CHAPTER 4 : What If I Am Fail ?
"Alzen! Banyak sekali orang disini ya!" ujar Aldridge terpana.
"Jelas..." balasnya. "Hari ini kan tes seleksi untuk seluruh Azuria berlangsung tapi hanya ada 3 orang yang akan masuk dari banyaknya orang disini."
"Haduhh..." Aldridge terlihat sangat gugup. "Badanku semuanya gemetar dan tubuhku dingin sekali rasanya."
"Haha! Jangan khawatir." Alzen menyemangati. "Aku dan semua yang ada disini juga pasti gugup kok, sebaiknya kita register dulu."
***
Tiba saatnya tes berlangsung,
Tes pertama adalah ujian tertulis. Ujiannya adalah menjawab 100 soal dalam waktu 2 jam. Dari sekitar 2000 peserta lebih hanya tersisa 100 peserta dengan nilai tertinggi, Alzen berada di peringkat 3 dan Aldridge di peringkat 4. Hanya selisih tipis dan mereka berdua lolos ujian pertama.
Tes kedua diadakan di Magic Arena. Tempatnya digunakan untuk pertandingan sihir. Lapangan tengahnya berbentuk persegi panjang dan di sekelilingnya terdapat kursi penonton yang mengelilinginya seperti Stadium bola.
Ujung keliling Arena tandingnya adalah kolam air yang biasanya digunakan untuk penentu yang kalah. Jadi yang jatuh ke dalam air duluan yang dinyatakan kalah. Di sisi lain airnya juga bisa digunakan untuk para penyihir. Tempat ini biasa digunakan untuk pertunjukan sihir, turnamen baik dari Pro Magician maupun sebagai tempat ujian pelajar.
Tes kedua ini. Dijurikan 3 orang penyihir elit. Setiap juri hanya bisa memberikan yes atau no dan untuk berhasil masuk ke tahap selanjutnya diperlukan minimal 2 yes. 1 yes dinyatakan gagal dan 3 yes dinyatakan sempurna dan dapat keuntungan di tes selanjutnya, Ya... Mirip-mirip sama ajang pencarian bakat.
Tiba giliran Alzen,
"No 3! Alzen silahkan maju ke arena... Dan tunjukkan sihir terbaikmu!" kata announcer.
Alzen maju ke depan. Meski agak gugup karena dilihat ribuan penonton yang juga penyihir dari seluruh Azuria.
Alzen menunjukkan sihir multi elemennya,
"Fire Pillar !!" Alzen mengeluarkan api dari kedua tangannya, dipusatkan di antar kedua tangannya dan dilontarkan keatas sehingga membuat api tersebut berputar-putar membentuk pilar tepat di depan wajahnya.
Pillar api sebelumnya belum usai berhenti, Alzen langsung menambahkan hentakan 4 petir sekaligus yang menyambar dari atas langit.
"Lightning Bolt !!" Ke-empat sambaran petir itu datang dan menyambar lantai batu Arena.
Kemudian Alzen menggunakan elemen terakhir yang ia punya. Kini Alzen menggerakkan air di sekitar arena. Membuatnya terbang berputar, mengelilingi dirinya.
"Tidal Wave !!" Sampai-sampai membuat sebuah ombak tsunami kecil yang nyaris mengenai juri. Dan membahas seisi arena.
"Benar-benar Luar biasa! Aku Ya!"
"Wow. Kamu baru 16 tahun!? Tapi sudah sebagus itu. Tentu saja! Aku Ya! Sayang sekali kalau tak meloloskanmu."
"Gak usah panjang lebar. Jelas! Aku Ya!"
Sambung MC. "Peserta kali ini mendapatkan. Tiga Ya! Kemampuan tiga elemennya tadi sungguh luar biasa!"
"Dia ini hebat ya... Tapi mudah lelah kelihatannya. Lihat sudah ngos-ngosan."
"Hmm... Sebetulnya anak itu terlalu banyak menggunakan tenaganya. Jadinya, habis-habisan sekali sihirnya."
"Benar... Tapi punya 3 elemen itu... Suatu bakat langka. Jarang sekali dimiliki penyihir manapun, apalagi untuk anak seusia dia. Masih sangat muda dan potensial kedepannya."
***
Aldridge bertepuk dengan Alzen sebagai ucapan selamat. "Hebat kau Alzen!"
"Iya! Untungnya aku berhasil! Tapi... Aku capek banget. Rasanya kayak mau sakit saja." Alzen langsung duduk di ruang tunggu dengan nafas tersengal-sengal.
"No.4 Aldridge, Silahkan maju ke arena." ucap MC.
"Wahh... beda 1 nomor doang sih. Sekarang giliranmu Aldridge, kau pasti bisa." Alzen menyemangati Aldridge.
"Tentu saja !!" Aldridge naik dan melakukan tesnya.
"No 4 Aldridge! Silahkan maju ke arena dan tunjukan sihir terbaikmu!" ucap MC itu sekali lagi.
Di tonton sedemikian banyak penonton yang adalah penyihir-penyihir hebat Vheins membuat Aldridge makin gugup.
"Jangan gugup begitu nak! Lakukan saja seperti biasanya." Juri menasehati.
Jawab Aldridge gemetar. "Ba... Baik."
Aldridge melakukan tembakan angin dengan menggerakan sebatang besi miliknya menusuk ke depan. "Wind Cutter !!"
"Tembakannya mengarah kesini."
"Serangannya lemah!"
"Fire Wall !!" Salah seorang juri meng-cast spell dan menangkis serangan nyasar barusan.
Para juri mendiskusikannya dan bertanya pada Aldridge.
"Tenaganya lemah sekali, Apa hanya ini yang sodara punya? ... Kalau begini caranya... Aku NO!"
"Aku sihh NO..."
"Maaf aku juga NO. Coba lagi tahun depan ya."
"T-Tapi" Aldridge lemas rasanya. "Bo-boleh kucoba lagi? I-Itu baru..."
"Baru apa? Kau gak serius tadi?"
"Kalau gak bersungguh-sungguh yah... Mau gimana?"
"Kita menjurikan lebih dari lima ratus orang loh! Selanjutnya! Masuk!"
MC mencoba menghibur Aldridge. "Sayang sekali peserta kali ini tidak lolos... Tapi kamu tetap bisa mencobanya tahun depan kok. Jadi jangan patah semangat ya! Selanjutnya!"
Aldridge tak menyangka ini akan terjadi. "... !?" Dengkulnya tersungkur di tanah dan sebatang besi itu jatuh terpenlanting dengan bebasnya. Aldridge yang sebelumnya menggenggamnya erat-erat, kini tersungkur lemas. Aldridge mendapatkan 3 NO tanpa ada kesempatan mencoba lagi.
"Dia masih belum mau beranjak dari sana juga. Security! Urus anak itu!"
***
"A... Aku... Aku tak mendapatkannya... Alzen! Aku tak mendapatkannya." Aldridge mengeluarkan air mata. dan duduk melipat dirinya dengan memeluk kedua dengkulnya.
"..." Alzen tak bisa berkata apa-apa.
"Pa-Padahal... Padahal! Aku sudah membayangkan kita akan berlajar sihir bersama-sama. Ta... Tapi... Aku... Aku Gagal!"
"Aku juga tak mengira akan jadi seperti ini..." Alzen juga turut bersedih, ia berdiri menyandar tembok di sebelah Aldridge. Bersandar lemas dan menyesal.
"Tapi..." Ucap Aldridge sambil membaringkan kepalanya di lipatan tangannya. "Ini sudah mutlak terjadi, Aku harus berpisah denganmu."
"Ma... Maafkan aku..."
***
Di sore harinya. Matahari sudah hampir terbenam. Aldridge dan Alzen duduk berdua di rerumputan bukit dekat rumahnya. Memandang pohon-pohon yang perlahan sulit terlihat... Ditelan kegelapan malam.
"Andai juri memberiku kesempatan mengulang lagi." Aldridge mencoba menahan air matanya.
"Juri-kan menilai 700 peserta dalam sehari sekaligus." balas Alzen. "Jadi..."
"Tapi... Meski aku gagal. Yang penting masih ada kamu yang berhasil." kata Aldridge. "Aku harusnya senang. Setidaknya salah satu dari kita ada yang berhasil kan sudah bagus. Harusnya aku sudah tahu itu dan tak perlu sedih seperti ini."
"..." Alzen terdiam.
"Ya... Harusnya aku tahu itu. Level kita berbeda. Kau sudah dari kecil, jatuh cinta pada sihir. Aku... Aku... Apalah aku." Aldridge menutupi wajahnya. "Masih anak kemarin sore."
Aldridge kini benar-benar menangis. "Sudah... biar aku sendiri dulu."
Alzen berdiri dan beranjak pergi tanpa sepatah katapun.
***
Sesudah itu...
"Aku pulang!"
"Aldridge, rasanya kau agak sedikit beda? Ada masalah apa?" Tanya Kildamash.
"Tidak?! Tidak ada apa-apa?!"
Saat Alzen pulang di malam harinya,
"Alzen kau dari mana saja pulang semalam ini?" Tanya Kildamash.
"Dari Vheins ayah. Briefingnya bilang sisa 20 orang peserta dan hanya ada 3 orang yang bisa dapat beasiswanya."
Aldridge mendengar itu dari lantai 2. Perasaan Aldridge campur aduk antara senang dan sedih.
***
Lalu minggu berikutnya,
"Ayah! Aldridge! Aku berhasil! Aku mendapatkannya!" Alzen melompat-lompat kegirangan ketika kembali ke rumah.
"Mendapat beasiswanya?" Tanya Kildamash.
"Iya ayah! Aku berhasil mendapatkannya!"
"Ujiannya seperti apa Alzen?" Tanya Aldridge penasaran.
"Ah... Dari 20 orang yang tersisa kemarin. Kita bertanding dalam sihir sampai menyisakan 3 orang yang bertahan sampai akhir. Dan syukurnya aku mendapatkannya! Ehh... Tapi ayah, Aldridge!"
"Tapi apa?" Tanya Aldridge tak mengerti.
"Karena aku lulus tesnya. Aku harus belajar dan tinggal disana juga. Semuanya diwajibkan begitu. Jadi aku tak kembali ke rumah ini untuk beberapa bulan mungkin."
"Aldridge?! Kau juga mau bersekolah disana kan?" Sahut Kildamash pada Aldridge di lantai 2.
"Ahh... ! Aku sudah tak peduli lagi soal itu!" Aldridge menjawab dengan kesal.
"Memang seberapa mahal sih biaya sekolahnya?" Kildamash penasaran.
"Agak gak masuk akal sih harganya ayah..." Alzen ragu-ragu memberi tahunya.
"Berapa? Sebutkan saja."
"10.000.000 Rez"
(Setara 1 Milyar Rupiah.)
"Apa!? Mahal sekali!? Dan semahal itu cuma 1 tahun ya?" Kildamash tepuk tangan. "Luar biasa!"
***
Satu hari sebelum Alzen tinggal di Vheins. Di bawah pohon dekat rumah mereka.
"Alzen..." kata Aldridge pada Alzen, yang ada di sampingnya.
"Y-Ya?" balasnya.
"Kau tak usah khawatirkan aku..." kata Aldridge dengan senyum.
"Kenapa?"
"Setelah 2 minggu ini." Aldridge menjelaskan. "Kalau dipikir-pikir, aku tak masalah jika tidak diterima di Vheins."
Sambungnya. "Aku ke Vheins kan hanya untuk terus sama-sama kamu. Bukan karena tertarik dengan belajar sihir sepertimu, Ya... Aku tak semaniak dirimu sih, Hehe..."
"Di matamu aku maniak ya?! Dasar! Hahaha!"
"Jadi... " Ucap Aldridge perlahan-lahan. "Aku rasa... Aku tidak mau buat kamu merasa bersalah atau Ya... Gimana sih. Saat belajar disana nanti jadi terganggu. Soalnya ini impianmu kan? Hal yang sangat penting bagimu? Berbeda denganku... Aku hanya ikut-ikutan saja. Tak se..."
"Ya... Aku mengerti Al." Alzen memotongnya. "Kalau dipikir-pikir. Tak terasa kau sudah 1 tahun tinggal bersama aku dan ayah. Banyak yang terjadi dalam 1 tahun sama kamu!"
Lalu Alzen spontan bertanya. "Ohh iya! Asalmu sebenarnya darimana sih?"
"Haa? Asalku?! Dari Dalemantia kan! Bukannya kamu sudah tahu?" jawab Aldridge.
"Ma-Maksudku. Aku ingin tahu yang lebih detail lagi. Sebelum pemberontakan itu terjadi... Kau itu siapa? Tinggal dimana dan melakukan apa?" Tanya Alzen penasaran.
"Aku dulu anak seorang pemilik Bank of Dalemantia." Aldridge bercerita tentang dirinya. "Aloysius Johan adalah ayahku. Ya... Singkatnya aku anak orang kaya waktu itu. Meski aku bukan bangsawan tapi aku tinggal dekat mereka, Ya kalau dingat-ingat saat itu kelakuanku buruk sekali... Hahaha."
"Buruk bagaimana? Kau orang baik-baik saja sejak aku mengenalmu?"
"Ahh itu terjadi waktu 3 tahun lalu. Ehh!?" Aldridge mengkoreksi. "Kalau sekarang berarti sudah 4 tahun lalu."
Alzen mengangguk dan mendengarkan.
"Waktu itu aku masih berumur 12 tahun. Aku disuruh ayahku belajar berpedang."
Alzen berkomentar. "Ohh pantes kamu gunakan besi itu sebagus menggunakan pedang sungguhan!"
"Tapi waktu itu aku kabur. Aku tak suka gurunya. Aku keluar dan diajak temanku yang suka sihir itu ke suatu tempat. Aku dan dia beli magic tool untuk membuat snowflakes waktu itu. Semuanya mainan sih. Tapi ketika kembali. Kita berdua diculik bandit."
"Wahh!? Terus-Terus! Kau selamat?"
"Begini..."
Aldridge bercerita panjang lebar tentang pengalamannya itu pada Alzen.
"Ohh... Jadi begitu!" Alzen paham. "Pengalaman diculik itu mengubahmu banyak ya..."
"Karena keberhasilan ayahku. Segalanya telah kumiliki sejak lahir, apa yang kuminta langsung segera diberikan. Nyaris semua didapat tanpa berusaha... Tapi hari itu mengubah diriku. Hari dimana aku tak bisa berbuat apa-apa. Melawan orang jahat terlemah sekalipun aku tak bisa. Aku menyesalinya dan jadi sungguh-sungguh belajar sama guru pedangku itu."
"Wahh enak sekali ya... Hidupmu itu, bikin ngiri." komentar Alzen.
"Tapi jujur saja. Aku selalu bosan waktu itu."
"Bosan?" Alzen tak paham. "Kau punya semuanya dan kau bosan?"
Aldridge mengangguk. "Tapi saat ini..."
Sambungnya. "Saat aku tinggal dengan kau dan ayahmu... Aku perlu berjuang untuk mendapat sesuatu. Aku perlu berburu di hutan kalau mau makan daging. Aku perlu ke kota Crescent untuk stok bahan makanan. Aku perlu berlatih kalau mau bisa sihir. Ya... Seperti dirimu. Yang selalu belajar untuk bisa bersekolah di Vheins."
"Hey! Jangan salah paham dulu!" Alzen mengkoreksi.
"Ehh!?" Aldridge bingung. "Terus apa?"
"Aku tak membaca buku sihir itu untuk sekolah di Vheins. Aku suka membaca buku-buku itu karena suka saja. Bukan karena aku begini untuk ingin ini, ingin itu. Sekolah di Vheins hanya salah satu cara untukku lebih tahu lebih dalam lagi soal sihir."
"Suka? ... Saja?" Aldridge heran.
"Iya... Sesederhana itu, karena dengan sihir kita bisa melakukan hal-hal keren ini. Ya, contohnya seperti ini." Alzen menggerakkan air sungai di dekat sana sesuai kehendaknya. Air itu dibentuk seperti sebuah ular air raksasa.
"Dan ini !!" Aldridge berdiri dan berancang-ancang lalu menghempaskan sihir angin ke depan, meninju ular air Alzen dan membuat ular air itu hancur dan memuncrat kan airnya kemana-mana seperti balon air yang meletus.
"Hahahahaha" mereka berdua tertawa bersama-sama.
Aldridge berdiri dan berkata. "Ya! kau benar! Sihir sangat menyenangkan!"
Alzen ikut berdiri lalu berkata. "Dan maka dari itu aku sekolah di Vheins."
Aldridge berlari menuju rumah menara.
Alzen berlari menyusulnya. "Hey Aldridge kau ngapain?"
"Nah sudah selesai!" Aldridge mengukir tulisan Aldridge di tembok rumah menara.
"Untuk apa ini?" tanya Alzen.
"Kau tulis namamu disini." pinta Aldridge.
"Ba-baiklah. Tapi untuk apa?" Alzen menulis namanya... Kemudian Aldridge menambahkan kata-kata dibawahnya dan menjadi.
Aldridge & Alzen ... Akan kembali ksini (Aldridge and Alzen will return hre.)
"Yah... Salah tulis." Kata Aldridge.
"Hahaha... Yasudah coret saja. Tulis yang baru lagi." Kata Alzen.
"Yasudah kamu saja yang tulis nih." Alridge memberikan pisaunya untuk menggores batu itu.
"Baiklah. Ksni hapus... Ke- Si - Ni." Alzen menulis ulang. "Nah... Bagaimana? Tapi ada coretannya begini haha..."
"Aldridge & Alzen Akan kembali ksini KESINI." Mereka berdua membacanya bersama-sama.
"Tapi kenapa ditulis begini?, Memangnya kamu mau pergi juga?" Tanya Alzen.
"Ahhh... Itu... Rahasia!"
***
Keesokan harinya,
Alzen pamit dengan ayahnya dan pergi ke Vheins ditemani oleh Aldridge dan mereka berdua berpisah di gerbang Vheins.
"Oke... Kita akan berpisah disini. Jangan lupakan aku ya! Karena aku tak akan pernah lupa kau Alzen!" Kata Aldridge.
"Tentu saja! Aldridge, yang kemarin itu.... Akan kembali kesini itu maksudnya apa? Kau mau pergi juga? Kemana?" Tanya Alzen sebelum memasuki Vheins.
"Iya!" Aldridge mengangguk. "Aku akan pergi juga. Aku tak akan betah tinggal sama ayahmu saja untuk bertahun-tahun. Ayahmu terlalu kolot kayaknya." balas Aldridge.
"Hihi... Memang seperti itulah yah. Tapi ayah?! Sendirian dong?" Tanya Alzen.
"I... Iya juga..."
"Tapi tidak apa-apa ... Ayah memang penyendiri sih... Jadi akan baik-baik saja." Alzen tersenyum. "Kalau begitu kita akan bertemu berapa tahun lagi? Setahun? Dua tahun? Tiga tahun? Lima tahun? Tujuh..."
"Aku gak tahu!"
"Ehh!?"
"Biar takdir saja yang memutuskan, Aku gak tahu soal itu! Tapi cepat atau lambat kita akan bertemu lagi! Dan kalau sudah ketemu. Aku yakin kau berubah, aku juga berubah. Lihat saja!?"
"Hee... Kau yakin sekali!" Balas Alzen. "Oke! Aku masuk dulu ya Aldridge! Bye-Bye!"
Aldridge balas melambaikan tangan dengan tersenyum.
Tapi di saat mereka berjalan berlawanan arah, keduanya berusaha menahan air mata dan mengusap-usap matanya dalam waktu sama, meski mereka tak sama-sama tahu.
(Kisah Alzen bersekolah di Vheins bisa diikuti di Spirit Weapon S - Magic University)
***
Setelah itu,
Aldridge kembali dengan tergesa-gesa ke rumah menara itu dan mengatakan. "Kild, maafkan aku... Aku akan pergi dari sini, sekarang juga! Terima kasih untuk segalanya Kild!"
Aldridge masuk dan berkemas, membawa sejumlah uang dan perbekalan.
Kildamash yang sedang mengerjakan proyek Alchemy-nya mendengar itu dan langsung membuka jendelanya. "Hey Aldridge?! Kamu mau kemana?!"
Melihat Aldridge sudah berlari menjauh dari rumah Kild. "Hey Aldridge... Aldridge!" sahut Kild berkali-kali.
Aldridge membalasnya dengan melambaikan tangan sambil berlari mundur.
"Aduh... Dasar kalian berdua memang seenaknya saja ya..." Kild menggaruk-garuk rambutnya." Si Aldridge itu bahkan memanggilku dengan nama. Tanpa paman atau pak.... Aduhh!"
Kild menggeleng-gelengkan kepala.
Kild kembali dan melihat foto dirinya bersama istrinya sedang menggendong Alzen yang masih bayi di sebuah rumah mewah berwarna putih. "Akhirnya aku kembali sendiri lagi. Setelah ditinggal kamu, sekarang Alzen juga. Haha! Lupakan saja. Yang penting penelitian ini harus selesai!"
Meski Aldridge betul-betul kecewa waktu itu. Namun sejak berbicara empat mata dengan Alzen kemarin. Ia memikirkan sesuatu yang bisa ia lakukan ketimbang larut dalam kesedihan yang tak berujung seperti itu. Ia berpikir jika ia terus tinggal bersama Kild tanpa Alzen. Ia hanya akan kebosanan dengan Alchemy yang tak ia mengerti sama sekali. Aldridge keluar dari zona nyamannya dan...
Petualangan dimulai...
***
Alzen Franquille Age 16
Vheins Student Uniform
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top