itu hanya dianggap tulisan di atas kertas saja.
Hanya saja lagi, perasaan bahagia bersama sahabat itu hancur, ketika sahabat satu-satunya yang ia miliki, harus pergi untuk selama-lamanya. Keyla nampak terpukul, dia tak tahu harus bersikap seperti apa, di pemakaman pun dia hanya melihat dari jauh, mengantar kepergian sahabat sejatinya yang pertama dan juga terakhir. Mengapa menjadi terakhir? Karena setelah kepergiaannya itu, sulit bagi Keyla untuk bertemu dengan sahabat yang setulus gadis itu. Selama dua tahun berteman, mereka sulit terpisahkan, Keyla sering ke rumah gadis itu untuk sekedar bermain dan belajar berenang, kadang dia juga akan dijemput kakak gadis itu untuk menemani dia berobat, gadis itu memang sakit-sakitan karena beberapa hal yang cukup panjang untuk diceritakan.
Sepeninggal gadis itu, Keyla menjadi penyendiri lagi, tekanan amarah ayahnya di rumah saat pagi, menghanyutkan ia dalam lamunan saat berada di hari pertama tahun ajaran baru, hingga tanpa ia sadari kelas dipindah ke lantai dua, membuatnya terlambat untuk mendapatkan bangku di depan sesuai yang dipilihkan ibunya pagi itu. Keyla berjalan dengan gontai ke kursi paling belakang, duduk di samping temannya semenjak taman kanak-kanak, tanpa ia ketahui ada gadis yang kembali dengan senyum penuh makna, duduk di kursi paling depan.
Dia tidak tahu sejak kapan dan di mana, tapi gadis tinggi itu tampak tidak terlalu menyukainya, Keyla benar-benar tidak tahu apa kesalahan yang telah diperbuatnya, yang jelas gadis itu mulai mencari gara-gara dengannya. Awalnya Keyla memiliki cukup keberanian karena gadis itu anak baru, tapi nyatanya gadis itu memiliki setengah bahkan mungkin lebih kekuatan para gadis di kelas. Keyla kebingungan, mencari cara untuk bisa mengatasi masalah ini, dia tidak mampu melawan kekuatan teman-temannya dan gadis itu. Sampai Keyla tahu, gadis ini ternyata cukup kaya untuk membuat gadis-gadis lain bersekutu dengannya.
"Ayo, berdiri!" Gadis tinggi itu berdiri, diikuti oleh gadis-gadis lain, membuat Keyla nampak bingung mencari jalan untuk melihat tulisan di papan tulis.
Saat Keyla berusaha memiringkan diri ke kanan, mereka juga menutupi, begitu pun sebaliknya. Saat haal itu membuat Keyla jengkel, gadis-gadis itu akan tertawa kegirangan, dia benar-benar terluka, perasaan itu menumpuk dalam hatinya. Dia bahkan tidak dapat menceritakannya kepada para guru, dia tidak bisa menceritakan bukan karena takut, tapi tak adanya bukti bahwa dia sudah menjadi bahan pembully-an. Keyla selalu dipergunjingkan, hampir semua gadis berusaha untuk membuatnya jatuh dan tidak bisa mendapat peringkatnya lagi, ia mendapat cacian dan makian dari gadis-gadis itu, beruntung teman sebangkunya dan dua orang gadis di meja sebelahnya masih mau berteman baik dengannya.
Lembab dedaunan malam mengatup sebagian oksigen di bumi, malam masih terang dengan hadirnya bulan dan bintang, angin yang berhembus terasa sejuk meski menggelitik kulit. Beberapa kali Keyla mencoba untuk membujuk ayahnya, tetap saja jawaban "Tidak," terus terucap, dia ingin pindah sekolah, meski dia tidak menangis selama di sekolah, dia hanya membawa luka itu ke rumah dan menumpahkannya, tapi lagi-lagi bukannya pelukan hangat dan suara lembut menenangkan jiwa, yang ia dapat hanya komentar pedas dan pukulan panas yang kadang mendarat di kepala, tangan, punggung atau bahkan kakinya.
"Ayah tidak mau kamu jadi orang lemah, lawan saja mereka! Apa susahnya?"
"Mereka bahkan mengajak Keyla untuk berkelahi di lapangan, Key mungkin bisa dikeroyok nanti," Keyla berbicara sembari terisak.
"Ya, lawan mereka! Atau panggil guru, memangnya apa sih pekerjaan gurumu itu?!" Ayah Keyla mulai nampak meradang.
"Key... Ibu mau memindahkan kamu, tapi sekolah negeri tempat teman Ibu tidak mau menerima murid dari sekoah swasta," Ibu mulai angkat bicara, tangannya sedikit gemetar saat mengelus pundak anaknya itu.
"Key harus pindah, Bu." Keyla nampak sesegukkan, badannya juga ikut bergetar seiring buliran air matanya membuncah.
"Cukup! Buang ingusmu, sana! Abaikan saja mereka, belajar saja betul-betul. Dasar anak bodoh!!!" Lagi, pecah lah amarah ayah Keyla, membuat semua orang di ruang tamu itu bungkam seribu bahasa, tak berani melawan sedikit pun.
Dua tahun, menjadi waktu yang cukup untuk menghancurkan mental dan pikiran Keyla. Sulit mencari sedikit kebahagiaan untuknya, baik itu di rumah maupun sekolah, tak ada satu pun tempat yang mampu menghangatkannya. Sudah beberapa kali dia dijebak oleh kawan-kawan sekelasnya, beberapa kali dikhianati, hingga di kelas 5 dia terpaksa harus turun dari peringkatnya dikarenakan fitnah teman-temannya di hadapan wali kelas mereka.
"Dia memberikan contekan PR pada kami, Bu" Seru teman-teman sekelas Keyla,
"Benar itu, Key?" Tatapan tajam dari guru wali kelas itu menusuk langsung ke retina Keyla, membuatnya terpaksa mengangguk perlahan.
Semenjak itu Keyla tidak memberikan contekan lagi, dia selalu ingin tertawa mengingat hal itu, sebuah kekonyolan yang membuatnya terjebak, seharusnya dia berucap dengan lantang, jika dia tidak memberi contekan maka tidak ada yang mau berteman dengannya, tapi dia mungkin akan kembali diabaikan ata hanya ada dalam status teman pura-pura. Hingga di ujung waktunya di sekolah dasar, tak ada sedikit pun perasaan yang mampu diingatnya sebagai suatu kebahagiaan, ditambah lagi dengan sahabat yang paling dipercayanya memutuskan tali persahabatan mereka, membuatnya tak ingin lagi kembali ke masa itu atau bahkan sekedar bertemu dengan mereka.
Keyla nampak sesegukkan, air matanya terus berlinang, tangannya memeluk erat kakinya, kepalanya bersender pada kedua lututnya. Mencoba untuk melafadzkan dzikir-dzikir penyejuk jiwa, menenangkan hatinya bahwa semua akan baik-baik saja. Perasaan luka, cemburu dan amarah menjadikan dirinya penuh dengan trauma masa lalu, dia tidak mampu dilukai, dia tidak mampu diabaikan. Namun, karena rasa itu juga, dia menjadi orang baru, dia mampu membenci orang lain, dia mampu menyakiti orang lain, padahal dia benci hal itu. Hingga disetiap tangisnya sekarang, dia mulai membenci dirinya sendiri.
Saat dia berbicara sendiri pada Tuhan, dia meminta tak ada lagi waktu yang sama seperti dulu, dan jangan jadikan ia sama seperti orang-orang itu. Meski gadis kecil itu terus bersemayam dalam dirinya, Keyla berharap akan kebahagiaan, sampai saat nanti menjemput tawanya di masa depan.
-TAMAT-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top