Lima Belas

Hampir genap dua bulan sejak aku tahu tentang makhluk imortal yang berkeliaran di sekitar kami. Dan sejak itu pula hidupku yang kuharapkan akan tenang berubah menjadi kacau seperti ledakan kembang api. Hans serius dengan ucapannya, dia terus membuntutiku seperti penguntit. Dan Elliot semakin dekat dengan Cam. Dia memegang janjinya, dia tak menggigit Cam dan itu artinya aku juga memegang janjiku untuk tak memberi tahu Cam.

Tapi makin lama aku makin sesak, aku butuh seseorang untuk kuajak bicara tentang kegilaan ini atau suatu saat nanti aku akan meledak. Terutama tentang Hans. Aku masih tak tahu dia itu apa, dan usahanya untuk memintaku memberinya kesempatan sudah sampai ke titik memuakkan pagi ini.

Jika ada orang yang cukup gila untuk membawa sebuah spanduk sepanjang satu meter dengan tulisan "BERI AKU KESEMPATAN ASH! AKU MENNCINTAIMU! AKU AKAN MATI TANPAMU!" dengan ornamen hati berwarna merah terang di sudut-sudutnya dan memampangnya di depan kelas yang penuh dengan siswa makan orang gila itu adalah Hans.

"Ash aku mohon! Beri aku kesempatan!" teriaknya sambil membawa-bawa spanduk seperti orang idiot, saat aku memasuki kelas.

Aku berharap saat itu juga akan muncul lubang menganga di bawah kakiku, menelanku, agar aku dapat bersembunyi dari tatapan semua orang.

"Hell! Apa yang kau lakukan?" aku menggeram dan menariknya meninggalkan ruang kelas. "Damn! Apa kau gila?"

Dia mengamatiku dengan sedikit senyum geli yang membuatku makin marah. "Aku sedang berusaha membujukmu, ingat?"

"Jika hal ini terjadi lagi, aku akan mematahkan lehermu!"

Dia memberiku tatapan menantang seolah mengatakan 'Cobalah! Aku sangat ingin melihatnya.'

"Jika kau bilang 'Ya' kupastikan ini tak akan terjadi lagi," ucapnya. Ia menjatuhkan spanduk sialan itu dan memegang kedua bahuku.

"Satu bulan! Kita akan mencoba, tapi jika aku tetap bilang tidak setelahnya. Kau harus menghentikan tingkah terkutukmu ini!" aku menyingkirkan tangannya dari bahuku dan mendongak untuk bertemu dengan mata kelabunya. Dan sialnya aku juga melihat bibirnya.

Oh Damn! Bibirnya adalah sesuatu yang terlarang, terlalu indah untuk bisa dimiliki dan aku tak dapat memungkiri kalau aku menginginkannya. Menginginkannya dengan cara yang akan kusesali setelahnya.

"Dua bulan, Ash! Itu yang kuminta." ucapnya membawaku kembali.

"Satu. Ambil atau tidak sama sekali!" balasku. Perlu konsentrasi keras untuk tidak melihat bibirnya lagi.

"Baiklah kau menang!" dia mengangkat tangannya kemudian menyisirkannya ke rambut hitamnya sambil menjilat bibir sexynya. Aku tidak tahu dia sengaja melakukan itu atau itu hanya gerakan kebetulan yang terlalu panas.

Fokus Ash!

Kau tidak boleh jatuh dalam tipuan manisnya!

"Aku mau peraturannya jelas!" Aku menarik kembali pikiranku yang kacau karena gerak sialannya.

"Kita akan menjalin hubungan. Itu sudah lebih dari jelas," debatnya. Kembali menjilat bibirnya.

Dan aku sudah mulai menggigit bibirku dengan keras tanpa sadar. "Aku tak mau ada kontak fisik berlebihan, ikut campur urusan pribadi, dan beberapa hal lain. Aku tidak mau ada pelanggaran privasi di sini!"

Bel tenda pelajaran jam pertama bernunyi.

"Kita bicarakan itu saat makan siang, sekarang ayo masuk!" dia meraih tanganku dan menarikku kembali ke kelas. "Dan berhentilah menggigit bibirmu jika kau tak mau aku ikut menggigitnya!"

Tubuhku langsung merespons komentar itu dengan cara yang mencengangkan, hingga aku sendiri terkejut. Perutku seperti terkepal dan aku merasakan panas di antara kakiku.

Sialan Ash!

Kau tak bisa membiarkan dia mempengaruhimu sebanyak itu!

Kendali! Fokus! Dan tetap pada jalanmu!

Aku melihatnya tersenyum miring melirikku, dan ekspresi wajahnya? Gembira kurasa tak cukup untuk menggambarkannya, itu lebih dari gembira. Seperti campuran rasa puas, syukur, dan bangga digabung jadi satu hingga membuat matanya tapak berbinar.

***

Ini mengingatkanku pada hari pertama kami masuk. Aku duduk berseberangan dengannya saat makan siang, dia memakan makanannya dan aku hanya diam mengamati hingga ia mulai bicara.

"Aku tak punya larangan atau permintaan apapun, kecuali satu."

Aku menaikan alisku dengan gerakan yang kuharap terlihat mengesankan. "Dan apa itu?"

"Semua hal yang berhubungan dengan imortal, aku ingin kau tak masuk kedalamnya, tidak selama aku masih belum siap mengatakannya padamu!" Dia meletakkan garpunya.

"Kenapa? Jika kita punya hubungan, aku berhak tau. Setidaknya tau kau itu apa!" Aku melihat ototnya menegang dalam kegelisahan, tapi sejauh ini tak ada ledakan amarah atau semacamnya.

"Aku akan memberi tahumu, hanya beri aku waktu!" Dia menarik tanganku. Meremasnya, memohon.

"Oke!" jawabku.

Aku tidak perlu memaksanya. Aku tidak benar-benar menganggap ini sebagai awal suatu hubungan. Ini hanya cara untuk lepas darinya. Aku sudah punya jawabanku, pada akhirnya semua ini akan tetap menuju ke satu kata tidak. Aku terlalu terluka untuk bisa percaya pada pria. Terlalu rapuh untuk berani berharap akan ada pria yang baik dalam hidupku. Aku selalu mencari jalan aman, membangun tembok kokoh di sekeliling hatiku dan menguncinya hingga tak ada yang meraihnya.

"Bagaimana denganmu?" Dia membuat gerakan melingkar dengan ibu jarinya di punggung tanganku. Gerakan ringan tapi memberikan sensasi nyeri ke tubuhku. Gerakan lambat yang teratur dipadukan dengan tatapan mata kelabunya yang sekarang menatapku dengan intens, membangun gejolak yang membara di dalam tubuhku.

"Aku punya lebih dari satu," desahan pelan lolos dari mulutku, "Pertama aku tak mau ada seks!"

Ibu jarinya menekan dengan lebih kuat di kulitku dan gerakannya makin lambat, menggodaku. "Aku bisa mengerti. Tapi jika aku lepas kendali, tolong jangan langsung meninggalkanku. Ingatkan aku! aku bukan orang dengan kontrol diri yang penuh."

Suaranya terdengar serius dan rendah. Bergemuruh dengan cara yang aneh, yang bisa membuatku merasa tenang yang seharusnya mustahil. Mustahil bagiku untuk bisa merasa tenang di dekat pria.

"Baik. Aku juga tak mau setuhan fisik berlebihan, terutama tanpa izin dariku." Aku menarik napas dan menutup mata, melihat sekelebat ingatan ayahku saat menyentuh tubuhku malam itu, dan aku menggigil. "Itu mengingatkanku pada malam di mana ayahku ...."

Dia menyentuhkan jari telunjuknya ke bibirku. Mencegahku melanjutkan ucapanku. "Jangan katakan! Aku tak akan bisa menahannya!"

Aku mengangguk singkat. Tapi sengatan rasa panas di mataku tetap menghampiriku. Selalu tiap kali aku mengingatnya aku akan hancur, kembali terkoyak.

"Aku mau privasiku tetap aman. Jika aku bilang aku butuh waktu sendiri, kau akan mengerti dan memberiku ruang. Aku tak ingin kau mengikatku!" Aku berhasil mengendalikan suaraku agar tidak pecah menjadi isak tangis. Dan itu adalah suatu mukjizat. Karena rasanya semua pembicaraan tentang memulai hubungan dengan pria, telah menguras seluruh tenagaku hingga ke titik terendah.

"Tapi aku punya hak sebagai kekasih, benar bukan?" tanyanya.

"Ya. Tapi selalu ada batasan! Aku tak bisa serta merta membiarkanmu masuk dalam kehidupanku." Aku menarik tanganku dari genggamannya, dan ia melepaskannya dengan sukarela. Mungkin ia ingin membuktikan kalau ia bisa mengerti.

"Baiklah, sesuai keinginanmu." jawabnya. "Mulai sekarang aku akan mengantar dan menjemputmu. Oke?"

"Aku selalu berangkat dan pulang dengan Cam."

"Biarkan aku melakukannya! Kau sendiri yang memutuskan untuk memberiku kesempatan. Jadi biarkan aku membuktikan!"

Dia membelai lembut pipiku. Hanya usapan singkat yang ringan dan berakhir di bibir bawahku. Mengirimkan gelora gairah hingga aku lupa di mana saat ini aku berada. Dan seperti gerak refleks yang tak bisa kuhentikan aku mengangguk dan meraih tangannya lalu menariknya, membawa wajahnya ke arahku. Aku menyapukan bibirku ke atas bibirnya dengan ringan lalu menarik diri. "Baiklah. Sampai jumpa Hans!"

Aku pergi tanpa menyentuh makananku sedikit pun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top