Sepuluh

Keringat membasahi seluruh tubuhku hingga kaosku menempel dengan erat. Aku mendongak menatap matahari yang tepat berada di atas kepalaku. Tanganku masih sibuk menaburkan pupuk pada tanaman bunga Daffodil yang masih muda.

"Kau ingin membakar kulitmu?" teriak Cam dari beranda rumah. Dia sudah membawa dua gelas limau di tangannya.

"Aku hampir selesai!" Aku menaburkan pupuk untuk yang terakhir kalinya lalu berdiri.

Aku punya hobi baru sekarang. Ya, berkebun. Sebenarnya itu saran dari Jase. Tiga hari yang lalu dia datang untuk melihat kondisiku, setelah Cam menelepon Mrs. Joseph untuk mengabarinya tentang aku yang tak lagi bekerja di sana. Dia membawa beberapa bibit tanaman, setelah membaca artikel tentang berkebun yang dapat meringankan stres.

"Kau harus mencoba untuk berkebun! Sibukkan dirimu!" ucap Jase waktu itu sambil menyodorkan skop dan beberapa bibit bunga.

"Aku tahu cara menyibukkan diri!" gerutuku saat menerima skop dan bibit bunga itu.

"Lakukan saja! Aku ingin sarankan seks untuk melupakan masalah. Tapi mengingat masalahmu, seks akan makin memperburuk kondisimu." Mukaku langsung berubah masam waktu itu dan Cam menginjak kaki Jase hingga dia meringis kesakitan.

"Aku hanya berharap kau bisa mengatur kata yang keluar dari mulutmu," gerutu Cam.

"Maaf!" gumam Jase di tengah erangannya.

Aku berjalan ke beranda, meraih gelas limauku dan meminumnya. Aku tak dapat menahan mataku untuk tidak mengernyit saat rasa asam segar sampai di lidahku dan memberikan sensasi sejuk setelah kepanasan berjam-jam.

"Jase bilang akan berkunjung lagi. Dia baru saja menelepon," kata Cam.

"Benarkah? Kuharap dia tak membawa bibit bunga lagi. Kebunmu sudah terlalu penuh," Aku menandaskan limauku lalu mengambil es batu yang tersisa untuk mengompres dahiku.

"Tidak masalah jika itu sukses membantumu, apa berkebun membuatmu lebih rileks?"

"Kurasa sedikit mengalihkan perhatianku."

"Baguslah, coba tebak! Aku punya kabar baik untukmu."

Aku menaikan alisku. "Ayahmu sudah menemukan orangtua angkat untukku," tebakku. Cam mengangguk. "Siapa?"

"Mrs. Evans," jawab Cam.

"Apa? Kau serius?"

"Ya. Mrs. Evans langsung mengajukan diri begitu tahu kalau ayah mencari orangtua angkat untukmu dan kau yang menginginkan ibu tunggal," jawab Cam.

"Aku tak menyangka dia sebaik itu," ucapku.

"Bukankah dia memang baik? Kalau dia tidak baik, kau pasti sudah dapat banyak masalah karena tingkahmu di sekolah." kata Camrynn. "Jadi kau harus jadi siswa baik sekarang!"

"Memangnya kapan aku jadi siswa tidak baik?"

"Kapan ya? Coba kita ingat-ingat! Seminggu sekali setidaknya kau akan terlibat satu perkelahian," ucap Cam.

"Karena itu memang harus dilakukan!" protesku.

"Itu tidak harus!" balas Cam.

"Tentu itu harus!"

"Kau harus menghentikannya sekarang!" ucap Cam. "Kalau tidak Mrs. Evans pasti sangat malu!"

"Aku akan berhenti jika mereka juga berhenti menggangguku!" balasku tak kalah keras kepala.

Aku boleh saja jadi anak angkat Kepala Sekolah. Tapi jika masih ada yang mencari masalah denganku, aku tak akan segan untuk adu pukul. Aku tetap Ash. Dan aku sudah putuskan untuk tidak hancur. Tidak saat aku mungkin punya kesempatan untuk memperbaiki hidupku. Sekarang aku mungkin bisa melakukan apapun yang kuimpikan dan mungkin aku akan mencapai mimpiku.

***

Aku keluar dari mobil dan menggendong tas ranselku. "Rumah anda hebat, Mrs. Evans!"

Dia tersenyum lembut, "Aku harap kau betah!"

"Aku akan heran jika tidak betah di sini," jawabku.

"Bugaslah! Ayo!"

Rumah Mrs. Evans bergaya minimalis, dengan beberapa pohon tumbuh di halaman depannya, mungkin aku akan menanam beberapa bunga di sini.

Mrs. Evans mengantarku ke kamar di lantai atas tanpa mengatakan apapun. Kami tak banyak bicara, paling hanya bicara untuk kesopanan. Dia juga tak mempermasalahkan aku yang masih memanggilnya Mrs. Evans. Kami mungkin akan sangat cocok karena kami sama-sama menyukai privasi dan tidak ingin terlalu ikut campur urusan orang lain.

Kamarku menghadap ke sayap kanan dengan pintu geser yang mengarah ke balkon. sebuah ranjang berwarna putih ditempatkan menghadap ke arah balkon, kebanyakan furniture di sini berwarna hitam dan putih dengan sedikit sentuhan berwarna merah. Sangat minimalis dan berbanding terbalik dengan kamarku yang ada di rumah Cam.

Aku menaruh ranselku. Membuka pintu balkon dan keluar. Angin menerpaku dan untuk sesaat aku memejamkan mataku, merasakan bagaimana angin membelai wajahku.

Aku akan memulai hidup baruku. Dan mulai saat ini aku akan membuang semua masa lalu sialan itu. Namaku bukan lagi Aster Ackerley. Aku Aster Evans dan aku tak akan membiarkan diriku hancur lagi.

"Aster Evans," gumamku dengan tersenyum.

***

Hari pertama masuk setelah liburan musim panas. Seperti yang sudah aku duga semua orang menatapku dengan pandangan mengasihani atau untuk beberapa orang jijik. Aku pribadi tak mempedulikannya, Cam berjalan di sampingku seperti biasa, sedang sibuk membaca novel Vampire yang sedang jatuh cinta. Yang membuatku heran meski mereka menatapku seperti itu, aku sama sekali tak mendengar gumaman mereka tentang diriku. Alih-alih tentang aku, yang kudengar saat melintas di sepanjang koridor hanya kabar tentang dua anak baru yang tampannya bukan main. Aku tidak tahu tentang kabar itu, dan mungkin juga tidak ingin tahu, tapi karena saking aku penasaran dengan semua gumaman orang-orang, akhirnya aku bertanya pada Cam yang sekarang duduk di depanku untuk pelajaran Biologi.

"Kau tahu soal anak baru ini?"

Dia memutar posisi duduknya menghadapku. "Aku hanya dengar, belum lihat. Kenapa?"

"Tidak, hanya penasaran!" balasku.

"Kudengar keduanya sama-sama tampan. Aku jadi penasaran juga," ucap Cam. "Kuharap hari ini kita ada kelas yang sama dengan mereka."

"Setampan apa hingga semua orang membicarakan mereka?" tanyaku.

"Mana aku tahu! Akukan juga belum lihat," balas Cam.

"Lupakan saja!" Aku mendorongnya kembali menghadap ke depan dan mengeluarkan catatan biologiku.

Tak lama Mrs. Walter masuk, di belakangnya ada seorang laki-laki yang kuduga sebagai siswa baru. Aku tak terlalu memperhatikannya dan sibuk membuat coretan di bukuku.

"Kau bisa perkenalkan dirimu!" perintah Mrs. Walter.

"Namaku Hans Austin, salam kenal," ucap anak baru itu diikuti banyak gumaman kagum.

"Kau boleh duduk!" perintah Mrs. Walter.

Aku tak memperhatikan perkenalannya dan malah membuat gambar bintang-bintang kecil di sudut bukuku.

"Hai! Namaku Hans!"

Aku masih tak mendongak. "Aku sudah dengar. Kau baru saja mengatakannya ke semua orang tadi!"

Aku mendengar kursi di sebelahku di geser dan aku akhirnya mendongak ke arahnya.

"Kau terlihat tak memperhatikan tadi," balasnya.

Saat aku melihat wajahnya kemudian ke mata kelabunya, mataku melebar dan dahiku berkerut. "Kau?"

"Ya, Ms. Brown Hair. Senang bisa bertemu denganmu." balasnya. Dia duduk di bangku di sampingku.

Aku tak mengacuhkan ucapannya dan memindai seluruh ruang kelas. Masih ada dua bangku kosong lain. Aku kembali melihatnya. "Kenapa kau duduk disini? Masih ada dua bangku lain dan lebih depan."

Dia mengangkat alisnya. "Karena aku ingin duduk di dekatmu! Ada masalah?"

"Lupakan!" balasku kembali menggambar di buku catatan biologiku.

Lampu dimatikan dan Mrs. Walter mulai menayangkan slide tentang pembelahan mitosis. Sejujurnya aku tak terlalu memperhatikannya. Karena aku sudah paham, tapi alasan utamanya bukan itu. Sedari tadi anak baru ini terus mengamatiku dan membuatku jengah.

"Layarnya di depan tidak di wajahku!" dengusku dengan geram.

"Siapa namamu?" tanyanya tanpa memedulikan sindiranku.

"Apa pedulimu?"

"Oke! Aku akan tetap panggil Ms. Brown Hair kalau begitu!" balasnya.

"Ash. Panggil saja Ash! Dan oh ... demi Tuhan, aku tak bisa fokus jika kau terus melihatku!" gerutuku.

"Ash? Itu tak terdengar seperti nama perempuan."

Cam menoleh ke belakang dan tersenyum manis pada Hans. "Aster Ackerley ... maksudku Aster Evans, itu namanya. Aku Camrynn."

"Kau temannya?" tanya Hans.

"Sahabat," ucap Cam.

"Kembali ke depan, Cam! Mrs. Walter melihatmu," gertakku.

Dia hanya terkekeh dan kembali menoleh ke depan.

"Aster nama yang bagus, kenapa kau tak mau di panggil itu?" tanya Hans.

"Aku suka Ash. Kau ada masalah? Dan berhentilah mengajakku mengobrol! Aku ingin mencatat!" balasku sengit.

"Oke. Meski aku yakin kau sudah paham materi ini," balasnya.

Aku tak membalas ucapannya dan pura-pura mencatat. Hingga tangannya mulai memainkan rambut yang jatuh di bahuku. Dan aku juga sama sekali tak mengerti dengan efek yang muncul karenanya. Perutku seperti di lilit dan aku merasa suhu di ruangan meningkat. Aku memejamkan mataku untuk menjernihkan pikiranku.

"Apa maumu?" desisku.

"Apa?" tanyanya dengan wajah sok polos.

"Berhenti menyentuhku!" ucapku penuh penekanan.

"Kau hanya bilang untuk berhenti mengajakmu ngobrol!"

"Hans!" desahku dan dia malah tersenyum geli.

"Asal kau mau makan siang denganku. Aku akan diam!" ucapnya.

Apa yang sebenarnya diinginkan laki-laki ini?

"Terserah saja!" balasku.

"Aku anggap itu sebagai ya," ucapnya.

Aku hanya menggelengkan kepalaku dengan jengah. Dan kuharap ini satu-satunya kelasku yang sama dengannya. Tapi aku punya firasat kalau aku bakal punya masalah dengan si Hans Austin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top