Satu

Gelap. Itu yang kulihat saat aku membuka mata. Suatu keadaan yang membuatku merasa tenang.

Entah sejak kapan aku mencintai kegelapan? Aku sendiri tidak tahu. Mungkin itu berkaitan dengan apa yang kulihat, aku selalu melihat hal-hal yang buruk jadi aku memilih kegelapan agar tak melihat hal-hal buruk itu.

Lagi-lagi aku terbangun karena mimpi buruk. Ini sudah terlalu sering terjadi bahkan hampir setiap malam. Gambaran ayahku yang mulai memukuli ibuku dalam mimpi mulai berkelebatan di depan mataku. Membuatku semakin muak dengan hidup ini.

Dengan malas aku turun dari ranjangku dan berjalan keluar menuju dapur untuk mengambil minum.

Meja dapur dipenuhi botol-botol kosong Bir Jack Daniel's sisa pesta minuman keras ayah dan teman-temannya tadi malam. Hidungku langsung mengernyit begitu aroma menyegat alkohol menyeruak masuk ke dalam indra penciuamanku.

Aku menguntip botol-botol itu dan kumasukkan ke dalam kantung plastik sampah yang ada di sudut dapur. Lalu membuka lemari es dan menenggak air dingin langsung dari botolnya.

Tenggorokanku terasa dingin saat air itu mengalir melaluinya dan menyebar keseluruh tubuhku membuat otakku dapat berpikir lebih jernih. Semalam ayah memukul ibu lagi. Bahkan jeritan ibu sampai terdengar dari kamarku. Ini sudah di luar batas.

Aku sudah meminta ibu untuk pergi bersamaku. Kemana pun asal menjauh dari pria brengsek yang katanya ayahku itu. Tapi ibu selalu menolak dan terus mengatakan suatu saat ayah akan sadar dan berubah.

Kata-kata konyol menurutku.

Ayah tak akan berubah, sampai kapan pun dia akan tetap menjadi seorang pria brengsek.

Dulu aku memang sempat percaya kata-kata itu, tapi setelah bertahun-tahun menjalani hidup. Aku sadar kalau itu hanya sebuah angan-angan yang kosong.

Langkah kaki terdengar dari koridor di luar dapur, diikuti pekikan bernada jengkel yang membuatku lebih jengkel dari orang yang memekik itu.

Ini juga terjadi hampir setiap waktu.

"Indy!" Kemudian terdengar langkah kaki lain yang terdengar lebih terburu-buru. "Apa kau tuli?" teriak suara ayahku.

Aku langsung berjalan keluar dari dapur dengan langkah yang menghentak. Meraih kerah kemeja ayahku dan mendorongnya menjauh dari ibu.

Ayahku adalah seorang pria bertubuh tambun dengan perut sedikit buncit dan rambut hitam lepek. Mata kecil yang selalu mendelik serta kumis yang lumayan tebal yang menutupi sebagian bibirnya.

"Damn! Berhentilah membentak ibuku!" teriakku. Lagi-lagi hidungku mengernyit saat mencium bau alkohol dari tubuh ayahku.

Ibu langsung menarikku mundur dan menggeleng, memperingatkanku untuk tidak berbuat lebih jauh.

Aku menarik rambutku dengan kasar. Lalu melepaskan lenganku yang di tahan oleh ibuku. Dan melangkah pergi dari sana. Saat aku melewati ayahku. Aku menyarangkan satu pukulan di rahangnya. Menyalurkan rasa muakku terhadap semua hal yang terjadi di rumah ini.

Aku mendengar ayahku mengumpat dan sekali lagi membentak ibuku diikuti suara tamparan. Jelas itu karena aku.

Dengan langkah cepat aku menaiki tangga menuju kamarku. Membanting pintuku tertutup dan mulai menangis dan berteriak.

***

Suara ketukan di pintu kamarku membuatku menghentikan tangisanku. Aku tak ingin ibu melihatku menangis itu membuatnya berpikir aku terlalu lemah. Dan mendorongnya untuk melakukan apapun untuk melindungiku.

Aku menghapus jejak air mataku dengan kasar lalu melangkah membukakan pintu.

"Kau baik-baik saja?" tanya ibuku dengan suara lembutnya.

Aku mendongakkan kepalaku yang sedari tadi menatap ujung kakiku menghadap wajah ibuku.

Wajah cantik ibuku yang dibingkai rambut coklat bergelombang terlihat lelah. Kerutan-kerutan halus mulai terbentuk di sudut matanya dan pipi kirinya memerah membentuk telapak tangan bekas tamparan tadi.

Aku mengulurkan tanganku, menyentuh lembut pipi ibuku. Membuatnya sedikit mengerang menahan nyeri. "Aku tahu itu sakit."

Ibu tersenyum. "Lebih menyakitkan jika melihat putri ibu menangis."

Aku tertawa hambar. "Ibu mengkhawatirkanku? Padahal yang setiap hari babak belur itu ibu."

Aku sungguh tak mengerti jalan pikiran ibuku. Tentu saja aku tak mengerti, kalau aku mengerti aku pasti sudah tahu apa alasan sebenarnya ibuku menikahi pria brengsek seperti ayah. Ibuku seorang wanita yang cantik. Aku yakin jika dia mengerling sekali saja pada pria, pria itu akan bertekuk lutut padanya.

Ibu masuk ke dalam kamarku dan menarikku untuk ikut duduk di tepi ranjang. "Jika itu melukaimu jangan diingat!"

"Bagaimana aku bisa tidak mengingatnya kalau itu terjadi setiap hari?" balasku gusar.

Aku tahu seharusnya aku tidak menyalurkan amarahku pada ibuku tapi dalam hal ini ibu juga bersalah karena membiarkan ayah berbuat seenaknya. Bukankah seharusnya ibuku marah?

"Dia sedang tidak sadar," ucap ibu.

"Yach, dia memang tidak pernah sadarkan? Katakan kapan terakhir kali darahnya tidak dialiri alkohol? Atau kapan otaknya benar-benar bersih dari kokain?" teriakku sambil bangkit berdiri memunggungi ibuku.

Aku mendengarnya menghela napas untuk menenangkan diri. "Dia butuh kita untuk keluar dari semua itu."

Aku langsung berbalik. "Pria itu tidak akan berubah!" Aku menghela napas mencoba mengatur amarahku agar tidak berteriak pada ibuku. "Pria brengsek itu, hanya akan terus memanfaatkan ibu untuk mendapatkan uang. Mendapatkan alkohol. Dan mendapatkan kokain. Seharusnya ibu dan aku pergi. Pergi yang jauh agar tak pernah melihatnya lagi."

Ibu ikut berdiri dan mengusap rambutku membuatku menutup mata menikmati sentuhannya. Satu-satunya sentuhan di dunia ini yang dapat membuatku nyaman. "Dia ayahmu, Aster. Apapun yang terjadi dia tetap ayahmu."

Mataku langsung terbuka. "Dia monster. Aku tidak punya ayah. Dan berhentilah memanggilku Aster, Bu!"

Yah, namaku Aster Ackerley. Putri tunggal dari Patrick Ackerley dan Indy Ackerley. Gadis paling tidak beruntung di dunia ini. Aku membenci namaku. Nama dari sebuah bunga yang melambangkan cinta. Itu merupakan ironi terbesar dalam hidupku karena aku sama sekali tidak percaya dengan cinta. Dan tidak memilikinya. Ku pertegas sekali lagi, TIDAK MEMILIKINYA.

"Aster, jangan bicara seperti itu!" ibuku menurunkan tangannya dan beralih menggenggam kedua tanganku.

"Bu, aku benci nama itu. Pria itu. Situasi itu bahkan aku benci hidup ini. Aku benci semuanya!" teriakku tak terkendali membuat ibuku sedikit berjengit. "Ayo pergi, bu! Aku bisa gila jika terus seperti ini." ucapku dangan nada memohon.

Tapi sebelum ibu sempat menjawab ucapanku, ayahku kembali berteriak, "Indy!"

Aku memutar bola mataku jengah sementara ibu langsung melepas genggamannya dan berjalan dengan langkah cepat keluar dari kamarku. Untuk menemui ayahku atau mungkin untuk dipukul lagi? Siapa yang tahu?

Aku membanting pintu kamarku dengan keras hingga terdengar suara debuman yang kuharap dapat terdengar hingga lantai bawah.

Kemudian aku mengurung diriku dalam kamar mandi. Mengguyur tubuhku yang masih berbalut kaos dan celana piama dengan air dingin. Membiarkan setiap jengkal tubuhku merasakan gigitan rasa dingin hingga amarahku dapat teredam.

***

Aku sudah bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku hanya mengenakan kemeja flanel berwarna abu-abu dan celana Cargo yang sudah lusuh serta sepatu Converse berwarna abu-abu. Bukannya aku tidak suka tampil memukau hanya saja aku lebih suka tidak terlihat atau tidak menarik perhatian. Aku berjalan keluar menuju ruang makan sekaligus dapur. Ibuku ada di sana mengoleskan selai pada roti-roti tawar untuk ayahku atau aku harus menyebutnya pria brengsek?

Aku mengambil satu lembar roti yang langsung kukunyah hingga habis dan menenggak segelas susu tanpa repot-repot duduk. Aku tidak sudi duduk satu meja dengan pria itu. Bisa-bisa aku malah muntah bukannya makan.

"Aku berangkat!" ucapku. Mengecup ringan pipi ibuku dan membuatnya tersenyum kecil. Sementara ayah hanya menatapku dengan jengkel dan aku balas memelototinya. Rasanya aku ingin membuat hidung itu mengalirkan darah.

Saat aku sampai di pintu depan aku mendengar gerutuan ayahku. "Lihat tingkah purimu itu! Benar-benar tak bisa menghargai ayahnya sendiri."

"Cobalah untuk bersikap lebih baik di depanya!" balas ibuku.

"Itu karena kau tak bisa mendidiknya. Seharusnya kau membiarkanku memukulnya satu atau dua kali"

Rasanya darahku mulai mendidih tapi aku berusaha mengabaikannya dan memaksa tanganku untuk menutup pintu dan berhenti mendengarkan ocehan ayahku yang sungguh memuakkan.

Di depan rumahku sudah terparkir mobil BMW M3 berwarna putih milik Camrynn. Dia duduk di bangku pengemudi dan menoleh ke arah rumahku. Satu bulan yang lalu dia baru mendapat surat izin mengemudinya. Dan sepertinya ayahnya langsung membelikan mobil ini sebagai. Yah. Hadiah mungkin?

Aku membuka pintu penumpang bagian depan dan langsung duduk tanpa mengucapkan apapun. Camrynn adalah satu-saunya sahabatku. Orang yang kusayangi selain ibu.

"Biar kutebak! Ayahmu membuat masalah lagi?" ucap Camrynn dengan nada bosan. Matanya terus mengawasi muka murungku. Meski sebenarnya mukaku memang selalu murung.

Aku mumutar bola mataku. "Seperti biasa, Cam."

"Ceritakanlah, Ash! Kau tak bisa menyimpan semua itu sendirian." Ia menepuk pundakku untuk menenangkanku.

Aku menghela napas. Percuma jika menentang keinginan Camrynn, karena ia tak akan diam sebelum aku mengatakan apa yang ingin dia tahu. Dan itu akan jadi sangat menjengkelkan. Percayalah!

"Semalam pesta minuman keras lagi. Ibuku dipukuli lagi. Semalam aku mimpi buruk lagi. Tadi pagi ibuku di tampar dan baru saja setelah aku keluar, ayahku menggerutu tentang prilakuku seakan dia orang suci," ucapku dalam satu tarikan napas.

"Yang benar saja?" ucap Camrynn dengan muka jijik. Aku mengangguk.

Ini yang kusuka dari Camrynn, dia selalu bisa berekspresi sesuai dengan yang kuharapkan.

"Rasanya aku benar-benar ingin mati saja. Ibuku masih saja membela ayahku, aku benar-benar tak habis pikir!" gerutuku. Camrynn menghidupkan mesinnya.

"Itu namanya cinta," balasnya.

Nah, ini yang tidak kusuka dari Camrynn. Dia adalah seorang gadis yang terlalu polos atau tolol? Hidupnya terlalu penuh dengan kebahagiaan sampai-sampai dia percaya dengan cinta. Aku khawatir kalau suatu saat nanti ia benar-benar punya pacar dan pacarnya mengkhianatinya dia akan terlalu terluka.

"Cinta sama dengan bodoh!" gerutuku. Jemariku menyisir rambut coklat bergelombangku ke belakang.

"Ayolah! Kau selalu saja seperti itu." Dia minginjak pedal gas dan membuat mobilnya melaju di jalanan Kota Vegas menuju Blessings High School.

"Kenyataanya memang begitu!" balasku.

"Kau harus baca novel yang kubaca saat ini. Itu mungkin akan merubah perspektifmu terhadap cinta," gumamnya dengan bersemangat.

Aku hanya bisa menggeleng jengah. Ucapannya tadi itu kode agar aku bertanya tentang novel yang dia baca dan ia akan mulai mencerocos menceritakan hingga detail-detail yang ada dalam novel itu.

"Aku tidak ingin merubah prespektifku! Oke?"

"Kau akan merubahnya. Suatu saat nanti ketika kau bertemu pangeran berkuda putihmu kau akan percaya cinta," ucapnya sambil menyeringai dan aku malah bergidik ngeri sendiri.

"Itu tak aka pernah terjadi!" balasku dengan penekanan di setiap kata.

Seharusnya aku tidak berdebat tentang cinta dengan Camrynn. Karena ujung-ujungnya dia akan terus menekanku agar aku percaya dengan kata itu. Dan itu adalah saat bersama Camrynn yang paling menjengkelkan.

"Lihat saja nanti!"

A/N:

Aku mau minta tolong buat para readers.

Gak sulit kok!

Tolong nanti kasih tau aku seharusnya ini masuk genre romance atau fantasi. Karena nantikan ada makhluk fantasinya meski ceritanya itu berpusat pada kehidupan cinta Aster.

Udah itu aja

Makasih

Keep Reading!

- Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top