Tiga Belas

Malamnya tidurku sama sekali tidak nyenyak, aku terus mengingat Hans dan itu membuatku gila. Ini sudah kelima kalinya aku membuka mata dan kembali duduk di ranjangku setelah gagal mencoba untuk tidur. Dengan malas akhirnya aku turun dari ranjang dan berjalan ke dapur, kupikir segelas susu coklat panas akan membuat otakku sedikit tenang.

"Tidak bisa tidur?" Mrs. Evans berdiri didepan counter dapur, sedang menyeduh secangkir kopi hitam yang terlihat mengepulkan uap panas.

"Hanya sedikit memikirkan sesuatu," jawabku.

"Mau kubuatkan kopi juga? Atau sesuatu yang lain?" tawarnya.

"Saya akan buat sendiri," aku mengambil gelas, susu coklat di dalam lemari es dan menyeduhnya. Mrs. Evans masih berdiri di sana mengamatiku.

"Apa yang kau pikirkan itu soal temanmu tadi siang?" tanya Mrs. Evans membuatku hampir tersedak.

Tadi siang saat Hans pergi Mrs. Evans tiba, dia sempat berpapasan di luar dengannya dan saat masuk dia melihatku seperti orang yang baru terkena shock berat. Dia bertanya ada apa tapi aku bilang bahwa tak ada apapun dan aku melarikan diri ke kamar.

"Tidak juga," dustaku.

"Aku tahu aku bukan orang yang menyenangkan untuk diajak bicara, tapi jangan sungkan untuk menceritakan masalahmu jika kau merasa tak bisa menanggungnya sendirian. Karena kau tak pernah sendirian Ash!" ucap Mrs. Evans. Dia menepuk bahuku ringan dan tersenyum singkat.

Hatiku menghangat saat mendengar ucapannya, rasanya terdengar seperti Ibu. Sentuhan ringannya juga terasa nyaman  senyumnya menenangkan.

"Terimakasih," ucapku tulus. Dan dia pergi dari dapur.

Aku kembali ke kamar dengan mata yang masih belum mengantuk, susu tak membantuku. Aku berbaring terlentang di atas ranjangku dan pikiranku kembali pada Hans.

Laki-laki itu, dia berbeda. Aku dapat merasakannya dan respons tubuhku pada tiap sentuhannya begitu gila, hampir membuatku takut. Terlalu mendamba dan aku merasa nyaman. Aku tak pernah merasakan hal semacam itu pada pria lain. Mate?

Mungkunkah belahan jiwa itu benar-benar ada?

Aku tertawa.

Apa yang kau pikirkan, Ash?

Apa semua masa lalumu tidak mengajarimu?

Cinta sama dengan bodoh!

Laki-laki sama dengan berengsek!

Aku menutup mataku, dan saat aku berada di ambang mimpi dan terjaga. Aku merasakan sebuah jemari menelusuri pipiku hingga kerahangku, sebuah kecupan ringan di antara kedua mataku dan sebuah bisikan di telingaku.

"Aku akan membuatmu percaya! You're Mine!" Satu lagi kecupan ringan kali ini di puncak kepalaku dan aku tertidur.

***

Tanganku terlipat di dada, mukaku mencetak ekspresi masam, dan bibirku terkatup rapat meski orang di sampingku terus mengoceh.

Hans entah bagaimana caranya telah berhasil meyakinkan Cam untuk berangkat ke sekolah tanpa menungguku. Dugaanku hipnotis atau entah apalah namanya, sama seperti saat dia menyuruh Cam ke perpustakaan saat makan siang waktu itu. Dan dia datang menjemputku, mendorongku masuk ke dalam mobilnya tanpa persetujuanku. Jadilah aku berakhir di sini, duduk di samping kursi pengemudi dengan rasa jengkel setengah mati.

"Kau tidak bisa tidur semalam?"

Aku diam. Terus memandang lurus ke depan.

"Apa ada yang memotong lidahmu?"

Aku memutar bola mataku dan masih tak menjawab.

"Apa kau mau keluar nanti malam?"

Aku meliriknya singkat lalu memalingkan wajahku ke jendela.

Jemarinya menyentuh daguku dan aku menepisnya.

"What the fuck?" teriakku.

"Aku senang lidahmu masih ada di situ," dia tersenyum miring. Mengabaikan tatapan membunuhku.

"Apa yang kau inginkan Hans?" tanyaku.

Dia melihatku sekilas lalu kembali memperhatikan jalanan di depannya. "Bukankah aku sudah bilang kemarin?"

"Dan aku sudah bilang tidak!" dengusku.

"Aku juga sudah katakan, aku belum menyerah aku akan mencoba lagi!" balasnya.

Sekali lagi aku mendengus jengkel dan memiluh diam mengabaikannya.

Dia berhenti di parkiran. Aku langsung melompat keluar dari mobil sebelum dia membukakan pintu dan melaju meninggalkannya. Beberapa pasang mata menatapku tak percaya dan setengah iri, terutama untuk para gadis. Dan saat Hans mengejarku lalu berjalan di sampingku tatapan mereka makin terlihat seperti ingin membunuhku.

"Kau ada kelas apa hari ini?" tanyanya ceria.

Ini sungguh mengganggu, apa dia akan mengikutiku sepanjang hari ini?

"Bahasa!" jawabku ketus. Tapi senyum di wajahnya sama sekali tidak luntur.

"Great!  Kita satu kelas!" Dia mengalungkan lengannya di sepanjang bahuku dan aku menggeliat jengkel.

Apa satu kelas dengannya lagi? One a more shitty day again!

Hal pertama yang kulakukan saat memasuki kelas adalah memindai seluruh ruangan. Ada dua bangku yang kedua kursinya masih kosong dan satu bangku yang baru diduduki seorang pria. Aku langsung menuju ke sana. Biasanya aku akan memilih duduk sendiri tapi untuk hari ini duduk dengan siapa pun agar terhindar dari Hans adalah pilihan yang paling aku inginkan.

Aku duduk di samping pria itu dan saat menoleh aku mengenalinya. "Kau anak baru itukan? Elliot kalau tidak salah?"

Dia memberiku senyum kecil. "Ya, Elliot Houcroft. Dan kau?"

"Panggil saja Ash!" jawabku.

"Teman Camrynn?" tanyanya. Senyumnya tak pernah hilang.

"Ya, kau kenal Cam?" balasku.

Sebelum dia sempat menjawab Hans sudah berdiri menjulang di sampingku. Mukanya terlihat tidak senang hampir marah malah.

"Berdiri!" ucapnya dingin.

"Apa masalahmu?" balasku.

"Ash, kumohon jangan duduk di sini!" dia bicara dengan lebih halus sekarang.

"Kau tak punya hak untuk mengaturku!"

Hebat! Semua orang melihatku sekarang.

"Duduk dengan siapa pun, asal jangan dengan dia!" Aku menoleh melihat Elliot yang saat ini menatap Hans dengan bengis.

"Cukup! Aku duduk dengan siapa pun, itu sama sekali bukan urusanmu!" Aku melipat tanganku dan memberinya tatapan menantang.

Dia mendesah lelah, tangannya menarikku tapi Elliot menahanku. Dan aku berjengit.

"Kau sangat dingin. Apa kau sakit?" tanyaku memperhatikan wajah putih pucat Elliot.

Dia buru-buru menarik tangannya dan menyelipkannya ke saku celana. "Tidak. Aku baik!"

"Kau yakin?" tanyaku lagi. Hans berusaha menarikku lagi. "Hentikan Hans!"

"Ya." Dia melirik pergelangan tanganku yang masih dicengkram Hans. "Memaksa seorang perempuan itu sungguh tidak sopan!"

Hans mendengus tapi masih belum melepaskanku. "Aku hanya khawatir kalau di tengah pelajaran nanti kau haus!"

"Aku sudah minum tadi pagi, dua kantung. Kurasa aku tak akan haus," jawab Elliot santai.

"Apa yang kalian bicarakan?" selaku. "Haus? Minum? Dua kantung?"

Mataku melebar dan aku lupa bernapas.

Vampire!

Elliot seorang Vampire!

"Kau bukan ... Vampirekan?" desisku pelan agar tak ada orang lain yang mendengar.

"Andai aku bisa bilang tidak," jawab Elliot. Dan Hans  sudah menarikku.

Dia menggiringku ke bangku kosong, mendudukkanku dan dia duduk di sampingku. Semua orang memandangiku ingin tahu, dan aku baru sadar kalau saat ini wajahku pasti terlihat shock bukan main. Aku buru-buru menggeleng dan memasang muka datar.

Hebat!

Pertama Hans yang entah apa.

Sekarang Vampire.

Vampire yang dekat dengan sahabatku Cam!

Apa Cam tahu?

Apa aku harus memberi tahunya?

Itu akan terdengar gila!

"Ash?" Aku menoleh mendapiti wajah khawatir Hans.

"Shut up! Just shut up! " dengusku.

Aku perlu waktu untuk mencerna semua ini!

Dan aku perlu meyakinkan diriku sendiri kalau aku masih waras.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top