CHAPTER 8 : Part of This Place



GRAAAAA !!

Teriak Boss Monster Ogre itu, sambil mengayunkan gada kayu besar di tangan kanannya yang gemuk. Menghantamnya ke tanah hingga tempat mereka berempat berpijak, jadi retak-retak dengan serpihan batu-batu yang mencar ke berbagai arah.

Bersamaan dengan arah menghindar mereka berempat yang semuanya berbeda arah.

"Gilaa!!? Apa yang seperti ini harus selalu dilawan?" Aldridge mencoba menjaga jarak dari monster besar itu, ya... Arena luas ini, menguntungkan mereka untuk bergerak lebih bebas.

"Tidak... Kita cuma harus mengalahkannya sekali saja. Pertarungan berikutnya, optional." Kata Wulmar menjelaskan, dengan kuda-kuda dirinya menggunakan tongkat kayu yang jadi senjatanya.

Sambung Ceonre dengan tangannya yang sudah diselimuti listrik kuning. "Tenang, kami sudah berulang kali melawan boss ini. Kami hafal pola serangannya."

"Kalau kalian semua takut, mundur saja sana! Cari tempat aman dan cukup lihat saja." Sahut Chaos dengan ekspresinya yang antusias sekali.

"Dasar brengsek..." Wulmar kesal dengan mengkertakan giginya secara tersembunyi.

"Darahku..." Kemudian Chaos melompat tinggi, ditopang dengan tekanan api di kakinya. Hingga mencapai kepala botak Ogre raksasa itu. "Massive... FIRE FIST !!"

Dengan tinju sekeras dan secepat yang ia bisa, dalam kondisi melayang di udara, Chaos menyembur sejumlah besar api yang padat, langsung menargetkan bagian kepala Ogre ini, hingga terbakar kepalanya dan tumbang ke tanah.

DRUARRRR !!

"Hei!? Hati-hati!!" Bentak Wulmar yang hampir tertiban badan Ogre itu.

"Huh!" Ejek Chaos dengan nada sombong. "Sudah kubilang kan, kalian duduk saja dan menonton dari tempat yang aman."

"C-Chaos... Wajahnya kelihatan senang sekali." Aldridge mengamat-amati.

"Cih... Orang ini!" Wulmar makin emosi dengan lontaran kata-kata Chaos.

Ogre itu mencoba bangkit, gerakkannya lambat, seperti halnya raksasa bodoh pada umumnya. Tapi daya tahan tubuh Ogre memang sudah kuat dengan sendirinya. Serangan telak ke wajah tidak membuatnya serta-merta langsung kalah.

Chaos menyadari itu semua lewat pengalaman bertarungnya. Ia segera melompat lagi, tepat di tengah-tengah perut gemuk Ogre. Chaos mengepal tangannya rapat-rapat untuk dihentakkan seperti pukulan palu. Kemudian ketika hentakannya sampai ke darat.

"Heat Stomp !!"

"GRUAAAAAA !!"

Ogre itu berteriak kepanasan, perut gemuknya betul-betul terbakar api secara langsung. Namun yang tak tertahankan adalah suara teriakkannya yang keras sekali.

"Aduuh... Suaranya?!" Kata Aldridge sambil menutup telinganya.

"Kau sudah puas, raksasa bodoh?" Tanya Chaos dengan sarkas. Kemudian tangannya terbungkus api kembali lalu ditembakkan lurus ke depan.

"Raging Dragon Strike !!"

Sebuah harmoni naga spiral bergerak lurus, membakar apapun yang ada di lintasannya sampai menabrak permukaan dinding arena ini.

"Hahahaha !!" Chaos tertawa puas sekali sambil menatap ke atas, ia terlihat seperti bukan dirinya saja.

"Rainfall !!"

"Huh? Hujan?" Chaos yang sedang menatap ke atas, berbalik arah menatap Wulmar di bawahnya. Karena saat ini ia sedang berdiri di tengah pusar Ogre ini. "Apa maksudnya ini?"

"Haa! Memangnya kamu saja yang bisa beraksi?" Balas Wulmar, memenuhi egonya untuk tidak mau kalah. "Ceonre... Sengat dia dengan listrikmu!"

"Chaos! Minggir dari sana!" Ceonre memperingatkan untuk sesaat, namun tangannya sudah beraksi duluan. Tangan berlistrik kuning-nya di alirkan ke tanah, sambil dengan cepat menjalar ke tubuh basah Ogre itu dan menyetrumnya dengan tegangan tinggi.

"GRRUOOOO !! GRUUUOOOOOO !!"

Teriak Ogre itu, tak tahan dengan rasa sakit yang diterimanya.

"Ohh tidak! Suaranya berisik sekali!" Kata Aldridge yang hanya bisa menutup telinganya.

"Hahaha! Ini bukan apa-apa buat kami!" Sahut Wulmar dengan ekspresi girang.

"Cih! Ogre sialan ini berisik sekali!" Chaos yang paling dekat dengan Ogre itu juga terpaksa menutup telinganya dengan kedua tangannya.

Sambil secara tersembunyi ia melihat tangan Ogre yang terbaring jatuh, menggenggam kembali pentungannya erat-erat.

"Ohh tidak-tidak!? Jangan-jangan... AWAS !!"

"GRUOOOO !! GRAAA !!"

"A-Apa!!?" Pentungan besar mengarah langsung ke Wulmar yang takabur. Ayunannya membuat segala cahaya di depan Wulmar terhalang karenanya. Gelap dan berlangsung sesaat, sebelum ia...

"UAGGGHHH !!" Dari hantaman itu, tempat Wulmar berpijak langsung bersimbah darah.

Klontang! Klontang!

Aldridge hanya menatapnya dengan tubuh kaku dan iris mata yang mengecil, melihat kejadian yang tak diharapkan... Terjadi begitu cepat.

Setelah pentungan besar itu diangkat kembali. Hanya tongkat Wulmar yang tersisa dari dirinya. Karena tubuh Wulmar hanya menyisakan darah merah dengan bajunya yang masih tergeletak disana.

"Ti-tidak mungkin... Wulmar !!?" Ceonre tak bisa percaya, temannya telah mati. "Ohh tidak-tidak... Wulmar! Kenapa... Kenapa Wulmar... Kau mati secepat ini!"

Ceonre hanya bisa menangis duka di sisa-sisa bagian tubuh Wulmar.

"GROARRR !!" Ogre itu berteriak dengan kondisi telah bangkit berdiri.

"Ogre sialan!" Kesal Aldridge dengan dahinya yang berurat. Ia mendekati Ogre itu dan melompat dengan di dorong sihir angin miliknya.

Disambung dengan Chaos di belakang Ogre itu, dengan cara yang sama namun berbeda elemen. Aldridge dan Chaos menyerang Ogre itu dari depan dan belakang.

"Chainsaw Blade !!"

"Flame Claw !!"

Aldridge disisi kiri Ogre itu menembus tubuhnya dengan pedangnya yang terbungkus angin tajam, hingga mendarat di belakang. Sedang Chaos melakukan hal sebaliknya, dengan tangan api yang mampu menembus daging keras Ogre itu.

Kedua sisi perutnya berlubang karena serangan mereka dan Ogre itu mati dan menghilang hingga menjadi gas hitam, karena fatal lukanya.

Dengan kalahnya Boss Monster... Sebuah pintu gerbang untuk kembali ke lantai 1 dan di sisi yang berlawanan juga terbuka gerbang menuju lantai 2 muncul disaat yang sama. Tapi mereka tak memperdulikan soal itu. Kematian Wulmar, membawa duka bagi seisi party-nya.

***

"Sial-sial! SIAL !!" Ceonre terus menyalahkan dirinya.

"Ma-maafkan kami Ceonre," Kata Aldridge yang turut berduka cita. "Tak bisa menyelematkan Wulmar. Semuanya terjadi begitu cepat."

"Maaf tak akan membuat Wulmar kembali hidup! Semua sudah terjadi. Wulmar sudah mati... HUWAAAA !!" Tangisnya kencang sekali.

"Inilah kenapa aku membenci party. Jika satu mati... Semuanya jadi terhambat."

"Chaos, kau tak boleh bicara begitu!"

"Kau bisa bicara begitu karena bukan temanmu yang mati kan? Coba jika posisinya ditukar... Bukan Wulmar yang mati, tapi Aldridge! Apa kau masih bisa berkata hal yang sama!"

"..." Chaos hanya diam menatapnya tenang.

"Jawab aku brengsek!" Bentak Ceonre tepat di hadapan Chaos.

"Ya... Aku juga akan sedih. Karena itulah aku selalu bergerak sendiri," Kemudian jawab Chaos dengan tegas. "Mereka yang masuk ke dungeon berbahaya. Tapi tak siap untuk sewaktu-waktu menghadapi kematian. Sebaiknya sejak awal, jangan pernah masuk ke dungeon! Kematian adalah bagian dari tempat ini! Kalau kau tak mau, ya jangan masuk..."

"Brengsek!" Tinju Ceonre, tepat ke pipi kiri Chaos. "Kau tak punya hati atau apa?! Masih bisa bicara begitu pada orang yang baru saja kehilangan temannya."

"Hei! Kalian... Tolong hentikan." Aldridge berusaha melerainya.

"Oke, sekarang pertanyaannya kau mau lanjut atau tidak?"

"Tidak! Aku keluar!" Jawab Ceonre dengan kesal. "Aku keluar party ini. Saat ini juga. Dasar kalian tak berguna!"

Kemudian Ceonre mengambil kembali tongkat milik Wulmar, membawa tongkat itu bersamanya, sambil berjalan menuju gerbang menuju lantai 2.

"Hei! Gerbang lantai satunya disana, bodoh!" Sahut Chaos.

"Siapa bilang aku akan kembali," Jawab Ceonre, berjalan memunggungi mereka dengan terus menerus mengusap air matanya yang tak henti-hentinya keluar. "Aku akan cari party lain yang jauh lebih bagus dari kalian."

"Terserah! Aldridge, ayo kita masuk ke lantai berikutnya." Chaos langsung bergegas.

"Tunggu Chaos."

"Kenapa lagi? Kita kesini demi teman wanitamu itu kan?"

"Kau terlalu berlebihan padanya. Dia sedang berduka dan kau malah menambah lukanya."

"Aku punya alasanku sendiri. Biar kita bahas ini ketika sudah kembali ke kota. Sekarang. Ayo ke lantai berikutnya. Ini semua demi Rynka kan?"

"Ya... Kau benar. Ini semua demi Rynka." Kemudian Aldridge perlahan ikut berlari menyusul Chaos. Sambil hatinya ragu-ragu. Demi Rynka seorang, ia harus membunuh orang-orang seperti Zombie di istana tadi dan membiarkan rekan se-party-nya terbunuh juga. Ia berjalan dengan terus memikirkan hal ini.

***

Sesampainya mereka di lantai 2.

"Aldridge, aku lihat kau seperti memikirkan sesuatu?"

"Ya... Apa kita harus membunuh untuk menyelematkan Rynka." Jawabnya dengan kepala tertunduk dan ekspresi penuh keraguan

"Hoo... Jadi itu yang ada di pikiranmu?" Chaos menghampiri Aldridge dan menatapnya dari dekat. "Hei! Dengar ya. Kita membunuh orang yang bahkan tak bisa lagi disebut manusia. Mereka para zombie-zombie bertopeng tengkorak itu lebih layak disebut monster ketimbang manusia. Kau tak perlu merasa bersalah karenanya. Karena aku yakin, sepanjang kita terus berada di jalur ini. Membunuh atau dibunuh tak akan terelakan dari hidup kita."

"Soal itu..."

"Kedua, Wulmar mati bukan karena kita. Atau kecerobohan kita. Atau apapun yang disebabkan oleh kita. Dia mati karena dirinya lengah dan gegabah. Terlalu mudah terpancing emosi dan selalu ingin dominan dalam tim. Dia mati karena kecerobohannya sendiri. Dia bukan rekan satu party yang baik dan sebaiknya tak perlu membuatmu jadi terus memikirkannya. Lagian kita juga baru mengenalnya..."

"Tidak, tidak, tidak Chaos... Biar aku pikirkan mana yang benar dan yang salah nanti. Setelah Exorcist itu sudah kita temukan dan Rynka berhasil disembuhkan," Jawab Aldridge dengan menyangkal. "Tapi... Kau benar. Aku seharusnya tak menjadi bimbang karena semua ini. Karena prioritas kita saat ini adalah menyembuhkan Rynka lebih dulu."

"Kita juga sebaiknya jangan menilai yang benar dan yang salah dengan terburu-buru. Ayo... Kita sudah berada di langkah berikutnya."

"Ya... Aku mengerti. Terima kasih Chaos."

Party Aldridge tinggal berdua sekarang. Di lantai yang lebih berbahaya. Jumlah party mereka malah makin sedikit.

Pirate Cove Dungeon Lantai ke-2 ini memiliki tampilan berbeda. Masih banyak genangan air keruh di tempat ini. Hanya saja di lantai ini, semuanya menjadi benar-benar seperti goa, dengan langit-langit yang lebih rendah dibanding lantai sebelumnya. Dengan luas Dungeon yang lebih sempit, bagaikan terowongan bawah tanah yang bercabang.

Lantai ini secara alamiah diterangi oleh Kristal-kristal biru yang terus disitu sejak lama dan tumbuh bagaikan sebuah tanaman. Jadi jika tak memiliki obor atau pengguna elemen api. Lantai ini bukan masalah.

Beberapa orang memungutinya untuk dijual di kota sebagai barang dungeon. Karena kelangkaannya membuat Lamp Crystal ini lumayan berharga tinggi. Biasa digunakan para orang kaya untuk jadi lampu rumahnya. Dan lagi jika di ambil terlalu serakah. Lantai 2 ini bisa saja jadi gelap gulita.

Sumber cahaya lainnya, lagi-lagi berasal dari obor yang di tempel sepanjang dinding tanah goa ini. Karena kepopuleran dungeon ini, jelas saja banyak hal telah dibuat oleh campur tangan manusia terutama mereka yang disebut Dungeon Explorer atau gampangnya... Para petualang.

Teka-teki lantai ini penuh dengan pilihan kiri atau kanan. Karena jalur bercabang, sangat banyak terjadi di sepanjang goa yang seperti terowongan ini.

"Kau tahu? Sejauh ini aku selalu berkelana sendiri saja." Kata Chaos sambil berjalan menyusuri Dungeon lantai 2 ini. "Pengalaman hampir mati itu sudah berkali-kali kualami. Baru kau saja rekan se-party yang cukup cocok denganku. Ya... Selain karena ternyata kau cukup kuat untuk bertarung bersamaku."

"Musuh kemarin, bisa saja jadi teman hari ini. Aneh juga rasanya, mengingat cara kita pertama bertemu dulu." Balas Aldridge yang ikut berjalan berdampingan.

"Ya, setelah berhasil bertemu dengan Heimdall kembali. Aku menyadari perbedaan kekuatan aku dan dia, masih terlalu jauh. Berkelana seorang diri untuk mencari dia kembali, hanya menghasilkan garis akhir yang sama. Aku harus jadi lebih kuat dan hal itu tak akan pernah terjadi jika aku berkelana tanpa tujuan yang jelas."

"Lagi? Jadi kau sebelumnya pernah bertemu dengan Heimdall?"

"Total hanya 3 kali aku bertemu dengannya. Pertama saat semuanya dimulai, saat pria gila ini membakar habis kampung halaman Lodier, klannya sendiri."

"Tapi kenapa?"

"Aku juga ingin mengetahuinya. Karena aku rasa... Ada yang tak beres dengannya. Memang kami, klan Lodier ini dikenal cukup barbar kala itu. Tapi dia! Telah melewati batas!" Ucap Chaos kesal hingga panas dan merah wajahnya sampai berurat, hanya gara-gara mengingat momen itu kembali.

"Oke, lalu pertemuan berikutnya?"

"Tunggu Aldridge. Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk bicarakan itu," Chaos langsung melakukan kuda-kuda dengan api membungkus kedua tangannya. Karena ia mendapati monster-monster dungeon lantai ini, mulai beraksi. "Aldridge... Bersiaplah!"

"Ya!" Aldridge mencabut pedangnya dari sarung. "Kita habisi mereka, satu persatu!"

Monster-monster dalam dungeon bisa dibilang tak terbatas jumlahnya. Karena jika mereka mati, dalam waktu yang relatif singkat, mereka akan hidup kembali di lantai yang sama secara acak.

Hal ini baik untuk para petualang melatih diri mereka dalam pertarungan sungguhan, sekaligus me-Looting barang-barang dari monster untuk dijual di kota nantinya. Yang dijual biasanya berupa bagian tubuh dari monster yang dikalahkan. Namun jika masih sayang nyawa. Mereka juga harus berhati-hati dan tahu batas diri mereka sendiri.

Tidak seperti game, sistem Experience dan Level tidak berlaku disini. Kemampuan seorang Dungeon Explorer ditentukan dari kecerdasannya dalam bertarung, dilihat dari cara mereka menggunakan senjata dan gaya bertarung apapun yang mereka kuasai serta memahami pola serangan monster yang identik terpakem sama.

Meski dalam beberapa kasus, ada juga monster yang memiliki intelektual untuk belajar menyesuaikan diri dan bertumbuh dari sana, seperti halnya manusia.

Jika seorang Dungeon Explorer bisa menggunakan Aura. Contoh paling umum adalah mereka yang bisa menggunakan sihir. Merupakan suatu nilai tambah dan keunggulan yang baik sekali untuk menyokong party yang mereka masuki. Di beberapa Dungeon dengan tingkat kesulitan tinggi, Aura User sering bersifat wajib.

***

"Mudah sekali," Aldridge selesai bertarung dan kembali menyarungkan pedangnya. "Sepertinya lantai ini masih terbilang aman."

"Jangan takabur, segala kemungkinan bisa terjadi di sini."

"Tapi benar deh, mereka ini makluk apa sih?" Tunjuk Aldridge pada mayat-mayat monster yang tergeletak di sana. Yang telah dikalahkan mereka berdua. "Kulit hijau, gundul, mata merah belo, telinga panjang dan cebol. Terus mereka punya senjata pedang pendek pula. Senjata-senjata ini, mereka dapat darimana?"

"Monster itu disebut ras goblin. Mereka memang tak kuat, tapi selalu menyerang bersama-sama, dalam jumlah banyak. Dari reaksimu, aku yakin. Kau baru pertama lihat yang seperti ini."

"Ya... Aku baru pertama lihat. Tak tega juga rasanya, beberapa dari mereka. Ada yang kutebas hingga terbelah dua."

"Kau ini, mereka hanya monster. Sebentar lagi juga tubuh mereka hilang ,kemudian hidup kembali."

"Hee? Benarkah? Apa semua goblin begitu?"

"Bukan... Yang kumaksud itu adalah Monster dalam dungeon." balas Chaos tergesa-gesa. "Ayo cepat, kita cari jalan menuju lantai berikutnya, Kau terlalu banyak melihat hal baru dalam waktu singkat sih."

Aldridge dan Chaos menyusuri Dungeon ini kembali. Sesekali, goblin-goblin terus berdatangan menyerang mereka dan berakhir dengan hasil yang sama. Sampai mereka harus terhenti pada pilihan jalur bercabang lantai ini.

"Kiri atau kanan?" Tanya Aldridge.

"Terserah, kau ketuanya."

"Hmm... Kita coba ambil kanan."

"Baik..."

Mereka memasuki lubang bagian kanan, mereka menyusuri lubang ini dan ketika keluar, mereka berada di tempat lainnya serupa.

"Hee? Ada jalur cabang lagi?"

"Sekarang ambil mana?"

"Sekarang kita coba kiri."

Mereka mengambil jalur kiri, setelah melewati terowongan lubang ini. Mereka sekali lagi dihadapkan pada pilihan yang serupa.

"Hee? Ada lagi? Mau sampai kapan? Terus mana jalur yang benarnya."

"Sebentar, coba kita cari petunjuk lebih dulu."

"Petunjuk?" Tanya Aldridge. "Seperti?"

Chaos menunduk dan mengamat-amati sesuatu. "Seperti jejak kaki, atau semacam tanda dari petualang yang sudah pernah melewati tempat ini."

"Dua-dua jalurnya punya jejak kaki," Kata Aldridge sambil ikut mengamati. "Tapi, berbeda sih. Yang sebelah kanan memiliki jejak kaki lebih banyak dari yang sebelah kiri. Kalau begitu, kita ambil yang kanan saja."

"Tunggu sebentar, jejak kaki yang lebih banyak, juga belum tentu benar kan? Karena yang lainnya juga sama-sama tak tahu menahu tentang tempat ini."

"Iya juga..." Aldridge pikir-pikir lagi. "Tapi menurutku, tetap kanan deh."

"Kau yakin? Atas pertimbangan apa kau memilih kanan?"

"Soalnya tangan kanan kan lebih bagus dari tangan kiri." Jawab Aldridge sambil memperagakan dengan tangannya sendiri.

"Haa?" Chaos melongo mendengar jawaban Aldridge, menatapnya dengan tak percaya. "Sesimpel itu?"

"Yaudah-yaudah. Kiri deh." Tanpa pikir panjang Aldridge langsung berjalan ke kiri, yang kemudian disusul Chaos.

Mereka menyusuri terowongan ini yang semakin dalam mereka pergi, menjadi semakin gelap.

"Kok beda ya? Chaos, kita putar balik yuk."

CKLEK!

"Ehh?!" Aldridge tak sengaja menginjak sesuatu,

"Dasar bodoh!" Ujar Chaos panik.

"HUWAAAA !!"

Tempat mereka berpijak seketika menjadi longsor dan mereka ikut terseret bersamanya. Tenggelam ke bawah melewati terowongan yang seperti perosotan dalam tempat gelap. Menuju tempat yang entah terhubung kemana.

Namun kembali ke tempat mereka memilih tadi, di jalur bagian kanan terlihat sebuah tulisan kecil yang terukir di dinding. Tulisannya...

"INI JALUR YANG BENAR"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top