Dua Puluh Satu

A/N

Udah lebih satu bulan cerita ini gak keurus. Aku minta maaf 🙏. Sekarang balik lagi karena ada komen-komen yang bikin aku semangat untuk ngelanjutin cerita ini, jadi makasih banyak buat yang udah comment di part sebelumnya.

Komen lagi di part ini ya 😂😅 biar semangat gitu nulisnya. Hehe gak maksa kok, vote dan komen kalau kalian suka aja 😂😂  maaf juga kalau part ini kurang panjang.

Happy reading

Aku tidak yakin bisa menyebut rumah Hans itu sebagai rumah. Itu adalah sebuah mansion. Mansion yang besar, tua, dan aku harus mengakui itu indah dan artistik. Dindingnya tidak dilapisi semen sehingga kau dapat melihat batu bata merah yang tersusun rapi dengan alur yang sempurna. Jendelanya terbuat dari kaca patri dengan motif bunga dan sulur yang cantik. Dan ketika aku turun dari mobil Hans, pintu ganda berukir rumit itu mengayun terbuka. Seorang lelaki dengan postur tinggi keluar dari sana. Dia melihatku kemudian mengangkat alisnya.

Aku mengamati pria itu dengan serius bahkan aku sampai tidak menyadari kalau Hans sudah berdiri di sampingku. Dia melingkarkan lengannya di pinggangku dan menarikku merapat ke tubuhnya, berjalan ke arah pria itu.

"Aster?" pria itu bertanya padaku dan senyuman girang yang jail terbit di bibirnya.

"Hanya Ash," jawabku. Dia mengulurkan tangannya dan aku menyambutnya. Senyuman jail itu tidak pernah meninggalkan wajahnya.

"Panggil aku Ty, oke?" dia menyeringai makin lebar dan aku melirik Hans yang hanya memutar bola matanya.

"Jadi namamu Tyson atau Tylor? Apa ada Dewa yang bernama Tyson?" aku bertanya dan dia tergelak. Hans mendengus.

"Ty bukan untuk Tyson. Ty untuk ...."

"Berhenti! Dan bukankah kau akan pergi ke bar? Jadi enyahlah dan jangan kembali sebelum aku menyuruhmu kembali!" bentak Hans. Lagi-lagi pria itu hanya tergelak.

"Dia tidak harus pergi," ucapku. "Dia bisa tinggal jika dia mau. Aku tidak keberatan."

Yah, aku mungkin sedikit keberatan. Karena bagaimana pun dia pria, dan aku masih tidak nyaman berada di sekitar pria. Tapi ini rumahnya juga, aku tidak bisa menendangnya dari rumahnya sendiri, kan?

"Jangan khawatir Honey, aku memang ingin pergi. Omong-omong, rumah itu milik Hans. Dia sendiri yang membayarnya, aku tidak ikut andil sama sekali. Jadi kau tidak menendangku dari rumahku sendiri," ucap Ty. Aku berkedip dengan terkejut dan berusaha menahan rahangku tetap terkatup.

Sial! Dia bisa membaca pukiranku?

"Ya. Aku bisa," ucap Ty lagi dan dia pergi.

"Jangan bilang kau juga bisa membaca pukiranku!" Aku memandang Hans dan dia tersenyum miring.

Sial! Dia juga bisa?

"Well, aku bisa," jawabnya.

Hebat! Hebat sekali! Jadi apa dia tahu apa yang aku pikirkan tentangnya selama ini?

"Tenang, jangan memasang wajah horor seperti itu. Aku bersumpah tidak pernah membaca pukiranmu. Itu semacam pelanggaran kode etik, itu sangat tidak sopan bahkan jika kami melakukannya pada sesama imortal. Ty hanya tidak tahu batasan, jadi ya terkadang dia melakukan itu pada orang yang baru dia temui," ucapnya. Aku masih melihatnya dengan nanar. "Ayolah, kau tidak bisa marah padaku karena ini."

"Aku tidak marah!" bentakku.

Apa aku marah? Tidak. Aku takut. Bagaimana kalau Hans tahu? Aku tertarik dengannya! Sial! Aku ingin dia menyentuhku! Sial! Aku ingin dia menciumku! Sial! Aku mungkin mulai berpikir tidur dengannya akan bagus!

Sial! Sial! Sial!

"Kau terlihat marah," ucapnya dan jarinya menyentuh pipiku. Damn! Aku ingin bibirnya! "Pipimu memerah."

Cukup Ash! Singkirkan pikiran konyolmu! Sekarang!

"Bersumpahlah kalau kau tidak akan membaca pukiranku! Sial! Aku butuh privasi!" ucapku dan aku serius. Aku tidak mau ada orang yang menyelinap ke dalam kepalaku. Itu hanya tidak bisa ditolerir. Kapalaku terlalu kacau bahkan tanpa aku perlu membaginya dengan orang lain.

"Aku bersumpah demi darah ichor yang mengalir di pembuluh darahku. Aku tidak akan membaca pikiran Aster Ackerley, mate-ku." Dia meletakkan telapak tangannya di dadanya. Tepat di atas jantungnya. Dan aku tertawa.

"Yeah, kurasa itu cukup. Dan benarkah darahmu berwarna emas? Ichor?" aku bertanya saat akhirnya dia menuntunku ke pintu depan. Dia tidak menjawabku sebelum membuka pintu itu dan kami melangkah masuk.

Ruangan itu sangat besar dan indah. Ya  Tuhan! Ini benar-benar seperti masuk ke abad lain. Dan tiba-tiba aku merasa pusing. Jika Hans adalah Dewa, itu artinya dia sudah ribuan tahun atau juta? Itu terlalu membingungkan. Aku menatapnya dan dia hanya terlihat normal seperti anak laki-laki delapan belas tahun yang oke, tampan?

"Kau mau melihat darahku? Kau ingin meminumnya?" dia bertanya dan aku mengernyit.

Aku bukan peminum darah.

"Aku bukan vampire. Kenapa aku ingin meminumnya?"

"Karena itu akan memberikan keabadian untukmu dan kita bisa hidup bersama selamanya," ucapnya dan aku meringis.

Satu hal yang tidak aku inginkan adalah terus hidup. Jika aku mati, aku akan melupakan semua kengerian yang aku alami. Hidup abadi berarti menanggung kenangan itu untuk waktu yang tak terbatas. Selamanya. Itu mengerikan.

"Aku tidak ingin hidup tanpa jangka waktu," jawabku. "Kematian adalah hadiah. Subuah akhir, penutupan, itu memotong semua kengerian yang kita miliki saat hidup."

Mata Hans melebar, menatapku seolah aku hantu tapi itu tidak masuk akal, dia Dewa. Dewa tidak takut hantu.

"Kau mingkin akan berubah pikiran," balasnya. Hanya itu dan dia menarikku untuk masuk lebih dalam.

Kebanyakan interior dan furnitur dari rumah ini berwarna merah dan coklat. Gorden beludru merah, karpet persia dengan motif mengagumkan yang juga berwarna merah. Meja dan kursi dari kayu yang dipoles dengan pernis, dan ada perapian. Itu menyala. Dinding dihiasi lukisan tentang Dewa Dewi. Dan tapestri yang ditenun dengan sempurna. Ini benar-benar kuno. Sangat aneh tapi juga terasa menenangkan. Terasa seperti rumah.

"Ini indah," ucapku. Hans menyeringai.

"Ya. Ini indah ... karena kau berdiri di sini," balasnya.

Oh My, itu manis. Hans sangat manis. Sejak kapan dia belajar menggunakan semua kata-kata seperti itu?

Jangan bodoh! Kau tidak ingin jatuh cinta Ash! Hans hanya teman! Bahkan aku tidak yakin apa kami berteman? Aku hanya mencoba percaya padanya, bukankah hanya seperti itu?

"Apa kau sedang menggodaku? Memikatku untuk berakhir di ranjang-mu? Itu tidak akan berhasil, kau tahu itu, kan?" balasku. Dan dia menangkup kedua pipiku. Mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa inci dari wajahku hingga aku bisa mencium aromanya. Dan mata itu, bibir itu. Aku benar-benar ingin merasakan bibir itu di bibirku lagi.

Ash! Apa yang kau pikirkan? Berhenti membayangkan hal-hal seperti itu!

"Aku ingin mencium-mu," ucapnya.

Sial! Aku juga!

"Di sini." Dia menggerakkan ibu jarinya ke bibirku, mengusapnya dengan pelan dan saat ini aku sudah menahan napasku.

Katakan ya, dan Hans akan mencuimmu. Hanya itu yang perlu kau lakukan Ash. Hanya itu, dan kau bisa merasakannya lagi. Tekstur, rasa, dan aroma yang membuatmu mabuk lebih dari alkohol bahkan kokain.

Yeah, tapi aku belum pernah mencoba coke. Apakah itu terasa sama bagusnya dengan ciuman Hans? Tidak, kurasa tidak. Ciuman Hans lebih memabukkan.

Tapi aku menggeleng. "Aku perlu alkohol untuk melakukan itu," desisku.

Dia hanya memberiku tatapan mengejek dan melepaskanku. "Kenapa sesulit itu? Kita sudah sering melakukannya. Dan kau biasanya yang memulai," ucapnya. Aku memelototinya.

"Itu karena pikiranku sedang kacau. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Dan aku melakukan hal tidak logis. Dan kau seharusnya tidak mengungkit itu!"

"Kau menginginkannya juga," balasnya.

"Apa kau membaca pikiranku?" bentakku.

Dia mengangkat alisnya. "Itu sebuah pengakuan."

"Sial! Tidak! Bukan itu maksudku! Aku tidak berpikir aku ingin kau menciumku! Kau sialan Hans!"

Tapi dia tidak mendengarkanku lagi dan aku berhenti membentak karena bibir itu menutup bibirku. Membungkamku. Dan ini masih terasa baik, sama seperti yang terakhir kali kuingat. Dan saat lidahnya menyapu bibirku aku tidak ingin melawan. Aku ingin membalas ciumannya. Ini benar-benar baik, terasa manis, dan oh Tuhan, aku bahkan mulai berpikir kalau ini benar. Dan kami tenggelam seperti ciuman kami yang lainnya. Hanya merasakan dan berhenti berpikir. Hingga kami kehabisan napas atau mungkin hanya aku karena Hans terlihat baik dia bahkan tidak terengah.

"Sangat manis. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berhenti dan tidak menyingkirkan kemeja sialan yang kau pakai. Aku hanya tahu jika aku melakukan itu aku akan kehilanganmu. Maafkan aku," ucapnya. "Maaf menciummu tanpa persetujuanmu."

"Tidak apa-apa. Itu ...," aku menggeleng, "terasa benar?"

"Yeah, itu sangat benar. Hanya percayalah padaku," balasnya dan ia tersenyum. Sekali lagi menarikku. Kali ini untuk memelukku. Sangat erat seolah dia ingin meleburkan kami. "Kau akan tahu. Aku mate-mu. Kau akan merasakannya pada akhirnya. Milikku."

Aku hanya diam, memandang api di perapian yang masih berkobar. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Ini hanya terasa benar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top