DELIMA
[Telah diterbitkan dalam Antologi Cerpen When Fantasy Romance Life : Pejuang Antologi, 2018]
~oOo~
Hari ini aku ketuk pintu itu lagi, pintu yang tak pernah bosan aku melihatnya, warna kayu jatinya yang tampak masih mengkilap selalu membuatku, bahkan tetanggaku memandangnya dengan takjub pula. Aku sendiri masih di ambang pintu, menunggu seseorang untuk sekedar membukakan, tapi sudah dua puluh menit berlalu tak ada jawaban juga. Aku tertegun, ponselku sudah mati sepuluh menitan yang lalu, aku tidak bisa menghubungi orang rumah dan tetanggaku sepertinya juga sulit untuk ditemui.
"Di mana semua orang? Padahal anak semata wayangnya ini baru saja kembali dari luar kota, kenapa tidak ada satu pun yang menyambut?" Aku si Delima ini masih saja menggumam di depan rumah.
Sampai ku putuskan untuk berdiri dan berlari menuju rumah di seberangku, di sana ku lihat mereka –Bunda dan Ayah- sepertinya mereka baru saja mengadakan acara, langsung saja hatiku mengejek otakku, yang bertahan selama dua puluh menit tadi tanpa melakukan apa pun.
"Ayah! Bunda!" Aku berteriak sekencang-kencangnya, seakan suaraku itu adalah yang terakhir.
Dua langkah kakiku mulus menapak aspal jalan yang berukuran sedang itu, dengan setengah berlari aku hampir menjangkau trotoar yang berada persis di bawah kedua kaki orang tuaku, sampai ku rasakan dorongan kuat menyentuh tulang rusukku dan melambungkan badanku beberapa meter ke udara, badanku pun dengan cukup keras menghantam tanah. Lalu, semuanya hitam.
Sebuah desingan menggelitik telingaku, gelap tadi perlahan menyemburatkan cahaya putih, mataku mengerjap dan memendarkan pandangan ke sekeliling, aku sudah berada di ruangan yang sangat familiar, rumahku sendiri. Siapa sangka aku akan berada di rumah? Padahal baru saja aku rasakan remuk di sekujur tubuhku.
"Apa aku sudah mati?"
"Glek..." Aku menelan ludah dan langsung saja menggeleng di atas bantal kesayanganku itu.
Seseorang mengetuk pintu, mata kami pun bertemu, senyuman yang begitu hangat menghabur dalam pandanganku, langsung saja aku membalas senyumnya dan berlari pada pelukannya.
"Ayah!" Dengan gembira aku mengelu-elukan namanya.
Tampak Ayah tertawa bahagia, sembari tangannya memeluk erat tubuhku. Di belakangnnya dengan pandangan yang teduh, Bunda pun tersenyum. Aku langsung berhambur kepada dekapan hangatnya juga.
"Home sweet home, senang kembali ke rumah!"
Kami tertawa bersamaan, sembari menyatukan dekapan hangat kembali, benar-benar rumah yang aku rindukan.
Senja jingga telah berubah menjadi keunguan, mengajak biru malam mendekap istirahatku malam ini. Bunda tampak sibuk dengan baju rajutannya dan Ayah sibuk dengan DVD Michael Jacksonnya. Keluarga kami bisa terbilang unik, karena kami bertiga memiliki kebiasaan yang sangat jauh berbeda. Ayah adalah penggemar Michael Jackson, dia menyukai hal itu sejak sebelum menikah, bahkan Ayah pernah dinobatkan sebagai 'Penggemar Terbaik' dari Indonesia dan berkesampatan hadir di konser Michael Jackson di New York, tapi sayangnya hal itu hanya menjadi sebuah wacana, bukan karena ayah telah ditipu, tapi karena sang legenda harus pergi untuk selama-lamanya. Sejak saat itu, ayah tampak hampa, walau tetap dia memainkan lagu-lagu Michael Jackson yang menjadi koleksinya. Bunda sendiri dulunya adalah seorang ballerina, tinggi semampai dan badan langsingnya masih berbekas sampai sekarang, hanya saja dia harus menghadapi pilihan yang cukup berat kala itu, aku atau penampilan solo yang akan membawanya ke panggung internasional. Namun, kau bisa mengetahui jawabannya dari helaan nafasku pada detik ini, ya... dia memilihku, aku adalah kehamilannya yang ketujuh kali, setelah berkali-kali Bunda mengalami keguguran, padahal waktu itu sudah masuk ke pernikahan mereka yang ke-8 tahun, hanya sekedar informasi orang tua ku menikah di umur 18 tahun, pernikahan muda yang direstui oleh semua pihak, bukan karena ada masalah. Begitulah akhirnya Bunda kini berstatus sebagai mantan ballerina, tapi pilihannya itu akan selalu ku ingat dan menjadi motivasi terbesarku untuk membahagiakannya.
Kemudian, jiwaku sendiri? Jiwa yang tak ada hubungannya dengan musik, tari dan kegiatan fisik lainnya, aku menetapkan hatiku pada tulisan, aku mencintai tulisan bahkan sebelum aku belajar menulis dan membaca. Oleh karenanya, jika kau menemukan buku-buku yang isinya garis-garis melilit, itu adalah karya tulis pertamaku. Mengenai studiku juga, aku mengambil prodi sastra Inggris di salah satu Universitas ternama di Malang, membuatku rela hidup berjarak berpuluh-puluh kilo dari orang tua ku di Kalimantan. Namun, aku percaya, seberapa jauh aku pergi rumah tetap lah rumah dan keluarga tetap lah keluarga.
"Sudah malam, Ayah dan Bunda tidak tidur?" Aku menatap mereka dari daun pintu kamarku, mereka tersenyum dan menggeleng pelan.
"Baiklah, kalau begitu aku tidur duluan." Aku beranjak ke atas kasur, setelah menutup pintu.
Malam itu aku kembali di depan laptop kesayanganku, membuka Microsoft Word yang masih kosong, meski liburan telah tiba, aku masih belum bisa lepas dari hal satu ini, menulis. Entah, otakku rasanya akan mati rasa, jika aku tidak mengeluarkan setiap kata yang tertanam di dalamnya. Satu, dua kalimat sampai sepuluh paragraf sudah ku alirkan dalam kertas kosong tadi, aku masih ingin melanjutkan sampai aku mendengar suara, datangnya dari lemariku.
"BRUGH" sepertinya benda-benda dalam lemari berjatuhan
Aku menahan nafas, bunyi berjatuhan itu sangat kentara, tapi sangat tidak mungkin barang-barang dalam lemariku berjatuhan, karena aku bahkan belum membuka lemari sejak aku pulang. Aku mencoba untuk tak perduli, tapi suara itu semakin gaduh dan terdengar ketukan pelan. Sial, apa yang terjadi pada kamarku malam ini, benar-benar sudah di luar nalar, rasanya tidak mungkin di dalam sana ada pencuri. Lalu, dengan segala kekuatan dan keberanian yang ku miliki, aku ajak dua kaki ini melangkah, tangan kanan dan kiriku menarik lampu belajar –benda yang cukup besar untuk membuat seseorang lumpuh. Aku terhenyak di depan pintu lemari yang tampak bergetar, suara ketukannya sekarang lebih seperti menggendor pintu secara paksa, dengan mata yang setengah terpejam, aku mengulurkan tangan dan memutar kunci.
"ARGGGGHHHH" teriakanku melambung di udara, sebuah tangan tampak menjulur di sana dan perlahan sepasang kaki juga melangkah masuk, spontan aku menimbuni orang itu dengan pukulan-pukulan, sampai ku dengar suara.
"Ohh, sakit! Ey... berhenti!" Dia mengerang dengan suara beratnya, langsung saja aku membuka mata, karena begitu terkejutnya aku bahkan lupa berkedip.
"Berhenti melotot seperti itu!" Wajahnya seputih es dan rambutnya pun tampak berwarna silver, dia seperti manusia tapi tak seperti manusia.
"Si ... siapa, kau?" Suara ku tertahan, dia nampak cekikan.
"Aku? Kau lupa padaku?"
Aku mengangguk pelan, tanganku masih di udara dengan lampu meja menghadap ke wajah pria es itu.
"Aku manusia, sama sepertimu." Senyumnya mengembang, bibirnya yang nampak kemerahan itu menipis.
"Apa? K ... kau pencuri atau apa?
Dia menggeleng, "No, No, No~ Aku bukan pencuri, aku tinggal di sini,"
"Bagaimana manusia bisa hidup dalam lemari?" Aku berujar dengan setengah berteriak.
"Kalau kau tak mau percaya akan hal itu, anggap saja aku peri. Peri yang tampan, he he"
Aku semakin tak percaya dengan ucapan pria es misterius ini, tapi ini justru membangkitkan emosiku, karena jawabannya yang nampak tak serius.
"Kau iblis, ya? Yang biasanya menjadi penjaga rumah atau benda?" Aku berkacak pinggang, karena sudah semakin terpancing amarah.
"Tidak-tidak, sudah ku bilang aku ini peri. Aku akan menjagamu dan membawamu ke dalam hidupmu yang sebenarnya, dan..." Dia mencoba menggantungkan kalimatnya saat meneliti wajahku yang sekarang tampak seperti orang idiot yang penasaran.
"Dan apa? Apa? Lanjutkan kata-katamu!"
"Dan... lemari ini adalah pintu keluarmu."
Aku menyeringai, mendapati penipu yang lebih terlihat konyol daripada siapa pun. Dia menatapku tajam dan sedingin es, tapi bibirnya yang tipis itu masih saja terus mengembang, dia punya mata yang sipit tapi lensanya nampak sebiru samudera terdalam, aku terasa sudah terhipnotis dalam sekali pandangan.
"Jangan konyol, dasar kau penipu! Ayah! Bunda! Ada pencuri di .... Huft," Tiba-tiba saja pria ini menutup mulutku dan berhasil menangkap lampu meja di tanganku, kemudian melemparnya ke kasur. Dia membekapku dari belakang, saat aku berbalik dan lengah.
"Aku mohon. Jika kau ingin selamat, maka dengarkanlah ucapanku." Dia berbisik di balik telingaku, badannya yang hampir 30 cm lebih tinggi itu meraupku dan tak membiarkanku untuk meronta, walau ku berusaha berulang kali.
Pelipis ku terus mengalirkan buliran bening, ini keringat dingin yang kesekian kalinya. Aku duduk di kasur kamarku, pria yang mengaku peri itu masih berdiri tiga langkah di hadapanku, dengan tangannya yang melipat di dada. Aku benar-benar takut dan tak sanggup untuk berbicara, aku hanya heran mengenai segala keanehan yang datang pada hari ini.
"Jangan takut padaku, ku mohon. Anggap saja aku makhluk aneh karena muncul dari lemari itu, tapi aku hanya ingin kau tahu aku akan menyelamatkanmu. Aku hanya perlu membawamu keluar dari sini, melewati lemari itu tanpa diketahui kedua orang tuamu."
Pria es itu menghela nafas, sorot matanya yang tajam lagi-lagi bagai menghipnotisku. Buru-buru aku tersadar dan memejamkan mata.
"Kenapa? Kenapa aku harus percaya padamu?" Aku juga menyilangkan kedua tanganku di depan dada.
"Berhenti bersikap tak mengerti, Delima." Pria itu mengambil satu langkah ke depan dan memajukan wajahnya.
"B... Bagaimana kau tahu namaku? Kau ini benar-benar, memangnya kau siapa, hah?!"
Amarahku meluap, aku merasa dipermainkan. Apa dia seseorang yang aku kenal? Tidak, aku bahkan asing dengan wajahnya, atau dia seorang penguntit? Mungkin itu salah satu alasan yang paling kuat. Namun, semuanya terasa janggal ketika dia bilang akan menolongku.
"Aku Matt, peri yang berjanji akan selalu menjagamu sejak kau kecil. Apa kau ingat?"
Aku menggeleng, dia nampak gusar. Wajahnya yang seputih es itu tampak memerah mulai dari telinganya, kedua tangannya pun sekarang sibuk mengacak-acak rambut, dia beberapa kali berputar di tempat. Aku yakin dia dalam kebingungan dan saat keadaan seperti itu mudah bagiku untuk mencari celah, saat punggung pria itu menghadapku dengan segera ku berlari pada pintu kamar dan dengan sedikit tekanan pintu itu terbuka.
"Hey! Jangan lari dari kamarmu, kalau tidak kau akan..."
Aku tak perduli lagi, tak ku hiraukan setiap kalimat yang ia ucapkan, aku benar-benar takut dan juga marah. Malam itu, kala kelinci bulan masih sibuk menumbuk mocchi di sana, aku berlari menuju kamar Ayah dan Bunda, aku mendapati mereka menatapku dengan kosong, dengan perasaan lega aku memasuki kamar. Deru nafas tak beraturan itu sayup-sayup tak lagi terdengar karena aku langsung tak sadarkan diri, terbawa oleh alam mimpiku. Aku tidak tahu, bahwa ada rahasia besar yang akan terkuak dari rumah ini, cepat atau lambat.
Mentari sudah menyentuh cakrawala, dia diam sejenak tadi malam untuk bekerja di siang hari, menunjukkan kemewahannya sebagai bintang terbesar di tata surya. Aku melamun, menatap jendela rumah yang terlihat lebih besar dari biasanya, Ayah dan Bunda sudah tak ada. Anehnya, sarapan sudah terhidang dengan lezatnya di depanku, asapnya mengepul diterangi oleh sinar hangatnya mentari. Aku menyantapnya dengan nikmat, selama 20 tahun aku hidup baru kali ini aku merasakan makanan Bunda terasa lebih gurih, tak biasanya juga dia menghidangkan susu dipagi hari, karena Ayah dan Bunda biasanya lebih suka meminum teh. Namun, sekali lagi aku tak menghiraukan itu.
"Kau menikmati sarapanmu?" Suara sedingin es itu kembali menyeruak dalam telingaku.
"Ay... Huft" Dia memasukkan setengah roti lapis daging ke dalam mulutku.
"Aku bilang berhenti memanggil mereka, dua orang itu adalah palsu."
Aku melongo, siapa yang bicara palsu sekarang, "Kau lah yang senyatanya palsu, sebuah halusinasi yang tampak nyata, mungkin otakku sudah terlampau sering membaca novel fantasi."
"Satu hal yang perlu kau ingat, kau adalah pasien di rumah sakit jiwa, sekarang sudah sepuluh tahun kau dititipkan di sini oleh keluargamu. Jiwamu terombang-ambing akibat ..."
Aku semakin dibuatnya ternganga, lelaki ini pantas mendapatkan penghargaan penulis kisah fantasi terbaik, 'Aku pasien rumah sakit jiwa? Dia sedang bercanda!'. Aku memutar otak dan berusaha tetap berpikir rasional, aku coba menghapusnya dari pikiranku, berharap dia halusinasi yang akan hilang, mungkin karena tabrakan tempo hari membuat otakku tak bisa membedakan kenyataan dan palsu. Namun, itu tidak mempan, dia masih di sana, menatapku dengan tatapan yang lebih lembut.
"Orang tuamu sudah tiada," Dia tiba-tiba berujar memecah heningku dan lamunanku.
"Tarik ucapanmu! Sepertinya yang lebih seperti pasien sakit jiwa adalah kau, jelas-jelas Ayah dan Bunda berdiri menyambutku, lalu sekarang memberikan aku sarapan."
Aku berdiri dari tempat dudukku tadi dan langsung berhadapan dengannya.
"Aku berkata yang sejujurnya. Coba kau ingat lagi, memorimu sudah tujuh puluh persen terhapus akibat kecelakaan mobil itu, tapi aku yakin ingatanmu tentang rumah masih utuh. Oleh karenanya kau berpikir ruangan ini adalah rumahmu, padahal bukan."
Pria itu menyentuh pundakku, aku menatap telapak tangannya itu, tak terasa buliran air mata itu mengalir, aku menyangkal semua perkataan pria itu.
"Kau mau melihatnya? Ini nyata atau palsu, panggil Ayah dan Bundamu dan katakan perimu sudah datang, jika mereka nyata mungkin mereka akan tertawa dan akan menganggapmu konyol, tapi jika mereka diam seperti hari kemarin, bukankah itu sebuah pertanda? Larilah ke lemari, saat mereka mendekatimu tanpa berbicara atau menjawabmu. Kau mengerti? Kita coba sekarang?"
Dia menangkup wajahku, membersihkan buliran air mata yang tersisa di ekor mataku yang semakin memerah, aku mengangguk dan berjalan keluar kamar. Kedua orang itu kembali sibuk dengan aktivitas mereka seperti hari kemarin.
"Ayah! Bunda!" Mereka menoleh, tangan mereka yang awalnya sibuk kini terhenti.
"Pe ... Periku sudah tiba, dia da ... tang menjemputku," Aku berucap dengan takut-takut, aku hanya berharap mereka tertawa terbahak dan mengataiku konyol atau hal yang lainnya.
Namun, mereka hanya tersenyum sembari melangkah dari tempat semula, bergerak maju hendak menyentuhku, perlahan dengan pasti raut mukanya berubah, kerutan kasar muncul dari tiap lekuk wajah mereka, goresan merah dengan tetesan darah segar merembes di lantai. Aku bergetar, sangat kuat hingga aku tak sanggup berjalan. Aku hampir terduduk, saat tangan seseorang menahan punggungku, pria es itu menangkapku, dia meraih lenganku dan mengajakku berlari menuju lemari.
"BRUGH... DUK...DAK!" Suara hempasan pada pintu lemari yang terkunci itu membuatku semakin gemetar, lelaki es ini memegangi ku erat, aku membenamkan diri pada pelukannya yang tak sedingin lekuk wajahnya.
"Pejamkan matamu dan dalam hitungan ketiga, SATU... DUA...TIGA. Buka matamu sekarang!"
Aku terlonjak, mataku terbuka secepat hitungan itu berakhir. Penghilatanku masih kabur, tetapi aku tau kami berhasil keluar dari lemari, melihat semburat cahayanya, sekarang aku berada dalam ruangan putih dengan bau disinfektan yang cukup menusuk, aku menyimpulkan tempat ini adalah ruangan rumah sakit jiwa yang dikatakan pria es itu.
"Selamat kepadamu, pasien Delima. Hari ini adalah hari terakhir terapi hipnotismu ditingkat medium, mengetahui kau sudah mulai mempercayai perimu untuk masuk ke lemari, menunjukkan tingkat kesadaranmu semakin pulih."
Pria berjubah putih yang lebih terlihat seperti ilmuan gila daripada ahli hipnotis membuatku jengah, entah kenapa aku merasa dipermainkan, seharusnya yang berdiri di sampingku sekarang adalah 'Peri Es –ku' yang menyelamatkan aku, tapi setelah pandanganku mengitari ruangan ini tak ada satu pun wajahnya yang dingin dan mata biru samuderanya.
"Aku tahu perjuangan sepuluh tahun setelah menyaksikan kedua orang tuamu dibunuh di depan matamu bukanlah hal yang mudah, ditambah lagi kerusakan otak yang ditimbulkan oleh kecelakaan mobil setelah itu, pasti banyak menyisakan trauma untukkmu, bukan? Saatnya kau percaya pada kami, kami akan membantumu kembali menjadi Delima yang seperti dulu lagi. Jadi, kami harap kau..."
"Berikan aku Peri Es-ku! Di mana Peri Es-ku?! Di mana dia?!!!" Aku benar-benar kecewa, aku tahu aku sudah terkungkung pada kejadian sepuluh tahun saat orang tuaku dibantai di depan mataku, aku yang juga hampir menjadi korban sempat mencari celah untuk kabur dari rumah, tapi sayangnya aku ditabrak oleh mobil yang dikendarai orang-orang jahat itu.
Aku kembali berteriak dengan tangis yang terus terurai, aku berlari keluar ruangan itu, setiap orang coba menahanku, tapi dengan segala kekuatan aku melepaskan diri. Di ujung lorong, aku akhirnya bertemu dengannya, wajah yang dingin dan sorot tajam mata biru samudera, aku memeluknya erat. Dalam pikiranku, aku berhasil selamat pada jerat trauma kematian orang tuaku, tapi entahlah setiap orang menertawaiku bahwa aku terjerat pada halusinasi yang lain, dengan menyebut 'Peri Es –ku' hanyalah sebuah bingkai yang terisi foto teman masa kecilku yang sudah tiada. Namun, sekali lagi aku membantah, dia ada. Aku tahu itu.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top