CHAPTER 7 : City of Craftsman





"Haduh! Hari sudah malam, Tapi Sleeping Forest sepertinya masih jauh ya." Ucap Aldridge

"Ia... Kita jalan kaki sih..." Sambung Rynka. "Aldridge? Kita di pertigaan nih? Ambil jalur kanan atau kiri?"

"Sebentar peta-nya..." Aldridge melihat-lihat peta. "Ke kanan! Di kanan juga ada kota, Black Valley namanya. Kita singgah di sana dulu yuk!"

"Baik! Setidaknya butuh tempat tidur." Perut Rynka berbunyi.

"Ka... Kamu lapar? Ryn..."

"I... Iya... Aduh malu sekali." Muka Rynka memerah.

***

Peta dunia belum tergambarkan di jaman ini. Orang-orang masih menerka-nerka seperti apa planet tempat mereka tinggal? Seberapa luas dunia yang mereka tinggali. Ada berapa benua? Ada berapa pulau? Yang mereka tahu... Mereka tinggal mengelilingi negara besar di Benua Azuria, Dalemantia Empire... Yang kini berganti nama menjadi Arcales Empire.

Aldridge dan Rynka masih mengandalkan teknologi kompas dan peta untuk mencari jalan ke arah New Dalemantia yang berada di area barat laut Iksel Vineyard dan singgah ke suatu kota bernama Black Valley.

Black Valley, begitulah kota ini disebut. Kota kecil penuh pabrik dan asap. Dipenuhi banyak pengrajin barang-barang. Seperti senjata dan armor. Banyak Blacksmith (Pandai besi) bekerja di tempat ini tapi itu wajar saja. Kota ini dijuluki surganya para Blacksmith dan mungkin itulah kenapa tempat ini disebut Black Valley. Meski tempat ini jauh dari kata Hitam dan lebih dipenuhi asap tebal di langit-langitnya.

***

Dan sesampainya mereka berdua disini,  

"Aldridge kota ini kotor sekali!" Ucap Rynka mengeluh. "Polusi dimana-mana!"

"Kau benar. Kita harus segera pergi dari tempat ini secepatnya. Polusinya terlalu parah!" balas Aldridge.

"Apa kita bisa tinggal di tempat seperti ini ya? Aduh... Berpetualang ternyata susah ya!"

Saat memasuki kota ini.Aldridge mendengar perbincangan penduduk sekitar yang sedang berkumpul, beristirahat malam dan nongkrong bersama-sama. 

"Padahal... Masa pemberontakan itu sudah selesai kan? Tapi kok, kita malah memproduksi senjata lebih banyak lagi. Pesanannya bisa 3 kali lipat lebih banyak."

"Apa boleh buat. Hanya inilah mata pencaharian kita, dari muda sampai tua ya begini. Dan habis turun lagi ke anak-anak kita. Mau bilang apa? Memang sudah nasib kita begini. Kalau gak bikin senjata kita mau kerja apa lagi? Harusnya senang kita dapat banyak orderan." 

"Arcales Empire. Negara itu selalu memesan senjata tanpa henti. Dan belinya selalu dalam jumlah besar. Aku sendiri bingung kenapa Presiden Greenhill mau mengijinkannya."

"Jelas saja mau... Arcales Empire ini kebanyakan duit atau apa? Harga normal ditolak, malah  ditawar 50% lebih tinggi dari harga aslinya. Ya sayang kalau tidak diambil ordernya. Kita juga bisa dapet bonus gede dari bos nih."

"Kalian ini..." Mandor mereka menyambung pembicaraan. "Mau kerja apa ngobrol doang?!"

"Ahhh... Siap Bos!" Jawab mereka bersamaan.

"Tapi ini kan udah malem bos! Besok lagi lah..."

"Nih... Dengerin ya." Sambung Mandor itu ke pembicaraan mereka. "Pak Presiden itu cerdas dan bijak. Kalau penjualan ini di larang-larang. Pasti jadinya menimbul pasar gelap. Orang-orang akan menyelundupkan barang-barangnya untuk dijual ke Arcales dan malah melahirkan banyak perdagangan illegal. Ya sudah. Presiden melegalkan ini. Dengan syarat tertentu dan harus terus diawasi. Dan lagi keuntungan kita jadi berlipat-lipat."

"Tapi kalau mereka menyerang balik kita lagi? Gimana bos?" Tanya salah seorang pekerja disana.

"Jangan khawatir. Greenhill bahkan bisa kubilang sama besarnya dengan Daleman... Ups, Maksudku Arcales. Negara ini adalah surganya para penyihir. Jadi tenang saja. Mereka hanya memesan senjata biasa. Bukan senjata sihir." Balas mandornya.

"Tapi bos! Perasaanku kok gak enak bikin senjata buat musuh ya?"

"Bos! Dan kalian-kalian semua dengerin ya! Aku pernah sekali masuk ke sana! Waktu itu aku ditugaskan untuk mengirimkan barang-barang kedalam. Kota itu dikelilingi tembok raksasa. Yang kita lihat sekarang aku melihat ada 3 lapis tembok disana."

"Soal Tembok itu... Sejak jaman Old Dalemantia juga sudah ada."

"Tak apa, lanjutkan ceritanya. Terus-terus? Ada apa disana?" Tanya Mandor itu.

"Jujur, Aku juga tak banyak tahu. Karena aku tak bisa melihat lama-lama disana. Waktu setelah mengirimkan barang... Aku langsung diusir keluar."

"Yahh... Ceritakan sajalah! Ada apa lagi?" Balasnya penasaran.

"Aku hanya bisa masuk ke sana lewat jalur kereta khusus. Kalau ada yang mencoba masuk melalu jalur udara. Akan langsung di tembak jatuh di dinding lapisan kedua. Ini beneran terjadi sewaktu aku berada dikota itu. Di lapisan terluar aku melihat semuanya baik-baik saja. Tapi... Terlihat sekali perbedaan kasta yang miskin dan yang kaya disitu. Tempat tinggal di pinggiran luar tembok ketiga disebut Slum (Area Kumuh) dan tak berapa lama kemudian. Aku masuk ke gerbang tembok kedua dan disana... disana... disana... Ahh aku tak sanggup menceritakannya."

"Sesuatu terjadi?"

"Sangat mengerikan! Lebih dari yang aku bisa bayangkan." Kuli itu gelisah setengah mati hanya membayangkannya saja. 

"Waktu itu aku tak sengaja masuk ke sebuah ruang gelap... Disana orang-orang ditelanjangi dan baris satu persatu. Mereka cuma mengenakan sehelai kain. Tangan mereka diikat dengan tali yang kuat. Lalu satu persatu... Satu persatu! Orang-orang disana digorok lehernya seperti hewan sembelihan dan darahnya! Darahnya mengalir ke sebuah lubang lalu setelahnya itu mayatnya dibuang seperti bangkai... Aku yakin yang aku lihat waktu itu adalah... Tumbal manusia!"

"Tumbal Manusia!?" Mandor dan para pekerja kaget mendengarnya.

"Beneran itu!?"

"Bohong ahh... Paling-paling salah liat... Imajinasimu saja." Balas Mandor itu.

"Tidak! Aku tak bohong. Aku menyaksikannya langsung. Mengingatnya saja membuatku menggigil."

"Makanya bos... Kalau kita terus suplai senjata-senjata ini ke mereka. Nanti akan..."

"Jangan pikirkan soal itu. Karena semua akan baik-baik saja. Kalian pulang sana karena besok kalian akan kembali bekerja." Perintah mandor itu.

Dari perbincangan itu Aldridge sedikit tahu lebih banyak soal Arcales.

"Serius!?" Aldridgepun juga ragu untuk percaya. "Tumbal Manusia?!" 

"Aldridge? Aldridge? Kau sedang melamun apa?" Tanya Rynka.

"Ahh tidak. Aku hanya menguping orang-orang disana. Mereka sedang membicarakan Arcales Empire." Balas Aldridge. "Rynka! Aku lapar nih, kamu juga lapar kan? Ayo cari bar."

"Ya... Banyak yang terjadi hari ini." Ucap Rynka lemas. "Tak kusangka berpetualang semelelahkan ini." 

Rynka mencoba menyemangati dirinya sendiri. "Tapi kamu tak boleh menyerah Rynka, ayo semangat!" 

"Makanya... Kita harus singgah ke kota terdekat untuk beristirahat. Tapi, apa boleh buat, kita malah ketemu kota polusi seperti ini," balas Aldridge.

"Yasudah... Yuk kita makan dulu, aku cari bar dekat sini."

***

Aldridge dan Rynka masuk ke dalam bar, tempat ini sangat-sangat ramai. Bisnis bar dan kedai makanan sangat menguntungkan disini karena orang Black Valley mayoritas bekerja sebagai blacksmith atau tukang membuat senjata, armor, baju kulit dan peralatan lain yang notabene semuanya pekerjaan otot yang memerlukan banyak kalori.

Rynka yang memiliki paras cantik layaknya tuan putri menjadi sorotan banyak pria disana.

"Hai cewek, nengok sini dong, suit suitt... sini liat abang... "

"Wahh ada cewek cantik mampir gan."

"Udahh bro... bungkus!"

"Aldridge orang-orang disini membuatku takut." Rynka berbisik pada Aldridge, ia terus memandang ke kiri dan ke kanan dengan gelisah. "Mereka semua menatapku dengan cara yang menakutkan."

"Tetap didekatku. Sehabis makan kita langsung keluar dari sini." balas Aldridge. "Tak akan kubiarkan seseorang melakukan sesuatu padamu."

"Te-Terima kasih Aldridge."

Mereka duduk di meja yang mengelilingi 3 sudut box kaca berisi makanan yang dipajang disana, dengan kursi panjang dan mejanya yang berwarna coklat. Mirip seperti Warteg, hanya saja secara pencahayaannya lebih indah, Obor api yang ditempelkan di beberapa sisi tembok ruangan.

Dengan tatakan lilin di setiap meja menghiasi tempat ini. Sumber cahaya terbesarnya berasal dari Fireplace yang juga menghangatkan ruangan. Meski Aldridge duduk di meja yang seperti warteg. Tapi meja-meja lain yang ditata seperti restoran pada umumnya, juga tersedia dan menyebar di Bar yang terbesar di Black Valley ini.

"Mbak!" Aldridge mengangkat tangannya untuk memesan makanan. "Nasi uduk, sama ayam gorengnya satu, minumnya es teh manis." 

"Kamu mau pesan apa Rynka?" Tanya Aldridge.

"Aaa... Aku... Samain aja dehh..." Rynka gugup karena tak pernah makan bersama selain dengan keluarganya.

Selagi menunggu, Aldridge tak sengaja melihat poster buron senilai 50 ribu Rez yang menempel di sebuah Board (Papan) di dekat meja makannya.

WANTED 

Vexxor the Thief

50.000 Rez

Black Valley

Rank C.

Deskripsinya tertulis. "Vexxor adalah seorang ketua kelompok bandit dekat kota ini. Setiap malam mereka mencuri barang-barang dari rumah penduduk di sini. Kami butuh seorang Bounty Hunter yang hebat untuk menangkapnya dan menghentikan aksi pencurian Vexxor mulai dari sekarang sampai seterusnya. Kami akan hadiahi Bounty Hunter yang bisa menghentikannya dengan bayaran yang layak."  

Beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang.

"Oke! Ini pesanannya... Satu nasi uduk, ayam goreng dan es teh manis." Ucap Pelayan Bar itu menyajikan makanan. "Untuk non cantik pesanannya disamain ya..." 

"I... Iya." Rynka canggung.

Mereka berdua memakan pesanannya dengan lahap.

"Yumm... Ini pertama kalinya aku makan yang seperti ini. Ternyata enak ya." kata Rynka sambil terus makan. "Tapi pedas! Aku gak tahan nih Aldridge."

"Huh? Memang biasanya kamu makan apa?" Aldridge heran.

Rynka menjawab dengan menyebutkan nama-nama makanan mahal, seperti contohnya... Steak, Spaghetti, Caviar, dll...

"Aaa... Oke..." Aldridge tak bisa berkata-kata. "Ya... Sudah lama sekali ya, aku tak makan yang begitu-begitu setelah Fall of Dalemantia terjadi."

"Puahhhh... Kenyang!" Aldridge dan Rynka terlihat puas, namun di belakang mereka tatapan-tatapan lelaki genit memandangi Rynka.

"Oke Rynka, kita pergi dari sini sekarang" Sahut Aldridge sambil menggandeng Rynka keluar.

"I... Iya!" Rynka khawatir dengan pandangan orang sekitar yang daritadi terus saja menatap dirinya.

"Hei Bocah! Pacarmu boleh juga tuh!" Kata salah seorang pria dengan tubuh besar dan kekar.

Aldridge mengabaikannya dan terus menggandeng Rynka keluar.

"Heh bocah! Pura-pura budek ya?! Berani-beraninya mengabaikanku!" Orang itu memangkung kepala Aldridge dengan botol birnya keras-keras. "Rasain tuh!"

Aldridge tersungkur jatuh ke lantai.

"A-Aldridge!? Kepalamu?! Berdarah!." Rynka histeris dan panik melihat keadaan Aldridge.

"Tak apa-apa... Cuma sakit sedikit saja." Aldridge tersenyum dengan kepala mengeluarkan darah seperti itu. 

Aldridge bangkit berdiri dan terus menggandeng Rynka keluar. Meski sebenarnya, pandangan Aldridge agak kabur dan jalannya memusingkan seperti orang mabuk.

"Hei bocah, masih berani-beraninya mengabaikanku! Brengsek sekali kau!" Kali ini pria bertubuh besar itu berniat melukai Rynka dengan ujung lancip botol bir yang pecah barusan.

Tangan Aldridge bergerak cepat, diambilnya botol pecah itu dan digunakan untuk menyerang balik dirinya. 

"UAGGGGHHHH!! Tanganku! Tanganku!  AGGGHHH!! Sakittt! Sakitttt !!" Pria itu menjerit karena Aldridge menancapkan bekas beling botol tadi ke tangan kanan pria itu yang hanya berjarak tipis sekali ke urat nadinya.

Aldridge dengan seketika tatapannya berubah menjadi tajam dan mengintimidasi."Kau boleh lukai aku sekali saja... Tapi jangan lukai sekali-sekali lukai Rynka. NGERTI!!" 

"Bocah brengsek, biar gua matiin lu!" Preman itu membalas.

Aldridge menekan dada preman itu dan mementalkannya kebelakang dengan sihir anginnya, menabrak beberapa meja dan kursi di dalam Bar itu. 

"Ohogg... Ohogg... " Preman itu memuntahkan darah dari mulutnya dan tubuhnya, berdarah-darah karena luka benturan meja dan kursi barusan. "Di-Dia bisa sihir! Sialan! Kau Curang!"

Aldridge membalasnya dengan tegas. "Dalam pertarungan sungguhan tak ada kata curang. Yang lengah yang kalah. Semua cara sah-sah saja dilakukan."

DOOOORRR !! 

Terdengar bunyi shotgun ditembakan.

"DIAAMM!!" Teriak seorang wanita tua yang suaranya dapat membuat tembokpun retak-retak.

"Waduh! Madam marah, ayo cabut-cabut!" Mereka yang tadi menggoda Rynka langsung kabur terbirit-birit keluar meski belum selesai makan.

"Woy! Kalau mau ribut lu pada keluar dari sini gih... Jangan rusak bisnis gue! Udah gitu botol, meja, kursi gue diancurin lagi. Mau gue jedar lo... HAAA!! Mau gue JEDAR?!"

Seketika semuanya hening karena ketakutan termasuk Aldridge dan Rynka. 

Siapa yang tidak takut seorang wanita dengan rokok di mulutnya, menodongkan shotgunnya ke seluruh pelanggannya dan ekspresinya benar-benar tak ragu membunuh orang saat itu juga.

"Ma-madam... Keluar-keluar main tembak aja nih madam." Pria besar itu mendadak jadi seperti anak kecil yang dimarahi ibunya.

"Udehh... Pokoknye yee... Tuhh botol pecah 500 Rez ... Makanan lu 1000 Rez. Terus meja rusak berapa tuh? Kursi, kursi rusak berapa? Sudah 10 ribu Rez sini! Itu juga gue masih rugi.

"Ta-Tapi, harga aslinya kan cuma 50 Rez dan 100 Rez. Madam mau malak atau ..."

"Bodo Amat... Anggap aja termasuk biaya rusuh lo !! Bayar atau gue tembak sekarang nih ... CEPETAN !! "

"I-Iya Madam... Aku bayar nih aku bayar. " Pria itu dengan tangan gemetar membayarkan sejumlah uang.

"LAMA BANGET LU TONG !!" Madam menghitung uangnya. "1, 2, 3..." 

"Oke pas !" Madam langsung tersenyum senang, menghembuskan asap rokok dari mulutnya.

"Tapi itu 20.000 Rez madam."

"UDAH SANA PERGI !!" madam menodongkan shotgunnya. "GUE TEMBAK JUGA NIH !!"

Aldridge berkomentar dengan suara kecil. " Gila! Barusan... A-Apa yang terjadi?"

"Wa-wanita terseram yang pernah kulihat sepanjang hidupku." Rynka gemetar lemas. "Aldridge... Pergi yuk..." Rynka memintanya dengan wajah pucat ketakutan.

"Aldridge... Sebelum itu," Rynka mengulurkan tangannya ke kepala Aldridge yang berdarah.

"Heal !!"

"...?!" Aldridge terkejut dan langsung memegang kepalanya yang terluka. "Sembuh secepat ini!?"

***

"Wah... Sekarang sudah mau tengah malam nih, kayaknya kita ke penginapan dulu aja deh." Aldridge mengusulkan.

"Tapi aku belum ngantuk." Balas Rynka. "Kita keluar kota ini sebentar yuk. Masih ada area rerumputannya kan? Jangan disini... Polusi banget."

"Haa?" Aldridge mengerti.

"Sudahlah, ikut saja... Soalnya langit malam ini, Banyak bintangnya!"

Mereka menghabiskan waktu berada di luar tembok kota kecil Black Valley, Di area padang rumput dan pohon-pohon menyebar di berbagai tempat. Aldridge dan Rynka berbaring di atas rumput melihat indahnya langit malam yang dipenuhi bintang-bintang biru bersinar terang di antara kegelapan langit malam.

"Rynka?" Tanya Aldridge yang berbaring disamping Rynka.

"Ya?"

"Ini pertama kalinya kamu berpetualang ya?"

Rynka mengangguk-angguk.

"Bagaimana rasanya?"

"Capek... Melelahkan tapi semua itu hilang dalam kesenangan melihat segala sesuatunya baru."

"Jujur saja, ini juga petualangan pertamaku?"

"Hee? Bukannya kamu petualang veteran ya? Sudah melanglang buana ke berbagai tempat."

Aldridge menggelengkan kepala. "Tidak, Aku baru saja berpetualang setelah masuk ke hutan dekat Iksel Vineyard itu loh. Yang waktu ketemu kamu."

"Jadi? Apa pendapatmu?"

"Pendapatku? Hmm... Petualangannya jadi lebih seru kalau dilakukan bersama-sama."

"Iya... Betul sekali."

Lalu mereka berdua terus mengobrol sembari berbaring di sana.

***

Setelah bersantai disana, Mereka mencari Inn (Penginapan) untuk bermalam di Black Valley,

"Oke, harga semalamnya 100 Rez. Untuk dua orang jadinya 200 Rez."

"Wahh ini murah Ryn!" kata Aldridge. "Baiklah kita ambil! Buat dua orang ya."

"Baik... Tapi karena tak ada kasur untuk dua orang. Kalian tidur di kamar yang berbeda tapi berdekatan ya." 

Balas Aldridge tersenyum."Tak masalah." 

***

"Apa-apaan ini!?"

"Ia sih murah... Tapi..." Keluh Rynka. 

Sahut mereka berbarengan. "Gak begini juga kali!"

Mereka berdua tidur di kamar yang kumuh dan kusam di lantai dua. Luas ruangannya sesempit satu petak kandang kuda. Terdapat ventilasi untuk masuk cahaya bulan dan obor yang digantungkan di tembok untuk penerangan. Lebih parah lagi, kasurnya lesehan di lantai dan bahannya terbuat dari jerami, Inn ini rasanya lebih seperti kandang kuda.

"Maaf Rynka, Aku tak tahu tempatnya separah ini..." Aldridge merasa tak enak hati.

"Gapapa kok. Ini yang namanya petualangan-kan." Rynka mengangguk dan tersenyum, meski dalam hati ia berkata. "Gapapa kalau cuma sehari."

"Selamat Tidur!" Sahut Aldridge dari kamarnya.

"Ya Selamat tidur!"

***

(Rez senilai dengan 100 rupiah. Jadi 10 Ribu Rez bernilai, Satu juta Rupiah.)  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top