Sembilan Belas

Salah satu hal baik dari pesta ini adalah sampanye-nya yang manis. Aku sudah minum dua gelas dan menurutku aku harus sedikit memperlambat laju minumku atau aku akan kehilangan akal dan melakukan hal yang akan kusesali.

"Kau mau sampanye lagi? Gelasmu sudah kosong," Hans bertanya dan memperhatikan wajahku yang mungkin sedikit memerah. Aku menggeleng dan meletakkan gelasku ke meja konter.

"Apa kau berusaha membuatku mabuk?" Sekarang giliran aku yang mengamati wajahnya. Dan apa ini hanya perasaanku atau dia memang jadi lebih menggoda?

Bibirnya terlihat merah dan basah dan aku menginginkannya.

Oh Tuhan, apa yang kupikirkan?

"Aku berharap jika kau sedikit mabuk kau akan membiarkanku menciummu. Setidaknya sekali, aku benar-benar ingin melumat bibir merahmu itu," balasnya dan ia melepas cravat yang menutupi lehernya.

Oh Damn!

Lehernya, aku ingin mengubur wajahku di sana. Aku masih ingat aromanya, seperti aroma kayu yang terbakar dan mint yang memabukkan.

"Kenapa kau tidak memberi tahuku kau itu sebenarnya makhluk apa?" Aku berusaha mengalihkan perhatianku dan melihat ke mata kelabunya.

"Apa itu penting?" Dia balas bertanya dan terlihat enggan untuk membicarakan topik ini.

"Entahlah, aneh saja. Aku berkencan dengan sesuatu yang aku bahkan tidak tahu itu apa. Aku hanya tahu kau bukan manusia dan Elliot bilang kau memburu para Vampire dan dia juga bilang kalau kau mungkin ingin menculikku, apa itu benar?" tanyaku.

"Dia bilang, aku ingin menculikmu?" tanya Hans setengah geli. Aku menggangguk. "Ya, aku memang ingin menculikmu, mengurungmu di kamarku, dan bercinta denganmu hingga aku mungkin tak bisa berhenti."

Simpul di perutku makin mengencang merespons ucapannya dan aku merasakan udara di sekitarku makin panas.

"Itu menarik," jawabku sarkastis. "Lalu kenapa kau bisa beranggapan kalau aku itu mete-mu?"

"Kami kaum imortal dapat merasakan ikatan itu," ucapnya. "Rasanya seperti ada tarikan dan ketika kami sudah merasakannya kami tidak bisa melupakannya lagi. Aku tak bisa menggambarkannya, yang jelas aku merasa sangat nyaman berada di dekatmu, terasa damai dan benar. Terasa tepat."

Apa dia benar-benar merasa seperti itu? Apa semua ini benar-benar bukan hanya tentang seks?

"Benarkah?" aku bertanya lagi.

"Jawab jujur, apa kau tidak merasakannya sama sekali?" dia bertanya dan menatapku penuh harap.

"Aku tidak tahu. Aku ...." Aku membuang muka, tidak dapat melihat matanya lagi.

"Apa yang kau rasakan?"

"Aku menginginkanmu dan itu tidak masuk akal. Aku tidak bisa percaya pada pria, Hans. Aku tidak punya cinta."

"Kau memilikinya, kau hanya takut untuk percaya kalau kau memilikinya. Kau gadis yang kuat, Ash. Lebih kuat dari Dewa Dewi."

Aku tersenyum mendengar ucapannya,teringat ucapan ibuku. 'Kau cantik. Seperti Dewi. Dewi kecil ibu.'

"Tidak Hans, aku hanya manusia dan kurasa itu bukan masalah. Aku ingin mencoba percaya padamu," ucapku.

Apakah ini benar? Apakah percaya pada Hans itu tindakan yang benar?

Aku tidak tahu. Tapi kurasa, aku bisa mencobanya.

"Aku bersumpah tak akan mengecewakanmu," ucapnya. Matanya berkilau dengan cahaya redup.

"Itu bagus," gumamku. Dia menyentuh bibirku dengan ibu jarinya, mengusapnya perlahan. Aku menutup mataku, menikmati sensasi aneh ini. Aku tak pernah merasa senyaman ini semenjak ibu tiada. Terasa Aman.

"Ash!" Mataku tersentak terbuka dan aku menoleh ke arah suara itu.

"Apa Cam?" tanyaku.

"Bisa membantuku sebentar? Ada gadis gila yang menumpahkan sampanye ke gaunku, aku harus membersihkannya di kamar mandi," gerutu Cam sambil mengusap bagian gaunnya yang basah.

"Ayo!" ucapku, meraih pergelangan tangan Camrynn. "Aku pergi sebentar, Hans." Dia mengangguk.

"Gadis mana yang menumpahkan sampanye ke gaunmu? Biar aku balas mengguyurnya." ucapku jengkel sambil bersandar pada wastafel.

"Sudahlah, aku sudah membalasnya, dan Elliot juga sudah mencaci gadis itu."

"Lalu dimana dia sekarang? Elliot?"

"Entah. Dia terlihat aneh saat jariku terkena pecahan kaca dari gelas yang dipecahkan gadis gila itu. Dia menutup mulut dan hidungnya dan langsung pergi begitu saja," jawab Cam. Dia membasuh jarinya yang masih sedikit mengalirkan darah. "Mungkin dia takut dengan darah."

Dia meminumnya, Cam. Dia menyukainya bukan takut.

"Ya, mungkin. Kau sudah selesai? Ayo kembali," ajakku.

"Oke! Tadi kau dan Hans terlihat sangat dekat. Aku melihatnya menyentuh bibirmu dan aku tahu dia berjuang mati-matian untuk tidak menciummu," godanya sambil menaik turunkan alisnya.

"Apa gila jika aku ingin dia menciumku?" tanyaku.

"Gila. Tapi itu menyenangkan. Kau tahu? Elliot bahkan sangat jarang menyentuhku, dan tiap kali aku menyentuhnya dia terlihat ketakutan dan kulitnya terasa sangat dingin. Apa menurutmu dia sakit?"

Aku hanya dapat mengangkat bahuku. Dan sebelum kami melewati tikungan untuk kembali ke aula ada dua laki-laki dengan kostum Frankenstein dan Dracula menghadang kami.

"Minggir!" gertakku.

"Aster bukan?" tanya pria yang memakai kostum Dracula.

Aku mengangkat daguku menantangnya. "Ya, kau ada masalah?"

Detik berikutnya keberanianku menguap. Taring kedua pria itu memanjang dan bola mata mereka berubah merah. Aku membeku ketakutan dan Cam yang berdiri disampingku tercengang dan kupikir dia mungkin baru saja mengalami serangan jantung.

"Vampire!" teriak Cam. Si Vampire berkostum Frankenstein langsung menerjangnya hingga menghantam dinding dalam waktu sekedipan mata.

"Dia mate kaum kita, jangan menyentuhnya!" Vampire berkostum Dracula itu memperingatkan temannya lalu dia beralih melihatku. "Dan kau, siapa yang menyangka kalau dia akan mendapat mate seorang manusia?"

"Apa yang kau mau? Membunuhku? Bunuh saja! Aku tidak takut!" bentakku dengan gemetar dan dia menyeringai memamerkan taringnya.

"Ya, itu akan menghancurkannya. Tapi darahmu begitu manis, terlalu manis untuk disia-siakan. Bergabunglah dengan kami." Dia melangkah mendekatiku dan aku mundur.

Apa yang harus kulakukan?

Lari?

Dia akan menangkapku, bahkan sebelum genap sepuluh langkah.

Teriak?

Ya, teriak.

Tapi, bahkan sebelum aku mengambil napas untuk menjerit dia sudah mencekikku. Membenturkanku ke dinding dan matanya yang merah berkilat-kilat. Aku merasakan jarinya menekan tulang leherku hingga terasa sangat menyakitkan dan aku tak akan terkejut kalau tulangku patah. Paru-paruku mulai kehabisan napas dan dunia mulai terlihat kabur di sekitarku. Aku merasakan sesuatu yang dingin dan runcing menggesek kulit leherku, kemudian cekikan itu mengendur. Dia melepaskanku. Dia tidak menggigitku. Aku ambruk ke lantai dan melihat bayangan kabur empat orang yang saling bertarung. Gerakan mereka sangat cepat hampir seperti angin. Hanya seperti siluet-siluet yang bertabrakan lalu aku mendengar suara seperti tulang yang dipatahkan dan api berkobar melahap dua Vampire itu.

Aku mencoba duduk dan mengatur napasku yang masih terasa sesak.

"Apa kau terluka?"

"Hans?" gumamku.

"Ya Ash, ini aku. Aku ada di sini." Dia menangkup wajahku. Mata kelabunya dipenuhi rasa takut dan dia juga terlihat terengah.

"Hans?" gumamku lagi.

"Ya?"

Aku menarik kerahnya, membawa bibirnya ke bibirku. Aku menggerakkan bibirku perlahan. Meresapi semua sensasi dan kenikmatan ini. Bibirnya yang terasa hangat dan lembut. Dan saat ia mulai membalas ciumanku, aku membuka mulutku membiarkan lidahnya masuk menjelajahi tiap sudut mulutku. Aku dapat merasakan rasa manis sampanye yang tadi dia minum. Dan itu terasa jauh lebih manis.

Oh My! Ini menakjubkan. Luar biasa.

"Kau begitu manis," gumamnya di dalam mulutku. Aku tidak membalasnya. Aku ingin ini menjadi ciuman lambat dan intens. Aku ingin mengingat semuanya. Aku ingin menyimpan bagaimana rasa dan tekstur mulutnya. Aku tak ingin melupakan aroma kayu bakar dan mint yang membuatku mabuk. Aku tahu aku menginginkan Hans Austin.

Tanganku turun ke dadanya menelusup ke dalam kemejanya dan aku dapat merasakan otot yang terpahat sempurna membentuk tubuhnya. Demi Tuhan! Dia sempurna! Hans Austin sangat indah.

Aku menarik bibirku terpisah dan melihat matanya. Dia balas menatapku.

"Apa harusnya aku menghentikanmu?" dia bertanya tapi jarinya berada di rambutku, menahan kepalaku agar tetap sedekat mungkin dengan bibirnya.

"Aku tak ingin berhenti," gumamku. Dan bibirnya kembali menekan bibirku. Kali ini melumat dengan lebih keras dan menuntut. Kami saling mencecap, saling merasakan, dan kami saling membutuhkan. Ada rasa rindu dan frustasi dalam ciuman kami tapi ini terasa berbeda seakan ini benar-benar ciuman. Dan saat bibir kami akhirnya berpisah dia menarikku ke dalam rengkuhannya. Aku menguburkan wajahku di lehernya dan aku dapat merasakan dia menghirup napas dalam-dalam di rambutku.

"Aku tak akan pernah membiarkan siapa pun mukaimu," ucapnya pelan.

"Aku tahu."

"Tidak bermaksud mengganggu acara ciuman kalian. Tapi aku perlu bantuanmu, Hans. Bisa bantu aku menghapus ingatan Camrynn?" ucap Elliot jengah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top