Empat
Tubuhku menggigil merasakan udara malam yang menusuk. Mataku terbuka dan kepalaku langsung diserbu rasa pening yang hebat. Kilasan kejadian sebelum aku tak sadarkan diri menyeruak secara serentak. Berkelebatan seperti potongan-potongan film yang setiap adeganya memukul diriku dengan telak.
Saat semua memori itu berhenti berbutar di kepalaku aku merubah posisiku yang semula terlentang menjadi duduk. Kepalaku kembali bedenyut. Kedua tanganku secara otomatis langsung memeluk tubuhku yang telanjang. Hawa dingin kembali menyeruak. Dan aku menangis lagi.
Saat pandanganku benar-benar sudah fokus aku mengamati sekitarku. Dan itu semakin membuatku merasa lebih buruk.
Aku mengedipkan mataku berharap apa yang kulihat akan berubah tapi semua tetap sama mengerikannya. Aku merinding dan memeluk tubuhku lebih erat.
Dua pria yang tadi memegangiku. Kini terbaring kaku di kedua sisiku dengan tenggorokan menganga dan masih mengeluarkan darah. Wajah pucat dan mata mereka terbuka menggambarkan kengerian seakan di saat-saat terakhir ajal menjemput, mereka melihat horor paling mengerikan dalam hidup ini.
Dan pria telanjang itu bernasib lebih mengerikan. Aku tak yakin ingin menggambarkannya. Tapi aku akan mencobanya.
Aku tidak tahu ini dilakukan saat dia masih hidup atau sudah mati. Jika ini dilakukan saat dia masih hidup aku tak dapat membayangkan seberapa besar rasa sakit yang dia tanggung. Kukunya tercabut dari jemarinya, bertebaran di sekitar mayat orang itu. Mulutnya dirobek dari telinga ketelinga. Bekas sayatan panjang tersebar di seluruh tubuhnya. Tapi yang paling membuatku ngeri, tempat yang seharusnya terdapat bola mata, saat ini kosong dan mengalirkan darah. Saat aku menunduk. Aku melihatnya. Benda berbentuk bola seukuran kelereng besar bergulir di dekat kakiku. Dan aku menjerit. Melengking. Sekeras yang dapat dilakukan tenggorokan keringku. Hingga aku tak akan terkejut jika pita suaraku putus.
Secepat yang bisa kulakukan, aku berdiri memungut semua pakaianku dan memakainya. Berlari keluar menjauh dari tempat itu. Aku mungkin bisa berlari dari tempat itu tapi semua bayangan mengerikan itu tetap akan ada di dalam kepalaku. Muncul dan berputar menjadi pusaran rasa ngeri yang mungkin tak akan pernah kulupakan. Sudah menjadi bagian dari diriku.
***
Suara hewan malam menemaniku duduk di undakan teras rumahku. Aku tak ingin masuk sendirian.
Aku ingin menunggu ibuku.
Aku ingin dia mengusap rambutku.
Aku ingin dia mengecup keningku.
Aku ingin dia membiarkanku menangis dalam pelukannya.
Aku membutuhkannya. Sangat membutuhkannya.
Sekitar pukul tiga dini hari. Ibuku muncul. Dia hanya mengenakan blus ketat yang menutupi sampai setengah batas pahanya dan memamerkan lengan halusnya.
Aku langsung berdiri dan menghambur dalam pelukannya. Menangis dan menumpahkan semua rasa ngeri yang baru saja kuhadapi. Dia hanya diam dan balas memelukku. Mengerti apa yang kubutuhkan saat ini. Perlahan ia menuntunku masuk dan membawaku ke kamar.
"Jadi apa kau ingin bicara?" mulai ibuku.
Dia berbaring di sampingku di atas ranjangku. Jemarinya mengusap lembut rambutku. Dia terus menemaniku. Mengabaikan semua pekikan marah dari ayahku. Entah apa yang akan terjadi nantinya pada ibuku, aku juga tidak tahu.
Mataku yang sedari tadi menatap mata ibuku kini berkedip. Dan bibirku sedikit bergetar saat aku mulai menceritakan malamku.
Ibuku berjengit di setiap bagian cerita yang tepat dan memberikan komentar yang membuatku tenang. Terus mengusap rambutku dan memberikam kecupan-kecupan ringan di setiap inci wajahku.
"Aku takut. Sangat takut," desisku.
"Tidak apa-apa. Semuanya sudah lewat. Kau akan baik-baik saja." ucap ibuku. Dia kembali memelukku dan menemaniku hingga aku tertidur.
***
Paginya berita itu muncul di koran dan televisi. Memampangkan gambar mengerikan mayat tiga lelaki itu. Aku langsung mematikan saluran itu dan berjalan pergi.
Seperti biasa Camrynn sudah menungguku dan dia sudah terlihat normal. Maksudku dia sudah tidak terkikik lagi. Aku membuka pintu dan masuk.
"Apa aku melewatkan sesuatu? Kau terlihat lebih buruk dari biasanya?" tanya Cam. Dahinya berkerut. "Atau kau sakit? Kau terlihat pucat." Dia mulai menjalankan mobil.
Aku tak ingin membahasnya lagi, jadi aku mengalihkan pembicaraan pada dirinya. "Apa ayahmu tahu kau mabuk?"
Sudut bibirnya langsung tertarik ke bawah. "Ibuku kelepasan tadi pagi. Aku baru saja menghadapi badai."
"Lalu?" tanyaku.
"Tidak ada uang saku selama seminggu," desahnya. Mukanya makin cemberut.
"Sayang sekali," balasku pura-pura bersimpati dengan menepuk bahunya.
"Sekarang giliranmu. Ada apa?" Dia melirikku. Mengamati tiap guratan yang ada diwajahku.
Aku harus mengakui kehebatan Camrynn membaca suasana hatiku. Dia tak bisa ditipu.
"Semalam aku hampir kehilangan keperawananku," ucapku akhirnya.
"Oh, Astaga! " Dia berjengit kaget. "Bagaimana bisa?"
Sekali lagi aku menceritakan kisahku dan terpaksa memutar ulang semua gambaran mengerikan itu.
"Jadi berita pembunuhan di televisi pagi ini, mereka bertiga itu?"
"Ya. Mereka orangnya."
"Oh, Ash! Kau benar-benar mengalami malam yang buruk." Dia meremas jemariku sesaat. "Lalu apa kau tahu siapa yang melakukan semua itu pada mereka?"
Nah, bagian ini. Aku pasti akan kedengaran tidak waras. Bahkan aku tidak menceritakan bagian ini pada ibuku.
"Tidak. Aku tidak tahu, Cam."
"Sungguh? Kau tak tahu sama sekali?" tanyanya. Matanya menelisikku.
Kurasa dengan bakatnya yang bisa menebak seseorang jujur atau tidak akan sangat membantunya jika menjadi hakim.
"Kau akan berpikir aku gila," balasku. Aku membuat gerakan melingkar dengan telunjukku di sekitar pelipisku.
"Kau tahu. Aku suka sesuatu yang gila," ucapnya malah tambah tertarik.
"Aku melihat cahaya terang sebelum aku pingsan. Cahaya itu menjulang tinggi sedikit menyerupai sesosok pria jangkung. Tapi aku tidak yakin. Dan saat aku sadar, tiga pria itu sudah jadi mayat dan aku tak menemukan orang lain di sana."
Alis Camrynn terangkat tapi dia tak berkomentar apapun. Aku sangat yakin dia sedang memikirkan kewarasan otakku saat ini.
"Aku tahu kau tak akan percaya dan berpikir kalau aku gila,"
"Bukan begitu, Ash! Aku hanya sedang mencoba mencari sisi rasional dari ceritamu," balasnya.
"Sudahlahl! Mungkin itu hanya halusinasiku," gumamku.
Tapi aku tahu itu bukan halusinasai. Aku cukup yakin kalau itu nyata
***
Sekolah hari ini berjalan seperti biasanya seakan semalam aku tidak mengalami tragedi terburuk dalam hidupku. Hingga semua kenormalan itu berakhir dengan masuknya Mr. Smith ke dalam kelas trigono yang sedang aku ikuti.
"Ms. Ackerley, bisa kau ikut denganku?" ucapnya setelah meminta izin dari Mrs. Carter, guru trigonoku.
Aku mengangguk singkat dan berdiri, tapi dia memintaku untuk membereskan barangku juga. Firasatku mulai buruk.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi?" tanyaku ketika aku mengikutinya di koridor.
Pria berperawakan tinggi kekar itu sedikit memperlambat langkahnya. Membuatku dapat mengimbanginya dan berjalan di sampingnya.
"Aku tidak yakin bagaimana harus menyampaikannya." Mr. Smith melirikku dengan ekor matanya. Terlihat mengasihaniku. "Ibumu baru saja mengalami kecelakaan. Dia sempat dibawa ke rumah sakit tapi nyawanya tak tertolong."
Dunia berhenti.
Begitu pula dengan jantungku setidaknya untuk beberapa saat.
Kemudian tangisan lagi.
"Itu tidak mungkin! Ini bahkan bukan bulan April! Kenapa anda membuat lelucon yang tidak lucu seperti itu?"
Dia menepuk bahuku dan wajahnya makin terlihat mengasihaniku. Aku benci itu. Aku tidak butuh simpati.
"Ibumu sudah pergi ke tempat yang lebih baik."
Satu kalimat sederhana tapi dapat menghancurkanku. Membuatku seperti diceburkan ke dalam kolam berisi cairan asam. Meleburkan tubuhku hingga hanya tulang yang tersisa.
***
Pemakaman ibuku berlangsung dengan hening. Atau aku harus menyebutnya sepi?
Tak ada kerabat yang datang. Hanya beberapa tetangga yang tinggal satu kompleks denganku, beberapa perwakilan guru dan teman satu sekolahku. Dan tentu saja ayah dan ibu Cam juga hadir.
Langit tidak kelabu karena ini musim panas. Seakan dunia pun juga tidak peduli dengan apa yang kurasakan. Aku adalah gadis tersial di dunia ini. Kurasa itu benar-benar cocok untukku.
Satu persatu dari orang yang hadir itu pergi. Ayahku pergi paling awal mungkin tak sabar untuk segera menenggak minumannya lagi. Meninggalkanku sendirian. Hanya tinggal Cam yang masih menemaniku.
Dia ikut berlutut di sampingku. Tak mengatakan apapun. Karena dia tahu aku tak membutuhkannya. Dia hanya tinggal untuk memastikan agar aku tahu masih ada orang yang peduli padaku.
Aku mengusap batu nisan ibuku."Cam?"
"Ya?" Dia menjawab dengan hati-hati.
"Bisakah kau meninggalkanku sendirian? Hanya untuk beberapa saat?" ucapku. Suaraku terdengar mantap. Dan aku sangat bersyukur karena aku sama sekali tak berniat untuk terlihat lemah.
Dia tak langsung menjawabnya. Mungkin menimbang apakah aku akan melakukan tindakan bodoh, seperti mengakhiri hidupku sendiri mungkin. Tapi setelah ia mengamati keadaan sekitar dan tak menemukan sesuatu yang mungkin dapat kugunakan untuk bunuh diri dia akhirnya mengangguk.
"Oke. Abil waktu sebanyak yang kau perlukan," Dia menyentuh bahuku dan berdiri.
Aku memberinya senyum simpul yang mungkin terlihat seperti serigai menyedihkan. Lalu dia berjalan menjauh.
"Ibu akhirnya pergi. Kenapa kau tidak mengajakku? Dan malah meninggalkanku bersama pria itu?" Aku meremas tanah di makam ibuku.
Mataku kering. Aku sudah berhenti menangis sejak pelayat pertama datang. Alasannya sederhana. Aku tak ingin dikasihani.
"Ini akan jadi terakhir kalinya kita bertemu. Aku tak akan berkunjung lagi. Aku akan berpura-pura ibu tak pernah ada." Saat mengatakannya tenggorokanku tercekik. Dan rasa panas di mataku mulai datang. "Karena akan sulit untuk melanjutkan hidupku jika aku ingat aku pernah memiliki orang untuk berlabuh."
Aku mengusap batu nisan ibuku sekali lagi dan aku pergi dari sana. Tak akan pernah ingin menginjakkan kakiku di sana lagi.
Cam sedikit terkejut ketika melihatku berjalan ke arah mobilnya terparkir.
"Kau sudah akan pergi?" tanyanya ragu. Mungkin dia berpikir aku akan tinggal berjam-jam lagi untuk menangisi ibuku.
"Ya. Aku tak bisa terus-terusan hanya duduk di sana," balasku. Senyum kecil muncul di bibirku.
Cam masih mengamatiku dengan wajah yang lebih terkejut tapi itu segera berlalu dan digantikan wajah serius. Dia membuka pintu mobil dan masuk. Aku mengikutinya.
Dia tak menghidupkan mesinnya dan malah kembali menatapku dengan intens. Lalu dia mulai menyerang. "Dengar! Dan jangan menyela sebelum aku selesai!"
Aku tak mengiyakan tapi juga tidak membantah.
"Ayahku berpikir bahwa kau sebaiknya tidak tinggal dengan ayahmu." Aku mengangkat kedua alisku. "Hak asuhmu akan jatuh ke ayahmu. Tentu. Tapi ayahku bisa mengurusnya. Dan," dia mulai ragu untuk meneruskannya, "Ayah dan ibuku bersedia untuk mengadopsimu."
Reaksi pertamaku adalah berjengit lalu sedikit mendengus. "Apa ini bentuk rasa kasihan dari kalian?"
Dia tak terkejut dengan reakaiku. Dia sudah menduga penolakanku.
"Rasa kasihan dan peduli itu hampir mirip tapi beda. Dan ini masuk ke dalam kategori peduli," jawabnya.
"Tidak, Cam! Selama aku masih bisa menanganinya aku tak ingin mendapat belas kasih dari siapa pun," balasku dengan yakin.
Dia mengerang dan sedikit memelototiku. "Ini bukan belas kasih! Ini murni karena kami memang ingin."
Sebenarnya alasanku menolak adalah karena aku takut jika aku diadopsi keluarga Camrynn. Itu akan merusak persahabatanku dengannya. Maksudku Camrynn sudah terbiasa tidak membagi kasih sayang yang dia miliki. Dan jika aku masuk dalam kehidupannya aku akan mengambil sebagian kecil kasih sayang itu. Aku tidak mengatakannya karena ini akan terdengar, aku berbikir picik tentang Cam.
Jadi srbagai gantinya aku mengatakan ini, "Aku tak mau merepotkan keluargamu. Apa lagi menambah beban mereka. Kau sudah banyak membantuku sejauh ini." Aku menatap tepat ke mata hijau Camrynn mengirimkan sinyal bahwa aku baik-baik saja.
Dia mendesah. Dia tahu tak akan menang dalam perdebatan ini. "Oke. Tapi jangan pernah ragu untuk menghubungiku jika kau butuh bantuan! Kau mengertikan?"
Aku mengangguk.
"Karena kau menolak tawaranku yang ini. Kau harus menerima tawaranku yang sebelumnya."
"Tawaran apa?" tanyaku tak paham dengan perkataannya.
"Pergi ke Malibu musim panas ini. Kau harus ikut! Kau tak punya alasan untuk menolaknya!" Nadanya benar-benar tak bisa di bantah.
"Tapi Cam! Aku harus mencari u...." perkataanku dipotong.
"Tidak ada tapi! Kau membutuhkannya. Dan jika kau menolak aku akan menyeretmu!" Tangannya menyilang di dada dan bola matanya benar-benar hampir meloncat keluar.
Aku tak dapat menahan bola mataku untuk tidak berputar dan mendengus. Membayangkan dia menyeretku adalah sesuatu yang mustahil. Mengingat siapa di antara kami yang lebih mungkin dapat diseret tapi pada akhirnya aku mengangguk.
"Baiklah kurasa cukup adil."
Setelah itu dai menghidupkan mesin dan mengantarku pulang.
A/N:
Maaf semalam gak update.
Aku ketiduran.
Mungkin part ini sangat terkesan tidak sistematis. Dan menurutku hancur. Tapi yah, kuharap masih bisa di terima.
Ketemu lagi di part selanjutnya!
- Arum Sulistyani
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top