DILEMA SANG PEMIMPI
Ada hal yang tak akan pernah abadi di dunia ini, yang utamanya adalah manusia, lalu selanjutnya adalah impian. Kemungkinan bisa menjadi pupus dan keinginan hanya menjadi harapan palsu. Tak pernah satu pun yang akan bertahan lama, bahkan benda mati pun bisa saja hancur dimakan waktu. Sama halnya dengan hidup yang sudah ku lewati, aku punya banyak khayalan dan harapan, aku punya impian dan tentunya sebuah cita-cita yang harus aku wujudkan.
Dalam waktu yang singkat, semua hal bisa berubah. Tak ada yang tahu dan aku sendiri juga tak ingin mengetahuinya, padahal waktu itu hatiku benar-benar menginginkan yang lain.
"Ibu dan Ayah sudah merundingkan setiap hal, Rin."
Mata sayunya menatapku, ada lekukan kantung mata di bawahnya yang membuatku kadang tidak tega untuk menatapnya berlama-lama.
"Merundingkan apa, bu?" Aku tertegun menatapnya.
"Kami tahu, kamu sangat menginginkan hal ini sejak kecil ..." Ada jeda sejenak dari suaranya yang mulus,
"Tapi Ibu dan Ayah, sepertinya tidak bisa menyanggupi biaya untukmu sekolah kedokteran"
Aku tertunduk lesu, aku tak bisa menahan rasa itu. Aku mengerti semuanya, tak perlu untuk mereka memberi tahu, tapi aku memang keras kepala, aku keukeuh untuk bisa melanjutkan studi ku di kedokteran. Bukan tanpa alasan, hal ini karena aku mencintai waktu di mana aku bersama sahabatku dulu, dia yang memiliki kekurangan di kakinya membuatku ingin menjadi seorang dokter untuk mengobatinya, tekadku begitu bulat hingga setiap orang yang menanyakan cita-citaku nanti, selalu ku jawab dengan kata 'Dokter'. Namun, waktu tak pernah bisa seramah itu terhadap manusia, dia pergi sebelum aku benar-benar bisa menjadi orang yang mampu menyembuhkannya.
Ibu menyentuh pundakku lembut, tak ada yang bisa ku ucapkan, semuanya terasa kering bahkan lidahku terasa kelu, aku ingin menolak tapi ku tahu, aku terlalu sering meminta dan aku tak bisa meminta hal yang lebih, karena jika begitu aku benar-benar anak tak tahu diri, benar'kan?
Aku memejamkan mata, menghembuskan nafas berat dengan pelan, lalu membenarkan posisi dudukku untuk mudah menatap matanya.
"Ibu, sebenarnya Rini sangat ingin bisa melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran, walaupun Rini tidak menjadi seorang dokter, Rini juga ingin menjadi seorang psikolog, bagaimana jika Rini coba dulu, Bu?"
Aku hanya bisa memelas, aku tak pernah seputus asa ini saat harus berhadapan dengan pendidikanku. Untungnya, selama ini meski aku pernah memikirkan untuk masuk ke sekolah lain, aku selalu menerima apa yang diinginkan orang tua ku, tapi kali ini aku benar-benar berusaha, karena apa pun jurusan yang akan ku ambil nantinya akan menjadi jalan di masa depanku.
Dahi ibu berkerut, sebenarnya sekali lagi aku merasa tak tega, tapi aku tidak bisa menyangkal keinginan di lubuk hatiku yang paling dalam.
"Apa alasanmu ingin kuliah di sana?"
Suara ibu terasa bergetar, aku tahu dia merasakan getir karena anaknnya kali ini tidak mau sependapat dengannya. Aku hanya bisa kembali menunduk, tanganku menangkup dan sesekali aku menggosokkan keduanya, untuk memberi jeda agar aku dapat berpikir. Aku mendelik sesekali padanya yang menunggu jawabanku, mataku tetiba saja sudah berair, tapi gengsi membuatku tak pernah menitikkan alirannya di pipiku.
"Rini, ingin mengobati seseorang. Rasanya menjadi dokter itu begitu keren, menggunakan setelan jas putih, membawa stetoskop di tangan dan bisa mengetahui seseorang itu memiliki penyakit apa hanya dari cerita."
Aku berbicara cukup panjang dengan getar ketakutan, aku takut menyakiti hati ibuku.
"Ibu pikir ... alasan Rini tidak sekeren itu,"
Wajah ibu kini tampak lesu, tangannya yang berada di pundakku, kini sudah berada di pergelangan tanganku.
"Ibu hanya berpikir mengenai masa depan, melihat Rini menjadi orang yang sukses adalah keinginan Ibu. Tentunya juga, Ibu tidak ingin kamu merasakan kesulitan selama melewati prosesnya. Kedokteran tidak semudah kelihatannya, orang-orang harus berani untuk membuang waktu berharganya demi menjaga orang sakit, selalu siap siaga kalau-kalau pasien mengalami masa kritis, tapi untuk diri sendiri? Semuanya akan terbengkalai,"
Kami berdua tampak tak mampu untuk bersuara satu sama lain lagi, sama-sama tertunduk dengan kekecewaan masing-masing, aku dengan keinginanku untuk menjadi dokter dan ibuku dengan keinginannya menjadikan ku seorang guru.
Malam itu nampak berbintang, tiga bintang berjejer dengan rapi, bintang yang ku proklamirkan sebagai bintang milikku, tentu saja secara pribadi. Tak ku tahu apa namanya, tapi setiap melihat ketiganya aku merasa tenang. Tiga bintang yang berjejer itu ku artikan sebagai fase hidupku, di mana selalu ada awalan, proses dan juga penyelesaian. Seperti hari ini, saat ibu meminta ku untuk berhenti bermimpi tentang menjadi dokter, aku belum pernah merasa sesengsara ini, padahal aku sudah memulai awal dengan mengikuti Palang Merah Remaja di sekolahku sekarang, niat ku sebersih lembaran kertas putih dan tekadku sudah sebulat bumi, tapi semuanya ku runtuhkan demi mengeringnya air mata Ibu.
Waktu berlalu tanpa menyapaku, hingga aku tak sadar waktu ku untuk memakai seragam putih abu-abu itu harus terhenti, kenangan tentang tawa dan tangis itu nantinya juga akan digantikan oleh kenangan baru. Aku bersandar pada salah satu penopang bangunan tingkat dua, yang ku sebut sekolah, hari itu menjadi hari terakhir aku menginjakkan kaki, ketika sidik jariku resmi menempel di selembar kertas.
Tiga bulan waktuku kembali menata hati, menerima keinginan orang tua ku, menjadi seorang guru. Hal yang tak pernah aku sangka, aku berlari dari profesi ini karena aku membencinya, aku pikir aku tidak suka mengajar, aku takut jika saat mengajar aku akan marah-marah karena murid yang sulit memahami pelajaran, aku gelisah. Namun, sekali lagi takdir sudah tertulis di langit, aku pun hanya bisa mengamini setiap kebaikan yang terpancar dari doa ibu ku, saat mendengarku setuju dengan pilihannya.
"Ibu jamin, sebagai guru kamu tidak akan sulit mengenai keuangan nanti,"
Bibirnya melengkung dengan indah, bening matanya nampak berkaca-kaca, memantulkan rasa bahagia dari hatinya. Jujur, aku bahagia, tapi aku takut. Bukan karena takut kekurangan uang, tapi tanggung jawab yang diemban seorang guru nantinya. Mereka harus mengajar dengan hati yang ikhlas dan sekuat baja, tapi aku? Aku tidak.
Hingga tibalah saat pertama kali aku menginjakkan kaki di kampusku, sebuah kampus yang begitu agamis, membuatku yang notabenenya hanyalah orang awam agama, merinding. Di tempat itu semua tampak berjalan dengan teratur, aku memulai langkahku masuk pada dunia pendidikan. Mengambil jurusan bahasa Inggris, karena impianku juga tentang mengelilingi dunia. Aku juga mengikuti sebuah lembaga pers, untuk mengasah minat dalam hal menulis, dengan harapan besar hal itu bisa menjadi bakatku nantinya.
Selayaknya daun muda yang menua, lalu melayu. Aku pun sebagai manusia, mengalami masa itu, di mana kesegaran ku dalam meraih segala, awal yang meluap-luap, lama kelamaan tampak rapuh dan hampir mati. Aku mulai bosan dengan sistem perkuliahan yang hanya duduk, lalu mendengarkan, tiga semester ku lewati hanya seperti itu. Aku kembali jenuh, sampai akhirnya aku mulai melakukan segalanya secara acak-acakan, menjauhi orang-orang dan kembali mempertanyakan intensi ku sebagai seorang makhluk di dunia.
Hal yang begitu mengusikku di saat seperti ini adalah saat aku kehilangan harapan untuk meraih gelar dalam profesi ini, impianku bukanlah guru, sehingga mungkin untuk melepasnya menjadi begitu mudah bagi diriku. Namun, lagi-lagi waktu mengantarkan aku pada peraduan, tempat ternyaman di atas sajadah dan bersimpuh. Aku mencoba kembali bangkit lagi dan menata setiap hal, membuat hal yang ku benci menjadi hal yang ku cintai.
"Kita akan mengadakan observasi di sekolah-sekolah. Setiap mahasiswa dan mahasiswi, harus mengerjakan laporan observasi. Contoh-contoh file telah saya masukkan ke dalam satu flashdisk, kalian bisa meminta kepada ketua nanti."
Kalimat yang terura manis dari dosenku itu menelusup dalam telingaku, begitu saja dengan cepat semangatku tumbuh, aku lebih suka bergerak, mencoba dan mencari tahu, dibandingkan hanya mendengar pengalaman orang lain saat mengajar, meski waktu itu hanya sebuah observasi, tapi bagiku berada di lingkungan belajar-mengajar sudah memberikan aku pengalaman baru.
Waktu bergulir dan satu semester pun kembali berakhir, aku kembali memasuki fase baru, dengan rasa gugup yang baru, rasa itu muncul saat aku harus menyiapkan sebuah rencana pembelajaran untuk praktek kerja lapangan pertamaku, saat itu murid-muridku hanyalah simulasi, artinya teman-teman mahasiswa menjadi orang yang harus ku ajari. Aku kembali melewatinya dan bertemu dengan praktek kerja lapangan keduaku, di sana begitu berbeda, begitu berbanding terbalik, karena orang yang berada di hadapanku adalah orang-orang yang akan menjadi penggantiku suatu saat nanti, anak-anak muda cerdas dari sekolah bernuasa putih abu-abu yang agamis. Aku terpukau, mereka begitu hormat, meski mereka tahu aku hanyalah seorang mahasiswa biasa yang masih perlu banyak belajar, tapi mereka menghargai setiap hal yang aku sampaikan.
Tentu, sama seperti tiga bintang yang berjejer itu, aku sudah mengalami awal dari pada cita-cita baruku ini, menjadi seorang mahasiswa baru. Kemudian, menjalani proses naik-turun perasaan jenuh dan bahagia berada di sana, dan sekarang aku mengalami dua bulan baru bersama kelompok kuliah kerja nyata ku di sebuah desa yang cukup jauh dari kota. Kembali di sini, aku dipanggil kembali sebagai seorang 'Guru', aku hanya bisa tersenyum, padahal aku tahu aku hanyalah seorang siswa yang masih selalu harus belajar tanpa henti.
Melihat berpuluh-puluh anak dengan segala kekurangan mereka, menatapku dengan binar-binar mata polosnya, mereka bahkan tak pernah jera meski berkali-kali aku meluapkan kekesalanku karena keinginan mereka belajar terlalu tinggi, membuat mereka kadang datang sebelum pembelajaran di mulai. Aku sadar, betapa berharganya sebuah ilmu, meski ku tahu apa yang aku ajarkan pada mereka hanyalah sebuah pengetahuan dasa, yang sebagian anak-anak di kota besar menggapnya sebagai jentikkan jari. Aku begitu terenyuh dan tak pernah bisa sembunyikan air mata, saat melihat seorang gadis yang tampak terganggu kesehatan mentalnya dan juga bocah laki-laki yang tak mampu bicara, tapi masih mau menghadiri kelasku dan bernyanyi bersama. Betapa bersyukurnya aku pernah mengajari mereka.
Melebur pada waktu di mana aku ingin menggapai sesuatu, tapi tak sampai. Sebagai manusia kita tak pernah tahu suratan takdir, ada waktu di mana aku hanya bisa berangan-angan dan ada waktu di mana aku harus memahami realita, yang kita tahu tak seindah harapan. Saat itu aku menyadari, saat aku tersenyum dan tertawa bersama orang-orang yang ku beri sebuah ilmu, aku menikmati proses ini, aku bisa menguasai waktuku untuk mencintai cita-cita baruku. Bisa di katakan aku akan begitu bahagia, jika suatu saat nanti orang menginginkan aku untuk mengajari mereka.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top