GADIS KUYU
Pengap, sunyi. Aku menatap langit-langit kamar kost ku yang dilapisi plastik bermotif bunga-bunga, ia kadang kembang kempis diterpa angin yang kian riuh. Gemuruh juga bersiul di langit-langit yang tampak kelabu. Berat, aku tak mau bangun sedikit pun dari tempat tidur. Rasanya sudah cukup ku habiskan tenagaku 20 tahun. Ya, hari itu akhirnya datang.
Ketika aku dianggap sudah dewasa –dari segi usia, tentunya. Orang-orang di sekitarku bersorai, mengirimiku beberapa foto yang bersanding dengan mereka, juga dekorasi ulang tahun. Aku tak tahu, tapi hal itu malah membuatku makin malas, bahkan hanya untuk membuka layar ponselku itu.
Aku menyimpan masalah, begitulah keadaanku waktu itu. Aku bersembunyi atas segala rasa yang tak bisa ku umbar dan juga penyesalan atas hidupku. Tak tahu mengapa, sejak dua bulan sebelumnya aku dialiri dengan beban yang diriku sendiri bahkan tak bisa mengartikan. Seperti ada yang mengganjal tepat di tengah-tengah hatiku, aku menyumpahi diri ini, tapi aku juga mengasihaninya. Terus-terusan seperti itu, hingga masalah benar-benar menghancurkan jadwal kuliah, organisasi dan bahkan pertemananku. Aku menarik diri, berusaha kabur. Namun, aku masih tak beranjak, karena hati kecilku masih merasa takut.
Satu hal yang sangat ingin ku dapatkan hari itu adalah sapaan dan pelukan penuh kasih dari orang tuaku atau barang dari sahabatku, tapi semua tak sesuai rencana, tak ada yang benar-benar mendatangi dan bertanya padaku, perihal alasanku berlari dari semua tanggungan itu."Dia baik-baik saja," begitu pikir orang-orang, tapi aku tidak baik-baik saja. Bahkan ada malam di mana aku menangis hingga sesak dan ku pikir apakah ini akan jadi momen terakhirku di dunia? Tapi, nyatanya tidak. Aku masih bisa hidup.
~oOo~
Setahun berlalu, kini aku sudah 21 tahun. Namun, aku sadari hidupku tidak sama lagi dengan umur belasan tahun lalu. Entah kenapa, rasa gelisah itu terus menyelimuti. Menjadikan aku orang yang baru selama setahun ini, seseorang yang memiliki kecemasan dan aktivitas emosional yang tak terkendali. Aku tidak mudah lagi percaya pada pertemanan, aku tak pernah merasakan ketulusan dari siapapun. Juga, kian hari sepertinya hatiku membeku dan tak tahu bagaimana cara menanggulanginya.
Aku pernah berkali-kali berpikir untuk menghentikan roda waktu yang ada di sampingku, mungkin cara itu akan membuatku tenang. Namun, aku tidak berani. Beberapa kali aku mengalami kecelakaan yang membuatku sadar arti kehidupan, aku tahu Tuhan sedang menuntunku untuk kembali, pada jalan yang aku tinggalkan sebelumnya. Mengajari aku bahwa menjemput kematian secara instan bukanlah hal yang baik, bahkan akan memperburuk diriku. Begitulah, aku meyakinkan diri dengan segala ketidak percayaan akan hidup dan berusaha bertahan untuk bernafas tiap harinya.
Jelas, aku pun mencoba untuk kembali kuliah dengan rasa campur aduk. Meski begitu, aku bersikap seperti hantu, hanya melakukan apa yang penting untukku dan kalau bisa tak perlu sampai terlihat. Hari itu, aku mengumpulkan berkas-berkas untuk persyaratan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang menjadi agenda 2 kali setahun kampusku. Aku berangkat sendiri, berjalan sendiri, dan kembali pun sendiri, mungkin yang membersamaiku hanya senyum yang terukir palsu di wajahku.
Lampu temaram menghiasi kampusku, kala itu embun dini hari benar-benar menusuk. Orang-orang sudah berkumpul sebelum berangkat ke daerah masing-masing, aku sudah mempersiapkan segalanya jauh-jauh hari dan waktu itu aku menunggu sendiri. Orang-orang yang ku pikir dekat, benar-benar tak terlihat batang hidungnya. Aku cukup kecewa, tapi hanya bersikap bodo amat. Ketika matahari berdiri setengah tiang, mobil kami melaju membelah kemacetan di ibu kota provinsi itu. Aku duduk terdiam, sembari menerawang waktu dua bulan yang aku hadapi bersama orang-orang ini. Juga, bagaimana aku harus bersikap di sana.
Mobil sudah sampai di kediaman, tepat di pinggiran Sungai Barito yang keruh kecoklatan. Sejujurnya aku memakin dalam hati, aku tidak suka karena kami tidur di lantai tanpa sekat sedikit pun. Untungnya anggota laki-laki tidak dibiarkan tinggal bersama kami, aku cukup terhibur sedikit akan berita itu.
Malamnya, aku lihat air sungai menyurut, jamban-jamban yang ada di tepi sungai itu terlihat lebih tinggi dari saat kami sampai di sini dan pantulan rembulan nampak cerah di gelombang tenang air sungai. Mungkinkah aku akan bertahan di sini?
~oOo~
Seminggu berlalu, air yang tampak keruh itu tiba-tiba mulai menampakkan jernihnya, tapi rasanya benar-benar aneh dan lengket. Kata masyarakat sekitar, air mungkin akan asin karena kemarau mulai datang. Aku pun juga mulai mengalami gelagat itu lagi, aku yakin dengan pasti cepat atau lambat kedok 'anak kalem' ini akan terbongkar dan pertunjukkan 'orang sakit jiwa' akan terpampang dengan tiket murah.
Aku mengutuk rumah yang tak ada sekat itu, aku hanya berpikir "Bagaimana cara menangis tanpa bersuara dan tanpa air mata? Atau paling sedikit tanpa sesak dan membenturkan kepala pada lemari?"
Aku semakin gelisah dan lagi permasalahan yang mulai muncul di antara kami, sepuluh orang dengan sepuluh kepala yang memiliki isi yang berbeda, pastinya tak akan luput dari konflik.. Tubuh yang bergetar hebat itu pun ku bawa melangkah, menuju tepi sungai, tidak peduli betapa teriknya matahari dan panasnya titian kayu itu. Aku duduk di sana, memeluk kedua lututku, menatap sungai yang tenang, meresapi perasaan cemas itu dan berusaha menumpahkan beban itu.
Namun, ada sebuah tangan dingin yang tiba-tiba menyentuh bahuku, sentuhan itu terasa sampai ke leher. Aku berbalik kaget, karena terlalu tenggelam dalam pikiran sampai tidak menyadari kedatangan seseorang. Ia berdiri setengah membungkuk dan wajahnya tepat menutupi matahari di langit dan dia menatapku.
"A ... anu, banyu ..." dia berbicara putus-putus dan tak terlalu jelas.
Aku cukup shock, mendapati seorang gadis dengan sarung yang kedua ujungnya terikat di salah satu bahu kuyunya dan ember hijau di tangan kirinya. Matanya bulat besar dan rambutnya kemerahan karena keseringan terpapar sinar matahari.
Ia turun ke titian paling bawah, dengan ember yang retak-retak itu ia mengangkut air sungai menuju rumahnya. Dia melewatiku tanpa basa-basi lagi, dua kali gadis itu mondar mandir dengan ember penuh dan kosong. Sampai yang ketiga kalinya, aku kembali mencoba membuka pembicaraan.
"Nama kamu siapa?"
"Arr... phe" dia mangut-mangut, begitu pun aku. Bibirnya terangkat, tapi merengut kemudian.
Hal yang aku tahu pasti adalah dia punya kekurangan, entah itu cara berpikir atau berkomunikasi. Aku tak peduli, aku justru penasaran dengan kegiatan hidupnya, melihat dirinya yang dibaluti sarung yang kusam dan rambut tak tertata, dia juga pastinya bukan orang berkecukupan. Sedikit canggung, tapi aku coba untuk bertanya perihal tempat tinggal dan keluarganya. Tanpa disangka, dia mengajakku menuju rumahnya.
"Arphe? Berapa umurnya?" aku mensejajarkan langkah denganya. "Tahu!" Dia menggeleng kemudian tersenyum.
Aku balik tersenyum, banyak dari pertanyaanku yang dijawabnya dengan gelengan atau "Tidak tahu." Aku pun tidak tahu pasti, dia benar tak tahu atau tidak pernah diberitahu.
"Niiii ... rumah!" dia kegirangan, tapi aku tak kalah terkejutnya dengan sebelumnya. Rumah itu memang terlihat seperti rumah, tapi bukan juga rumah yang wajar disaat yang sama. Dinding kayunya tampak lapuk, atapnya hanya dari seng berkarat dan papan yang menjadi teras rumahnya banyak yang terlepas. Aku termenung dan mulutku terkunci rapat.
"Masuk?" ia bertanya, aku menggeleng pelan dan pergi sembari ku ukir senyum termanisku.
~oOo~
Malam kembali berkunjung, aku masih saja setia dalam bisuku. Semua orang tampak senyap malam ini, tak seperti biasa. Mungkin karena akan dilaksanakannya rapat evaluasi tiap anggota dan semua masalah akan terbongkar, tujuannya tidak lain dan tidak bukan agar dapat menjadi bahan intropeksi. Semua orang bersuara dengan lugas, tapi lembut. Aku memang beberapa kali mendapat bagian dinasehati oleh beberapa anggota, aku anggukkan saja dan ku masukkan dalam hati kata-kata yang memang baik. Hanya saja, pikiranku tak bisa mengkonfirmasi semuanya, karena sebagian lain aku terpikir tentang Arphe, gadis yang baik, tapi nasibnya kurang menguntungkan.
"Proker selanjutnya, bagaimana kalau kita adakan bazzar baju murah? Hasil penjualannya akan kita sumbangkan untuk masyarakat yang tidak mampu, contohnya Arphe." Celetukku, membuat semuanya tertegun dan lalu bertepuk tangan, mengamini ucapanku dan cepat saja mengiyakan.
~oOo~
Delapan minggu kurang sehari, sudah kami habiskan di desa pinggiran Sungai Barito itu, Arphe si gadis bersarung kuyu itu kini selalu hadir bersama kami, bicaranya masih tidak jelas, tapi entah kenapa itu terdengar jelas oleh hatiku. Senyumnya yang begitu tulus telah sampai padaku yang hampir membeku, sejak bertemu dengannya seolah mata ini mulai bisa membedakan dan mempercayai ketulusan itu lagi.
Di malam terakhir kami di desa itu, hujan mengakhiri dengan senandungnya yang lembut, seolah menceritakan rasa di hati kami yang tak tersampaikan, mengingat kebersamaan ini akan berakhir. Kali ini aku mondar-mandir dari posko, menuju warung lalu ke rumah Arphe. Gadis itu membuka lebar rumahnya untuk kami, tidak jauh dari penampilan luarnya, dalamnya pun begitu memprihatinkan. Kami membersihkan rumah itu, memberikan beberapa perabot yang dapat menunjang hidupnya, semua itu hasil dari berjualan baju murah di kegiatan kami sebelumya.
Setelahnya kami berdiri melingkar, hening. Seolah semuanya tersadar akan begitu banyak pelajaran dari perjuangan hidup gadis ini, mengingat cerita gadis itu tentang keluarganya.
"Arphe dulu ... tidak bisa jalan ..., Mama Arphe ... meninggal, Abah kawin ... tinggal jauh ... di sana," "Kakek dulu bikin rumah ini, nenek memasak. Terus Ka ... Kek, meninggal di ... itu ... di sawah. Rumahnya belum sel ... selesai, tapi nenek meninggal juga. Jadi, rumah untuk Arphe aja sama Kakak. Adik tingal sama Bibi," Kami termenung mendengarkan. "Kakak di Sawit .... Tapi pulang suka ... langsung mabuk." Hingga akhirnya air mata itu jatuh juga.
Begitu jelas dalam ingatannya akan riwayat rumah setengah jadi itu dan lebih jelas lagi kisah tentang hidupnya yang aku sendiri bahkan tak bisa menuliskannya lagi. Mungkin baginya, hal itu sudah menjadi takdir yang harus dijalani dengan ikhlas. Namun, bagiku ... orang yang baru menyadari atas kata syukur berkat Arphe itu, mungkin takdir seperti itu bisa menjadi titik terpurukku. Aku tertampar begitu keras dan terbangun dari mimpi buruk, sebuah nelangsa yang menjadikan aku seorang Ratu Drama yang telah menutup mata dengan apa yang ku dapat.
~oOo~
Sejak itulah, aku berjuang menolong diriku sendiri. Dari ilusi penolakan dan ketidak percayaan. Setiap hal yang tak pernah ku raih tak akan lagi menjadi penghambat hidupku, aku akan bercermin pada perjuangan Arphe yang mungkin tampak tidak apa-apanya, tapi bagiku sama berharganya dengan hidupku.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top