Dua - Putaran Spiral

Kepanikan setelah kejadian itu membuatku harus menjalani banyak tes, mulai dari CT-scan dan beberapa tes lain untuk melihat kondisi kepalaku. Mereka pasti berpikir ada beberapa bagian dalam otakku yang rusak. Bahkan, dokter itu memberiku beberapa pertanyaan konyol yang mungkin digunakan untuk memastikan dimana batas kewarasanku.

"Otak putri anda tidak menunjukkan suatu cedera. Oleh karena itu, kemungkinan besar amnesia ini terjadi karena shock. Semua memori yang berkaitan dengan identitas diri tampaknya sudah hilang. Kondisi ini mungkin hanya sementara," jelas dokter wanita itu sembari menunjukkan hasil CT scan organ yang berisi jutaan neuron itu.

Aku menaikkan satu alis ketika hasil diagnosa itu muncul.

Amnesia? Kehilangan memori mengenai identitas diri?

Jangan bercanda!

Aku masih mengingat jelas siapa diriku, identitasku.

Namaku adalah Pramitha Agni, 33 tahun. Seorang dosen matematika yang sudah menyelesaikan pendidikan doktoral sebelum kepala tiga dengan spesialisasi stochastic process untuk disertasinya.

"Melihat kondisi tubuhnya yang masih lemah. Kemungkinan putri Anda dapat keluar dari rumah sakit dua atau tiga hari lagi," jelas dokter itu menambahkan.

Suami istri itu menghela napas lega ketika mereka mendengarkan penjelasan dokter yang menyatakan kondisi putri mereka baik-baik saja. Tidak mengalami masalah serius yang membuat mereka harus meninggalkan gadis malang ini di rumah sakit----atau mungkin rumah sakit jiwa.

"Tapi, saya masih mengingat identitas saya. Nama saya adalah Pramitha Agni, 33 tahun, berprofesi seorang dosen," kataku tiba-tiba yang membuat ruangan itu menjadi sunyi senyap dalam beberapa detik.

Dokter itu menatap kedua orang yang sebelumnya memperkenalkan diri mereka sebagai ayah dan ibuku dengan tatapan tanda tanya, seolah ingin salah satu dari kedua orang itu menjelaskan sesuatu.

"Bukan. Nama putri kami adalah Sarasvati Koesnadi," ucap pria berkacamata itu dengan suara tegas kemudian menatapku dengan tatapan tajam, sebuah perintah nonverbal yang mengisyaratkan untuk tutup mulut.

Aku tidak mengindahkan perintah pria berwajah arogan itu. "Well, mungkin ini memang tubuh Putri Anda. Tapi entah kenapa jiwa saya berada dalam tubuh ini setelah saya bunuh..."

"Saras!" teriak pria itu dengan suara menggelegar.

Wanita yang duduk di sampingku menepuk bahuku lembut agar mulutku menghentikan kalimat yang mereka kira hanya sebuah omong kosong. Seperti sebuah bualan tidak penting atau bahkan kata-kata yang diucapkan oleh orang yang tidak waras.

Dokter itu terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu kemudian berkata, "Otak manusia masih berupa misteri. Saya tidak pernah menangani kasus seperti ini, untuk mengetahui kondisi kejiwaan putri Anda sebaiknya anda membawa putri Anda ke psikiater."

"Psikiater? Apa Anda menganggap saya gila?!" tukasku bangkit dari tempat duduk. Tidak terima dengan hasil diagnosa dokter itu.

"Saras sebaiknya kita keluar dulu. Biarkan Papa berbicara dengan dokter," ucap wanita itu setengah membujuk dan setengah memerintah.

Wanita itu menarik tanganku dengan paksa. Tubuh gadis kecil ini seperti debu yang tertiup angin menghadapi kekuatan Sari. Terlebih, Sari mencengkram lengan gadis itu bak seekor elang yang mencengkram mangsa buruannya. Ia tidak akan melepaskan sampai aku menuruti perintahnya.

Merasa hanya buang-buang tenaga untuk membantah wanita itu, aku pun menuruti perintahnya.

Sebagai orang berakal sehat, tentu saja kejadian ini tidak masuk akal. Hanya orang gila dan penulis cerita fantasi saja yang percaya kejadian ini. Tidak. Mungkin semua orang tidak akan mempercayai kejadian ini. Bahkan, diriku---yang merupakan heroine dalam cerita---sekalipun masih belum bisa menerima kenyataan ini.

Semua ini memang tampak tidak tampak nyata. Seperti cerita fiktif fantasi yang tidak berdasarkan pemikiran logika yang mumpuni.

Bagaimana mungkin aku---yang seorang dosen matematika dengan dominasi otak kiri---bisa menerima kenyataan misterius ini?

Kenapa aku berada dalam labirin misteri fantasi ini, genre cerita penuh daya khayal tinggi, yang merupakan kelemahanku?

Katakan, aku adalah orang awam yang tanpa pendidikan tinggi, tentu aku pun pasti tidak memercayai cerita ini?

Kenyataannya, aku benar-benar berada dalam posisi sebagai jiwa yang terperangkap dalam tubuh seorang gadis remaja. Demi mendukung keberadaanku, otakku pun memikirkan beberapa alternatif jawaban kenapa aku berada dalam posisi seperri ini.

1. Setelah bunuh diri, Tuhan memberiku kesempatan hidup kembali sebagai orang lain di paralel world.

Ini merupakan genre spiritual dan mistery. Dan, tentu saja aku tidak menyukainya karena bagaimana mungkin Tuhan memberiku kesempatan tanpa memberikan hukuman.

2. Setelah bunuh diri, kesadaranku yang tidak lebih dari data dalam suatu gelombang berkelana dan menemukan wadah kosong, tubuh tanpa jiwa.

Ini merupakan sciefi dan mistery. Aku cukup menyukainya. Dan, kurasa inilah jawaban paling masuk akal.

3. Aku tidak pernah bunuh diri dan tidak lebih dari kepribadian ganda dari Sarasvati

Ini benar-benar genre horror!
Tidak. Ini tentu saja tidak mungkin terjadi. Pramita Agni adalah manusia, bukan sebuah kepribadian.

***

Setelah kejadian itu, sepasang suami istri itu terlihat menghindariku. Mereka tidak banyak berbicara, tetapi hanya sekedar basa-basi menanyakan keadaanku.

Handoko dan Sari menatapku dengan tatapan yang sulit terbaca. Aku tidak begitu yakin, namun kurasakan tatapan itu terkadang aku menyiratkan sebuah penyesalan sekaligus sebuah kelegaan. Dua ujung berlawanan melebur menjadi satu.

Hari demi hari berjalan dengan sangat membosankan. Tentu saja, tidak banyak hal yang dapat kulakukan di rumah sakit dengan penjagaan ketat karena hampir tiap tiga puluh menit, perawat-perawat rumah sakit itu berseliweran di kamar inapku yang seperti hotel berbintang ini. Mereka datang hanya sekadar menyapa dan kadang-kadang mengecek keadaanku seperti aku adalah seorang pesakitan. Terlebih, mereka menyuruhku melakukan berbagai tes kejiwaan yang berlangsung selama tiga hari yang sangat panjang, seolah satu millenium.

Suami istri itu bernama Handoko dan Sari. Orangtua dari gadis cantik yang bernama Sarasvati Koesnadi, yang berusia tujuh belas tahun yang merupakan siswi kelas sebelas di sebuah SMA.

"Bukankah sudah kubilang. Namaku bukanlah Sarasvati Koesnadi!" tukasku karena wanita cantik berombak itu memaksaku mengingat bahwa namaku adalah Sarasvati Koesnadi berusia tujuh belas tahun yang juga merupakan siswi kelas sebelas SMA setelah hampir seminggu wanita itu menghindari pembicaraan denganku.

"Tapi namamu adalah Sarasvati Koesnadi dan biasa dipanggil Saras!"

Aku menghela napas panjang, "Kumohon. Berhenti memaksaku untuk menjadi Sarasvati. Aku lelah dengan semua tes kejiwaan rumah sakit ini. Tidak bisakah kamu menunggu hasil tes kejiwaan itu keluar?"

Wanita itu menatapku dengan tatapan meneliti kemudian tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mendesah napas. Ia duduk di tempat duduk samping ranjangku dengan lunglai. Tidak bersemangat. Seperti kehilangan api kehidupan.

"Kamu bisa menceritakan siapa itu Sarasvati Koesnadi dan hubunganmu dengannya," gumamku menyerah tidak tahan melihat wajah sedih wanita itu. Seketika, air muka wanita itu berubah itu dengan sebuah senyum dan dua lesung pipinya ketika aku memintanya menceritakan sosok Sarasvati.

"Seperti yang kubilang sebelumnya, namaku adalah Sari ibu tiri dari Saras. Ayahmu..." Aku menatap tajam wanita itu dan sepertinya wanita itu menyadari kesalahannya.

"Maksudku ayah Saras dan aku menikah sudah sepuluh tahun lalu. Saras tinggal bersama kami sejak empat tahun lalu, saat ia berusia tiga belas tahun."

"Jadi, sebelumnya Saras tinggal bersama siapa?"

"Sejak perceraian orang tua Saras, Saras diasuh oleh ibu dan neneknya di Surabaya."

"Aku melihat hanya kau dan Pak Handoko saja yang menjengukku di rumah sakit. Apa itu artinya aku adalah anak tunggal?"

Untuk beberapa saat Sari terdiam tampak mencerna pertanyaanku. Wajahnya kembali tidak bersemangat. Kesedihan jelas terpancar di wajahnya yang putih bersih itu.

"Saras mempunyai adik...," kalimat Sari menggantung kemudian menatapku dengan seksama dan aku hanya mengernyitkan alis. "... namanya Gilang..." Ia kembali memberikan tatapan aneh yang membuatku jengah dan ia pun kubalas dengan tatapan mata yang mengisyaratkan lanjutkan kalimatmu dengan cepat atau tutup mulut. "... Usia kalian hanya terpaut beberapa bulan." Akhirnya ia mengerti arti tatapanku.

Sari menatapku dengan tatapan menyelidik, seperti menantikan sesuatu namun kuabaikan tatapan itu.

"Selama seminggu ini aku tidak pernah melihat Gilang menjengukku. Apa hubungan kami buruk, kamu tahu seperti hubungan saudara tiri pada umumnya?" tanyaku

Aku tidak pernah mempunyai saudara, jadi tidak pernah merasakan apa itu persaudaraan. Terlebih saudara tiri. Sari tersenyum namun senyum tidak sampai ke matanya. Sebuah senyum yang dipaksakan. Sebuah senyum pahit yang berisi kegetiran, penyesalan dan keputusasaan.

"Saras adalah anak yang pendiam, ia tidak pernah terbuka denganku atau pun papanya. Namun ia sangat dekat dengan Gilang, seperti saudara kandung."

"Kenapa ia tidak menjenguk Saras?"

"Gilang telah meninggal dunia karena kecelakaan dua bulan lalu," gumamnya lirih sambil menyeka sebutir air mata yang merembes dari sudut matanya.

"Ah... maafkan aku."

Wanita itu menggelengkan kepala, perasaan sedih itu ada karena ia tidak dapat menahannya. "Mungkin salah satu alasan kenapa kau ingin melupakan dirimu adalah kematian Gilang."

"Eh?"

"Sejak kematian Gilang, Saras terus menerus mengurung diri di kamar. Kondisi tubuh Saras sangat lemah, oleh sebab itu dua minggu lalu kami membawa Saras ke rumah sakit kemudian peristiwa itu terjadi. Saras melarikan diri dari rumah sakit dan terjadilah kecelakaan."

Kami berdua terdiam beberapa saat. Aku tidak berniat bertanya terlalu jauh karena wanita itu terlihat sudah tidak dapat mengendalikan emosinya.

Bagaimana pun juga ia adalah seorang ibu yang mendapati putranya meninggal dalam sebuah kecelakaan!

"Sebaiknya kau istirahat...," kata Sari setelah melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Aku mengangguk pelan dan wanita itu pun meninggalkan ruangan.

***

"Setelah melihat CT scan dan beberapa tes kejiwaan, saya menduga putri anda mengalami gangguan dissociative identity disorder atau dikenal sebagai gangguan kepribadian majemuk," ucap dokter itu mantab. "Sarasvati adalah kesadaran utama dalam tubuh Putri Anda sedang Pramitha Agni adalah..."

"Dokter pasti bercanda!" kataku menginterupsi. "Aku tidak mengalami kepribadian ganda, memang benar ini adalah tubuh Sarasvati tapi aku... Pramitha Agni benar-benar ada. Aku bukan sosok imaginatif!" tukasku setengah berteriak karena kesimpulan konyol dokter yang masih tampak seumuran denganku.

Ah, maksudku seumuran denganku sebagai Pramitha Agni.

"Sari, sebaiknya kau bawa Saras keluar. Biarkan aku berbicara dengan dokter!"

Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai ibu tiri Sarasvati itu menarikku, memaksaku keluar dari ruangan meninggalkan pria yang memperkenalkan dirinya sebagai ayah kandung Sarasvati, Handoko, bersama dokter yang sudah seminggu ini menemaniku menjalani tes kejiwaan.

"Aku tidak gila!" tukasku tersungut karena selama seminggu ini aku menjalani berbagai tes kesehatan dan kejiwaan yang justru membuatku semakin gila karena pertanyaan-pertanyaan yang begitu banyak dan terdengar menggelikan.

Mungkin kenyataan ini memang mereka terima, tapi aku bisa membuktikan bahwa aku adalah Paramitha Agni, wanita berusia tiga puluh tiga tahun yang berprofesi sebagai dosen yang entah kenapa terperangkap di tubuh seorang gadis remaja.

Wanita berambut pendek bergelombang yang memiliki wajah sayu itu tersenyum kecil. "Papa dan Mama tidak pernah berpikir kalau Saras gila."

"Namaku bukan Saras, tapi Pramitha!" tukasku, tidak berusaha menyembunyikan ledakan emosi. "Kenapa tidak ada yang mau percaya bahwa aku adalah Pramitha Agni?!"

Wanita itu menghela napas panjang, kemudian membuka tasnya yang berwarna cokelat mengilat, mengeluarkan sebuah ponsel dan mengetik sesuatu. Tak lama kemudian ia menatapku sembari tersenyum.

"Tidak ada dosen matematika bernama Pramitha Agni di web personal dosen universitas yang kau bilang."

"Kau pasti berbohong!" tukasku kemudian merebut paksa ponsel wanita itu.

Aku mencari namaku di web personal dosen universitas tempatku mengajar. Mengetikkan namaku, kemudian memencet tombol search namun hanya menghasilkan dua kata, not found. Kuulang aksiku hingga beberapa kali sampai Sari merebut kembali ponselnya sehingga aku pun menatap wajah wanita itu dengan kecewa.

"Benar katamu, tidak ada namaku di web personal dosen. Tapi aku masih bisa membuktikan bahwa aku adalah Pramitha Agni..."

Wanita itu tersenyum kembali kemudian menyodorkan kembali ponselnya seraya mempersilahkan aku menggunakan benda itu selama yang aku mau.

Apa yang harus kulakukan untuk membuat wanita ini percaya?

Aku pun mencoba membuka akun internet bankingku, namun sayang gagal. Aku tidak tahu kenapa hal ini gagal, aku juga mencari berita di internet mengenai kematianku namun aku juga tidak mendapatinya.

Personal email untuk dosen pun tidak bisa kubuka.

Aku jarang bahkan terbilang tidak pernah menggunakan social media sehingga aku tidak bisa menggunakan hal itu sebagai bukti. Aku juga tidak memiliki teman dekat atau seseorang yang cukup dekat untuk berbagi rahasia atau sesuatu sehingga menjadikan hal itu bukti bahwa aku adalah jiwa Pramitha Agni yang bersemanyam di tubuh gadis bernama Sarasvati Koesnadi.

Aku menghela napas panjang, mencoba memikirkan sesuatu kemudian aku pun mencoba menelepon nomor telepon orang yang kukenal, namun aku nihil. Aku tetap gagal membuktikan identitasku.

Pikiranku buntu, aku tidak bisa membuktikan identitasku sebagai Pramitha Agni, sosok wanita berumur tiga puluh tiga tahun.

"Kau adalah Sarasvati Koesnadi, anak pertamaku. Kenapa kau tidak mau menerima kenyataan?"

Apakah itu adalah kenyataan?

Apakah aku adalah salah satu karakter imaginatif buatan Sarasvati?

Ataukah aku adalah sebuah jiwa yang tersesat dalam alternatif dalam paralel world dimana Pramitha Agni memang tidak pernah ada?

Pertanyaan-pernyataan itu berputar-putar dalam otakku, seperti sebuah spiral tanpa batas yang selalu berputar tanpa henti. Perlahan-lahan pandanganku mulai kabur, mataku pun kehilangan fokus sampai akhirnya menggelap dan aku pun kehilangan kesadaran.

***

Revised 24.09.2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top