Tujuh
Kakiku masih sedikit gemetar saat aku berjalan ke arah mobil Cam. Aku menyentuh bibirku dan bergidik. Mengutuk diriku sendiri karena sempat menikmati sentuhan pria itu.
Hingga akhirnya suara Cam menyadarkanku. "Kau terlihat kacau? Apa pekerjaanmu hari ini buruk?"
Aku menurunkan jemariku dari bibirku dan memfokuakan pandanganku pada Cam. "Tidak. Semuanya baik."
Kebohongan yang mutlak. Di hidupku tak pernah ada yang baik.
"Apa aku harus selalu mengingatkanmu, kalau kau tak bisa berbohong padaku?" Mata Cam langsung memindai wajahku. Dan aku takut kalau dia menemukan semburat merah di pipiku atau hal semacamnya.
Aku bergerak gelisah dengan mengayunkan tubuhku di atas kakiku. Jariku tak bisa berhenti memilin ujung kaosku dan mataku terus bergulir ke atas. Mengingat bibir itu.
"Bukan masalah besar. Hanya masalah dengan Cris."
Tidak sepenuhnya benar. Tapi juga bukan kebohongan. Setidaknya hanya itu yang bisa kukatakan pada Camrynn.
"Apa yang dia lakukan?" tanya Cam.
Untungnya saat itu Jase muncul, menyelamatkanku dari keharusan menjawab pertanyaan Cam. "Hai! Kau pasti Camrynn, Ash banyak bercerita tentangmu."
Jase mengulurkan tangan dan Cam menyambutnya.
"Cam, kenalkan teman kerjaku Jase. Dan Jase, Yah, dia Cam." ucapku. Cam memberiku tatapan bertanya. "Dia ingin ikut. Kau tidak keberatankan?"
"Tentu saja. Semakin ramai semakin menyenangkan," jawab Cam. Dia membuka pintu mobilnya. Aku duduk di depan bersamanya dan Jase duduk di belakang.
"Kita mau kemana?" tanya Jase dia melongokkan kepalanya ke depan.
"Ke Bar." Cam menyeringai. Aku menatapnya tak percaya dan Jase menaikan alisnya.
"Kau sudah janji tak akan melakukan hal yang bodoh lagi!" sahutku sambil memelototinya. Dia melirikku.
"Aku hanya akan minum minuman yang kadar alkoholnya rendah, oke?" jawab Cam.
"Tidak. Sama sekali tidak oke," dengusku. Meski aku memang berpikir sedikit alkohol mungkin dapat meluruskan otakku lagi.
"Kalian belum 21 tahunkan?" sela Jase.
"Kami punya ID palsu." sahut Cam.
"Oke. Tapi Ash perlu mengganti kostumnya." Jase megamati pakaian yang kupakai. Celana jeans yang sudah kusam dan kaos berlengan pendek yang kedodoran.
"Aku bawa baju ganti untuknya." tukas Cam.
Waktu Cam bilang baju ganti kukira dia membawakannku tanktop dan rok. Bukannya gaun pendek berkerah V berwarna hitam yang jatuh 20 senti di atas lututku dan memamerkan lekuk tubuhku.
"Apa kau berniat menjualku?" gerutuku saat aku keluar dari kamar kecil untuk mengganti pakaianku.
"Kau cantik," ucap Cam.
"Sexy," gumam Jase.
"Mempesona," lanjut Cam.
"Panas," tambah Jase.
Aku hanya dapat memutar bola mataku mendengar ocehan mereka. Dan memakai sepatu stiletto yang juga sudah di siapkan Cam.
Musik yang berdentum langsung menggedor telingaku begitu kami memasuki bar. Kami memilih sebuah bangku yang masih kosong dan memesan. Dan Cam menggerutu karena aku memaksanya untuk memesan lemon drop. Yah, aku tak mau mengambil resiko dia mabuk seperti waktu itu.
Setelah beberapa sloki tequila Jase akhirnya turun ke lantai dansa bersama seorang pria bermata biru yang memperkenalkan diri sebagai Drew.
"Kau punya teman yang menarik," ucap Cam. Dia memandang ke lantai dansa ke arah Jase yang sedang menari dengan menggila dan digerayangi oleh Drew. Bibir mereka bertemu dan berpagutan seakan tak akan dapat lepas.
Apa kalian berpikir aku sangat acuh sebagai teman, karena tak menghentikan itu? Jase sudah dewasa lagi pula inilah kehidupannya.
"Dia memang menarik. Dan mengagumkan," jawabku.
Cam menoleh ke arahku seakan memastikan aku bergurau atau tidak. "Benarkah?"
"Ya."
"Seperti apa misalnya?" tanyanya. Dia terlihat tertarik. Tentu saja. Itu karena aku tak biasa memuji seseorang.
"Orang tuanya tewas dalam kecelakaan bus saat dia masih berumur 11 tahun. Ia tinggal di panti. Setelah dia dewasa dia mulai bekerja part time dan menabung hingga akhirnya dapat membeli apartemen kecil untuk tinggal sendiri. Dia mengambil mata kuliah sebagai desainer, sebentar lagi dia lulus dan kuharap impiannya terwujud." jawabku.
"Oh, dia tak terlihat seperti pernah mengalami semua itu," ucap Cam yang sekarang menatap Jase dengan pandangan menghargai.
"Dia pandai menyembunyikan perasaan," ujarku. Aku menenggak tequilaku yang kelima.
"Tidak sepertimu!" sambung Cam.
"Ya. Mudah meledak." Aku mulai tertawa dan otakku mulai tidak jernih setelah darahku dialiri alkohol cukup banyak.
"Kau sudah mabuk, Ash!" ucap Cam. Dia meminum lemon dropnya.
"Aku tahu. Itu yang kubutuhkan." jawabku. Mataku memindai ruangan dan berhenti pada mata kelabu yang saat ini mengawasiku. Aku menelengkan kepala dan menyipitkan mataku. Kemudian aku mendengus.
Apa dia penguntit? Atau ini hanya kebetulan?
"Ada apa?" tanya Cam.
"Tidak," gumamku.
Camrynn sepertinya ingin mendesakku tapi begitu seorang pria berambut merah duduk di kursi di sampingnya dan mengajaknya mengobrol perhatiannya teralihkan.
Aku kembali menatap pria bermata kelabu itu. Dan entah dari mana ide gila ini muncul aku berjalan ke mejanya dan duduk di depannya.
Dia mengangkat alisnya seolah bertanya 'ada masalah?' padaku.
"Kau membuntutiku?" tanyaku yang kedengarannya seperti suara orang berkumur.
"Itu bukan pertanyaan," jawabnya. Ia menenggak Coronanya.
Ya. Itu jauh lebih cocok buatnya katimbang orange juice. Tapi aku tak mengomentari hal itu alih-alih aku malah bertanya, "Sendiri?"
Dia menyeringai. "Tidak lagi kurasa." Aku mengangkat alisku. "Kurasa aku bersamamu sekarang."
"Aku akan kembali pada temanku." Tapi saat aku menoleh ke meja kami tadi, Cam sudah tidak ada.
"Temanmu sepertinya juga sedang bersenang-senang. Jadi kenapa kita tidak ikut turun ke lantai dansa?" Dia menunjuk ke arah Cam yang menari dengan pria yang tadi mengajaknya mengobrol dan Jase yang sudah berganti pasangan dengan pria berambut pirang.
"Aku tak mau memberimu kesempatan untuk menciumku lagi." Tanganku langsung membekap mulutku.
Holy shit! Aku pasti sudah sangat mabuk.
Dia tertawa. Apa dia menertawakanku?
"Aku bisa menjaga bibirku tetap pada tempatnya," gumamnya.
Aku menyisir rambutku dengan jemariku. "Terakhir kali, kau sama sekali tak bisa menjaganya, Mr. Gray Eyes."
Dia mengangkat alisnya. "Mr. Gray Eyes?"
"Matamu kelabu. Tajam, dingin, dan menjebak."
Apa yang baru saja aku katakan?
Diamlah Ash! Kau sudah mabuk! tutup saja mulutmu!
"Jadi Ms. Brown Hair. Itu pandanganmu terhadapku?" tanyanya. Dia mencodongkan tubuhnya ke depan. Matanya kembali menatapku tajam.
Aku mengedikkan bahu. "Mungkin."
"Itu hampir menggambarkanku dengan benar. Meski terkadang aku juga panas," ucapnya.
Mataku tak dapat lepas dari bibirnya.
Fuck! Bibinya menggoda. Dan tanpa sadar aku sudah menggigit bibirku. "Panas ya?"
"Begitulah!" Dia sudah menegakkan tubuhnya.
"Aku bisa membayangkannya," gumamku.
Dia tertawa rendah lalu bertanya, "Jadi kau menyukai panas?"
Aku menggeleng. "Aku suka dingin dan gelap. Aku tak percaya kehangatan, cahaya, harapan, dan cinta."
"Menarik." Dia kemudian pergi untuk memesan minuman lagi. Dan saat kembali sudah membawa segelas Corona dan tequila. Mengulurkan tequila padaku dan menenggak Coronanya.
Dia menegurku saat aku hanya memegang tequilaku, "Omong-omong aku tidak menambahkan racun."
Aku memutar bola mataku dan membiarkan cairan itu mengalir ke tenggorokanku, memberikan sensasi terbakar saat melewatinya. "Jadi kau sering kemari?"
"Ini yang pertama," jawabnya.
Aku menyeringai. "Jadi kau benar-benar penguntit?"
"Aku tidak berpikir kata itu tepat untukku." Jemarinya kini mulai berani mengusap punggung tanganku yang bertumpu di meja. "Suka dingin dan gelap, itu tidak lazim untuk wanita."
Aku menarik tanganku. "Mungkin aku memang bukan wanita yang lazim."
"Benar. Kau luar biasa." Sekarang jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Membuat ritme yang seirama dengan detak jantungku.
"Aku anggap itu sebagai pujian." Aku berdiri. "Terimakasih untuk minumannya."
Dia tersenyum dan mengangguk. Menatapku seakan mengatakan 'Aku tidak akan melepaskanmu!' tapi aku mengabaikannya dan pergi.
"Malam yang menyenangkan!" ujar Jase meski dia terlihat hampir muntah. "Kita harus sering pergi keluar bersama."
"Aku setuju!" sambung Cam. Dia tak semabuk kami saat ini.
Aku hanya dapat mengangguk. Sepertinya aku sedikit kualahan dengan alkohol dari enam sloki tequila yang mengalir di nadiku.
"Kulihat kau bersama pria. Kalian sudah saling kenal sebelumnya?" tanya Cam.
"Benar. Dia panas," sambung Jase.
"Tidak juga. Itu digin, tidak panas," ocehku tidak jelas.
"Kau parah Ash," ujar Camrynn kemudian hening.
***
Rumah seperi biasa, kosong dan gelap saat aku masuk. Aku masih memakai gaun Cam dan pakaianku tertanggal di mobilnya. Itu tidak masalah. Aku bisa mengambilnya besok. Ini sering terjadi.
Kepalaku berputar dan pandanganku berkabut efek dari minuman-minuman itu. Dan perutku. Oh, jangan ditanya! Dia sedang bergejolak seperti gelombang pasang. Aku berjalan menaiki tangga menuju kamarku. Menghimpun segenap tenaga di setiap anak tangganya. Aku mendorong pintu kamarku yang mengayun terbuka. Hanya ada sedikit berkas cahaya bulan yang menerangi kamar itu, tepat jatuh di atas ranjangku.
Aku melangkah masuk dan dua buah lengan lansung memelukku dari belakang. "Kau sangat panas, Kid."
Darah langsung surut dari wajahku. Mungkin saat ini aku sudah pucat pasi. Otakku mencoba memproses kejadian ini di dalam kabut dan satu kesimpulan mengerikan menghantamku. Aku meronta sekuat tenaga tapi cengkraman ayahku begitu kuat. Atau mungkin aku yang terlalu lemah karena mabuk. Aku merasakan rasa basah dan dingin di tengkukku lidah ayahku mulai menjilatinya. Deru napasnya yang berat terdengar di telingaku, seperti instrumen kematian yang mengerikan. Aku menjerit. Tapi aku ragu kalau akan ada yang datang, aku sudah terlalu sering menjerit. Mungkin mereka berpikir ini hanya episode jeritanku yang lain dan mengabaikannya.
Aku mencoba menendang ayahku tapi ia sudah mengantisipasinya. Kini dia mulai mendorongku. Menindihku ke ranjang. Bibirnya langsung menyerang bibirku. Lidahnya mendesak masuk dan tangannya mulai meremas payudaraku. Dia tertawa di dalam mulutku saat mengamati ekspresiku. Matanya gelap tapi terbakar. Saat kupikir aku akan mati kehabisan napas dia memisahkan bibir kami.
"Kau cantik seperti ibumu. Bahkan Indy mungkin kalah darimu," desah ayahku.
Aku menagis saat nama ibu disebut. Apakah dia melihatku saat ini? Apakah dia menyesal karena menolak ajakkanku untuk pergi? Apakah kini ia sedang menangis meratapi nasibku? Mungkin. Tapi itu tak membantu apapun.
Saat ayahku akan menarik gaunku ke atas melewati kepalaku aku mendorong dadanya menjauh. Dia mundur dan aku berusaha lari dari sana tapi dia segera menarik pergelangan kakiku membuat kepalaku terbentur sisi ranjang dan mengirimkan rasa pening tambahan ke kepalaku.
"Mau kemana, Kid? Jadilah anak baik dan temani ayahmu malam ini!" Suaranya terdengar seperti orang gila. Mungkin lebih buruk dari gila.
Entah bagaimana caranya akhirnya ia dapat merobek gaunku. Membuatku hanya mengenakan bra dan celana dalam thong. Matanya semakin liar menjelajahi tubuhku. Ia kini menjepitku dengan kakinya. Membuat tanganku tak bisa bergerak. Mungkin ia ingat pukulan waktu itu. Braku ditarik hingga lepas dan ia meneruskan permainannya. Memulai dari mulutku turun keleherku mencecap semua yang dapat ia dapatkan. Hingga turun kedadaku. Menggigitnya. Menjilatnya. Menghisapnya. Turun lagi keperutku hingga sampai ke pangkal pahaku.
Ia menegakkan tubuhnya. Matanya yang lapar mengamatiku dan ia mulai melepas ikat pinggangnya. Tanganku masih dijepit sehinga aku tak dapat melakukan banyak hal yang membantu. Lalu ia mengikat tanganku dengan ikat pinggangnya. "Aku tak mau mengambil resiko kena pukul lagi, Kid!"
Lalu ia menurunkan celana panjangnya bersamaan dengan boxernya. Memperlihatkan kejantanannya yang sudah berdiri tegak.
Mataku terbelalak dan aku mulai meronta. "Aku putrimu!" jeritku tapi hanya ada senyum iblis di bibirnya.
"Sadarlah!" Aku berteriak dan kakiku berusaha menendangnya. Tapi kedua tangannya segera memegai kedua pahaku dan melebarkannya.
Saat dia mulai menurunkan celana dalamku. Aku mulai memohon belas kasihan darinya, "Kumohon, hentikan! Aku akan berikan semua uangku padamu. Tapi kumohon hentikan!"
Hal itu sepertinya malah membuatnya semakin bergairah dan ia sudah bersiap. Aku meronta, menangis, menjerit, dan memohon tapi semua itu tak berarti apapun.
Dia merenggutnya dariku. Ayahku sendiri. Aku adalah gadis tersial di dunia ini. Sejak saat itu aku memastikan tak akan pernah percaya dengan pria mana pun di dunia dan cinta. Aku hanya akan memiliki diriku dan rasa sakit. Aku sudah mati. Binasa.
A/N:
Hallo!!!
Balik lagi!
Oke. Kayaknya aku udah menghancurkan hidup Aster sampai parah banget ya?
Ya tapi begitulah jalan ceritanya, apa boleh buat?
Setelah ini Aster akan jadi pribadi yang lebih tertutup dan pendiam hingga akhirnya ada yang dapat menyatukan kepingan-kepingan hatinya yang sudah luluh lantak.
Mengembalikan sedikit warna dalam hidupnya.
See you next part!!!
-Arum Sulistyani
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top