Sebelas
A/N:
Maaf lama gak update dan chapter ini pendek.
Happy reading!!!
Saat aku keluar dari kelas Sejarah, dia sudah berdiri di depan kelasku. Tepat di depan pintu dan membuat semua gadis menatapnya. Aku berjalan keluar. Mengabaikannya dan berusaha menghindarinya tapi ia segera menyusul langkahku.
"Bukankah kita punya janji?" ucap Hans di belakangku.
"Aku tidak menjanjikan apapun!" balasku. Dia masih berjalan di belakangku.
"Aku tidak tahu kalau kau ternyata orang yang suka melanggar janji," sindirnya. Aku berhenti berjalan dan berbalik untuk memelototinya.
"Aku bukan orang seperti itu!"
"Benarkah?" Dia menaikan alisnya dan maju hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti, membuat napasku tercekat.
Bibir itu, Damn!
Kenapa aku bereaksi seperti ini saat dekat dengan pria ini?
"Apa maumu?" ucapku akhirnya setelah kembali menguasai diriku.
Dia menyeringai dan gelayar aneh merambati perutku. Seperti sensasi tersengat aliran listrik berdaya rendah dan jantungku berpacu lebih cepat. Mataku tak dapat lepas dari bibirnya.
"Kau!" ucapnya dengan suara serak. Mataku sedikit melebar. "Maksudku makan bersamamu!"
"Aku makan dengan Cam," balasku dan lanjut berjalan. Dia masih mengikutiku.
"Kenapa kau keluar dari Cafe itu?" tanyanya. Sekarang ia berjalan di sampingku.
"Bukan urusanmu!" jawabku ketus.
"Kenapa kau selalu memberi jawaban seperti itu?" ucapnya. "Bukan urusanmu. Apa pedulimu. Terserah."
"Kurasa itu juga bukan urusanmu!" jawabku. Aku berhenti di depan kelas Trigono. Menuggu Cam keluar.
"Apa kau selalu dingin seperti ini? Padahal saat ciuman itu kau sangat panas," ucapnya.
Aku memutar kepalaku untuk melihatnya dan tertawa. "Jadi apa karena itu?"
"Apa?" tanyanya bingung.
"Kau ingin seks dariku," ucapku. Matanya menggelap dan senyum yang tadi terpasang lenyap. Dia melihatku dengan tak percaya. "Lupakan jika itu yang kau harapkan!"
"Aku tidak ...," dia mendesah. "Oke, ya memang aku menginginkanmu. Tapi tidak seperti itu!"
"Tidak seperti itu? Jadi seperti apa? Kau ingin aku jadi semacam submissive-mu?" balasku. Dan aku puas karena sekarang wajahnya benar-benar terlihat murka.
Kena kau!
"Submissive?" ulangnya dengan tak percaya. "Jika aku bilang kau mateku apa kau percaya?"
Aku tak dapat menahan diriku. Aku tertawa tergelak hingga membuat beberapa orang melihatku.
Oke, mungkin orang ini gila!
Hans hanya melihatku dengan geram dan sepertinya sangat ingin menghabisiku, entah dalam artian apa? Di ranjang atau secara harfiah membunuhku? aku tak tahu.
Aku berhenti tertawa. "Mate? Belahan jiwa? Kau pasti bercanda!"
"Sudah kuduga tanggapanmu akan seperti ini," ucapnya tanpa ekspresi.
"Maaf jika tanggapanku mengecewakanmu, tapi apa yang baru saja kau katakan itu sungguh konyol!" balasku.
Aku segera menghampiri Cam saat dia keluar dari kelas. Wajahnya berbinar dan sepertinya dia baru saja mengalami hal yang menyenangkan. Pipinya sedikit bersemu merah dan dia tak dapat menyembunyikan senyum dari wajahnya.
"Maaf membuatmu menunggu, Ash!" ucapnya dengan ceria. Kemudian ia melihat Hans. "Apa yang dia lakukan di sini?"
Aku mengedikkan bahu tak acuh. "Ayo! Aku sudah lapar."
Dengan cepat Hans meraih bahu Cam dan membuatnya menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu dan pandangan Cam berubah menjadi tidak fokus.
"Bukankah kau harus ke perpustakaan?" tanya Hans.
Cam kemudian berkedip singkat dan melihatku. "Benar, aku harus ke perpustakaan. Kau bisa ke cafetaria sendirikan, Ash?"
Aku menaikan alisku bingung tapi Cam sudah keburu melesat pergi. Aku melihat Hans dengan tatapan tercengang lalu menggeleng tak percaya. "Barusan itu apa?"
"Aku tak mengerti," jawabnya pura-pura bingung dan tanpa seijinku tangannya sudah menarik pergelangan tanganku.
"Apa itu semacam hipnotis?" tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum penuh misteri dan menarikku ke cafetaria.
Kami tiba saat cafetaria sudah penuh sesak oleh banyak orang. Aku mengantre, membawa nampanku mengisinya dengan apel, sandwich, dan sekaleng diet coke seperti biasa. Hans berada di belakangku menggerutu tentang apa yang kumakan dan dengan lancangnya menambahkan beberapa jenis makanan sepeti ayam dan daging ke nampanku.
"Apa yang kau lakukan?" gerutuku dan menahan tangannya yang akan menambahkan sosis ke dalam nampanku.
"Kau perlu makan! Lihat tubuhmu, sangat kurus." Dia menepis tanganku dan menjatuhkan sosis ke atas nampanku. Menarikku sebelum aku sempat mengembalikan sosis itu dan membayar makananku.
Aku duduk di depannya masih tak menyentuh makananku. Mataku terus memelototinya yang sedang menggigit paha ayam.
"Makan!" perintahnya. Aku masih bergeming. "Makan, Ash!"
Aku mendesah meraih apelku dan menggigitnya tanpa melepaskan pandanganku dari wajah Hans, hingga ia mendongak dan menaikan alis.
"Apa?" tanyanya.
"Tidak ada!" jawabku ketus. Menggigit apelku lagi.
"Oke, kita mulai dari yang sederhana. Apa yang membuatmu begitu benci padaku?" Dia meletakkan sisa paha ayamnya dan meminum orange juicenya.
"Apa aku terlihat seperti itu?" balasku datar.
"Jangan membuatku kesal!" gertaknya. Mata kelabunya terlihat berkilat lebih terang.
"Aku benci pria secara umum!" balasku tak memutuskan kontak mata darinya. "Terlebih pria sepertimu!"
"Well! Kenapa?" tanyanya, nadanya terdengar memerintah, tegas, dan mendominasi.
"Kau bersikap bossy dan ... intinya aku tidak suka ada pria di sekitarku!"
"Apa ini ada kaitannya dengan insiden ayahmu?" Mataku langsung terbelalak dan aku benar-benar marah.
"Ya! Karena itu menjauhlah!" Aku menggebrak meja. Berdiri dengan kasar dan meninggalkannya.
Apa aku pantas mendapatkan ini?
Di hari pertamaku masuk dan aku harus mendengar orang mengungkit tentang hal itu?
Mataku memanas.
Shit! Jangan pernah menangis lagi Ash!
Aku menyeka mataku dengan kasar dan berbalik. Hans sudah berdiri di belakangku.
"Apa?" bentakku. Aku baru akan berjalan melewatinya dan dia sudah meraih pundakku.
"Maafkan aku! Aku sungguh brengsek tadi!" Tangannya beralih menangkup pipiku membuatku mendongak menatap mata kelabunya.
"Pergi! Menjauh dariku!" Aku menepis tangannya. Menabrakan bahuku ke bahunya dengan kasar saat melewatinya. Dan sangat kesal karena dia tak terjengkang.
***
Untungnya sisa hari itu aku tak ada kelas yang sama lagi dengan Hans. Aku menuju parkiran, menunggu Camrynn di dekat mobilnya dan sedikit terkejut saat melihatnya berjalan dengan seorang pria. Kulit pria itu terlihat putih pucat dengan rambut hitam, kontras dengan warna kulitnya. Matanya coklat sedikit merah dan seperti berpender, bibirnya terlihat terlalu sempurna dengan warna merah yang menggairahkan. Cam terlihat berbicara dengannya lalu ia melambai dan berlari ke arahku dengan senyum yang melebar.
"Apa aku membuatmu menunggu lagi?" tegurnya saat sudah berada di dekatku.
"Tidak. Siapa dia?" aku bertanya. Senyum Cam semakin cerah.
"Elliot. Anak baru yang satunya," ucap Cam. Tingkahnya hampir seperti anak kecil yang baru saja mendapat manisan.
"Biar kutebak! Kau naksir dia?"
"Siapa yang tidak naksir cowok setampan dia? Dan dia baik," balas Cam masuk ke dalam mobil. Aku mengikutinya.
"Jangan gegabah!"
"Tidak. Tidak akan! Jangan khawatir!" ucapnya. "Lalu bagaimana dengan Hans?"
Aku mendengus dengan kasar. "He is a bastard boy!"
"Benarkah? Dia terlihat manis saat di kelas Biologi tadi pagi."
"Jangan membicarakannya! Aku jadi ingin mencarinya dan meninju hidungnya." Cam tersenyum miris melihat tingkahku.
"Separah apa?"
"Dia mengungkit insiden aku dengan ayahku ... oh, ayolah! Aku benar-benar tak ingin membicarakan ini!" gerutuku
"Dia keterlaluan! Biar aku yang menghajarnya untukmu!" Aku tersenyum kecil mendengar ucapannya.
Membayangkan Cam meninju tubuh besar Hans entah mengapa membuatku geli.
"Aku akan senang melihatnya!" balasku.
Cam berhenti di depan rumah Mrs. Evans dan aku sedikit mengerutkan dahi saat melihat Porsche hitam mengkilat terparkir di depan pintu gerbang.
"Apa Mrs. Evans mengoleksi mobil sport?" tanya Cam. Dia sama herannya denganku.
"Setahuku dia hanya punya Lexus yang dipakainya tiap hari," jawabku.
Aku membuka pintu dan keluar dari BMW Camrynn. Dan orang di dalam Porsche itu juga keluar. Darah langsung mendidih di nadiku saat aku melihatnya. Dia menghampiriku dengan langkah lebar dan aku memberinya tatapan membunuh yang makin tajam tiap detiknya.
"Ash ...." Aku mengangkat tanganku. Mengintrupsi ucapannya.
"Sudah kubilang pergi dariku!" Aku menggeram seperti banteng liar tapi dia tak terpengaruh.
"Dengarkan aku!" Dia mencoba menyentuh bahuku. Aku mundur menjauh darinya, tatapanku sama sekali tak melembut. Wajahnya tertunduk dan dia benar-benar terlihat frustasi. "Maafkan aku! Jangan marah lagi!"
Aku tersenyum sinis. "Aku tidak marah." Dia mengangkat pandangannya, setengah tak percaya. "Aku membencimu!"
Mata kelabunya kembali berkilat dan dalam satu sentakan kasar dia menarikku dalam pelukannya. Mengurungku dengan dua lengan kokohnya. Aku memberontak sekuat tenaga, berusaha mendorong dadanya menjauh dan berusaha mengendalikan keinginan tubuhku yang ingin membalas pelukannya.
"Lepaskan dia!" pekik Cam. Dia ikut keluar dari dalam mobil.
Lengannya sedikit mengendur dan aku mendorongnya menjauh. Mengambil langkah mundur untuk membuat jarak darinya. Dia masih menatapku dengan intensitas yang menenggelamkanku ke dalam mata kelabunya.
"Jangan membenciku, kumohon!" Nadanya terdengar sangat menderita seakan aku baru saja menancapkan belati ke jantungnya. Dia mengambil langkah maju dan aku melangkah mundur lagi.
"Dia bilang pergi! Jadi pergilah!" hardik Cam.
Dia memutus kontak mata dariku dan menoleh ke arah Cam. Dan saat suaranya keluar, itu terdengar dingin dan keras. Begitu mengancam. "Jangan ikut campur!"
Cam sedikit meringis mendengarnya. Tapi ia tidak gentar. "Aku akan ikut campur jika itu ada kaitannya dengan Ash!"
"Diam!" bentaknya pada Cam. Membuat suhu di sekitarku menurun.
"Jangan membentak Cam!" teriakku marah. "Dan aku mau kau pergi. Sekarang!"
Wajahnya kembali terlihat terluka. "Biarkan aku bicara, kumohon!"
Cam hendak membentaknya lagi tapi aku mencegahnya. "Pulanglah Cam!"
Dia menetapku sesaat dengan wajah tak percayanya. "Kau yakin? Kau akan baik-baik saja?"
"Kau pikir aku akan melukainya?" sahut Hans yang tiba-tiba terlihat tersinggung.
"Jujur saja, memang terlihat seperti itu!" Cam menjawab dengan dingin. Hans menggertakkan giginya.
"Cukup!" teriakku. "Aku yakin akan baik-baik saja. Pulanglah! Aku akan menelephonmu setelah semua selesai."
Cam mengangguk dengan enggan. Masuk ke mobilnya lalu pergi. Kini tinggal hanya ada aku dan Hans. Dan pria itu masih berdiri dalam diam hanya menatapku dengan gamang.
Aku menarik napas lelah dan mulai bicara, "Kau ingin bicara di sini atau di dalam? Dan cepatlah!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top