CHAPTER 3 : Vheins Magic University
- West Greenhill Arc Start Here -
Keesokan harinya... Saat perang telah usai dan hanya menyisakan puing-puing, bangunan terbakar dan kehancuran dimana-mana.
Salah seorang professor dengan kacamata bulat dengan anaknya yang berambut biru muda yang selalu membawa buku, Mereka berdua datang untuk melihat betapa dahsyatnya dampak perang ini.
"Alzen, inilah yang kita dapatkan dari perang, sama-sama mati." Kata si professor itu.
Namun anaknya hanya diam membisu karena gemetar.
Professor itu secara kebetulan melihat anak berambut pirang terkapar dan merasa kasihan padanya. Ia mencoba mengajaknya bicara namun tatapan Aldridge kosong dan tak menjawab apapun. Melihat Aldridge seumuran dengan anaknya sendiri, Ibalah professor itu dan membawanya pulang untuk dirawat.
Professor ini tinggal di atas bukit sepi, yang dikelilingi hutan lebat di wilayah barat Greenhill. Negaranya para penyihir.
Rumahnya tak biasa. Seperti menara dengan banyak buku-buku di dalamnya. Rumahnya itu memiliki 4 lantai dan tiap lantai selalu dikelilingi rak buku. Di dalam rumahnya agak terasa aneh, ruangannya bulat sempurna dan sempit, sesempit kos-kosan murah. Hanya 5x5 dengan bentuk lingkaran.
Lantai pertama berisi meja, kursi dan dapur.
Lantai kedua berisi tempat tidur untuk mereka berdua.
Lantai ketiga berisi laboratorium dan...
Lantai keempat hanyalah puncak rumahnya dengan 1 telescope besar untuk melihat sekitar wilayah itu dari jauh dan tentu saja sebagian area kosongnya digunakan untuk menjemur cucian kotor.
Namun di setiap lantai selalu di sekelilingnya ada rak buku kayu yang berisi buku-buku tebal maupun tipis, setiap rak selalu penuh dengan buku yang berdesak-desakan.
***
Aldridge siuman setelah 3 hari tidur dan dirawat disana. Masih terngiang di pikirannya tentang perang tersebut dalam bentuk mimpi buruk yang nyata. Terlebih saat ayahnya dibunuh oleh seorang penasehat raja bernama Anzel itu.
"Ohh... Kau sudah bangun!" Kata pertama yang terucap dari professor itu.
"Dimana aku? Kau... Kau siapa?" Tanya Aldridge dengan penuh curiga.
"Tenang... Tenang dulu... Aku hanya seorang Alchemist baik-baik kok." Lalu Professor itu memperkenalkan diri. "Namaku Kildamash Franquille. Kau bisa panggil aku Kild, karena kau masih muda panggil aku dengan pak atau paman ya."
Namun Aldridge terdiam tak menjawabnya.
Lalu anak kecil berambut biru itu naik ke lantai dua melihat Aldridge sudah bangun "Ayah? Dia sudah sadar?"
Balas Kild "Ya! Namun, sepertinya ia mengalami trauma berat. Tak heran sih."
Anak berambut biru itu menghampiri Aldridge dan mengajaknya bersalaman. "Salam kenal Aku Alzen Franquille."
"Anzel? Kau Anzel!?"Aldridge seketika marah.
"Hei-Hei, tenang dulu. Aku Alzen, A-L-Z-E-N bukan Anzel." balas Alzen mengejanya.
"Maaf... A-aku Aloysius Aldridge." jawab Aldridge dengan terbatah batah.
"Ohh... Aloysius rupanya, kau seorang anak pemilik bank yang kaya raya itu?" balas Kild.
Aldridge terdiam mengingat cara ayahnya dibunuh "Ayah... Ayahku dibunuh seorang pejabat kerajaan bernama Anzel." Aldridge kesal bercampur sedih.
"Ahh... Maafkan aku membuatmu teringat kejadian burukmu lagi." Kild merasa bersalah. "Aku pernah bertemu ayahmu dulu. Aloysius Johan namanya kan? Ia orang yang dermawan. Aku berhutang budi padanya di masa lampau. Haha! Kalau dingat-ingat, hari itu sudah berlalu berapa puluh tahun ya... Lama sekali pokoknya. Dulu dia pernah bilang begini. Uang itu netral, kalau digunakan orang baik maka akan jadi baik, kalau digunakan orang jahat ya jadi jahat. dan dia memutuskan untuk membuat uang jadi baik buat banyak orang. Makanya aku tak heran sih dia bisa sekaya itu."
"Ya ayah memang sering bilang begitu padaku." balas Aldridge yang masih murung. "Tapi... dia sudah tak ada dari sekarang sampai seterusnya."
"Aku mengerti perasaanmu. Jadi kurasa, Aku bisa kasih kamu tempat tinggal disini, bersama anakku Alzen." Kild berusaha menghibur Aldridge. "Lagipula kalian sepertinya seumuran."
"Aku Alzen Franquille. Umurku 15 tahun." Alzen berkenalan dengan senyum 3 jari.
"Ahh... Iya ... Kau dan aku seumuran. Aku Aldridge. Aloysius Aldridge."
"Hihi... Ohh ia aku bisa sihir lohh!" Alzen juga mencoba menghibur Aldridge. "Lihat ini!" dari tangan kanan Alzen keluar bara api kecil berkobar-kobar di atas tangannya.
Aldridge melihat itu dan terlihat sedikit terhibur.
"Ohhh... Ohhh bukan cuma itu! Aku bisa begini!" Alzen mengendalikan Air dan membuatnya melayang-layang di udara, berputar-putar seperti ular terbang.
"Atau seperti ini!" Alzen melemparkan listrik yang membuat jendela rumahnya jebol. "Aaaa!? ... Duh."
"Hei Alzen sudah kubilang jangan main-main sihirmu di dalam rumah kan? Aduhh... Jendela pecah lagi nih." Marah Kild.
"Hihi. Ma-Maaf ayah." balas Alzen.
Aldridge tertawa dan Kild seketika berhenti marah, melihat mereka menatap Aldridge. Aldridge meminta "Bisa kamu tunjukkan lagi?"
Alzen dan Kild kaget mendengarnya. "Hehhhh !?"
***
Alzen menunjukkan sihirnya di luar rumah menara,
Ia bermain-main dengan sihirnya dengan baik sampai Aldridge terpesona melihatnya. Kild melihat mereka dari dalam rumah dan senang mereka berdua bisa akrab dengan cepat dan kemudian Kild melanjutkan penelitiannya.
"Alzen, itu namamu ya? Kau membuatku teringat dengan temanku Celia. Dia suka sekali sihir tapi harus pakai alat. Tapi kok kamu tidak ya?" tanya Aldridge.
"Aku malah tak tahu sihir bisa pakai alat."
"Huh? Apa benar? Kok terbalik gini?"
"Uhm kalau gak salah sih. Seingatku, dibuku sihir yang kubaca memang bisa pakai alat sih." Alzen mengingat-ingat buku yang pernah dibacanya. "Tapi aku belum pernah melihatnya langsung jadi aku gak tahu. Hanya saja dibuku ditulis sihir yang dipelajari secara alami jauh lebih kuat daripada menggunakan alat." balas Alzen.
"Ohh begitu? Jadi sihir bisa dipejalari sendiri?"
"Iya dong, masa kamu gak tahu sihh?"
"Kalau begitu... Bisa kamu ajari aku?"
***
1 minggu kemudian,
"Hei aku sudah mencoba melakukannya persis sepertimu tapi tak ada apapun yang keluar dari tanganku." tanya Aldridge kebingungan.
"Hehe, ini sihir tahu! Tak bisa dipelajari dalam 1 malam saja." balas Alzen dengan belaga menggurui.
"Tapi ini sudah seminggu!" balas Aldridge.
"Ia termasuk seminggu..." balasnya canggung.
***
2 minggu kemudian,
Aldridge berhasil mengeluarkan peluru angin berukuran kecil dari tangannya setelah ratusan kali mencoba.
"Hei! Hei! Alzen! Lihat! Aku bisa mengeluarkan angin dari tanganku."
"Mana? Aku belum lihat? Coba lakukan lagi."
"Baiklah... HIYAAA!"
.
.
.
.
.
Alzen menunggu.
"Kok gak terjadi apa-apa ya?"
"Yahh... Tapi tadi beneran bisa kok." Aldridge mencoba meyakinkannya sambil terus mencoba.
"Hoamm... Aku mending balik lagi aja dehh."
"Hei! Alzen, tunggu!"
***
1 bulan kemudian,
"Alzen, Kild turunlah! Lihat ini!" Aldridge memanggil mereka berdua untuk melihatnya melakukan sihir.
"Ada apa Al?" Kild membalas dari lantai.
Mereka berdua turun melihat Aldridge melakukan sihir di depan pohon besar sekitar rumahnya.
"Hahh... Pasti mau menunjukkan sihir lagi ya?" Alzen sudah bosan dengan omong kosong Aldridge.
"Coba kalian fokus melihat ini baik-baik." Aldridge meninju dengan tangan kanannya dan pohon 10 meter di depannya mendadak terguncang seperti di tendang keras-keras oleh seseorang dan daun-daun di pohon itu jatuh berguguran.
"Wow! Kau bisa melakukan sihir juga rupanya. Hebat!" Kild kagum dan memuji Aldridge, sambil ia bertepuk tangan memberi selamat.
"Wuahh... Dan kamu pakai Elemen Angin yang tak kumiliki lagi." Alzen ikut tercengang.
"Hehe, benar kan... Aku bisa sihir." Aldridge bangga dengan dirinya. "Kira-kira aku sudah mencobanya lebih dari 10.001 kali. Jadi rasanya tanganku mau patah sekarang."
"Hahaha... Kau orang yang gigih ya." Kild tersenyum sambil mengusap-usap kepala Aldridge. "Bagus sekali... Aku suka orang gigih."
***
3 bulan kemudian,
Aldridge tetap berlatih setiap harinya tanpa libur. Melihat sikap Aldridge, Alzen belajar lebih giat karenanya.
"Aldridge coba kesini sebentar." Kild memanggil.
"Ada apa?"
"Coba kau gunakan sebatang besi ini jadi senjatamu, anggap saja ini pedang."
"Baik biar kucoba" Aldridge mengambil batang besi itu dan mencoba melakukan sihir dengan benda itu.
Aldridge mengayunkan batang besi itu ke samping. "Wind Cutter !!" Kemudian serangan itu menyebabkan beberapa pohon di depan Aldridge seperti tersayat benda tajam berbentuk bulan sabit.
"Wahh Efeknya luar biasa sekali!"
"Hmm... Bagus kan!" Kildamash mengusap-usap kepala Aldridge.
"Iya!"
"Nah gunakan besi itu sebagai senjatamu ya! Aku tak punya uang untuk beli pedang betulan soalnya."
Aldridge mengangguk setuju.
***
6 bulan kemudian...
Trauma Aldridge sedikit demi sedikit terobati. Meski beberapa malam ia masih bermimpi tentang peristiwa itu. Tapi tinggal bersama Kild dan Alzen menenangkan hatinya sekaligus merubah sikap manjanya sedikit demi sedikit.
"Aldridge, Hentikan usahamu mencoba elemen yang dimiliki Alzen." Kildamash menasehati.
"Hee? Kenapa? Aku kan juga ingin bisa sihir api, air dan petir seperti yang Alzen lakukan?"
"Hmm... Agak susah dijelasinnya, Intinya kamu bisa elemen angin tapi Alzen tidak. Tapi kamu juga tidak bisa elemen yang dimiliki Alzen. Lebih baik kau fokus belajar dan membaca buku-buku soal elemen angin saja, ketimbang semua elemen kamu pelajari."
"Ahh... Aku tak begitu mengerti tapi baiklah..." Aldridge membuka buku pelalajaran sihir.
"Zzzz...."
"Haa? Dia sudah tertidur."
"Maklum pah... Dia anak orang kaya dulunya."
***
1 tahun kemudian Aldridge dan Alzen berumur 16 tahun...
"Alzen... Aldridge! Persediaan makanan sudah hampir habis. Kalian ke Crescent Town belanja makanan dong!" Sahut Kildamash.
"Baik, Mana uangnya?" Pinta Alzen.
"Nih... Jangan belanjakan macam-macam ya." Kildamash memberikan selembar uang 100 ribu Rez.
"Oke pah!" Balas Alzen. "Aldridge ayo ke kota."
...
Aldridge dan Alzen menumpang dan membayar sebuah Caravan ke Crescent Town yang ada di selatan rumahnya.
"Loh Ayahmu, dapat uang darimana?"
"Entahlah, Aku juga tak tahu."
...
"Ini belanjanya... Total 98.280 Rez. Dibayar 100.000 ya... Nih, Kembalinya. 1720 Rez."
"Belanjaan-nya banyak banget!"
"Iya... Ini kan untuk stok sebulan..."
...
Selagi jalan-jalan di kota.
"Alzen kau lihat apa?" tanya Aldridge.
Fokus Alzen tertuju ke poster yang dipasang di tembok.
"Hei Alzen, kamu mau kemana? Jalan keluarnya kan disana." Sahut Aldridge.
"Aldridge lihat ini!"
"Lihat apa?" Aldridge menghampirinya.
"Vheins Magic University, menerima siswa terbaik dan berbakat dari seluruh Azuria untuk menerima beasiswa 100 persen, terbatas hanya untuk 3 orang." Kata-kata yang tertulis di poster itu.
"Alzen, Jadi kamu ingin masuk ke Vheins?" Aldridge menyimpulkan.
"Ya daritadi aku fokus menatap ini terus, kau kira buat apa?" balas Alzen.
"Ahh iya... Hahaha" balas Aldridge tertawa.
"Yang bikin aku tertarik adalah karena ada beasiswa penuh itu, kau tahukan... Ayahku tak punya uang banyak jadi... Jadi ya... Aku harus dapat itu atau ya... Kau tahu sendiri." balas Alzen.
"..." Aldridge mengingat dirinya yang dulu serba berkelimpahan yang tak mungkin menemui kendala karena tak adanya uang.
Lalu tanya Aldridge. "Vheins Magic University? Sejujurnya aku tak tahu apa-apa tentang itu, bisa kamu cerita sedikit saja?"
Alzen menjelaskan "Aku hanya tahu ini dari buku sih... Karena penulis-penulisnya lumayan banyak dari alumni Vheins."
Komentar Aldridge pelan. "Ya lagi-lagi dari buku."
"Vheins itu sekolah sihir terbaik di Greenhill. Tidak-tidak... Bahkan terbaik dan terbesar di Azuria ini, disana kita bisa belajar sihir apa saja yang kita inginkan dan semua orang bisa belajar sihir di Vheins. Disana juga terdapat..." dan bla-bla-bla Alzen bercerita panjang lebar.
"Kedengarannya menarik, Alzen... Aku akan ikut tesnya juga. Aku kan juga bisa sihir." balas Aldridge dengan penuh antusias.
Alzen menganguk setuju "Ya, kita sama-sama akan belajar disana... Uhmm... Aaa...? Janji?" Alzen menyodorkan kelingkingnya.
"Ya, janji!" balas Aldridge dengan semangat.
Kelingking mereka terikat sebagai simbol sebuah janji.
***
Keesokan harinya...
"Huh? Surat? Tak biasanya ada surat?" Kild membuka surat itu dan membacanya.
"Maaf ayah, aku dan Aldridge pergi diam-diam ke Vheins sejak subuh tadi. Soalnya kalau aku izin, ayah pasti melarang kan? Berbahayalah, apalah, tapi ini impianku, aku ingin jadi penyihir juga. Aku akan berusaha keras untuk masuk ke sini dan jadi penyihir hebat bersama-sama dengan Aldridge... dari Alzen."
Kild menghela nafas. "Benar-benar deh anak itu. Semakin dilarang semakin jadi ya."
Di depan gerbang Vheins... Di pagi hari.
"ini dia Vheins! Hahahaha akhirnya!" Alzen girang sekali.
"Wuoaaahhh! Gerbangnya besar sekali Zen !!" Aldridge ikut terkesan.
"Kalau tak salah ini gerbang sihir kan? Hanya bisa terbuka kalau kita menembakan sihir elemen ke lingkaran di tengah-tengah gerbang itu." kata Alzen.
"Kau tahu banyak sekali ya, dasar geek." Ejek Aldridge.
"Fireball !!" Alzen menembakan sihir apinya.
Tapi pintu gerbangnya bukan terbuka tapi menteleportasi mereka Alzen ke wilayah dalam Vheins. Melihat hal itu Aldridge melakukan hal yang sama tapi dengan sihir anginnya.
Mereka berdua masuk ke dalam Vheins dan mereka kagum. Tempat ini meskipun sekolah tapi lebih seperti kota. Ada rumah, tempat tinggal, restoran, perpustakaan dan segala sesuatu yang kota lain miliki. Yang berbeda disini dari kota-kota lain adalah segala sesuatunya menggunakan sihir.
Vheins megah dan indah sekali, semua yang tinggal disini mayoritas adalah para penyihir. Dari segala tingkat pemula sampai Master. Sihir banyak digunakan terutama di bagian sekolahnya yang berada di ujung pulau yang terdapat danau besar dibelakangnya.
Di bagian luar universitas. Orang yang tidak bisa sihir tinggal untuk berdagang, Crafting, Alchemy, Sewa kos-kosan murah dan tempat tinggal. Mereka disebut non-magician dan tak diizinkan masuk ke wilayah universitasnya.
Magic Student punya Dorm atau asramanya sendiri di area sekolah. Kos-kosan untuk para pekerja non-magician tinggal dengan biaya murah. Mereka para non-magician bekerja untuk membangun perekonomian Vheins itu sendiri dan keunikan Vheins adalah kekuatan sihir yang membantu kegiatan mereka semua.
Di Area sekolah terdapat kelasnya masing-masing, setiap Student belajar berdasarkan Elemen yang mereka kuasai. Api, Air, Angin, Tanah maupun Petir... Adalah Elemen yang paling umum dimiliki atau disebut Elemen Mainstream.
Tapi ada kelas-kelas khusus yang memiliki Elemen Spesial seperti Elemen Es, Jiwa, Energy, Suara, Cahaya, Kegelapan dan Elemen-Elemen di luar ke 5 Elemen Mainstream tersebut.
Aldridge dan Alzen melakukan tes dan berjanji akan bersaing menjadi yang terbaik ketika bersekolah disini nanti.
Dan tiba saatnya tes berlangsung...
***
Alzen Franquille Age 15
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top