Tujuh Belas
Kami tak banyak bicara selama perjalanan, dan sepertinya bukan hanya aku yang merasa canggung dengan hubungan baru kami. Dua bulan ini dia terus mengoceh saat berada di dekatku tapi sekarang dia bisu seperti patung. Seolah dia sedang menahan diri atau terus berusaha untuk mengatur kontrol pikirannya. Dia baru bicara lagi saat mobilnya sampai di depan rumahku.
"Apa aku boleh tinggal sebentar?" tanyanya.
"Ya. Kurasa kita memang perlu bicara lagi," jawabku.
Dia keluar dari mobil berjalan memutar dan membukakan pintuku. Aku melangkah keluar, memberinya sedikit senyum, dan berjalan menuju pintu rumahku. Dia mengikuti di belakangku dan aku sangat menyadari tatapannya pada tubuhku. Saat aku berusaha memasukkan kunci ke lubangnya tanganku gemetar dan kunci itu meluncur jatuh dari jariku. Aku membungkuk untuk mengambilnya dan aku mendengarnya mengumpat. "Sialan!"
"Apa?" tanyaku.
"Kupikir lebih baik aku pergi, pikiranku kacau dan aku tak mau mengacaukan kesempatanku," jawabnya. Dia baru akan berbalik saat aku menarik lengannya. Ototnya menegang di bawah sentuhanku.
Lengan kuat dengan otot yang keras, kulitnya terasa panas dan itu menghantamku.
Tarik napas Ash!
Kau bisa mengendalikan tubuhmu!
"Kau tahu? Aku bisa mati jika terus canggung seperti ini," ucapku. "Bicara beberapa menit, setelah itu kau bisa pergi. Aku akan buat teh agar lebih santai."
"Bisakah aku minta sesuatu yang sedikit lebih keras? Whisky atau Vodka?" dia memaksa sudut bibirnya terangkat membentuk senyum main-main.
"Kurasa tidak, aku tak mau mengambil resiko."
Akhirnya aku berhasil membuka pintu dan kami masuk. "Kau bisa duduk di sofa sementara aku membuat teh."
"Benar-benar tak ada Vodka? Aku juga tidak menolak anggur," gumamnya. Menyeret tubuhnya ke sofa dan ia duduk di sana, kakinya disilangkan tangannya terlipat di belakang kepalanya dan bersandar dengan santai. Matanya tertutup dan aku dapat melihat tiap ototnya yang meregang saat dia mengambil napas.
"Sampai kapan kau akan mengamati tubuhku?" ucapnya dengan mata yang menyipit.
Damn! Dia tahu.
"Kau juga mengamati tubuhku tadi," balasku. Kemudian aku menghilang ke dapur.
Aku berjalan ke rak penyimpanan anggur milik Mrs. Evans dan mengambil Rose wine dengan kadar alkohol rendah. Dua gelas bergagang ramping dan kembali ke ruang tamu. Dia sedang berdiri di dekat dinding mengamati fotoku dengan Mrs. Evans. Itu foto yang kami ambil setelah dia mengadopsiku, kami berdua sungguh terlihat canggung di foto itu.
"Sedang melihat-lihat?" tegurku. Dia berputar dan berjalan mendekat.
"Kau terlihat cantik di foto itu," jawabnya.
Aku menurunkan gelas dan botol wine yang kubawa. "Benarkah?"
"Meski senyum itu dipaksakan, itu senyum yang tulus." Dia membuka tutup botol dan menuangkan isinya ke gelas. Menyerahkan satu untukku dan menenggak miliknya sendiri dalam satu tegukan. "Kau belum pernah tersenyum seperti itu padaku."
"Aku tak punya alasan untuk tersenyum seperti itu padamu." Aku menggoyangkan gelasku dalam gerakan melingkar, membuat anggur di dalamnya berputar lalu meminumnya sedikit.
"Benar." Dia kembali menuangkan anggur ke gelasnya dan meminumnya lagi.
"Hans?" ucapku.
"Ya?"
"Tidakkah kau berpikir kita jadi begitu canggung satu sama lain?" mulaiku.
"Aku mencoba menjadi seperti yang kau mau," jawabnya.
"Seperti yang kumau?" Aku mengulang ucapannya. "Dengan menjadi pendiam?"
"Apa kau lebih suka kalau aku banyak bicara?" Dia akan menuangkan anggur lagi, tapi aku menahannya.
"Aku perlu otakmu jernih!" ucapku. Merebut botol dari tangannya.
"Benar, aku bisa hilang kontrol," gumamnya. "Jadi kenapa kau juga jadi canggung?"
"Aku bingung harus mengatakan apa. Maksudku akan sangat tidak adil jika aku terus bersikap dingin padamu. Benarkan?" jawabku. Menyesap anggurku lagi, matanya mengamati bibirku.
"Jadi biar kuluruskan ini! Kita tidak perlu berpura-pura dan lebih baik kita menjadi diri kita sendiri? Aku yang suka mengoceh dan kau yang berbicara sekehendakmu, tak perlu pura-pura jadi orang lain?"
"Benar," sahutku.
"Oke," jawabnya. "Omong-omong kau membunuhku, jika cara minummu seperti itu!"
Aku menaikkan alisku. "Memangnya kenapa cara minumku?"
"Bibirmu yang bersentuhan dengan bibir gelas, kepalamu yang mendongak saat membiarkan anggur itu mengalir, dan suara mencecap yang mirip desahan itu. Itu membuatku gila!" desahnya. "Aku sangat ingin menciummu. Tak bisakah sesekali kita melakukannya?"
"Aku belum cukup mabuk untuk bilang ya!" balasku.
"Minum lagi, kalau begitu!" Dia meraih gelasku dan menuangkan anggur lagi untukku. Aku menerimanya dan minum sekali tegukan. Mataku terpejam dan aku sedikit mengernyit saat rasa manis dan keras itu melewati tenggorokanku.
"Kau menciumku saat di cafetaria waktu itu. Kenapa?" tanyanya.
"Aku tidak."
"Ya. Kau ya!" bantahnya.
"Aku hanya mengusapkan bibirku ke bibirmu. Itu bukan ciuman." Aku menyelipkan anak rambutku ke balik telinga.
"Kenapa?"
"Kau tidak suka?" balasku. Dia mendengus.
"Aku suka. Sangat malah, tapi kenapa?" balasnya.
"Aku tak dapat menahannya. Aku tak dapat menahannya jika kau menyentuhku." Aku mengamati gelasku yang sudah kosong. "Seperti terbakar api gairah. Apa itu sihirmu?"
"Aku hanya pernah mempengaruhi gairahmu sekali. Tepat di ruangan ini, dan kau berhasil menolaknya," jawabnya. Ekspresinya kagum meski sedikit getir.
"Saat pertama kalinya kau memintaku memberimu kesempatan?" tanyaku.
"Ya, saat itu. Dan aku penasaran bagaimana kau melakukannya?" Dia melihatku dengan penasaran.
"Aku juga tidak yakin. Awalnya tatapanmu seperti membakarku, membuatku menginginkan sentuhanmu, ingin bibirmu melumat bibirku dan lebih dari itu. Tapi aku berusaha mendorong semua keinginan tak masuk akal itu ke sudut otakku dan kurasa yang paling mempengaruhiku adalah rasa benciku pada pria, semua kenangan mengerikanku membuatku tak bisa menerima hal semacam itu." jawabku.
"Seberapa dalam kau telah terluka?" tanyanya. Dia kembali mengisi gelasku.
"Entah. Terlalu dalam hingga tak dapat pulih, ayahku menghancurkanku." Aku menenggak anggurku lagi dan menutup mata mengingat malam itu. Tangan berjari gemuk ayahku yang berada di seluruh tubuhku, hentakan kerasnya yang menghujam, deru napas kasarnya dan semua kata kotor yang ia lontarkan. Aku mencengkram gagang gelasku terlalu keras hingga patah.
Saat mataku tersentak terbuka, Hans sudah berada di sampingku. Tangannya ingin menariku dalam dekapannya tapi ia menghentikannya dan hanya menatapku khawatir. "Kau baik-baik saja, Ash?"
"Ya, aku baik." Aku meletakkannya pecahan gelasku di meja.
Saat aku kembali duduk lengan Hans sudah menarik pinggangku, membawaku ke dadanya yang hangat. Aku meletakkan kepalaku di atasnya, merasa terlalu nyaman dan aman. Dan itu membuatku takut, aku takut jika aku terhanyut dalam perasaan manis ini dan lebih parah lagi jika nanti harus kehilangannya setelah benar-benar menerimanya.
"Apa yang kau pikirkan tadi?" Suara Hans menembus lamunanku, membawaku kembali ke saat ini.
"Hanya ingatan buruk," jawabku singkat. Aku masih berada dalam pelukannya, aku ingin kehangatan ini lebih lama.
"Tentang?" desaknya.
Aku melepaskan diri dari lengannya dan duduk dengan tegak, mataku fokus melihatnya. "Saat ayahku melecehkanku. Setiap sentuhan tangannya di tubuhku, hujamannya, desahannya, dan pekikannya."
"Hentikan! Aku tak ingin mendengarnya!" ucapnya. Tangannya terkepal, wajahnya berubah dari lembut ke marah dalam hitungan detik.
Tapi aku tak berhenti, aku tak tahu kenapa aku ingin menceritakannya. Aku tak pernah menceritakan ini pada siapa pun bahkan Camrynn.
"Aku mengingat semuanya. Saat ia merobek bajuku. Mengikat tangannku dan detail saat ia melucuti pakaiannya sendiri. Aku ingat jeritanku dan aku ingat saat dia berada di dalam diriku, mengisiku, dan menghujamku dengan keras. Aku ingat berat tubuhnya yang mengimpitku. Aroma alkohol yang bercampur dengan aroma tubuhnya yang memuakkan. Semuanya sangat jelas di ingatanku."
"Hentikan, Ash! Aku tak bisa mengendalikan diriku jika kau meneruskan ini. Aku mungkin akan menghilang dan muncul di sel penjara ayahmu untuk membunuhnya dengan tanganku sendiri." pekiknya. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang ada di dalam dirinya dan mata kelabunya menyala.
Dan aku melakukan satu tindakan yang tak masuk akal lainnya. Aku menpelkan bibirku ke bibirnya, melumatnya perlahan hingga tubuhnya kembali rileks. Dan saat ia tak lagi dikuasai amarah ia membalas ciumanku. Bibirnya bergerak dengan lebih mendesak, lidahnya mendorong masuk melalui celah bibirku yang sedikit terbuka, melakukan tarian gila dengan lidahku, berbelit dan menyesap saling merasakan satu sama lain. Giginya menggigit ringan bibirku memberiku sensasi rasa sakit dan kenikmatan yang memabukkan. Tangannya berada di punggungku membelai dalam gerakan sensual seorang ahli, sedangkan tanganku menyusup ke balik rambut hitamnya, menariknya, membawa bibirnya lebih dekat dengan bibirku untuk memperdalam ciuman kami. Dan saat tangannya turun ke pahaku, akal sehatku kembali. Aku mendorongnya dan membuat bibir kami berpisah. Aku terengah-engah tapi ia terlihat baik. Napasnya masih teratur, tidak terlihat seperti baru saja melakukan ciuman panas. Satu-satunya hal yang merefleksikan ciuman kami pada dirinya hanya rambut hitamnya yang kini berantakan. Dan aku meringis saat menyadari kalau tanganku yang telah melakukannya.
"Itu ciuman terbaik yang pernah ku miliki," ucapnya. Dia tersenyum miring padaku.
"Damn! Aku pasti sudah gila. Itu pasti karena alkohol. Demi Tuhan, apa yang sudah kulakukan?" aku berteriak dan bangkit dari sofa. "Kau harusnya menghentikanku!"
"Demi apa? Aku memang menginginkannya, aku menikmatinya," jawabnya santai.
Aku memelototinya tapi saat melihat bibirnya, bibirku terasa panas dan aku tahu saat ini bibirku pasti terlihat merah dan bengkak. "Ini tak akan terjadi lagi!"
"Itu menakjubkan. Aku menantikannya lagi. Tapi sekarang aku benar-benar harus pergi." Dia berdiri dan menyentuh bibirku.
"Kau tidak boleh mengungkit ini!" ucapku saat ia berjalan menuju pintu.
"Akan kuusahakan." Dia memberiku senyum separo yang mempesona dan aku menganga karenannya.
"Kau benar-benar tidak boleh!" teriakku lagi. Ia sudah keluar tapi aku masih dapat mendengar tawa girangnya.
Demi Tuhan, ini jelas bukan awal yang bagus. Aku sudah memulai ciuman dengannya, dan aku ragu akan dapat bertahan jika dia terus berada di sekitarku. Dia tidak mudah dihadapi.
Tuhan tolong Aku!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top