CINTA 30 TAHUN
Masih jelas terlihat di mata Mawar punggur –punggur yang setengahnya telah menghitam dan keropos akibat kebakaran dua tahun lalu, dia masih saja setia duduk manis di samping pagar dermaga dengan alas kardus bekas sambil menghadap ke reruntuhan.
Sesekali dia menahan nafas, akibat angin yang membawa aroma khas pohon karet, yang dibawa oleh kapal-kapal besar yang melintasi sungai itu. Dia bergumam pelan, dalam pikirannya menebak-nebak dan hasilnya tetap nihil.
Kali ini dia hanya menerawang pada langit-langit senja kala itu, tangannya menggenggam erat selembar kertas yang berisi nama sang pengantin pria, yang dulu pernah memberikan gelang emas pada gadis bertubuh gempal ini, sebagai tanda sang pria siap meminangnya, tapi entah mengapa untuk Mawar, sekali lagi ia kehilangan rasanya, cinta itu tak ada dan sekarang dia harus merelakan kakinya melepaskan jodoh yang tak sampai bersama wanita pilihannya.
"Chi, sebentar lagi maghrib. Ayo kita pulang!" keponakannya yang sudah melebihi tingginya itu pun membangunkan Mawar dari lamunannya, Achi adalah panggilan sayang keponakannya untuknya, meski dia tak tahu juga apa makna dari panggilan itu.
Berat kata orang, seorang gadis yang sudah berkepala tiga menemukan seorang pendamping yang sesuai hati, dan jangan kata orang untuk menolak seseorang yang datang di umur seperti itu. Mawar paham betul hal itu, pemilih? Bukan, dia hanya ingin bersama seseorang yang dapat membuatnya bertahan.
Pikiran itu pun, sampai-sampai membuat kedua orang tuanya mengajaknya ke orang pintar untuk sekedar meminta air suci, penerang hati atau semacamnya, hingga dia didiagnosis terkena guna-guna tetangga sebelah, yang katanya tak ingin dia menikah duluan dari mereka.
Suara air mengalir di langit-langit rumah kala itu, dan detik waktu yang terus berjalan maju tanpa peduli, menggulingkan menit dan jam tanpa terasa, Mawar kembali menerawang dengan sesekali matanya menutup sendiri menahan kantuk, tapi sesuatu melawannya, dia memikirkan hari esok, hari yang baru yang menunggunya untuk memulai petualangan baru.
Setelah kakak pertama dan keduanya melakukan pembicaraan rahasia bersamanya, rasanya jantung Mawar berpacu terlampau cepat dari biasanya, entah hari seperti apa yang akan menunggunya besok.
"Mama Bali sudah datang, War." Kakaknya masuk tanpa aba-aba.
Embun pagi bahkan belum cair, Mawar pikir bersiap-siap adalah hal pertama yang dia akan lakukan hari itu, wajah yang dulu senyumnya sulit untuk didapat, kini terpantul manis di cermin besar, dengan sedikit riasan ringan dia pun coba menahan wajahnya untuk selalu tersenyum.
"Achi akan pergi ke Jogja,ya? Sudah dapat pekerjaan di sana?" Keponakannya yang mempunyai lambang kelas Sembilan di lengan kanan pakaiannya itu, pun menatapnya lugu, Mawar hanya balas tersenyum dengan ringan. Kemudian, setelah berpamitan sesaat dia sudah melaju bersama Mama Bali menuju tempat tujuan.
Senja hari itu dihabiskan Mawar meniti papan-papan kayu di sebuah dermaga lain, yang sebenarnya sudah lama tak berfungsi selayaknya dermaga biasa, dia sendiri tanpa Mama Bali, wanita dari Bali yang memiliki nada suara yang tinggi dan terus-terang itu, dia yang mengajaknya datang ke tempat ini, tapi dia pulang beberapa menit lalu.
Tujuan mereka hari itu adalah untuk sebuah pertemuan, Mawar kebetulan menunggu orang itu, seseorang yang diceritakan Mama Bali tempo hari ketika kakinya menginjak kota ini.
"Mawar,kan?" Suara berat yang membelakangi matahari senja hari itu, membuat Mawar menoleh dengan matanya yang menyipit.
"Iya?"
"Apa kabar? Aku Bagas," Ternyata dia, dia orang yang selama ini dibicarakan Mama Bali,
"Baik,Kau sendiri?"
Itulah sebuah awal, hampir dua jam mereka mengisi kepingan-kepingan kosong setiap pertanyaan yang muncul di benak mereka. Kemudian, keduanya terhenyak dan menghela nafas sesaat, sunyi menyeruak untuk mengisi pikiran-pikiran mereka dengan pertanyaan baru.
"Aku akan mengantarmu pulang, kita bisa lanjutkan lagi dilain waktu."
Bagas memecah keheningan, padahal Mawar hampir saja memulai percakapan baru, tapi Mawar tetap setuju dengan keputusan yang Bagas pilih, dengan anggukkan malu-malu darinya, mereka pun beranjak dari dermaga itu.
Waktu terus berjalan, pelan namun pasti, mengiringi dua orang yang semakin nyaman saja tiap harinya. Hingga waktu pun meminta jawaban dari pilihan keduanya, lanjut atau berhenti.
Mawar menutup telepon dari Bagas, dia hanya bisa menahan dan menghembuskan nafasnya beberapa kali, ada perasaan ragu lagi, perasaan yang selalu mucul ketika pelaminan hampir kelihatan bayang-bayangnya, cinta yang membuatnya ragu.
Deru beberapa sepeda motor terdengar berhenti di depan rumah kakak pertamanya itu, meja makan sudah penuh dengan isinya yang bermacam-macam, dari orang tuanya, kakak kandung dan kakak iparnya menyambut orang-orang itu di beranda rumah mereka, sedang Mawar masih bercengkrama dengan keponakannya itu, tatapan heran darinya membuat Mawar risih dan gugup tanpa sengaja.
"Achi, kenapa? Gugup?" Mawar kemudian tersenyum geli dan menggeleng, tapi tetap saja wajah gugupnya sangat kentara.
Hari itu sebuah pertemuan tengah berlangsung, basa-basi renyah dengan selingan tawa pun telah dilalui, kakak ipar Mawar membuka pembicaraan yang sebenarnya adalah titik inti dari pertemuan hari itu, kedua belah pihak membicarakan hal itu dengan serius, hingga mereka dapatkan sebuah kesepakatan, dan dengan dua cincin pengikat, resmilah Mawar dan Bagas bertunangan.
Selepas bertukar cincin, keduanya bersujud di depan kedua orang tua Mawar dengan disaksikan seluruh keluarga keduanya, kebetulan ibu Bagas tak dapat hadir waktu itu, keduanya meminta restu dengan khusyuk. Hari itu pun keduanya langsung menuju pasar tradisional terdekat untuk membeli barang-barang hantaran dan hal-hal lain yang diperlukan untuk keperluan aqad nikah yang akan dilangsungkan dua minggu mendatang.
Dingin menyelimuti malam hari setelah pertunangan itu, kini Mawar sudah terikat satu sama lain dengan Bagas, meski mereka belum resmi seutuhnya menjadi suami istri, tapi ada sensasi unik di dada masing-masing ketika mata mereka tak sengaja bertemu.
Bagas akan kembali ke Surabaya selepas maghrib, sedang keluarganya sudah sejak tadi siang kembali ke Jogja. Bagas memang orang Surabaya asli sama seperti Mawar, tapi dia harus bekerja di Jogja karena saudaranya banyak mengadu nasib di sana, dan Mawar sendiri sekarang tinggal bersama kakaknya di Malang, mereka berasal dari tempat yang sama tapi bertemu di tempat yang jauh berbeda.
Menjelang hari aqad, lagi ada rasa getir di hati Mawar, ada kebingungan yang mendalam sama seperti dua tahun lalu, tapi sekarang entah kenapa tidak seperti sebelumnya, rasa ragu yang dulu dia diamkan kini dia utarakan perlahan, sejujurnya juga ada perasaan tak rela, jika hubungan kali ini tidak berhasil seperti sebelumnya.
"Perasaan cinta itu bisa didapat setelah menikah,War. Kau akan rugi jika kau melepaskan Bagas, kakak pertama dan keduamu menikah dengan PNS, kau juga harus begitu, meskipun Bagas masih belum menjadi PNS, setidaknya dia sudah memiliki pekerjaan tetap dan akan menjadi PNS nanti jika ada pengangkatan. Jangan ragu, jangan takut!" Mama Bali coba menghibur Mawar ketika mengunjunginya setelah beberapa hari dari hari pertunangannya.
Mawar merenung, tapi tetap saja perasaan itu terus berkecamuk dalam hatinya, ini terus terjadi setiap malam mengiringi hari-harinya menunggu aqad nikah. Hingga hal ini membuat kedua orang tua dan kakak-kakaknya khawatir.
Hari itu sekitar seminggu sebelum aqad, setelah pemotretan foto gandeng mereka selesai, Mawar dan Bagas diajak pergi menemui orang pintar yang disarankan Mama Bali dan waktu itu hampir tengah malam Mawar dan Bagas dimandikan dengan bunga tujuh rupa di bilik yang berbeda, dengan lafalan mantra-mantra yang tak tahu artinya apa, ini menjadi jalan terakhir, dan sama seperti sebelumnya mereka didiagnosis telah diganggu oleh peliharaan tetangga sebelah.
Mawar menepuk hatinya ingin tertawa terbahak, tapi di waktu yang sama hatinya tercabik-cabik, luluh lantah, dia lelah, ini lucu tapi tak bisa ditertawakan karena dia sendiri yang akan terluka.
Bagas memandangnya sendu, tangannya menyentuh pundak Mawar, dalam tatapannya, menembus retina Mawar berusaha menyentuh hatinya, menguatkan dan mengajaknya untuk bertahan, Mawar yang menatapnya balik pun sedikit demi sedikit meronta untuk melawan ketakutan dalam dirinya.
Matahari menyeruak dari peraduannya, menjenguk pepohonan rindang yang bersebalahan dengan kamar Mawar yang jendelanya sudah terbuka sempurna, kembali hari itu Mawar mematut wajahnya di depan cermin, tapi kali ini dia tak sendiri, ada kakak keduanya yang membantunya merias diri, keponakannya menatap sembari tersenyum sesekali.
Hantaran yang sudah dikemas dalam keranjang pun tersusun manis di depan pelaminan yang dibuat sederhana, pada dasarnya acara hari ini hanyalah pemanis dari aqad nikah Mawar dan Bagas, untuk setidaknya mengajak masyarakat sekitar merasakan kebahagian dari seluruh keluarga, hanya acara sederhana.
Dalam diam Mawar menerawang dirinya dalam cermin, mempertahankan hatinya agar tetap kuat, dan hari ini dia menyadari sesuatu, tidak hanya dirinya tapi seluruh keluarganya, bahwa semua masalah yang terjadi akhir-akhir ini, tak sepantasnya selalu mereka adukan pada orang pintar, kepercayaan yang tumbuh dari tradisi nenek moyang, tak selamanya mereka benar, karena ada Tuhan yang Maha Pengasih yang jauh bisa memberikan jawaban terbaik untuk mereka.
Jadi, hari itu Mawar merelakan segalanya kepada Tuhan untuk segala hal menyangkut hidupnya di masa depan. Satu jam kemudian, Bagas sudah sampai dengan beberapa keluarganya, dengan setelan jas sederhana dan kopiah di kepala, sederhana namun rapi, begitupun Mawar dengan pakaian muslimah serba putih, mereka pun siap berangkat ke KUA (Kantor Urusan Agama) setempat.
Suasana yang awalnya riuh penuh semangat, kembali tenang saat penghulu, para saksi dan kedua mempelai sudah menghadap satu meja, apalagi saat penghulu sudah mengulurkan tangannya pada Bagas dan disambut oleh tangan dingin Bagas, semuanya terhenyak sesaat menunggu satu kalimat yang meluncur dengan satu helaan nafas itu.
"Saya terima nikah dan kawinnya Mawar binti Yanto dengan maskawin tersebut, tunai!" satu kalimat tegas keluar dari mulut Bagas dengan lancar, membuat semua orang menyambutnya dengan ucapan "Sah" berulang kali.
Bagas tersenyum lega, begitu pun Mawar yang wajah gugupnya telah terbang entah kemana diganti dengan senyum lega dan haru, sampai akhirnya Mawar diminta untuk mencium tangan Bagas, sebagai tanda santunnya kepada sang suami. Acara pun dilanjutkan di rumah dengan syukuran kecil bersama keluarga dan masyarakat sekitar.
Malamnya, selepas Isya Mawar mengajak Bagas ke dermaga, tempat dulunya Mawar merenung sembari menerawang kepada takdir jodohnya, mereka berjalan berdampingan sambil merasakan hembusan angin malam menggelitik kulit mereka masing-masing.
Mawar kembali duduk menatap punggur-punggur bekas kebakaran tersebut, sembari menunggu Bagas membelikan makanan kecil untuk mereka, Mawar mengeluarkan ponselnya dan jemarinya terus menari di atas tombol-tombol huruf itu mengetikkan kata demi kata dan dikirimkannya ke Bagas, merasa ponselnya bergetar, Bagas cepat-cepat membuka dan membaca pesan itu.
"Kau dan aku, kita bukan orang yang pernah bermimpi untuk bertemu satu sama lain. Asing, ya...asing, ketika pertama kali kita bertemu dan kau menyebut namaku di dermaga lama itu. Setiap malam bertukar pesan dan saling menghubungi satu sama lain, ada rasa nyaman, tapi yang ku tahu aku buta tentang cinta, hingga aku tak mengerti apa itu cinta apalagi cinta buta, hingga aku melihatmu di sampingku, bukan hanya untuk mempersuntingku sebagai istri, bukan hanya untuk nuansa pribadi di hatimu, tapi kau juga menguatkan hatiku. Jadi, hari ini aku menyadari satu hal, hal yang sangat lama dapat bisa ku pahami, bahwa hari ini akhirnya aku jatuh cinta, aku jatuh cinta pada suamiku."
Mawar menatap Bagas dari jauh, dia yang kala itu tersenyum padanya, membuat Mawar balas tersenyum, menatap dan memahami hati masing-masing, menyadari bahwa inilah cinta, cinta yang selama ini mereka cari, cinta yang mereka temui dalam kesakitan dan cinta dari jiwa yang telah rapuh yang sudah tak percaya pada segalanya. Namun, itulah pembuktian dari kisah mereka, tak ada cinta yang mati, meski mereka berpikir begitu, tapi cinta akan selalu bersemi dalam hati, tanpa disadari.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top