GOOD BYE, VALENTINE


"Kakak?" suara hangat itu langsung menelusup ke dalam pendengaranku.

"Ada apa?" aku lantas berbalik dan menatapnya lekat.

Lengkungan indah terukir di wajahnya. Wajah putihnya, entah kenapa semakin hari bertambah pucat, bahkan pipinya yang biasanya merona kini sudah tak nampak lagi. Hana, mengapa harus begini. Aku beranjak dari depan jendela mendekati brankar yang sedang ditidurinya.

"Kenapa?" aku duduk tepat di sampingnya.

"Sekarang tahun baru, kan? Aku bisa keluar, kan?" pertanyaan itu lagi, setiap tahun dia selalu menanyakan hal yang sama diikuti dengan wajahnya yang terlihat semakin lelah.

"Menurutmu dokter akan mengijinkanmu?" aku balik bertanya, dahinya mengkerut, ia pasti sudah tahu jawabannya, sama seperti setahun kemarin.

"Aku rasa tidak. Iya, kan?" dia berucap lemah, wajahnya terlihat semakin kusut, hatiku mendadak sakit dibuatnya.

"Bersabarlah," ucapku singkat, sembari mengelus punggung tangannya.

"Sebentar lagi aku 11 tahun,"

"Satu setengah bulan lagi. Benarkan? Valentine?" Dia mengangguk, aku tersenyum.

Valentine sudah tertidur di kasurnya, aku yakin dia pasti sangat kecewa.

Leukimia? Mengapa? Aku terisak lirih saat mengetahui kabar buruk itu, 3 tahun yang lalu. Hana biasa kami panggil Valentine, karena hari lahirnya yang bertepatan dengan hari Valentine. Kenapa harus gadis ini? Dia masih 8 tahun waktu itu dan berpuluh-puluh suntikan sudah dirasakannya. Setiap tahun, aku hanya bisa menunggu penuh dengan kekhawatiran, ditambah lagi setelah kepergian ayah dan ibuku satu bulan yang lalu akibat sebuah kecelakaan maut, aku tidak bisa memberitahukan hal ini padanya, aku takut dia terluka dan kehilangan semangat hidupnya. Aku berusaha untuk mencari pekerjaan di luar jam sekolah, berusaha untuk menghidupi diri sendiri, aku bersyukur sebuah yayasan khusus kanker mau memberikan bantuan untuk membiayai terapi yang dijalani Hana.

Satu bulan telah berlalu, Hana bersikeras untuk bisa keluar dari rumah sakit, aku tahu bagaimana perasaannya di sini. Dia memang bernafas, tapi dia sulit untuk bergerak, hanya bisa makan,meminum pil-pil lalu tidur, sama sekali bukan kehidupan. Hari ini dua hari sebelum Hana ulang tahun, suster mengijinkanku untuk membawanya keluar, tapi aku akan melakukannya setelah aku pulang sekolah.

Aku berdiri di depan jendela sekolah sambil merenung, terkadang aku menatap ke halaman sekolah, memandangi para siswa dan siswi SMA ini bercengkrama dan saling tertawa, terkadang aku juga merindukan hal itu, merindukan tawa lepas bersama sahabat-sahabat. Namun hal itu tidak mungkin lagi, semenjak merawat Hana dan melihat betapa sakitnya dia, senyum ku seakan menghilang ditelan bumi, aku tak sanggup untuk tertawa.

"Hei, June! Bagaimana kabar adikmu?" suara yang familiar itu mengejutkanku dari renunganku.

"Dia baik," jawabku singkat.

"Kalau dia baik-baik saja, mau makan malam bersamaku?"

"Aku rasa tidak, Rud. Adikku lebih memerlukanku" ucapku pada Rudi, sahabatku,

"Tapi ... kita sudah lama tidak makan bersama, keluar bersama. Kau tidak seperti June yang ku kenal,"

"Bukan begitu ... kau tidak mengerti!!!" tiba-tiba saja suaraku meninggi, benar aku baru saja membentak sahabatku sendiri.

"Maaf ... aku hanya khawatir padamu," Rudi berucap lemah.

"Aku tidak apa-apa, maaf juga sudah membentakmu"

Rudi mengangguk, "Iya, tidak apa-apa! Bagaimana jika kita makan malam di Rumah sakit saja? Dua hari lagi ulang tahun Hana, bukan? Kita rayakan pestanya mulai malam ini, malam besok dan sampai lusa?"

Aku menggangguk, dia berseru bahagia.

"Baiklah, aku akan mentraktirmu malam ini. Jadi, tunggulah di rumah sakit!" Rudi berlalu meninggalkanku dan bel pulang sekolah pun berbunyi.

Malam telah tiba, ketukan pintu yang cukup kencang itu mengejutkanku, aku tau siapa tamu yang akan datang malam ini. Aku menyuruhnya agar segera masuk, wajah Hana membentuk lengkungan indah bak pelangi, sebuah senyuman untuk Rudi.

"Bagaimana kabarmu?" ucap Rudi sembari mengelus kepala kecil Hana.

"Aku baik, tapi lebih baik karena Kakak!" ucapnya.

"Tentu saja kau harus baik, kau harus sembuh, mengerti?"

"Iya, tentu saja!" Hana menjawab dengan ceria.

Cukup lama Rudi bercengkrama dengan Hana dan dia banyak tertawa malam ini, aku yang akhir-akhir ini sangat sulit tersenyum, akhirnya bisa tersenyum juga. Rudi juga membawakan sebuah kue ulang tahun untuk Hana. Terima kasih, Rud. Setengah jam kemudian, lelaki itu pamit pulang, aku mengantarnya sampai depan rumah sakit.

Sekembalinya aku dari luar, aku melihat Hana semakin memucat, darah segar mengalir dari hidungnya. Ya Tuhan, ada apa dengannya?

"Kakak, aku baik-baik saja, 'kan?" raut wajahnya melemah, dia ketakutan. Begitu pun denganku, tapi aku tetap berusaha untuk tidak panik, agar dia bisa sedikit tenang.

Aku memanggil para dokter, dokter-dokter itu langsung membawanya ke dalam sebuah ruangan. Aku sudah tak mampu lagi berdiri, bunyi mesin-mesin kedokteran menggaung di telingaku, Tuhan... tolong selamatkan Hana. Dokter keluar dari ruangan itu dengan wajah yang sedikit lega.

"Bagaimana,Dokter?

"Hana baik-baik saja, dia hanya terlalu kelelahan, karena jam tidurnya terlewati"

Betapa bodohnya aku, hingga melupakan hal itu. Aku baru saja membahayakan nyawa adikku.

Dokter berlalu dengan tenang, Hana juga kembali ke ruang semula dia sudah terlelap dengan nyaman di sana. Aku akhirnya juga ikut terlelap di sofa dekat brankar.

"Kak June?"

Aku terbangun, ini sudah pagi. Sejenak aku melihat Hana yang berusaha turun dari brankarnya.

"Valentine, ada apa? kau masih terlalu lemah"

"Aku tidak lemah, Kakak! Kau sudah berjanji akan mengajakku jalan-jalan, bukan?" Pertanyaan itu, aku baru ingat aku sudah berjanji padanya.

"Maaf, biar Kakak membantumu," aku menarik kursi roda yang diberikan oleh suster kemarin.

"Aku kuat, Kakak! Kau lihat, bahkan suster pun mengijinkanku untuk berjalan-jalan"

Dia tersenyum dengan bangga, aku tersenyum sembari mendorong kursi roda itu dengan pelan.

Aku terus melangkah, mendorong kursi roda ini dengan kecepatan normal, bahkan terkesan sangat lambat bagi Valentine.

"Kakak, cepatlah sedikit!" Dia merengek dengn suara khas gadis kecilnya, aku tertawa kecil mendengar suaranya yang begitu bersemangat.

"Apa kita boleh keluar dari Rumah Sakit?"

"Kata Suster, aku boleh berjalan-jalan di sekitar rumah sakit untuk menikmati udara segar. Jadi, kita pergi ke taman saja, Kakak. Bagaimana?"

"Oke, kita akan ke taman"

Aku menghentikan langkahku di depan bangku taman di bawah pohon sakura, di sini benar-benar sejuk. Sesekali ku melirik ke arah Hana, senyumnya tidak pernah lepas dari wajahnya. Sejenak ku pejamkan mata, merasakan semilir angin yang berembus melewati kulitku dengan lembut. Aku terhenyak saat menyadari, tangan kecil ini menggenggam tanganku.

"Kakak, berjanjilah untuk hidup bahagia, meski aku tidak ada. Mengerti?" Hana menunjukkan wajah polosnya.

"Kakak hanya akan bahagia, jika ada kau,"

Dia menggeleng, aku mengerutkan dahi.

"Kakak harus berjanji!" pintanya penuh penekanan, sembari menjulurkan kelingkingnya.

"Baiklah," aku mengaitkan jari kelingkingku ke jari kelingkingnya yang mungil.

Mataku rasanya hampir keluar dari tempatnya, saat aku melihat darah segar mengucur deras dari hidung Hana. Lagi-lagi aku membahayakan nyawanya.

"Kakak..." suara Hana terdengar lemah, aku bergegas membawanya ke ruang perawatan.

Dokter terburu-buru mendorong brankar menuju ruang UGD, berharap bisa dengan cepat membangunkan Hana yang memang sudah tidak sadarkan diri lagi, beberapa suster mengatakan kalau detak jantungnya benar-benar lemah. Alat pacu jantung terdengar membelah keheningan di ruang UGD, berharap sesuatu yang lebih nyaring lagi bisa terdengar, detak jantung Hana.

Aku menyandarkan diriku pada dinding putih rumah sakit, mencengkram erat rambutku untuk membuang segala kegusaranku, aku berharap lengkingan kecil dari monitor itu bisa ku dengar kembali. Hingga ku sadari pintu terbuka, dokter keluar dengan raut wajah yang benar-benar sulit di artikan.

"Hana?"

Dokter menggeleng, aku terduduk seketika di lantai dingin rumah sakit ini.

Butiran bening yang ku bendung selama ini, bahkan pada pemakaman ayah dan ibu, akhirnya mengalir dengan derasnya. Adik semata wayangku, Hana, dia tak terselamatkan. Seorang gadis kecil yang membuatku begitu hidup, haruskah pergi sekarang? Bagaimana aku hidup kelak? Aku akhrnya sebatang kara.

~oOo~

Hari ini, tepat tanggal 14 februari. Aku duduk di sofa yang biasa aku duduki disini, di samping brankar milik Hana atau Valentine. Aku meraba setiap detail dari brankar itu, walau ku tahu sprei ini sudah diganti dengan yang baru dan ada orang baru yang akan mengisi ruangan ini.

Aku menatap ke jendela yang selama ini menjadi televisi kecil untuk Hana. Aku berdiri tepat di hadapan benda itu, sebersit bayangan putih tersenyum di langit. Valentine. Dia telah damai dan tenang di sana, tidak ada lagi kepedihan, tidak ada lagi ruangan pengap, tidak ada lagi puluhan suntikkan yang ia rasakan. Aku balas tersenyum pada langit, berharap Hana melihatku.

"Happy Birthday and Happy Valentine, Hana"

-TAMAT-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top