CHAPTER 27 : Rava Tells What Happen in that Day?




"Ahh, kenapa aku ada disini? Apa yang terjadi? Karolina Stral sialan itu, dimana mereka? Rynka? Dimana Rynka? Dan-dan Vexxor ? Lalu Kakak?"

Rava membungkam mulut Aldridge. "Hey tenangkan dirimu dulu, Rynka sedang dirawat para Healer sekarang dan Vexxor sedang menemaninya. Jadi mereka baik-baik saja sekarang."

"Owwkee Owkee! Lewpawskan dwulu tuanganmu inui."

Lalu setelah dilepas. "Apa yang terjadi? Jelaskan padaku. Apa aku cuma bermimpi buruk saja, atau-atau, atau apa?"

"Makanya kubilang tenangkan dirimu dulu, itu semua bukan mimpi, semua yang kau ingat itu benar-benar terjadi dan biar kujelaskan apa yang terjadi saat itu. Tepatnya setelah kau tak tahu apa-apa lagi."

.

.

.

.

.

Kembali ke waktu pertarungan melawan Karolina Stral

"ANZEL !!" teriak Aldridge keras-keras. 

"Ouw! Santai-santai." Anzel berjalan menghampiri mereka dengan tenangnya. "Begini-begini... Kalian sudah menyaksikan apa yang terjadi saat ini. Maka dari itu aku simpulkan bahwa Kalian semua akan menjadi pengganggu buat kami di kemudian hari. Hmm... Itu pasti. Jadi langsung saja, kupastikan kalian semua harus mati disini, saat ini juga."

"Kau yang akan kuhabisi disini!" balas Aldridge dengan geram.

"Aldridge tenanglah, kau belum tahu kekuatan lawan seperti apa." kata Vayne tegas.

"Tapi kak, dia yang membunuh ayah dan aku harus membalasnya sekarang!"

Vayne baru mengetahui hal itu dan seketika shock, tapi ia sangat bisa mengendalikan emosinya. Bukan mengontrol apa yang muncul, tapi mengontrol tindakkanny untuk tidak dikendalikan amarah.

"Minggir kak! Aku harus menghabisinya sekarang!" Lalu Aldridge dengan tergesa-gesa ingin menghabisi Anzel saat itu juga.

"Hei Aldridge! Lihat keadaanmu saat ini. Kau sekarat, kau kelelahan. Kau hanya akan membuang nyawamu yang sangat berharga ini dengan sia-sia."

"Aku tak peduli! Yang penting...!"

"Ugh!!?" leher belakang Aldridge di pukul Frey.

"Maaf Vayne, aku bertindak seenaknya lagi."

"Tidak. Kau melakukan hal yang benar Frey. Bila terus begini, adikku bisa mati. Dan tak ada lagi keluargaku yang tersisa."

Lalu Vayne melihat-lihat sekitarnya.

"Hei, kamu satu party dengan Aldridge kan? Tolong bawa Aldridge dan gadis ini ke tempat yang aman. Jaga dia oke."

"Ba-Baik!" Vexxor melakukan seperti yang diminta Vayne.

"Ta-tapi tunggu dulu... Boleh aku tanya sesuatu?" 

"Apa? Segera tanya saja!"

"Kau kakaknya Al..."

DRUISSSSHHH !!

Anzel menyerang Vexxor seketika ia lengah dengan sihir kegelapannya yang seperti bulan sabit warna hitam ungu.

"Hoo... Sungguh aku tak mungkin melewatkan kesempatan menghabisi benih-benih berbahaya di kemudian hari ini."

Vexxor kaget dan tergeletak jatuh bersama Aldridge dan Rynka yang ia gendong. Ketika ia menoleh ke depan untuk mencari tahu apa yang terjadi, Vayne berada di depan Vexxor memperlihatkan punggungnya dan pedang besar untuk melindungi mereka bertiga dari serangan barusan.

"Hosh... Hosh... Terima kasih. Hosh... Kakaknya Aldridge. A-aku pergi dulu."

"Tunggu apa lagi? Cepatlah pergi!"

"Yaiks! WUAAAAA Jangan kejar aku ya! Dasar bodoh!" 

Lalu Vexxor lari terbirit-birit menggendong 2 orang yang lebih besar darinya.

***

"Ohh... Lihat! Siapa yang ada di depanku ini?" Ucap Anzel dengan santai, gerak-geriknya seperti menganggap enteng semua yang ada disini.

"Anzel, kalau tidak salah ingat. Kau seorang penasehat Raja Roswell, betulkan?" tanya Vayne dengan tatapan serius.

"He..em. Ya... Dulu aku memang bekerja sebagai, Ahh sudah-sudah. Itu masa lalu, cuma sandiwara politik. Dan kalau aku tidak salah ingat juga, kau terkenal di kalangan militer Dalemantia. Aloysius Vayne... Ya! Kau seorang Dalemantia Empire - Elite Force. Benar begitu?"

"Kau bilang apa tadi? Bekerja untuk Raja Roswell itu cuma sandiwara politik?"

"Yap! Kau mendengar dengan sangat baik."

Mendengar itu hati Vayne-pun dibuat geram.

"Jadi tolong minggir sekarang dan biar aku habisi adikmu itu yang akan jadi benih berbahaya nantinya kalau kubiarkan hidup. Oh! Bukan hanya adikmu saja. Kalian semua! Kalian semua yang menyaksikan ini. Harus dilenyapkan sekarang juga."

"Aku masih perlu bertanya satu hal lagi."  

"Eits, eits! Jangan coba-coba mengulur waktu."

"Kenapa kau mengkhinati Dalemantia?"

"Apa kewajibanku untuk menjawabmu?" balas Anzel dengan tatapan tak peduli.

"Cih..." Vayne kesal. "Kau betul-betul orang yang menyebalkan."

"Hei! Begini-begini aku raja besar dari Arcales Empire. Tolong jaga mulutmu."

Mereka yang mendengar pernyataan barusan langsung membuat kepala mereka dipenuhi pertanyaan-pertanyaan lainnya.

"Tidak... Dalam hatiku Raja Roswell masih tetaplah raja yang kulayani."

"Hei kalau kau benar-benar raja? Apa urusanmu disini?" Sambung Frey bertanya.

"Politik dan Ekonomi, terlalu berat untuk anak muda sepertimu."

"Bukannya raja itu hanya duduk di takhta dan membiarkan bawahannya yang bekerja?"

"Tidak-tidak, jadi raja pasif seperti itu membosankan." 

Lalu tak berapa lama Anzel menyadari sesuatu.

"Ohh sial! Kalian mencoba mengulur-ulur waktu lagi rupanya." 

"Jangan buang waktu lagi dan lawan aku!" Chaos langsung bergerak meninju Anzel namun serangan tanpa elemen apinya itu sangat lemah dan mudah ditahan oleh Anzel dengan satu tangan saja.

"Hoo... Aku kenal kamu." Ekspresi Anzel langsung antusias. 

"Diam! Aku tak tahu siapa kau!" 

Chaos langsung menyerang kembali dan Anzel mengelak dengan mudahnya, begitu terus berkali-kali.

"Kau mencari ayahmu kan?"

"Tidak! Orang yang kucari bukan lagi ayahku!"

"Heimdall Lodier namanya kan? Nama orang yang kau cari itu?"

"Cih! Siapa kamu? Kita belum pernah bertemu sebelumnya kan?"

"Hahaha! Kau benar-benar anaknya!"

"Diam!" Chaos masih terus berusaha mengenainya. "Kau tak tahu apa-apa tentang aku!"

"Biar kutanya satu hal? Kau mau tahu dimana Heimdall Lodier?"

Pupil mata Chaos langsung mengecil, hati Chaos-pun ikut tergetar mendengarnya. "Apa kau tahu... Heimdall Lodier?"

"Ya... Aku tahu!"

Mendengar seseorang mengetahuinya, Chaos langsung merasa lega setelah bertahun-tahun mencarinya tanpa ada orang yang mengetahui sedikitpun tentang Heimdall Lodier yang ia terus menerus cari. Lalu, tanya Chaos pada pertanyaan yang sebelumnya belum ia lontarkan pada siapapun.

"Dimana dia?"

"Dia ada di atas situ."

Dengan reflek Chaos melihat ke atas langit, lalu seorang pria besar berbaju hitam datang datang dengan kepalan tangan untuk menyerang Chaos keras-keras hingga meretakkan seluruh tanah yang ada di sekitar sana. Pohon-pohon pun ikut tumbang bersama jatuhnya orang ini.

Chaos yang mencoba bangkit menahan rasa sakit, demi melihat langsung orang yang selama ini, ia cari. Lalu muncul sesosok bayangan seorang pria besar, berdiri dihadapan Chaos yang terkapar di tanah akibat serangan barusan. Perlahan siluet orang itu muncul lebih jelas sedikit demi sedikit. 

Seorang pria berotot besar yang penampilannya mirip seperti Chaos, hanya saja jauh lebih tua, berkumis dan brewok merah dan juga terlihat sudah berusia paruh baya.

Chaos terkejut... Akan yang dilihatnya ini.

"HEIMDALL !!"

"Akhirnya kau kutemukan!" Chaos geram setelah melihat wajahnya lagi setelah bertahun-tahun mencarinya.

"Anakku yang bodoh dan lemah, kau masih terlalu gampang buatku. Bertahun-tahun mencariku ini buat apa? Kau masih saja lemah." Ucap Heimdall Lodier, langsung di hadapan Chaos.

Chaos dengan cepat langsung menyerang dengan tinjunya. "Diam kau! Aku tak akan pernah menganggapmu sebagai ayah, kau hanya seorang iblis!"

"Apa ini? Lembek sekali tinjumu?"

KREEK!

Kepalan tangan Chaos langsung diremukkan Heimdall tanpa pengurangan tenaga sedikitpun.

"HUWAAAA!"

"Hah! Kau memalukan klan kita, Lodier itulah yang terkuat. Begini saja sudah membuatmu menangis?"

"Kau! Akan!

"Ahh sudah diamlah!"

Heimdall memegang kedua pundak Chaos, lalu menendang perutnya dengan lutut kakinya yang besar dan kekar itu. Sampai Chaos muntah darah.

"UGGHHHH!"

"Apaan nih? Kau lemah sekali?"

"Kalau saja aku bisa menggunakan apiku?"

"Ohh begitu? Cari-cari alasan lagi seperti kebiasaanmu dari kecil? Oke! Aku juga tak akan pakai apiku."

"Bertarunglah seca... AGHHH!"

Belum selesai bicara Heimdal meninju tenggorokkan Chaos keras-keras.

"Cih! Kejamnya..." Komentar Alicia dari jauh menonton itu semua.

"Kau sebaiknya jangan melihat ini Alicia." Faylen memeluknya, menutup mata dan telinganya dan memastikan ia tak meyaksikan itu lebih banyak lagi.

"Memalukan! Mana ada Lodier yang tak bisa pakai api! Darah Klan kita ini menghasilkan jumlah api yang tak terbatas. Kau hanya lemah saja! Jangan cari-cari alasan."

Chaos yang terkapar kesakitan-pun bangkit kembali dan menyerang dengan tinju apinya yang secara begitu saja bisa digunakan kembali.

"Nah begitu! Sini-sini sekarang serang aku!"

Chaos meninju pipi kiri Heimdall keras-keras dengan tangan yang diselimuti api.

DUSSHHH !!

Serangan itu-pun kena telak di pipi Heimdall hingga membuatnya menoleh ke kanan.

"Apaan nih? Api sekecil ini cuma bisa buat bakar sate!"

Tanpa mengenal ampun atau belas kasihan antara ayah ke anak, Heimdall langsung menyerang balik Chaos, dengan kekuatan penuh. "Anak bodoh. Serang aku dengan sungguh-sungguh, Mana kekuatan Api Klan Lodier yang kau miliki itu! Keluarkan sekuat tenaga sampai kau bisa melawanku."

"Diam! Aku tak sedikitpun melihat kau sebagai ayahku! Jangan panggil aku sebagai anak lagi! Dasar keparat!" Chaos maju menyerang sekali lagi meski kekuatan apinya hanya bisa dikeluarkan dalam skala kecil saat ini.

Saat Chaos mendekat untuk menyerang Heimdall kembali, Heimdall menangkapnya dengan mudah, Ia mencengkram tangan Chaos.

"Biar kutunjukkan caranya orang kuat bertarung."

Lalu untuk sekali serang saja, dengan tangan apinya yang besar itu. Perut putranya ini ditinju dengan tangan apinya keras-keras membentur tanah. Jika yang terkena serangan ini hanyalah orang biasa, rasanya seperti palu panas dihentakkan langsung ke perut targetnya.

 Chaos dibuat benar-benar tak bisa melawannya sama sekali.

"Putraku... Kau masih terlalu lemah." Heimdall sekarang mencekiknya sambil mengangkatnya tinggi-tinggi seperti mengangkat kucing dengan kejam.

"Seorang anak tak berhak mengatur Ayahnya nak." Kemudian tangan kanan Heimdall yang mencekik Chaos membakar lehernya, Chaos demikian menderita dibuatnya.

"UAGGHHHHH !! Panas... Panas !!" Chaos menjerit kesakitan.

Setelah beberapa detik Heimdall membantingnya ke tanah yang terbuat dari batu beberapa kali dan setelah puas, Heimdall mengatakan sesuatu pada Chaos. 

"Dendamlah! Dendamlah terus! Dendam dan benci aku terus sampai ke lubuk hatimu yang paling dalam! Anggap aku musuh yang harus kau kalahkan terus dan terus! Sampai kau dapat kekuatan lebih, lebih dan lebih lagi! Dendamlah! Dendamlah terus! Dendam dan benci aku terus! Sampai kau bisa menghiburku suatu hari nanti dan pada akhirnya mengalahkanku. Mau setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun? Akan kutunggu sampai kapanpun. Karena aku ayah yang sangat sayang sama kamu, wahai anakku yang kucintai." 

Lalu Heimdal melempar Chaos jauh-jauh seperti sebuah mayat tak bernyawa.

Chaos seperti berselimut darahnya sendiri akibat serangan itu.

"Hehehe... Aku tahu kau belum mati! Anakku tersayang!"

"Kalau kau tahu dia belum mati! Kenapa kau tak bunuh saja dia! Dia akan berbahaya nantinya." tanya Anzel dengan gelisah.

"Anzel, Aku ini Ayahnya, Ayah kandungnya dan aku ini ayah yang baik. Mana mungkin aku tega membunuh anakku tersayang. Benar kan?! Chaos?" jawab Heimdall dengan gampangnya.

Namun Chaos yang sudah tak sadarkan diri itu sudah tak bisa membalas apa-apa lagi.

"Kalau begitu biar aku saja yang melenyapkan dia!" Anzel bergegas mengeluarkan sihirnya untuk membunuh Chaos.

"Hohoho! Jangan coba-coba kawan, kau bunuh dia, aku bunuh kamu. Simpel!"

"Dan rakyat Arcales akan memburumu sampai mati."

"Kalau begitu jadinya, aku akan sangat terhibur sekali, ada berapa penduduk Arcales yang bisa kubunuh?"

"Cih! Kau benar-benar maniak! Lupakan saja!" Anzel mempertimbangkan lagi keputusannya. "Kalau begini jadinya, bagaimana kalau kau habisi semua yang ada disini saja."

"Selama anakku tak terbunuh, dengan senang hati!" Heimdall meremas-remas tangannya dan melihat-lihat sekelilingnya. "Oke siapa duluan yang mau kubunuh?"

Lalu didekat Heimdall tergeletak Mary dan Mory yang pingsan akibat pertarungan sebelumnya dan tanpa mengurangi tenaga sedikitpun. 

"Biar kuhapus kalian satu per satu dari dunia ini." 

"J-jangan... Kumohon!" Ucap Mary memohon ampun.

"Sedikit saja kau menyentuh Mary! Akan kubu..."

"Hell Inferno !!"

"HWAAAA!!"  

Teriak Mary dan Mory menjerit di dalam kobaran dibakar api yang pekat dan merah warnanya seperti lava, mereka berdua dibakar hidup-hidup sampai menjadi abu.

"B-Bos!"

"Haa? Dia bilang apa tadi? Bos? Wahahaha! Dimana bosnya? Biar aku habisi sekalian."

"Kau sama sekali bukan manusia! Tak adakah belas kasihan sedikitpun pada dirimu." sahut Frey yang marah sekaligus takut melihat Mary dan Mory dibakar hidup-hidup.

"Betul... Betul sekali! Aku bukanlah manusia... Aku ini Monster! Hahaha!"

"DASAR KEPARAT !!" Teriak Rex dengan wajah murka, menyerang Heimdall dengan kapak, tepat di dada Heimdall.

"Cough! Cough! Cough!" Heimdall terbatuk-batuk dan terluka di bagian dadanya. "Hohh! Sudah lama sekali aku tak merasakan yang seperti ini!"

"Kau membunuh anggota guildku dengan tertawa gembira?! Dasar brengsek!" Rex sambung menyerang dengan kedua kapaknya. 

Namun kedua tangan Rex ditahan dengan mudah, Heimdall menggenggam urat nadi Rex, menahan gerakkanya dan bertanya sesuatu padanya.

"Hoo! Menarik sekali, setelah sekian lama ada juga yang bisa melukaiku. Ngomong-ngomong boleh aku tahu namamu?" Ucap Heimdall dengan senyum lebar.

"Aku Rex! Dan akan kuenyahkan kau sekarang juga!" 

"Hahaha!"

BOOOMMMM !!

Heimdall membanting Rex keras-keras hingga ia terluka begitu dashyat.

"Sayang, kalau kau kubunuh sekarang. Tapi tak apalah... Kau bukan benih yang sangat langka juga! Matilah!"

Heimdall mengarahkan tinju apinya untuk melenyapkan Rex dalam sekali serang.

DUSHHHHH !!

Serangan Heimdall tertahan oleh sisi lebar dari pedang besar milik Vayne yang telah diselimuti Aura agar mampu menahannya.

"Yah... Pakai dilindungin." Heimdall terlihat kecewa.

Vayne memperingatkan semuanya. "Kalian semua mundurlah! Rava bawa Rex dan larilah bersama kelompok Aldridge, biar kami yang melawannya. Dia bukan tandingan kalian!"

Rava membalas. "Aku mengerti!"

"Hoo, mau kabur rupanya." Heimdall menembakkan tinju apinya lurus ke depan dan membuat bola api berdiameter 3 meter.

"Horizon Tornado !!"

Faylen membelokkan arah apinya dengan sihir angin miliknya, lalu Rava dan Vexxor berhasil kabur.

"Hah! Elemen angin memang sungguh merepotkan."

"Heimdall! Kau urus mereka." Tunjuk Anzel ke kelompok Vayne. "Aku akan mengejar yang lain."

"Diamlah Anzel! Tak usah kau bilang aku juga akan melakukannya! Lagian, aku hanya tertarik dengan orang kuat. Nah kalian berempat majulah!" tantang Heimdall.

"Terserah kau saja, Sialan!" Bentak Anzel marah.


Kemudian...

Rava melanjutkan cerita sedikit lagi ...


"Setelah itu kami dikejar-kejar oleh orang bernama Anzel itu, dia menggunakan segala macam sihir elemen Darkness untuk menangkap kami. Tapi untungnya kami berhasil kabur dengan bantuan pasukan pemerintah yang sudah menunggu kami kembali di luar hutan dan akhirnya kita semua bisa selamat. Hanya saja Mary dan Mory... Orang kesayangan ketua Rex... Tak berhasil selamat. Lalu... Setelah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi, tapi yang pasti kakakmu tak kembali ke Quistra sampai saat ini."

"Sial! Banyak sekali yang terjadi setelah aku tak sadarkan diri." Ucap Aldridge di atas ranjangnya.

"Ya... Kau beruntung tak melihat langsung kekejaman orang itu."

"Yang kamu maksud itu Heimdall Lodier ya... Orang yang selama ini dicari Chaos sejak aku pertama kali bertemu dengannya. Mendengar dari ceritamu saja, sudah membuatku merinding. Tapi-tapi! Apa Chaos selamat?"

"Tak tahu, dia terluka parah sekali, semua tergantung Healer mampu menyembuhkannya atau tidak." 

Lalu Aldridge beranjak naik dari ranjangnya.

"Hei mau kemana?" Tanya Rava

"Menjenguk teman-temanku, Hmm... Mungkin Chaos juga. Ohh iya! Karolina Stral, dimana Karolina Stral sekarang?" 

"Dia akan dibawa ke World Prison hari ini, sebagai penjahat kelas S."

"World Prison?"

"World Prison adalah sebuah penjara khusus penjahat kelas S yang terletak di tengah dunia. Katanya sih gitu."

"Ahh aku pernah dengar soal itu waktu bertemu Vexxor, dia bilang tempat itu neraka dunia."

"Entahlah, aku tak pernah melihat langsung juga. Tapi aku pernah diceritakan temanku dulu, ia seorang Bounty Hunter Senior. Yang sangat hebat... Ia bilang dirinya pernah melihat langsung World Prison itu seperti apa."

"Terus-terus?!" Aldridge penasaran.

"Aku tak tahu dia bicara jujur atau tidak. Dia bilang... World Prison ada di Langit!"

"Langit? Ahh gimana caranya? Mengada-ada sekali sih." Aldridge tak percaya.

"Makanya aku sudah bilang... Aku tak tahu dia berkata jujur atau tidak. Soalnya gak masuk akal kan? Tapi rumor dari orang-orang yang mengaku pernah melihat World Prison bilang itu ada di bawah tanah. Tapi entahlah, Kalau belum melihat langsung aku sulit percaya baik di langit maupun di tanah. Penjara mah penjara aja."

Lalu disamping ranjang Aldridge terdapat Rex disebrangnya.

"Ugh... Kenapa aku ada disini?" kata yang diucapkan Rex setelah siuman.

"A-akhirnya Ketua Rex siuman." kata Rava. "Syukurlah... Selamat pagi Ketua!"

"Kau tak perlu memanggilku ketua lagi. Kamu mau buat guildmu sendiri kan? Rava?"

"I-iya... Setelah mengklaim Bounty-nya, aku akan pergi."

"Kalau begitu kau sudah tak berada di dalam Guild Snow Hunter lagi kan? Mulai sekarang panggil saja aku Rex. Karena aku bukan ketuamu lagi."

"Ya, tapi aku tetap sangat menghormatimu sampai kapanpun juga dan aku akan terus memanggilmu Ketua." balas Rava.

"Aku keberatan." Rex terlihat murung. "Jadi tolong berhenti memanggilku dengan sebutan ketua."

"Ta-tapi, kenapa?" Rava heran.

"Karena hal itu akan membebaniku nantinya... Suatu hari generasi yang lebih muda pasti akan lebih baik dari aku yang sudah tinggal ditelan waktu menjadi generasi yang sudah berlalu. Jadi kalau kau sudah jauh melampauiku di kemudian hari dan masih terus memanggilku dengan sebutan itu. Justru aku malah merasa dibebani." Balas Rex dengan kepala tertunduk.

"Dan lagi... Aku merasa tak layak lagi menjadi ketua Snow Terror. Aku membiarkan kedua rekan terbaikku mati begitu saja, bahkan aku tak bisa mengubur mayatnya. Dan lagi, mereka berdua mati dengan hina."

"Aku rasa tidak begitu... Mary dan Mory mati dengan gagah, mereka bertarung dengan lawan yang sangat kuat tanpa takut dan terus bertarung bersamu. Kalau ketua Rex menyesali itu seumur hidup, rasanya kematian mereka benar-benar hina dan juga sia-sia."

"KAU TAHU APA!" Rex balas membentaknya. "Mereka bertarung denganku puluhan tahun lamanya dan mati dengan cara seperti itu. Benar-benar sial! Sial! Sial! SIAL!!"

"..." Rava tak bisa berkata-kata.  

"Rava! Kau juga melihatnya sendiri kan?! Mary dan Mory tidak mati dengan gagah! Orang itu tahu-tahu muncul dari atas, melukai orang yang ia sebut anaknya sendiri sampai hampir mati. Dan, dan! Mary dan Mory yang kebetulan berada di dekatnya... Mereka mati dengan cara dibakar hidup-hidup! Orang itu... Suatu saat akan!"

BLAAAMMM !!

Tinju Rex ke tembok saking kesalnya.

"..." Rava masih menunduk diam.

"Rava, maaf... Aku hanya sedang kacau saja. Aku ingin sendiri dulu." 

Rex bangun dan keluar dari rumah sakit itu. Ia berjalan ke luar Northern Kingdom dan pergi ke suatu tempat sepi, ke tempat yang tak ada orangnya. Di tengah-tengah badai salju menerpa, Rex seorang diri berdiri disana dengan pakaian rawatnya.

Dia menangis keras sekali di tengah hamparan tanah bersalju itu, ia tak mau seorangpun melihatnya. Melihat dirinya pertama kali menangis setelah sekian lama.

***

Catatan Penulis -

Sudah di Revisi

Versi 1.05

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top