SHE
"Jangan pernah jatuh cinta dengan Matsyan."
"Karena mereka tidak melihat Manusia lebih dari mainan untuk dimanipulasi."
-
Noda di kacamataku tidak mau pergi.
Tidak peduli berapa kali aku menghapusnya, noda itu terus saja kembali seperti kerak di WC. Aku melepaskan kacamata persegi itu dari mata dan mulai mengelapnya dengan kaki blazer yang aku kenakan. Tidak bersih, sih, tapi apa boleh buat. Aku tidak membawa kotak kacamata di tengah patroli malam.
Siapa pula yang kepikiran membawa benda seperti itu ke tengah tugas patroli?
"Hei, aman! Tidak ada yang mengawasi!"
Bagai riak air yang menyebar dengan lembut dan tenang ke setiap sudut permukaan air, suara asing itu menggema dengan halus ke seluruh penjuru gelanggang renang.
Benar, bahkan sampai ke tempatku berjaga.
Dari balik tembok podium penonton, aku mengenakan kacamata kembali dan mengintip. Aku mencoba meminimalkan sosokku di balik kegelapan. Biar bagiamanapun, siluet yang terlalu mencolok akan bisa dilihat dengan mudah, terutama ... ah, sial ada yang bawa senter di antara mereka!
Ugh, padahal sudah ada peraturan pembatasan pemakaian ponsel dan senter di kawasan sekolah, tapi masih saja—ugh, Risa tidak akan suka mendengar ini!
Di dekat kolam renang, tiga siluet gelap berjalan mendekati pinggir kolam. Mereka mengarahkan senter ke arah kolam yang biru.
Tunggu, tadi aku tidak dengar ada yang keluar dari kolam! Tidak ada jejak air juga! Oh, Pertiwi, jangan-jangan Dia masih ada di kolam?!
Gawat!
"Wah bener, tuh!" Anak yang berdiri di paling kiri—si anak kiri—berseru lebih dulu. "Air kolamnya jadi gelap banget di malam hari! Itu bukan sekadar mitos!"
"Gue kira lo ngibul doang gara-gara ketakutan dan nyaris pipis di celana pas kemarin malam menyusup ke sini."
Hah? Ada pelaku kemarin ma—bukankah Risa sudah mengurusnya? Katie juga sudah memastikan dia ditahan di ruang detensi seharian, kan, jadi—bagaimana—oke, oke, Mira, jangan panik. Jangan marah dulu. Jangan gusar.
Bukan berarti teman-temanmu bisa berlaku sempurna, kan?
Lagipula ini bukan patroli malam pertamamu. Ini bukan masalah pertama. Ini bukan penyusup pertama. Kau tahu aturannya. Kau tahu cara mainnya. Kau tahu cara mengatasi ini.
Oke, tarik napas, dan mulai!
"Ya ... ya, kita udah ke sini, perkataan gue bener, jadi udah ayo balik!" Anak yang berdiri di tengah—si tengah—menarik-narik lengan baju kedua temannya.
Aku menyipitkan mata di tengah keremangan malam dan keterbatasan cahaya dari senter yang ada. Seragam dan blazer yang mereka kenakan, jelas mereka adalah anak SMK Yusvi sendiri, tapi dari kelas berapa dan tingkat berapa, aku tidak bisa melihat badge di pundak mereka.
Ugh, mereka terlalu berdiri berimpitan dan cahayanya bergerak terlalu cepat.
Sekarang aku jadi pusing sendiri melihatnya!
"Alah, masih aja pengecut lo!" Temannya yang berdiri di kanan—si kanan—menyenggol pundak si tengah dengan kencang. Jelas bukan dengan maksud baik. "Ngapain lo ngember soal "Air di kolam renang berubah nggak keliatan dasarnya kalau malam hari" ke anak-anak? Ujung-ujungnya malah jadi yang paling pengen cepet kabur! Kalau emang nggak mau ke sini, jangan ngember, goblok!"
Kanan, kiri, dan tengah. Semuanya laki-laki. Tidak ada siswi terlibat. Hyang Pratiwi! Setidaknya ada yang bisa membuatku lega malam ini.
"Bener, kalau disebar begitu, artinya lo emang pengen makin banyak orang ke sini, kan?" Si kiri menyenggol bahu si tengah, bergantian dengan si kanan.
"Gue cuma nggak mau dibilang tukang tipu, oke?" Si tengah bersikeras. "Lo semua bilang gue penipu! Pengecut! Gue udah buktiin gue bukan penipu, kan, sekarang?"
"Tapi kamu tetep pengecut!" Si kanan berkata dengan nada mencibir.
"Y-ya, siapa yang nggak takut?" Si tengah membela diri. "Nih, kalian lihat sendiri, kan kolamnya berubah jadi gelap begini?"
Terdengar suara tawa. Jantungku sempat mencelus mendengar suara itu, tapi melihat punggung si kiri bergetar hebat, aku lega. Rupanya dia yang tertawa.
"Palingan juga Pak Baya lupa bersihin kola mini tadi siang," Si kiri menyahut. "Makanya jadi keruh airnya."
Ugh, kalau mendengar ada yang bertengkar, Dia pasti akan tergoda. Kalau sampai pertengkaran kecil ini membuatnya tertarik, habis sudah.
Hukum Pertemuan jelas menyebutkan bahwa mereka yang menghampiri akan penanggung jawab tindakan apa pun yang terjadi setelahnya. Terlepas dari apa pun motifnya dan akhirnya.
Jika ada sesuatu terjadi pada anak-anak itu, dengan mereka yang lebih dulu menghampiri kolam renang, akan dihitung merekalah yang menghampiri lebih dulu. Apa pun yang terjadi setelah ini akan menjadi tanggung jawab mereka seorang. Bukan siapa yang mereka hampiri.
"Keruh? Mana ada!" Si tengah masih juga bersikeras. Tangannya kini ikut menuding kolam. "Kolam kayak gini, kok. Nggak keliatan dasarnya! Ini beneran gelap! Bukan sekadar keruh!"
Terlihat si kanan mengedikkan bahu. "Bisa aja cahaya flash di hape kita udah nggak kuat," ujarnya santai. "Gue belum minta Papa beliin yang baru. Padahal ada model yang baru aja keluar dari pasar."
"Ah, model yang KT-221 yang lo bilang kemarin?" Si kiri justru menyahuti topik yang keluar dari jalur ini. "Itu bagus, tuh, gue denger prosesornya yang terbaru, memorinya juga...."
Tidak patuh pada peraturan.
Tidak fokus.
Tidak waspada pada sekeliling.
Lalai pada keselamatan teman dan diri sendiri.
Oh, Risa akan menghabiskan waktu yang lama dengan anak-anak badung ini.
"Kenapa jadi malah ngobrolin hape, sih?" Si tengah sekarang menarik lengan baju kedua temannya. "Udah, ayo pergi dari sini! Kalau pengurus OSIS mendadak patroli di sini atau satpam patroli di sini, bisa panjang urusan!"
"Hah? OSIS? Patroli malam?" Si kiri menyahut. "OSIS itu, kan, siswa-siswi juga kayak kita, ngapain mereka patroli malam? Mau dihukum sama Bu Sada?"
Si tengah diam. Ia meringkuk ketakutan.
"Tapi ... gue emang pernah denger rumor selentingan begitu dari kakak kelas, sih, walaupun belum pernah lihat juga aslinya." Si kanan menyahut dengan suara waspada. Aku harus mendengarkan lebih seksama untuk bisa menangkap suaranya yang semakin lama semakin pelan. "Katanya OSIS di sekolah ini aneh!"
Nyes. Rasanya dikatai aneh itu benar-benar.....
"Mereka punya banyak peraturan aneh dan kalian juga tau, kan? Patroli malam dan melanggar peraturan mereka sendiri seharusnya bukan hal aneh lagi."
Suasana diam sejenak.
Kemudian terdengar suara decihan. "Jadi OSIS itu enak, ya," ujar suara si kiri. "Bisa melanggar peraturan sekolah yang ketat begini seenaknya. Nggak dihukum, lagi. Bisa sok-sok ngatur anak-anak lain juga!"
"Kenapa memangnya?" Si kanan menyahut. "Lo mau jadi OSIS? Orang-orang yang kerjaannya repot setiap hari itu?"
"Alah, repot pun pasti nampang doang!" Si kiri menyahut dengan nada menghina. "Apa, sih, emangnya yang direpotin setiap hari sama anak-anak kayak kita? Uang jajan habis? PR lupa dikerjain? Atau—
Terdengar bunyi yang menggema tiba-tiba di sepenjuru gelanggang. Bunyi yang mirip suara benda jatuh di atas permukaan air. Aku mengintip ke balik tembok dan menunduk ke arah kolam renang, tempat tiga orang itu sekarang menghadap ke kolam renang yang gelap.
Oh, tidak.
Dia benar memang belum keluar dari sana!
Dan dia menyadari ada orang selain aku di kolam renang ini!
"Hei ... kalian ... udah yakin nggak ada yang ngintilin kita tadi, kan?" Si kanan bertanya.
Buru-buru aku mengetik pesan ke Kathy, menyuruhnya berjaga bersama dengan Virgo di depan gelanggang kolam renang untuk penyergapan. Ponsel berdering lagi, tapi aku tidak melihat pesan yang masuk. Fokus dah seluruh pikiranku tertuju pada anak-anak di bawah sana.
Si kiri berdecak. "Udah! Kita bertiga sendiri yang pastiin nggak ada yang ngikutin dan nggak ada teman sekamar yang sadar kita di sini!" ujarnya. "Kecuali yang ngikutin kita bukan orang...."
"Hei!" Si tengah memekik setengah histeris. "Ini udah jam sepuluh malem! Kita udah ngelakuin apa yang kita mau! Tujuan kita udah selesai! Ayo, balik, jangan malah ngomong yang aneh-aneh!"
"Ada yang takut nih." Si kiri perlahan melangkah mendekati kolam yang gelap. "Apaan, sih, yang lo takutin? Kolam ini? Nggak ada apa-apaan juga, kali!"
Si kanan terkikik geli. Sementara si kiri berdiri dengan percaya dirinya di tepi kolam renang.
Oke, ini mulai berbahaya.
"Nih, lihat, nggak ada apa-apa!"
Siswa itu semakin dekat ke kolam renang dan bahkan mulai mencelupkan sedikit sepatunya ke permukaan air.
"Hei, udah stop!" Si tengah masih memekik panik. "Kalian nggak lihat itu kolamnya aneh! Udah jangan nantangin! Ayo pergi dari sini sebelum....."
Suara siswa itu teredam kesunyian yang datang.
Aku menampakkan diri dari tempat persembunyian dan dengan kaget, menyaksikan ketakutan membeku di wajah para siswa yang berdiri jauh dari kolam. Si tengah terdiam, si kanan perlahan mundur, sementara si kiri masih belum sadar ... ada satu tangan pucat menyembul dari dalam air.
"He-hei, kenapa? Kok kalian mendadak diam begitu?" Flash yang menerangi keadaan mereka membuat si kiri menyadari ketakutan di wajah kedua temannya. "Hei ... kenapa muka kalian—
"Seto, awas!"
Si kiri terlambat menyadari peringatan temannya. Ia menoleh ketika tangan pucat itu dengan cepat meraih kakinya. Si kiri terjatuh ke lantai dengan wajah menghantam tanah lebih dulu.
"AAARGH!"
Seiring dengan teriakan yang menggema, aku langsung menyentuh lantai. Panas internal mengalir bergetar keluar dari dalam jantungku, mengalir ke tangan, dan ke seluruh tubuh. Aku tidak membayangkan skala. Aku hanya membayangkan tenaga yang perlu dikeluarkan.
Untuk menjauhkan, mengalihkan perhatian para pembuat masalah itu dari bahaya sebenarnya.
Apa pun boleh, asalkan jauhkan mereka segera dari air!
Otot-ototku terasa semakin berat. Seolah tubuhku menyatu dengan kaku dan kuatnya tanah di bawah. Degup jantungku semakin cepat ketika siswa itu perlahan mulai diseret tangan pucat itu masuk ke dalam air. Energiku dan ketakutanku menjadi satu. Tapi aku berhasil mengarahkan fokus dan menyebar. Menjadikan ketakutan itu sebagai batu loncatan agar ledakan energi terjadi dan kekuatanku menyebar ke seluruh gelanggang.
Kolam pun bergetar. Seperti ada gempa di dalamnya.
Tangan pucat itu menghilang kembali ke dalam kolam, sementara tiga anak yang masih berdiri di pinggir kolam hanya bisa berteriak histeris saat air kolam semakin bergejolak.
Si tengah adalah yang pertama kali berlari.
"Itu semuanya nyata! Nggak, ampun, tolong! Saya belum mau celaka!"
Si kanan mengikuti di belakangnya, tidak berkata-kata, tapi sama ketakutannya. Si kiri menjadi yang paling terakhir berlari. Aku tidak melihat noda hitam di wajahnya—artinya tidak ada luka—semoga, tapi dia jelas jadi yang paling menderita trauma. Dia sempat jatuh dua kali saat mencoba berlari dan harus bangkit berkali-kali. Entah karena sepatunya yang licin sebelah atau memang karena tenaganya sudah lemas tidak bersisa.
Mungkin keduanya.
Aku menarik napas dan mencabut tanganku dari tanah. Aliran tenaga itu berhenti. Jantungku langsung rasanya melorot sampai perut. Aku berlutut sejenak di lantai, memulihkan napas dan tenaga yang mendadak saja jadi terengah-engah. Tenaga internalku habis dan tubuhku yang tadi terasa sangat berat, sekarang terasa kebas.
Tapi aku mencoba berdiri. Memaksakan diri untuk bangkit berdiri.
Gejolak air di kolam telah berhenti. Aku berlari menuruni podium penonton dan mendekati kolam renang yang gelap. Mataku melihat sulur-sulur cahaya biru menyelimuti permukaan kolam.
Kekuatan Dewi Danua.
Kolam ini dilindungi dari mata-mata yang mengintip dari permukaan.
"Yufal?" Aku berlutut di tepi kolam. "Kamu masih di sana?"
Sesosok kepala dengan rambut gelap yang pekat menyembul dari permukaan air. Kulit wajahnya pucat dengan semburat biru di sisi pipi kanan dan kiri yang tampak berpendar di tengah kegelapan. Di belakang telinganya, tampak sirip mengepak pelan, melipat. Matanya yang berbeda warna: kuning keemasan dan biru laut, menatapku tanpa berkedip. Senyum lebar menghiasi bibirnya yang pucat.
"Tentu," jawabnya. "Saya selalu di sini, Kak OSIS."
Ah, mau dilihat berapa kali pun, Matsyan, memang indah. Apalagi di tengah kegelapan seperti ini, mereka tampak jauh lebih indah....
Sadar dengan pikiranku yang melantur ke mana-mana, aku segera menghela napas dan memasang wajah sedikit kesal.
"Aku udah bilang buat stop panggilan itu, kan?" ujarku. "Dan apa maksudnya tindakan kamu tadi?"
"Hm?" Mendengarku agak kesal, Yufal malah menunjukkan wajah polos tanpa dosa. "Saya rasa, saya tadi cuma mengamalkan Hukum Pertemuan. Apa pun yang terjadi pada anak yang tadi datang ke kolam ini, akan jadi tanggung jawab mereka sepenuhnya, kan? Mereka yang menghampiri lebih dulu."
Aku tertegun. Kata-katanya jelas benar karena didasarkan pada fakta yang ada, tapi aku sebagai Manusia, tidak bisa menerima moral seperti itu. Manusia, jika melihat sesama dalam bahaya, pasti akan menolongnya. Sekalipun orang itu berbuat salah, kami akan berusaha memaafkannya. Sekalipun orang itu memiliki sifat yang kami tidak sukai, kami akan menerimanya. Karena itulah yang dinamakan hubungan antar manusia. Itulah dinamika di kehidupan di atas bumi ini.
Tapi sepertinya kehidupan seperti itu tidak berlaku di dasar lautan yang dalam.
"Jangan pernah percaya pada Matsyan." Nasihat Ibu kembali bergema dalam telingaku. "Sebaik apa pun mereka kepadamu, jangan pernah mendekati atau menaruh kepercayaanmu kepada mereka."
Karena bagi Matsyan, anak-anak Danua, kami sebagai anak-anak Pratiwi, hanyalah mainan untuk dimanipulasi. Makanan yang lebih lezat jika dimainkan lebih dulu sebelum disantap tanpa ampun.
"Tetap aja itu melanggar peraturan sekolah," Aku bersedekap. "Kamu tau aturannya. Kamu tau sekolah kita nggak mengijinkan insiden apa pun, kan, Yufal?"
Melihatku serius, seperti biasa, Yufal malah tertawa. "Seperti biasa, Kakak OSIS satu ini rajin dan disiplin sekali."
"Bukannya rajin," Aku menunjuk mata. "Kamu nggak lihat ini ada kantung mata? Aku mau tidur sebenarnya. Ngantuk parah. Tapi kalau ada masalah malam ini, Risa bisa-bisa ngomelin aku nggak henti-henti nanti pagi."
"Kak Risa?" Yufal membeo. "Kak Risa emang orangnya begitu, ya?"
Ah, ups. Aku tanpa sengaja membocorkan sebuah informasi.
Aku tertawa canggung. "Tolong jangan bilang-bilang Risa, ya."
Ugh, apa pula yang aku bicarakan tadi? Apa aku sedang membuat perjanjian dengan Matsyan ini?
"Tenang aja, Kak," Yufal berkata. "Rahasia Kakak nggak ada yang dengar malam ini selain saya, kok."
Entah kenapa, mendengar kata-kata itu, aku malah merinding. "O-oke...."
Kemudian Yufal mengeluarkan salah satu tangannya dari air. Di atas tangan itu, tergeletak sebuah ponsel smartphone berwarna merah rubi yang basah kuyup dan dalam keadaan sudah mati total.
"Hah? Ini ponsel...."
"Salah satu anak tadi," Yufal mengaku. "Tadi jatuh saat dia jatuh."
Aku menghela napas. "Aset murid rusak lagi. Gimana aku ngomong ke Risa besok pagi."
"Maaf," Mendadak Yufal memasang wajah penuh penyesalan. "Saya tadi cuma niat iseng karena mereka berisik dan saya merasa akan diganggu, tapi malah jadi begini."
Aku menghela napas. Tidak ada yang bisa disalahkan di sini sekarang. Dan memang bukan waktunya juga. Anak-anak itu memang bersalah karena melanggar peraturan yang jelas-jelas dibuat demi keselamatan mereka sendiri, tapi aku rasa pelanggaran mereka tidak sebegitu beratnya sampai harus trauma dan kehilangan ponsel begini.
Sebaliknya, Yufal juga tidak bisa disalahkan. Matsyan punya insting dan wilayah air jelas-jelas bukan teritori Manusia. Sudah ada hukum yang mengatur dan Yufal hanya menjalankan peraturan yang memang mengikat kedua kaum.
"Udah, ini bukan saatnya menyalahkan siapa pun," ujarku, melirik ponsel anak tadi di tangan Yufal. "Sekarang sebaiknya aku pikirin cara untuk menyelesaikan semua ini." Aku pun mengulurkan tangan. "Ah, ini aku ambil, ya, buat barang bukti OSIS."
Saat itu, tanganku seperti melambat di tengah waktu yang berjalan normal. Saat aku sedang mengulurkan tangan, entah kenapa Yufal terasa semakin jauh, membuatku lebih mencondongkan badan lagi ke kolam demi mencoba meraih ponsel itu dari tangannya.
"Anda tau, Kakak OSIS? Seharusnya ada yang lebih Kakak khawatirkan ... lebih dari sekadar teknologi Manusia dan anak-anak yang bahkan sudah lenyap entah ke mana."
Ketika tanganku akhirnya bisa menjangkau ponsel itu dan hendak meraihnya, tangan Yufal ikut menggenggam tanganku dan saat itu juga, menarikku ke arah kolam.
***
Tapi bunyi byur di tengah keheningan kolam tidak pernah terdengar. Pun dengan bajuku, mereka masih tetap kering dan bersih.
Tapi tubuhku sekarang, jelas ada dalam kondisi lain.
"Apa...." Mataku menatap tajam mata Matsyan yang berbeda warna di hadapanku. "Apa maksudnya ini, Yufal?"
Tangan kiriku yang masih bebas memegangi pinggiran kolam, mempertahankan diriku untuk tidak tercebur lebih jauh ke dalam air. Lututku berubah ke posisi siaga dan seluruh pikiranku berubah waspada. Senyum dan keramahan hilang dari wajah dan pikiranku. Sebenarnya, aku tidak ingin menunjukkan wajah yang tidak enak kepada adik kelas. Aku lebih suka dikenal sebagai kakak kelas yang ramah dan biasa-biasa saja.
Tapi aksi seperti ini, jelas aku tidak bisa membiarkannya.
"Apa?" Yufal menjawab dengan tenang, diiringin senyum manis yang tampak memikat seperti bulan yang berpendar di tengah kegelapan malam. "Saya cuma melakukan apa yang tertera di Hukum Pertemuan, Kak Mirah."
Ah, gawat. Dia benar. Aku bukan pengecualian untuk hukum itu, sekalipun aku adalah anak Pratiwi. Hukum Pertemuan yang dibuat untuk penghuni daratan dan lautan, adalah mutlak berlaku untuk semua makhluk.
Aku bukan pengecualian sama sekali.
Tapi aku dengan bodohnya malah lengah.
"Kak Mirah masih saja mendekati kolam dengan polosnya dan malah memikirkan orang lain." Perlahan, Yufal mengangkat tubuhnya dari permukaan air. Dengan satu tangan, ia menopang beban tubuhnya agar mata kami berdiri dalam posisi selayaknya saat kami berdiri dengan dia memakai kaki manusia. Aku mendongakkan kepala untuk menatapnya, melihat mulut penuh taring tajam itu berbicara kepadaku dalam jarak yang dekat dan berbahaya. "Apa Kakak tidak sama sekali kepikiran kalau saya mungkin akan melakukan ini ke Kakak?"
Kadang aku lupa betapa dia sangat besar dalam wujud Matsyan.
Mengintip ke bawah, Tabir Danua telah lenyap Aku bisa lagi melihat dasar kolam.
Ekor sepanjang dua meter yang meliuk-liuk mengikuti arus air dan mempertahankan dirinya untuk tetap mengambang, tubuh dengan tubuh pucat yang ramping tapi tetap menyimpan otot, tiga pasang torehan di pinggang sampai ke torso tempat insang mereka berada, rambut hitam pekat yang menyala berpendar kebiruan di dalam permukaan air, dan tangan berselaput yang memiliki kuku tajam yang siap mencabik-cabikku jika lengah.
Dan malam ini, sekali lagi aku lengah.
Rasa sakit mencubit ulu hatiku. Rasa sakit setiap mengingat momen-momen yang telah berlalu. Saat ketika aku masih begitu naif dan masih saja menentang kehendak Ibu yang hanya ingin kebaikan untukku.
Aku menelan getah yang pahit sebagai akibatnya.
Tapi itu menjadikan pelajaran yang berarti untukku. Tamparan agar aku tidak begitu bodohnya lagi terpikat pada senyum dan kepolosan makhluk menawan di hadapanku ini. Tidak peduli seberapa pun dia tampan atau menarik di mataku.
"Kamu yakin, cuma aku yang lengah?" Aku balas tersenyum. Lalu mataku melirik ke belakang Yufal. Pemuda itu menoleh, melihat sebuah batu berhenti tepat di depan wajahnya. Bangku-bangku di podium bergetar. "Aku rasa, bukan cuma aku yang lengah malam ini."
Dia tentunya tidak lupa kalau sekolah ini tidak akan membiarkan anak-anak Pratiwi terluka, kan?
Tapi alih-alih melihatnya kecewa atau kesal, aku justru melihatnya menoleh dan tersenyum puas kepadaku.
"Anda masih aja selalu menarik, Kak Mirah." Kemudian Yufal melepaskan tanganku, mengembalikan ponsel itu sepenuhnya kepadaku. Batu yang tadi melayang pun jatuh berkecipluk ke air. Getaran di podium berhenti. "Saya masih mau berenang sebentar di sini, boleh, kan?"
"Serius?" tanyaku. "Setelah semua kejadian ini dan masih aja...."
"Saya sudah lama tidak berenang dalam wujud ini," ujar Yufal senang. "Tentunya, jam malam masih belum berakhir, kan?"
"Buat kami, ya," Aku segera meraih ponsel dalam saku seragam. "Aku hubungin penjaga sekolah dulu. Seharusnya kami udah rolling shift."
"Jadi pengurus OSIS itu berat, ya," ujar Yufal dengan nada yang bermain-main. "Untung saya bukan anggotanya."
"Karena itu, tolong jangan tambah pekerjaan kami semakin parah, oke?" Aku serius mengatakannya sambil mengetikkan pesan, tapi karena tidak kunjung mendapat jawaban, aku pun menelepon.
***
Aku menatap bulan yang hampir penuh di langit. Taman dalam sekolah benar-benar tenang dan menyenangkan di malam hari. Hanya ada suara pepohonan dan air mancur yang mengalir dari patung dewi Danua di depan sana yang menemani.
Jika bukan karena insiden tadi, malam ini sebenarnya lumayan tenang dan indah untuk dinikmati.
"Terima kasih atas kerja kerasnya malam ini."
Aku menoleh dan tiba-tiba saja, dari sisiku yang sebelumnya kosong, seorang gadis berwajah cantik dengan rambut panjang bergelombang yang berkibar mengikuti arus angin sepoi-sepoi di sekeliling kami. Dia mengenakan seragam sekolah kami, fisik dan wajahnya pun tampak seusiaku, tapi cahaya biru yang berpendar di balik mata hitamnya, sulur-sulur cahaya biru yang pekat mengelilinginya, mengatakan hal lain kepadaku.
Aku segera mengubah posisi duduk untuk lebih tegap dan sopan.
"Anda terlalu memuji, Dewi."
"Salah satu anakku merepotkanmu lagi sepertinya."
Aku tersenyum. "Itu bukan apa-apa."
"Itu masalah." Ketegasan yang datang tiba-tiba itu membuat jantungku mencelus. "Anak itu tertarik padamu."
Aku tertegun.
Matsyan.
Satu dari sekian banyak anak-anak Danua yang memiliki wujud menyerupai manusia. Mereka yang menjebak para pelaut di masa lalu. Pembunuh berdarah dingin dari lautan. Kegelapan yang mengancam di tengah kabut dan badai.
"Dewi lebih tahu daripada saya," ujarku. "Saya hanya menjalankan kehendak perjanjian antara Hyang Pratiwi dan Anda, Dewi."
Mastyan tidak memiliki moral seperti manusia. Bukan berarti mereka tidak bermoral. Mereka punya. Sangat punya. Tapi spektrum moral kami berada di garis yang berlawanan. Belum lagi jika disebut soal bagaimana kami merasa, bagaimana kami berhubungan antara sesama, dan bagaimana kami ... terhubung dalam sebuah perasaan, itu benar-benar masalah yang besar, berbeda jauh dan tidak memiliki harapan.
Topik yang sebaiknya dihindari, jika tidak ingin salah satu menderita patah hati berkepanjangan ... atau menderita sampai mati karena hukum dunia yang ditentang.
Karena dua orang yang melihat perasaan dalam cara yang berbeda jauh, dua orang yang bahkan tidak memiliki insting dan cara yang sama dalam mengungkapkan kasih dan cinta, tidak akan mungkin bisa disatukan dalma satu kalimat.
Matysan hanya melihat Manusia sebagai mangsa.
Manusia melihat Matsyan sebagai monster.
Hubungan seperti itu, mana mungkin bisa berjalan, kan? Tidak tanpa saling menghancurkan di akhir.
"Aku terus berharap kau bisa membuat keputusan bijak seperti ini, Putri Pratiwi." Suara Dewi Danua berubah menjadi bisikan yang mengalun di tengah angin yang berembus. "Aku tidak ingin melihatmu patah hati atau anak-anakku tersakiti."
Ketika aku melirik lagi, sisiku telah kembali kosong. Bangku taman yang aku duduki kembali sendirian. Patung Dewi Danua yang berdiri di hadapanku, berdiri khusyuk dalam Samadhi-nya. Tidak mengindahkan apa pun yang terjadi di dunia, tapi aku tahu ... ia teus mendengar dan menyaksikan.
"Siapa juga ... yang mau merasakannya dua kali?"
Benar.
Cukup satu kali saja ... aku kecewa. Cukup satu kali saja aku merasakan yang namanya patah hati.
Sekarang aku fokus saja menjalankan tugas. Aku bertugas menjaga rahasia sekolah ini untuk tidak bocor ke wajah orang-orang daratan sebelum waktu yang tepat.
Aku adalah perantara, jembatan dan pelindung bagi anak-anak Pratiwi di sekolah ini. Penyeimbang peraturan yang dibuat antara Daratan dan Lautan. Duta perdamaian. Agar pakta perdamaian tidak dicabut. Agar sang Dewi Laut tetap memercayai kami, tidak menenggelamkan kami ke dalam kiamat biru dalam waktu dekat.
Inilah kehidupanku. Inilah sekolahku. Dan inilah aku.
Ni Ayu Mirah Gandashantika.
Wakil Ketua OSIS SMK Yalesviva Jayamahe.
***
Catatan Pengarang:
Sebenarnya ini saya mau tulis sebagai two shots event Mermay, tapi mumpung Mei kemarin kacrut banget, saya nggak sempet ngapa-ngapain, sooo ... maaf ya, Mermay, saya upload di bulan Juni. Yang penting nggak telat-telat banget.
Masih ada satu bab sebenarnya buat ekstra, tapi entah kapan saya upload nya. Karena ini cuma two shots, saya rasa ini bisa tamat segera.
Sebenarnya ada konsep panjangnya, tapi saya rasa saya nggak akan bisa menyelesaikan itu saat ini. Jadi ... jangan lupa vote dan komentarnya. See you next chap !
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top