Dua Puluh


Saat ini aku sedang bersama Camrynn di perpustakaan yang ada di kota kami. Sibuk mengerjakan tugas membuat makalah tentang mitologi. Tepatnya aku dan Cam membuat makalah tentang mitologi suku Aztec.

"Kau menemukan sesuatu?" tanyaku pada Cam. Dia mendongak dari buku yang dia baca.

"Hm, hanya beberapa nama Dewa yang mereka sembah dan ritual untuk memuja mereka. Bagaimana denganmu?"

"Tak jauh berbeda. Dan menurutmu apakah mereka benar-benar melakukan ritual itu?" tanyaku.

Cam mengedikkan bahunya. "Kurasa begitu. Tapi inikan sudah ratusan tahun yang lalu."

"Tetap saja, pengorbanan manusia itu sungguh mengerikan. Apa mereka tidak melihat betapa konyolnya itu?" balasku. Aku mulai menulis beberapa nama Dewa yang ada di buku. "Dan apa menurutmu Dewa itu benar-benar ada?"

Kali ini Cam terkikik pelan dan membuat beberapa pengunjung perpustakaan memberinya tatapan mencela. "Ash, itu semua hanya mitos!"

Yah, kau bisa bilang begitu Cam, karena kau tidak tahu. Tapi faktanya Vampire dan Werewolf yang kukira mitos ternyata benar-benar ada. Dan satu minggu yang lalu kau dan aku hampir mati karena makhluk yang katanya mitos itu. Jadi mungkin saja Dewa itu benar-benar ada.

"Beberapa mitos itu berdasarkan kenyataan, Cam," balasku.

"Tapi Dewa? Itu sungguh tidak masuk akal! Jika mereka ada kenapa kita tidak pernah melihat mereka?" debatnya.

Oke! Aku akan makin terdengar bodoh jika memperdebatkan ini.

"Kau benar," balasku.

"Bagaimana hubunganmu dengan Hans?" tanyanya membuatku berhenti menulis.

Hubungan kami baik, terlalu baik malah. Aku sering keluar dengannya dan semakin hari hasrat di antara kami makin besar. Aku tidak bisa berbohong kalau aku mungkin juga sering menginginkan bibirnya. Tapi kami menjaga semuanya tetap di tempat. Aku tidak ingin ini berjalan terlalu cepat, dan aku senang dia mengerti. Dia tidak memaksaku atau setidaknya tidak memaksa secara langsung.

"Baik-baik saja," jawabku.

"Apa dia mencoba mengajakmu tidur?" Cam bertanya benar-benar terlihat penasaran.

"Tidak. Dia tahu itu adalah mimpi burukku," balasku setengah jengkel. Cam terlihat menyesal sudah bertanya padaku tentang hal itu.

Yah, Hans tidak pernah mengatakannya secara terang-terangan. Meski aku sendiri sadar dia menginginkan itu. Terkadang saat mata kelabunya terlihat menyala atau saat ia berusaha untuk menjaga jarak dariku. Aku tahu dia berusaha menahan semua itu dan aku sangat menghargai itu. Setidaknya aku mulai percaya kalau dia benar-benar tidak hanya menginginkan tubuhku.

"Jadi, setelah satu bulan apa kalian akan meneruskan kencan kalian?"

"Aku tidak tahu. Aku belum memikirkannya. Lagi pula ini baru sepuluh hari sejak kami membuat perjanjian ini," jawabku.

"Aku berharap hubungan kalian berjalan lancar," ucap Camrynn dan ia kembali ke bukunya.

Aku juga berharap begitu, aku berharap Hans benar-benar berbeda.

***

"Kau mau pergi ke rumahku?" Hans bertanya padaku saat kami sedang makan siang.

"Rumahmu?" Aku mengangkat alisku.

"Maksudku rumahku selama aku tinggal di dunia mortal," jelasnya.

"Oh, tentu. Itu pasti akan menyenangkan. Apa kau tinggal sendiri atau bersama seseorang?" tanyaku. Dan aku selesai dengan makananku.

"Aku tinggal dengan rekanku. Tapi biasanya dia tidak ada di rumah, dia lebih sering keluar." Hans meletakkan sendoknya dan melihatku. "Tapi kalau pun dia ada aku bisa menyuruhnya pergi."

"Untuk apa? Aku tidak keberatan. Dan rekanmu itu apa? Vampire? Werewolf? Atau apa?" tanyaku penasaran.

Dia tersenyum. "Dia sama sepertiku."

"Dan apa itu?" tanyaku.

Ayolah! Aku benar-benar penasaran kau itu apa.

"Aku takut kau akan pergi jika tahu aku itu apa," jawabnya. Dan ia terlihat khawatir.

"Kenapa aku ingin meninggalkanmu jika aku tahu? Apa kau makhluk yang benar-benar buruk?"

Maksudku apakah dia lebih buruk dari Vampire? Apakah dia sangat mengerikan? Dan jika iya apakah aku masih ingin bersamanya? Bahkan sekarang pun aku tidak tahu apakah aku ingin bersamanya atau tidak?

"Ya, mungkin cukup buruk," jawabnya dan ia meminum sodanya. Aku mengernyit jadi dia buru-buru melanjutkan, "tidak seburuk itu juga tapi."

"Katakan saja kau itu apa, aku bisa mati penasaran," rengekku.

"Kenapa sekarang kau begitu penasaran?"

Karena mungkin aku berharap kau benar-benar ada di hidupku. Tapi aku tidak mengatakan itu.

"Karena kita sekarang sudah jadi lebih akrab."

"Aku akan beri tahu tapi tidak spesifik, setuju?"

Kenapa? Apa dia tidak percaya padaku? Dan kalau memang dia tidak percaya, itu masuk akal karena aku mungkin bersikap sangat tidak bersahabat selama ini.

"Oke, tapi suatu saat kau akan memberitahuku, kan?"

"Yah, suatu saat. Aku janji," ucapnya dan ia menyentuh pipiku. Mengusapnya dan aku menyukai itu.

"Jadi? Kau adalah?" tanyaku.

"Dewa. Aku seorang Dewa."

Apa? Dewa?

"Kau bercanda?" ucapku. Mataku melebar dan ini sulit dipercaya.

Apa dia serius?

"Aku tidak bercanda," balasnya. Dan ia mengamatiku seolah menungguku lari.

Ini mengejutkan. Baru kemarin aku membahas ini dengan Cam dan ternyata selama ini aku sudah bertemu dengan Dewa. Bayangkan Dewa! Hans adalah Dewa, Dewa apa?

"Kau Dewa apa? Kuharap bukan Dewa kematian," ucapku.

"Aku sudah bilang aku tidak akan mengatakannya secara spesifik," balasnya.

Oh

, ayolah!

"Baiklah. Jadi saat ini aku sedang berkencan dengan Dewa?" gumamku. Dia tertawa.

"Apa menurutmu itu keren?"

"Menurutku itu aneh. Kau Dewa, kau bisa melakukan apapun. Tapi kau malah duduk di sini dan makan bersamaku. Kau bisa saja menculikku secara paksa tapi kau tidak melakukanya. Atau kau juga bisa mencari gadis lain yang lebih cantik atau seksi dariku tapi kau juga tidak melakukanya. Apa kau tidak jengkel karena mendapat mate sepertiku?"

Dia mendesah lelah. "Bukan seperti itu cara kerjanya. Ketika kau menemukam mate-mu maka tidak ada yang lebih baik dari dia. Jadi menurutku kau adalah gadis tercantik, terseksi, terbaik dan paling berharga bagiku. Dan jika kau mati maka setengah bagian dari jiwaku akan ikut mati bersamamu. Itu akan menghancurkanku secara perlahan, membunuhku dengan cara menggerogotiku dari dalam."

Apa separah itu? Dan apa dia menginginkanku hanya karena dia tidak mau mati?

"Jika kematianku tidak menghancurkanmu, apa kau tidak akan mempedulikanku sama sekali?"

Dia tersentak terlihat terluka dengan ucapanku. "Ash, tidakkah kau mengerti? Kau adalah yang terpenting bagiku. Bahkan lebih penting dari nyawaku sendiri. Aku sama sekali tidak keberatan mati untukmu."

Oh, Ya Tuhan!

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu," ucapku lirih.

Kau bodoh Ash! Apa yang kau pikirkan tadi hangga kau menanyakan hal macam itu padanya?

"Tidak apa-apa, Ash. Aku mengerti kau sulit mempercayai kalau aku benar-benar peduli padamu. Itu wajar setelah semua hal yang kau alami."

"Tetap saja, aku seharusnya tidak mengatakan itu padamu," gumamku.

"Kau tahu kenapa aku tidak menculikmu?" tanyanya. Aku kembali menatap matanya.

"Tidak. Aku tak punya gambaran sama sekali."

Mata kelabunya kini mengunciku, menahanku dan menenggelamkanku. Dia benar-benar menatapku secara intens. Tangannya meraih tanganku dan ia menciumnya sekilas lalu menggengamnya erat. Ibu jarinya mengusap dengan pelan dan itu terasa menenangkan. Membuatku merasa kalau dia benar-benar ada untukku.

"Aku tidak menculikmu secara paksa dan membawamu ke dunia imortal karena aku ingin mendapatkanmu secara utuh. Aku tidak hanya menginginkan tubuhmu, meski tak dapat kupungkiri kalau aku sangat menginginkan itu, sangat berhasrat atas itu. Tapi aku juga ingin mendapatkan hatimu, kepercayaanmu, semua tentang dirimu. Aku ingin kau menjadi milikku karena kau memang menginginkan itu."

Oh My, ini lebih dari yang kubayangkan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Dan tentang hati dan kepercayaan, apa aku memiliki itu? Kalau pun aku punya itu pasti tinggal serpihan. Tidakkah dia melihat betapa kacaunya diriku?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top