Tiga


What a shitty day!?

Aku benar-benar sial. Hari ini yang menjaga cafetaria adalah Mrs. Marge. Wanita bertubuh agak gempal dengan rambut hitam yang mulai ditumbuhi uban yang selalu digelung membentuk cepol di atas kepalanya. Jika ada orang yang harus aku takuti, maka Mrs. Marge dapat menjadi calon yang potensial.

Bukan karena dia pandai bertarung tapi karena ocehannya dapat membuatku gila.

Selama satu jam penuh aku membantunya membersihkan cafetaria, dia tak sedetik pun berhenti mengomeliku. Mulai dari persoalan kekacauan yang kutimbulkan saat makan siang, usahaku mengepel lantai yang menurutku sudah cukup baik tapi menurutnya masih sangat kurang, atau saat aku dengan tidak sengaja memecahkan piring di saat mencucinya.

Lagi pula itu tidak sepenuhnya salahku. Aku sedang menggosok piring terakhir saat tiba-tiba dia memekik hanya karena melihat seekor tikus. Dan karena terkejut dengan pekikannya aku menjatuhkan piring itu. Dan dia langsung memberiku bonus hukuman tambahan yaitu memasang jebakan tikus di sudut-sudut kantin. Untungnya aku sering melakukannya di rumah jadi itu tidak masalah buatku.

Camrynn bersandar pada kap mobilnya. Memandang lurus pada pohon Oak yang tumbuh di dekat lapangan parkir. Dia terlihat sangat tidak bersemangat.

"Lama menungguku?" sapaku. Dia menoleh dan berdiri.

"Kau pasti tidak ingin mendengarku minta maaf lagi," ucap Camrynn. Dia membuka pintu mobilnya.

"Of course, ini sama sekali bukan masalah," balasku ikut masuk ke dalam mobil.

"Oke. Tapi biarkan aku mentraktirmu malam ini." Dia menghidupkan mesin mobilnya.

"Cam, itu semua tidak perlu!" balasku. Aku meliriknya dan memutar bola mataku.

Kurasa hari ini Cam benar-benar membuat bola mataku terus bergulir.

"Aku tidak menerima penolakan!" jawabnya dengan nada memperingatkan.

Aku mendesah menyerah. "Oke. Kau menang! Jam berapa?"

"Aku akan sampai di rumahmu jam delapan malam," Dia mulai memacu mobilnya.

***

Pintu rumahku mengayun terbuka begitu aku mendorongnya. Aku melangkah masuk. Mendengus singkat saat melewati ayahku yang sedang mabuk berat di ruang depan dan langsung menaiki tangga menuju kamarku.

Ibuku sudah berangkat.

Jangan tanya kemana!

Karena aku tak ingin menjelaskannya.
Begitu sampai di kamarku aku langsung menghempaskan diriku di atas kasur tanpa repot-repot melepas sepatuku. Memejamkan mataku dan untuk sesaat mencoba melepaskan beban yang menghimpitku.

Hingga semua keheninganku itu diganggu oleh suara berisik dari arah bawah.

"Sudah dimulai," gumamku sambil membuka mata.

Teman-teman mabuk ayahku sudah datang. Aku jadi berpikir apa mereka tidak punya tempat lain? Dan aku juga jadi memikirkan dari mana mereka mendapatkan uang? Apa mereka juga menelantarkan keluarganya? Dan apakah di luar sana ada gadis yang senasib denganku?

Aku buru-buru menyingkirkan semua pertanyaan itu dari kepalaku karena itu membuat perasaanku jadi makin kacau.

Aku bangkit dari ranjangku dan pergi untuk mandi. Air dingin selalu efektif untuk membuatku lebih rileks. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa. Padahal orang biasanya akan tenang jika mandi air hangat. Mungkin itu karena aku sudah bosan mengharapkan kehangatan dari seseorang. Tapi itu hanya dugaan.

Aku memakai celana jeans pensil berwarna biru dongker dan tanktop berwarna putih yang sangat pas dengan tubuhku kemudian kulapisi dengan bolero berwarna biru hampir hitam. Menyisir rambut coklat bergelombangku, mengikatnya membentuk ekor kuda dan mengoleskan lipgloss pink ke bibirku. Mengambil tas tanganku lalu berjalan keluar dengan langkah cepat.

Aku melongokan kepalaku ke dapur membuat beberap teman ayahku menatap tubuhku dengan pandangan kotor mereka. Ayahku masih mengamati kartu poker di tangannya. "Jika kau mau makan, ibu sudah membuat lasagna. Aku menyimpannya di lemari es jadi tinggal kau panaskan dengan microwave."

Aku tidak yakin ayahku mengerti dengan apa yang baru saja kukatakan. Tapi pada akhirnya ia mengangguk dan menoleh ke arahku. "Memangnya kau mau ke mana, Kid?"

Aku berjengit mendengar panggilan ayahku tapi aku memilih untuk tidak menanggapinya. "Aku akan pergi keluar dengan Cam."

"Gadis kaya itu? Kau harusnya bisa meminjam beberapa uang darinya. Akhir-akhir ini ibumu tidak menghasilkan banyak uang. Aku kehabisan stok whisky dan kokain."

Aku menggertakkan gigiku. "Itu kabar bagus buatku. Sangat bagus!" ucapku dengan nada menyindir yang sangat kentara.

"Hell! Bitch!" umpat ayahku tapi aku sudah melangkah pergi dan membanting pintu depan dengan sangat keras.

Tak lama kemudian mobil Camrynn sudah muncul di depan rumahku. Dia menurunkan kaca jendelanya. "Come on buddy!" Dia melambai dan aku melangkah masuk. "Jangan bilang ayahmu membuat masalah lagi! Mukamu selalu kusut tiap kali keluar dari rumah itu."

Aku mengedikan bahuku. Dan masih mempertahankan muka muramku. "Dia ingin aku meminjam beberapa uang darimu." Aku menggeleng. "Benar-benar tak dapat dipercaya."

"Berhentilah bermuram durja! Aku punya sesuatu yang akan membuatmu terkejut," Dia menyeringai dan merogoh saku depan celananya. Menarik dua buah kartu yang membuat mulutku ternganga.

"Dari mana kau dapat itu? Apa ayahmu tahu?" Aku sedikit berteriak. Aku sungguh tak habis pikir dia akan membuat ID palsu. Bukan hanya dia, bahkan dia membuatkan satu untukku.

"Tentu saja tidak! Aku minta tolong pada teman ayahku," jawabnya. Menyodorkan ID milikku ke pangkuanku.

Aku menaikan alisku. "Dan menurutmu dia tak akan memberi tahu ayahmu?"

"Dia profesional. Dia tak akan mengadu. Lagi pula aku sudah membayar mahal untuk ini," jawabnya santai.

"Di mana Camrynn yang kukenal selama ini? Camrynn yang anti melanggar peraturan?" gumamku masih mengagumi kartu ID milikku.

"Untuk yang satu ini, kurasa aku ingin melanggarnya," jawabnya sambil menaik turunkan alisnya dan kami berdua tertawa bersama.

"Jadi, Casino mana yang kau tuju?" tanyaku antusias.

"Kurasa kita perlu makan dulu!" jawabnya dan ia menghentikan mobilnya di sebuah restauran pizza.

***

Alunan musik yang berdentam dan kelap-kelip lampu di lantai dansa membuat kepalaku sedikit pening. Meski itu juga karena aku sudah menenggak empat sloki tequila sejak aku datang.

"Ayo kita turun!" ajak Camrynn sambil terkikik.

Menurutku dia sudah terlalu mabuk padahal dia baru menghabiskan dua sloki.

Aku menggeleng. "Kepalaku berputar," teriakku berusaha menembus suara musik yang bising. Tapi Cam tetap meraih tanganku dan menarikku kelantai dansa.

"Aku membuat ID itu untuk ini," gumamnya. Dia meliukan tubuhnya. Memamerkan gerakan panas yang bahkan tak pernah muncul dalam mimpi terliarku.

Aku terus bergoyang membiarkan irama berdentum itu menuntunku. Ada beberapa lelaki yang mencoba berdansa denganku dan Cam. Tapi aku selalu mengelak dan menarik Camrynn ke sisiku. Aku tidak cukup mabuk untuk membiarkan mereka menggerayangi tubuhku maupun Camrynn.

"Aku lelah! Ayo pergi!" teriakku di dekat telinga Cam. Dia hanya membalasku dengan suara geraman tidak jelas dan masih terus menari. "Kau mabuk Camrynn Baker!" desahku. Menariknya turun dari lantai dansa.

Dia kembali terkikik. "Kau juga Aster Ackerley!"

Aku memutar bola mataku dan duduk di bangku dekat meja bar. Tidak cukup kuat untuk memakinya karena memanggilku Aster.

Tak lama seorang pria menghampiri kami. "Sendirian?"

Camrynn hanya terkikik. Aku tidak tahu kalau dia benar-benar tidak tahan minum.

"Kami bersama," jawabku. Mataku berubah menjadi awas.

"Dua tequila. Untuk dua gadis ini," ucap pria itu pada bartender.

"Terimakasih," gumam Camrynn. Dia sudah mulai kepanasan dan mengipasi dirinya dengan tangannya. Mata pria itu sekarang sudah beralih pada belahan dada Cam yang terlihat karena dia hanya memakai kaos dengan kerah yang kelewat rendah.

Saat dia akan menenggak tequila aku lansung menyambarnya dan meletakkannya di meja. "kau sudah terlalu mabuk, Cam. Kita harus pergi sekarang!"

Aku berdiri dan pria itu kini mengamati lekuk tubuhku. "Jangan terlalu terburu-buru! Kau bahkan belum meminum tequilamu."

"Temanku sudah mabuk. Jadi aku harus menjaga diriku tetap sadar untuk menyupir." jawabku dan akan menarik lengan Camrynn tapi pria itu meraih lenganku.

"Aku bisa mengantar kalian," ucapnya. Tangannya yang lain mulai mungusap lenganku.

Aku menyentak lenganku dan mendelik padanya. "Tidak perlu!"

Aku langsung menarik Camrynn dan keluar dari sana. Aku masih sempat mendengar pria itu mendesah kecewa.

"Kalau aku tahu kau separah ini tentang minum. Aku tidak akan setuju untuk kemari!" gerutuku. Tanganku meraba seluruh kantung Cam untuk menemukan kunci mobilnya. Begitu aku menemukannya aku langsung membuka pintu dan mendorong Cam masuk.

Aku berjalan memutar dan duduk di kursi pengemudi.

"Tambah satu sloki lagi!" ceracau Cam tidak jelas saat aku menyalakan mesin mobil.

"Hell Yeah! Dan kau akan muntah," desisku.

Aku mengetuk pintu rumah Cam dan yang keluar adalah ibunya.

"Anak ini benar-benar! Apa yang dia minum?" tanya Mrs. Baker.

Aku mengulum bibir. "Dia hanya minum dua sloki tequila. Saya minta maaf seharusnya saya melarangnya."

"Bukan salahmu, Ash. Dan lebih baik kau segera pulang! Untungnya ayahnya tidak sedang ada di rumah," ucap Mrs. Baker.

Aku mengangguk dan berjalan pergi.

***

Aku memilih memotong jalan. Melewati gang-gang yang gelap dan sempit.

Pandanganku sedikit berputar dan sekarang aku mengutuk empat sloki tequila yang sudah kuminum. Aku menggelengkan kepalaku mencoba mengusir rasa pening itu. Tapi itu tak membawa perubahan apapun.

Telingaku mulai menangkap suara tawa dan gumaman saat aku berbelok di ujung gang. Dan itu dia. Disana ada tiga pria yang sedang mabuk.

Aku tetap menjaga tingkahku seperti biasa tidak terlihat takut atau menantang agar tak menarik perhatian mereka. Aku sudah hampir melewati mereka tapi salah satu dari mereka akhirnya melihatku.

"Fuck! Look at it, guys!" teriaknya pada dua temannya dan menunjuk ke arahku.

Dua temannya menoleh ke arah yang dia tunjuk dan ikut menyeringai.

Aku tidak perlu di beri tahu untuk lari. Karena aku sudah mengerti apa yang akan mereka lakukan. Detik itu juga aku berlari. Sekencang yang dapat di lakukan kakiku.

Tiga orang itu meneriakiku dan mengejar di belakangku. Aku terus berlari melewati belokan-belokan gang. Tidak memperlambat lariku meski jantungku terasa mau pecah hingga aku sudah tak mendengar langkah kaki yang mengejar atau teriakan mereka.

Aku menundukkan tubuhku. Tanganku bertumpu pada lutut dan aku mengatur napas. Lalu napasku tercekat begitu aku mendengar suara tawa itu lagi.

Dari ujung gang di depanku seorang pria yang tadi mengejarku berjalan dengan langkah santai. Rambut gondrongnya dikuncir ditengkuk dan ia hanya mengenakan celana jeans yang robek di bagian lutut serta kaos tipis tanpa lengan. Sudu-sudut bibirnya mencuat membentuk seringai serigala. Refleks karena aku menghindari serangan dari depan aku melangkah mundur tapi dari arah belakangku ada lengan yang langsung memerangkap tubuhku dan pemilik lengan itu membisiki telingaku sambil menjilat daun telingaku.

"I catch you!"

Darahku serasa membeku dan aku meronta sekuat tenaga dari pelukan lengan pria asing itu. Aku berteriak. Tapi aku tahu itu percuma bangunan di sini hanya gudang atau gedung-gedung kosong. Tak akan ada yang mendengarku.

Lalu orang ketiga muncul dan langsung menerkam bibirku. Menekankan bibirnya kebibirku dan lidahnya mencoba masuk kedalam mulutku. Dengan satu gerakan kilat aku menendang selangkangan orang itu dan menginjak jari kaki orang yang memegangiku dari belakang. Aku berusaha lari tapi salah satu dari mereka berhasil menangkap lenganku lagi. Dan menarikku kembalu.

"You can't run," desis mereka yang langsung membawaku ke sebuah gudang kosong.

Aku tahu ini akan berakhir buruk! Aku melakukan apapun yang memungkinkanku untuk dapat lolos. Menggigit, meronta, berteriak, bahkan menawarkan uang yang sudah jelas aku tak punya. Tapi itu tak berhasil.

Mereka langsung mendorongku ke lantai dan dua yang lain memegangi lenganku. Sementara yang satu mulai melepas ikat pinggang dan celananya.

Aku mengeluarkan semua umpatan yang kutahu tapi semakin aku meronta dan memberontak mereka malah semakin tertawa lebih keras.

Pria yang sudah telanjang itu kini mulai menarik lepas bolero yang ku pakai menarik keluar tanktop dari kepalaku dan beralih pada kancing celanaku. Dua yang lain sudah mulai menggerayangi tubuhku. Dan tanpa sadar aku sudah mulai menangis dan terisak.

Saat pria itu akan menarik lepas celanaku aku menendang mukanya dengan kakiku membuatnya marah dan langsung menampar pipiku.

Panas!

Dan saat itu aku malah mengingat ibuku. Membuatku kembali meronta karena aku yakin ini akan menghancurkan ibuku. Dua pria itu kini juga sudah mulai tidak sabar jadi mereka menarik rambutku membuatku mendongak. "Just shut up!" teriaknya.

Celanaku sudah berhasil terlepas. Ini sangat buruk.

Pria itu sudah memegangi kedua pahaku dan berjongkok di depanku. Dengan sisa tenaga terakhirku aku kembali mencoba menendangnya dengan lututku dan itu berhasil. Tapi kali ini dia langsung balas menghantam pekipisku dan membuat pandanganku menggelap dan kesadaranku mulai berkurang. Aku merasakan tangan tangan menyentuh tubuhku. Dan celana dalamku ditarik kebawah lalu berhenti. Semuanya berhenti. Tak ada lagi tangan yang menggerayangi tubuhku. Tak ada lagi tawa girang mereka. Tak ada lagi napas berat tiga pria itu. Semuanya hening dan saat aku mencoba membuka mata aku melihat sesuatu yang bercahaya berdiri menjulang tinggi di depanku lalu kesadaranku pun ikut lenyap dan cahaya itu meredup.

A/N:

Yey update lagi!!!

Nah, siapa atau apa kira-kira yang sudah menyelamatkan Aster?

Ada yang bisa nebak?

Menurut kalian cerita ini gi mana? Tidak menarikkah?

Aku gak banyak bicara lagi. Karena ini sudah hampir tengah malam.

See you next part!!!

-Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top