Spring Day

Hana pasti sedang sedih lagi!

Lihat saja bibir melengkung ke bawahnya yang sedang mengerucut dan sorot mata sayu itu. Ia menepis gugurnya bunga maehwa yang jatuh menimpanya dengan gerakan lamban. Malas.

Aku sebenarnya sudah mencoba menghalau dengan sekuat tenaga untuk melindunginya, tapi aku tak bisa.

Bukan tak mau.

Hana biasa duduk di bawah pohon maehwa, tepat di pohon deret ke-10 dari arah perempatan jalan goindol 1-ro. Meski ada kursi yang bisa ia gunakan tak jauh dari sana, Hana selalu saja berhenti di tempat yang sama. Ia lebih rela duduk tanpa alas hingga rok selututnya kotor, ketimbang duduk dengan nyaman seperti cowok rambut ikal yang sedang tiduran di kursi sana.

Aku tak pernah protes, tetap memutuskan untuk duduk di sampingnya. Tak terlalu dekat, tapi tak terlalu jauh juga.

Hana meluruskan kakinya, punggungnya bersandar di badan pohon, dua lubang telinganya ia jejali earphone putih. Seputih bunga maehwa yang sedang berguguran di sekitar kami.

Aku pikir Hana akan memejamkan matanya, tertidur pulas di sana sebelum air matanya terlanjur menetes. Takutnya. Karena aku cukup terbiasa dengan rona wajah sayu Hana yang seperti itu. Tanda-tanda ia akan menangis begitu kentara.

Tapi ternyata Hana malah menatap layar ponsel. Aku mencoba tak peduli, pada awalnya. Tapi, ketika Hana tiba-tiba terkekeh tipis, perhatianku teralihkan. Tatapanku padanya tak lebih dari sebuah tatapan terkejut.

"Hana, kamu baru saja tersenyum!" Aku bertepuk tangan heboh hingga tanpa sadar tanganku membentur ponselnya.

Ponsel itu terjatuh. Hana memekik lantang. Aku melongo memandangi tanganku yang gemetaran dan perlahan memudar.

Tidak mungkin!

Hana celingukan. Aku duduk diam tak bersuara, tak bergerak, bahkan tak bernapas. Hanya mataku yang bergerak mengikuti gerak-gerik Hana yang seolah mencari sesuatu. Sampai akhirnya Hana kembali menatap layar ponselnya. Apa yang ia cari tampaknya tak dapat ia temukan.

Aku menghela napas lega. Mengelus dada berulang kali sambil mengatur napas kembali.

Senyuman di wajah Hana kembali terbit ketika perhatiannya lagi-lagi teralih pada layar ponsel. Aku yang penasaran, akhirnya memberanikan diri mengintip. Berhati-hati. Jangan sampai Hana tahu keberadaanku. Selain aku ingin tahu penyebab Hana bisa tersenyum seperti tadi itu disebabkan oleh apa?

Ya Tuhan!

Seketika aku membekap mulutku. Mataku melotot memandangi layar ponsel dan Hana secara bergantian.

Tak percaya.

Bagaimana bisa dia memiliki video itu?

Dari mana asalnya?

Siapa yang merekamnya?

Tunggu!

Kenapa Hana menertawakan video itu? Bukankah harusnya ia marah karena video itu berisi surat cintanya yang dibacakan di depan kelas olehku setelah sebelumnya pernyataan cintanya itu aku tolak?

Aku menghirup napas dalam-dalam. Perlahan-lahan memutar kembali ingatan yang tentu saja tak pernah memudar satu kenangan pun. Saat Hana menyodorkan kertas berornamen hati dan layang-layang padaku di ... sini.

Aku mendongak, menatap pohon maehwa yang menaungi kami. Ya! Di sini! Di bawah pohon ini dia memberikan surat cintanya padaku. Kertas warna pink dengan ornamen hati, bunga sakura, dan tulisan dengan tinta merah terang. Mataku sampai menyipit ketika membaca tulisannya itu.

Untuk Suga,

si cowok mageran.

Aku tahu kita sudah saling mengenal sejak kecil. Kita adalah tetangga, teman, dan juga musuh. Namun, aku tak bisa menampik bahwa perlahan perasaanku padamu berubah.

Aku tahu tepatnya kapan.

Saat kamu tak sengaja jatuh di tangga dekat rumah dan menimpaku, lalu kita berciuman. Maksudku, bibir kita tak sengaja saling tindih. Itu masih disebut sebagai ciuman, bukan?

Sejak itu aku sadar kalau aku menyukaimu. Bukan lagi sebagai tetangga, teman, atau musuh. Tapi, rasa suka dari seorang perempuan kepada laki-laki. Dan ... maukah kamu menjadi pacarku?

Dari Hana,

si cewek pembenci segala jenis olahraga.

"Kamu menyukaiku?" tanyaku saat itu setelah usai membaca rentetan pengakuan cinta di suratnya. Tentu saja aku kaget bukan kepalang. "Cewek gila!" umpatku penuh nada penekanan. Ku jejalkan surat cintanya itu di saku celana dan kemudian pergi.

Imbasnya, hubungan kami setelah kejadian hari ini menjadi aneh. Kacau. Ganjil.

Hana yang aneh sebenarnya. Dia yang menghindariku.

Ketika aku menyapanya, dia malah berpaling.

Ketika aku datang ke rumahnya, dia malah lebih memilih mengurung diri di kamar sampai menguncinya rapat-rapat. Bahkan ketukan dan panggilan dariku tak pernah ia tanggapi.

Saat ada di sekolah, dia tak pernah lagi membangunkanku saat tidur di kelas. Tak pernah memesankan teokbokki sepulang sekolah di kedai Mi Yeon halmoeni. Ia juga tak pernah lagi pura-pura sakit ketika pelajaran olahraga agar bisa tidur di UKS selama pelajaran tersebut.

Semakin hari, Hana semakin menjauh. Aku tahu penyebabnya. Si surat cinta sialan yang Hana berikan padaku hari itu.

Terlalu jengkel, akhirnya aku membacakan surat cintanya itu di depan kelas ketika sesi pelajaran baca puisi berlangsung. Aku mengajukan diri secara sukarela untuk menunjukkan hasil karyaku.

Karya Hana lebih tepatnya yang sudah menjadi milikku.

Hal itu ternyata berhasil memantik reaksi Hana yang tadinya acuh tak acuh padaku. Untuk kali pertamanya ia memanggil namaku lantang, tegas, dan penuh penjiwaan.

"Min Suga!"

Lengkingan suara Hana beserta mata melototnya cukup membuatku puas. Ini yang aku tunggu-tunggu. Bertengkar dengannya sebagai musuh kalau memang ia sedang tak bisa diajak bicara baik-baik sebagai teman atau tetangga.

"Apa?!" timpalku pura-pura tak acuh. "Duduk saja! Aku sedang membacakan puisi. Jangan mengangguku!"

Teman sekelas kami bertepuk tangan dan berseru riuh. Hana dengan wajah kusut terpaksa duduk kembali. Ia tampak membenamkan wajahnya ke meja, tertunduk dalam.

Berbeda denganku yang malah semakin bersemangat membaca surat cinta Hana itu. Suaraku semakin lantang. Mataku fokus menatap tulisan tinta merah agar tak sampai keliru mengucapkan kata demi kata yang tertulis di sana.

Sampai tiba-tiba kertas di tanganku robek. Hana menariknya, ia berdiri di depanku dengan mata nyalang. Entah sejak kapan.

Aku tetap tersenyum penuh kemenangan.

"Cowok berengsek!" umpatnya lantang sebelum kemudian ia berlari keluar kelas. Diiringi tepuk tangan riuh lagi dari teman-teman sekelasku.

Aku garuk-garuk kepala. Terlalu senang. Entahlah. Perasaanku tiba-tiba saja jadi bahagia setelah membaca ulang surat cinta tersebut di depan kelas. Ada perasaan aneh yang menggelitik, membuatku merasa begitu bahagia bukan kepalang.

Sejurus kemudian aku berlari keluar kelas, tanpa peduli teriakan Bu Chen yang menghalauku untuk kembali duduk di kursi.

Hana ada di ujung lorong sana dengan langkah kaki cukup cepat. Aku berlari sambil meneriakkan namanya.

"Hana! Tunggu aku! Kita harus bicara! Hana!"

Tapi, Hana malah berlari. Cewek yang sering bolos di pelajaran olahraga itu tiba-tiba memiliki kecepatan lari di luar dugaan. Napasku terengah-engah mengejarnya sampai keluar area sekolah. Hana masih tak mau berhenti berlari.

"Hana!"

Aku segera mencekal lengannya ketika Hana hendak menyeberangi jalan raya. Gadis itu berhasil aku kejar. Tentu saja setelah berlari puluhan meter jauhnya. Aku jadi ragu kalau dia sebenarnya bukanlah pembenci segala jenis olahraga karena larinya cukup cepat.

"Aku minta maaf," kataku mengaku salah.

Tapi kalau boleh jujur, cara ini cukup ampuh membuatku dapat perhatiannya lagi.

Jadi, tak sepenuhnya salah, bukan?

Wajah Hana berpaling dariku. Air mukanya penuh amarah. Deru napasnya terdengar tak beraturan. Dua bibirnya terkatup rapat.

"Ayolah! Kita tak perlu seperti ini hanya gara-gara surat cinta sialan itu, kan?" kataku berspekulasi. "Aku tak mau hubungan kita hancur hanya karena surat cinta itu. Ayo kita lupakan semuanya dan menganggapnya tak pernah terjadi."

"Untuk apa kamu membacakan surat cinta yang kamu tolak itu? Kau mau mempermalukanku? Begitu?"

"Eh- itu ...." Aku tergagap. "Semuanya gara-gara kamu juga!" tuduhku. "Sikapmu jadi aneh setelah hari itu. Kamu menghindar dariku, menjauhiku, dan semua ini karena surat cinta ini!" Aku mengangkat potongan surat yang masih ada di tanganku ke hadapannya. "Aku tak suka perubahanmu!"

"Dan aku tak suka bertemu denganmu, Suga! Coba saja kamu bayangkan jika kamu berada di posisiku? Apa yang akan kamu perbuat setelah pernyataanmu ditolak oleh orang yang kamu cintai sekaligus sahabatmu? Apa kamu akan bersikap seperti biasanya seolah tak pernah terjadi apa pun, atau kau akan menghindar sepertiku?"

Aku meremas rambutku. Kepalaku sakit mendengarkan ocehan Hana disertai tangisan yang perlahan menetes. Tepat saat itu aku kehilangan fokusku. Cekalanku merenggang dan Hana berhasil lari dariku.

Aku tak berniat untuk mengejar. Tadinya. Namun tiba-tiba suara bunyi klakson menarik perhatianku, mengganggu. Aku celingukan. Sebuah truk besar beberapa meter melaju cepat ke arah Hana. Tanpa pikir panjang aku pun berlari. Menyusul Hana yang terpaku di tengah jalan memandangi truk yang beberapa senti lagi hendak menabraknya.

Aku memeluknya erat sambil mendengungkan namanya dengan suara parau. Sepersekian detik kemudian semua inderaku tak berfungsi. Hening. Lalu kemudian semua nyala dan bunyi kembali berfungsi.

Kudapati Hana terduduk di bawah pohon maehwa dengan tangis meraung. Aku celingukan memandang sekitar. Lega. Hana ada di sampingku meski tengah menangis.

"Han, kamu kenapa nangis?" tanyaku sambil mendekatkan diri padanya. Hendak mengalungkan tanganku di pundaknya untuk menariknya ke pelukanku. Aku mau memberikannya ketenangan seperti yang biasa aku lakukan. Sekaligus meminta maaf lagi atas kejadian surat cintanya yang aku tolak, lalu aku bacakan di depan kelas.

"Kemarilah!" ajakku.

Tapi, tanganku tak dapat menyentuhnya. Tanganku menembus tubuhnya; wajahnya, lehernya, pundaknya, tangannya, lengannya, kakinya, bahkan kepalanya.

"Hana ...," panggilku lirih. Sementara tangisan Hana saat itu semakin menjadi. "Hana ... Hana ... Hana ...."

Ingatan itu tak akan pernah aku lupakan. Pertama kalinya Hana kehilangan senyuman lesung pipinya.

"Senyumanmu masih tetap cantik, Hana," gumamku sambil menatapnya yang kini tengah menertawakan video penuh kenangan musim semi kami tahun lalu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top