Lima
Empat hari terakhir ini menjadi hari terbaik dalam hidupku. Atau setidaknya menjadi salah satu hari terbaik dalam hidupku setelah semua kekacauan itu.
Kami menginap di La Quinta Inn & Suites LAX Hotel. Aku bahkan tak pernah bermimpi dapat menginap di sana. Aku satu kamar dengan Cam dan kebanyakan kami hanya menghabiskan waktu berdua, karena ayah dan ibu Cam sepertinya juga lebih suka berduaan.
Awalnya aku merasa sedikit aneh saat melihat kedekatan Mr dan Mrs Baker. Tapi lama-lama aku jadi tidak peduli karena terlalu banyak hal yang harus ku lihat dan kukagumi. Aku mencoba menjejalkan semua ingatan tentang hal yang belum pernah kulihat atau kubayangkan seumur hidupku ke dalam otakku. Misalnya seperti melihat air terjun di Solstice Canyon atau melihat sunset di Zuma beach. Jangan lupakan tentang pria-pria yang hanya memakai celana renang saat bermain volly. Mata Cam benar-benar tak dapat berkedip melihat kulit coklat terbakar matahari mereka.
Apa? Kalian berpikir aku tidak tertarik dengan pria? Jujur orientasiku tentang seks masih normal. Aku hanya tidak dapat percaya pada spesies manusia jenis itu.
Hari ini aku dan Cam berencana untuk pergi ke El Matadore beach. Jadi di sinilah kami.
Aku hanya memakai kaus putih longgar dengan tulisan I Love California di bagian dada yang kemarin kubeli serta celana hotpants berwarna biru milik Camrynn yang hanya menutupi setengah batas pahaku. Dia memilih pakaian yang lebih panas. Tanktop ketat berwarna hijau lembayung dan rok jeans super pendek yang memamerkan kulit pahanya. Dia mengganti pakaian itu di mobil. Tentu saja agar ayah dan ibunya tidak tahu.
"Cam! Sebenarnya apa yang terjadi padamu?" ucapku.
Dia mengangkat alis dan memasang wajah tak mengerti. "Tentang apa ini?"
Aku mendengus. "Kau bukan orang bodoh. Kita sama-sama tahu."
"Ash, apa sih yang kau bicarakan?" tanyanya lagi. Dia mengambil foto burung pelikan yang bertengger di batu karang.
"Pertama kau membuat ID palsu, pergi minum, dan sekarag ini." Aku melambaikan tanganku ke tubuhnya. "Apa terjadi sesuatu?"
Dia tertawa. "Menurutmu kenapa?"
Aku mengedikan bahu. "Jika aku tidak kenal kau, aku akan berpikir kau berkencan dengan seorang pria brengsek atau semacamnya. Tapi ini kau, Cam. Alasannya pasti jauh lebih masuk akal."
"Kau benar. Ini semacam pemberontakan," jawabnya.
"Pemberontakan?"
"Yup, ayahku sedikit memaksakan kehendaknya. Dia ingin aku juga jadi pengacara. Padahal kau tahukan? Aku mau jadi hakim. Jadi ini semacam peringatan agar dia berhenti mendikte hidupku. Terutama impianku." Dia mengambil gambar lagi.
"Dan kau melibatkan aku ke dalamnya? Mereka mungkin berpikir ini karena pengaruh dariku," Aku melangkah lebih dekat ke arah laut dan ombak menyapu kakiku yang telanjang.
"Mereka tak akan berpikir seperti itu." Cam mengikutiku dan ombak kedua datang.
"Aku ragu."
"Ash, mereka mengenalmu! Mereka tahu siapa kau," bantahnya. Ia memainkan rambut coklatku.
"Ya, mereka tahu aku. Seorang putri tunggal dari keluarga miskin. Dengan ayah pemabuk dan pecandu kokain. Dan almarhum ibunya seorang jalang," balasku. Mataku seperti tersengat rasa panas saat mengucapkannya.
"Ash, kenapa kita jadi membahas hal macam ini? Liburan ini seharusnya untuk membuatmu lebih tenang. Membuatmu melupakan semua kejadian buruk itu," ucap Cam.
Benar, kenapa aku malah mengungkitnya?
Mataku memanas.
Damn! Jangan menangis Ash!
Aku buru-buru menyeka mataku. "Kau benar. Liburan ini harusnya untuk membuatku melupakan semua itu."
"Jadi bagaimana kalau kita mulai bersenang-senang?" Mata Cam sudah melirik pria setengah telanjang dengan tubuh mengagumkan.
"Oke. Asal kau berhenti bersikap bodoh! Jangan pernah minum lagi kalau kau tak yakin akan tetap sadar setelah meminumnya! Dan oh, Cam. Berhenti memakai pakaian seperti itu!" ucapku saat beberapa pria mulai meliriknya.
Dia malah terkikik. "Oh, apakah Ash mengkhawatirkanku?"
"Terakhir kali saat kau di bar. Kuingant kau akan berakhir di ranjang pria mesum itu, kalau aku tidak memarikmu pergi!" balasku sengit.
"Shit! Kau mengungkitnya!" Dia memutar bola matanya. Aku terus memelototinya. "Oke, Ash. Aku bersumpah padamu. Aku tak akan melakukannya lagi," ucapnya setengah jengkel dengan sikapku.
Aku memberinya sedikit senyum dan kembali menikmati pantai itu.
Besok kami sudah harus kembali dan aku harus mulai mencari pekerjaan.
***
Pengunjung di Cafe saat ini cukup ramai. Aku berdiri di dekat pintu dapur dengan mata menelisik ruangan itu. Kebanyakan pengunjung adalah pria yang sudah berusia sekitar akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan. Dan mereka tidak terlihat terlalu buruk. Hatiku berdo'a semoga Mrs. Joseph bisa menerimaku.
Pintu dapur terbuka dan Mrs. Joseph keluar dengan rambut merah keritingnya. Matanya tertuju padaku dan bibirnya membentuk lengkungan senyum. Aku membalas senyumnya dan menghampirinya.
"Bagaimana Mrs. Joseph?" tanyaku. Aku berusaha memasang wajah semanis mungkin dan itu sangat sulit karena sepertinya wajahku sudah terlanjur kaku mencetak muka masam.
Mrs. Joseph adalah ibu Cris, teman satu sekolahku. Keluarganya menjalankan bisnis Cafe kecil-kecilan dan lokasinya tak jauh dari rumahku. Jadi menurutku akan sangat bagus jika aku bisa bekerja di Cafenya.
"Suamiku setuju. Ada satu pelayan yang keluar minggu lalu. Kau bisa bekerja mulai besok." Dia menepuk bahuku. "Dan tentang gaji, kurasa kami bisa memberi sedikit lebih."
Aku menggeleng. "Tidak perlu Mrs. Joseph! Saya sudah sangat berterimakasih bisa di terima."
"Aku tahu keadaanmu Ash, semua orang tahu dan kami ingin membantumu," desaknya.
Aku mengerang dalam hati. Aku tidak suka dikasihani.
"Sungguh Mrs. Joseph, gaji standar sudah cukup. Saya malah tidak akan menerima pekerjaan ini jika anda memaksa," balasku.
Mukanya melembut dan dia mengusap punggungku. "Baiklah! Kau selalu keras kepala bukan? Jam kerjamu dimulai pukul 5.00 am sampai tutup."
"Terimakasih." Aku mengangguk dan keluar dari Cafe itu.
Rumah tak pernah sama lagi sejak ibu pergi. Aku membuka pintu dan melangkah ke dalam kegelapan. Baru aku mau menaiki tangga suara menyebalkan itu sudah memanggilku.
"Ash ...." panggil ayahku dengan suara serak tidak jelas.
Aku berputar. Menghadap ke arah ayahku lalu menyipitkan mataku. "Apa lagi?"
Sejak aku pulang dari Malibu, ayah terus menggerecokiku. Menuntutku untuk meminta uang. Sebenarnya aku bisa saja menolaknya, tapi ayahku menjadi tak terkendali dan mengerikan jika tak mengkonsumsi kokain.
"Kau punya uang?" tanyanya. Ia meneguk bir yang ada di tangannya. "Aku perlu membeli bir lagi."
"Kemarin kau baru saja meminta uang!" bentakku.
"Yah, itu sudah habis. Aku kalah main poker semalam," Dia melangkah mendekatiku. Aku berjengit dan mundur.
"Aku tak punya lagi! Itu tabungan terakhirku!"
Dia terus mendekat dan mencengkram pundakku. Mendekatkan wajahnya ke wajahku hingga aroma alkohol memenuhi rongga hidungku. Matanya yang merah dan sayu menatapku.
"Pergilah ke tempat ibumu dulu bekerja," ucapnya yang hanya berupa desisan. "Kau bisa dapat banyak uang. Kau cantik dan menggairahkan." Dia tertawa parau lalu tangannya mengelus leherku.
Aku bergidik. Menepis tangannya dan mendorongnya menjauh. Dan dengan lancangnya mataku memanas dan berkaca-kaca tanpa seijinku.
Aku tidak akan menangis karena pria brengsek ini!
Ayahku sendiri ingin aku menjual diriku!
Apa hidupku harus sesial ini?
Apa ini masih bisa jadi lebih buruk?
"Aku tak akan menjadi pelacur!" teriakku. Aku akan berbalik dan menaiki tangga tapi tangan ayahku menangkap pinggangku. Menarikku kearahnya dan tangannya kini meklingkari tubuhku. Matanya terbakar. Dan aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Bibirnya menyerang bibirku. Melumatku dan lidahnya memaksa memasuki mulutku tangannya turun mengusap pangkal pahaku.
Aku menjerit dan menendang miliknya. Dia jatuh ke lantai dan aku lari. Menaiki tangga. Membanting pintuku tertutup dan menguncinya. Lalu aku merosot ke tanah. Mulai menangis dan menjerit.
Ini bukan yang pertama. Beberapa hari yang lau ayahku juga melakukan hal seperti itu.
Waktu itu aku baru selesai mandi. Aku hanya memakai celana pendek dan bra dan bodohnya aku tak mengunci pintuku.
Ayahku masuk. Meminta uang dan aku bilang aku tak punya. Lalu matanya turun menjelajahi tubuhku dan ia mendekat dengan kilatan gairah di matanya. Aku tak berpikir dia akan melakukan hal semacam itu padaku. Karena dulu saat ibu masih ada dia bahkan tak pernah melirikku.
Tapi aku salah.
Dia mendorongku hingga terlentang di ranjang dan menarik braku dengan kasar lalu meremas payudaraku, bibirnya langsung melumat mulutku turun ke leherku. Dia bahkan sudah hampir menurunkan celanaku tapi akihirnya aku berhasil mendorongnya menjauh dan memukul rahangnya. Aku berguling melepaskan diri dari himpitannya dan meraih tongkat baseball yang ada di dekat situ lalu aku memukul kepalanya hingga pingsan.
Aku menggelengkan kepalaku keras-keras. Menepis semua memori Menjijikan itu dari ingatanku. Hingga akhirnya teleponku berdering.
"Ash, kau tak membalas pesanku. Apa kau baik-baik saja?" tanya Cam dari ujung telepon.
Sejak aku menceritakan kejadian itu padanya. Dia selalu mengecekku tiap dua jam sekali. Entah mengirim pesan atau menelepon. Dan dia semakin merongrongku agar menerima tawarnannya dan pindah ke rumahnya.
Sungguh itu adalah tawaran yang sangat menggiurkan tapi aku terus berjuang untuk menolaknya. Aku masih bisa mengatasi ini. Aku bukan gadis yang lemah.
"Ya, Cam. Aku oke," jawabku. Meski aku yakin dia akan langsung tau kalau saat ini aku sedang menangis.
"Kau tidak oke! Aku tau kau sedang menangis. Apa aku perlu kesana?" tanyanya dengan nada khawatir yang sangat jelas.
"Ini sudah larut. Aku akan baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir," balasku.
"Kau yakin?"
"Ya. Aku yakin." jawabku dengan suara yang tercekat.
"Baiklah. Selamat malam, Ash," ucap Cam. Aku menekan tombol end dan menjatuhkan teleponku.
Merangkak ke atas ranjang. Mematikan lampu tidurku dan menaikan selimut hingga menutupi wajahku.
Aku perlu tidur dan sepertinya alam mimpi lansung merengkuhku dalam sekejap.
***
Aku sudah gila!
Ya. Aku pasti sudah gila! Setelah semua kejadian gila yang menimpaku aku tak akan heran jika jadi gila.
Aku melihat cahaya itu lagi. Cahaya terang berbentuk pria jangkung.
Dia tidak menghilang kali ini. Dia mendekat kearahku.
Aku tak bisa melihat wajahnya. Terlalu silau.
Jantungku berdebar keras. Darahku berdesir. Dan tenggorokanku kering.
Dia semakin dekat.
Dekat.
Dan dekat.
Dia sudah berdiri tepat di depanku.
Tangannya terulur. Menarikku. Dia merengkuhku.
Ya Tuhan! Perasaan apa ini? Tubuhku bergetar saat dia menyentuhku. Rasanya ada simpul yang melilit perutku dan mengirimkan rangsangan di sana. Di pangkal pahaku.
Apa-apaan ini? Aku tak mungkin terangsang hanya karena sentuhan. Apa lagi karena sesuatu yang bahkan aku tak tahu itu apa.
Kemudian ia mendekatkan mulutnya ke telingaku. Setidaknya itu yang aku asumsikan karena dia begitu bercahaya aku tak dapat melihat apapun.
Lidahnya menjilat daun telingaku menggigitnya ringan dan suara desahan meluncur dari mulutku. Tanganku sekarang sudah mencengkram kedua lengannya dan aku semakin mendekatkan tubuhku ke tubuhnya. Meleburkan diriku pada dirinya.
Mulutnya turun ke leherku. Memberikan kecupan-kecupan di sana. Sesekali ia menggigitnya dan mengisapnya. Oh Tuhan ... ini gila!
Erangan kenikmatan keluar dari mulutku dan napasku semakin berat dan memburu. Kini dia melumat bibirku. Menggigit bibir bawahku dan menyelipkan lidahnya masuk. Oh Tuhan, ini lembut dan manis. Lidahnya menyapu bibirku. Gigitan-gigitan lembut membuatku merintih dan mendesah.
Tapi dia mengakhiri semua itu. Dia menarik diri lalu mengecup kedua mataku.
Kemudian jemarinya mengusap lembut tulang pipiku. Bahkan sentuhannya meninggalkan jejak panas membara. Panas dan menggelitik. Menggairahkan. Dan dia bicara, "You're mine."
Semua berakhir. Aku tersentak bangun dari mimpi gila itu dan mendapati diriku terlentang di ranjangku. Keringat membasahi tubuhku hingga membuat kaosku basah kuyub. Dan yang paling gila aku basah. Benar-benar basah.
Ucapannya terngiang di kepalaku, "You're mine."
Aku pasti sudah gila!
A/N:
Maaf baru update.
Kemarin keasyikan baca novel jadi lupa nulis.
Maaf juga kalau part ini berantakan.
See you next part!!!
- Arum Sulistyani
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top