GREAT TIME
Pernah suatu ketika, saat dedaunan hijau itu mengering, dia jatuh tepat di atas kepalaku, memandang lekat ke atas, di sana cahaya matahari seolah mengintip, aku teringat suatu hari di 2018, saat aku benar-benar tersadar akan arti diriku sesungguhnya di dunia ini.
Hari itu merupakan hari ulang tahunku yang ke-21. Setelah lama aku berkutat dengan laptop dan juga tugas-tugas kuliah yang nampak tiada akhir, aku akhirnya pulang ke rumah, bukan kost lagi. Aku beristirahat pada sebuah kamar tenang yang telah ku rindukan selama dua bulan terakhir.
"Anna," suara lembut itu memasuki pendengaranku, mataku mengerjap dan langsung saja menatap pintu.
"Ya?" ku balas lembut pula senyumnya, sembari diriku bangun dari kasur ternyaman itu.
"Lekas mandi, setelahnya kita pergi makan di luar untuk merayakan hari ulang tahunmu."
Aku menatapnya heran, "Kenapa tidak di rumah saja?"
"Ayah ingin makan di luar dan Ibu terlalu lelah untuk mempersiapkan segalanya di rumah,"
Aku mengangguk pelan, kaki ku terulur turun dari ranjang dan bergegas menggapai handuk yang biasa ku gantung di belakang pintu. Aku merapikan penampilanku dalam waktu singkat, tak seperti aku biasanya. Karena aku telah berjanji, aku akan berusaha menjadi orang baru, karena umurku telah berganti dan itu artinya aku juga harus menyesuaikan kedewasaan berpikirku denganya.
Semua orang nampak siap, ayah, ibu dan adikku semuanya sudah berdandan dengan rapi. Malam itu kami makan di sebuah kafe tidak jauh dari rumah, tapi ayah sengaja mengajak kami menaiki mobil agar setelahnya bisa pergi jalan-jalan ke tempat lain.
Waktu berjalan begitu lambat, ketika kami sama-sama sudah kelaparan, tapi tak ada satu pun dari pesanan kami yang disediakan di atas meja, suasana hening kafe itu membuat kami juga hanyut dalam keheningan dan kelaparan kami masing-masing.
"Mana, ya?" Aku bergumam, ingin rasanya memecah suasana beku itu, tapi aku takut nantinya malah mengacaukan suasana.
Ya... takut, biar ku ceritakan sedikit tentang perjalanan hidupku beberapa tahun silam, aku adalah anak yang begitu takut pada ayahku sendiri dan kami sekeluarga tahu itu, di rumah pun, ayah dan ibu, keduanya sama-sama orang yang tidak pernah dengan mudahnya menunjukkan perasaan pribadi mereka, seperti pelukan hangat, ucapan kata cinta dan kasih sayang, sehingga perasaan canggung muncul antar anggota keluarga.
Aku pun akhirnya juga tak bisa menunjukkan perasaan asli ku, sejak kecil aku lebih dominan ke sifat peniru dan itu akhirnya menyebabkan diriku bisa berubah-ubah sifat tergantung kondisi, tempat atau teman yang ada bersamaku, semuanya mudah mempengaruhi aku. Hal itu menjadi kebiasaan, menghilangkan sifat asliku yang sampai sekarang aku tak pernah bisa mengingatnya.
Ada hari saat aku benar-benar lelah dengan segalanya, aku mengamuk pada teman-teman sekelasku dengan cara keluar dari ruang obrolan kelas, mereka menyalahkanku akan hal itu dan ku akui, aku memang salah saat itu, sebabnya tidak lain hanya karena aku ingin diperdulikan, karena teman-temanku adalah sekumpulan orang hebat di jurusan kami, aku juga ingin menunjukkan bahwa aku juga punya sesuatu yang hebat, tapi sekali lagi caraku memang sangat kekanakan. Aku tidak bisa memaksa seseorang menyukaiku, apalagi sampai harus memujaku dan akhirnya ku sadari benar akan hal itu.
Malam semakin larut, tapi suasana hening yang mencekam di kafe itu perlahan menyurut, karena banyaknya orang-orang yang datang, pesanan kami pun sudah tersedia.
"Ternyata diam dari tadi, karena lapar ya?" Aku memecah suasana di antara kami, semua orang tersenyum mendengar lelucon receh yang ku lontarkan, aku juga balas tertawa.
Apa yang sebenarnya aku kisahkan kali ini, hanyalah sepenggal kisah perjalananku, saat aku larut dalam waktu bersama keluargaku untuk ulang tahunku. Pikiranku meronta ke segala hal yang telah terjadi padaku, bagaimana peniruan sifat bisa mengubahku terus menerus menjadi seseorang yang tidak konsisten dan sensitif, bagaimana akhirnya diriku menemukan jati diri setelah aku mendapat sebuah pengumuman di postingan instagram.
"Dua puluh empat penulis terpilih... An... Anna Lestari!" Aku berusaha keras menahan suara teriakanku, tapi sulit.
"Ada apa Anna?"
"Anna berhasil masuk sebagai penulis terpilih, Bu. Akhirnya perjuangan Anna terbukti..."
Ibu tersenyum, Ayah memalingkan wajah saat aku menatapnya, tapi ku lihat lengkungan kecil itu muncul dari ujung bibirnya.
"Aku terpilih, nih."
"Apaan, sih?" Adikku nampak risih, tapi akhirnya dia terkekeh.
Makan malam hari itu tak pernah terlupakan, saat akhirnya kami sekeluarga bisa duduk di satu meja dengan makna senyum yang sama. Aku bersyukur, aku masih di beri nafas untuk melihatku bisa membuktikannya, bukan dari mulutku sendiri, tapi sudah terpampang nyata, tak terbantahkan.
~oOo~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top