Dua Belas


Jantunggku berdetak dengan sangat cepat di pacu oleh hormon adrenalin. Aku sungguh tak menyangka kejadian itu membuatku trauma separah ini. Aku ketakutan hanya karena berada di satu ruangan dengan lawan jenis. Aku menarik napas, memejamkan mataku dan dalam hati terus melafalkan kalimat 'Semua akan baik-baik saja' berulang kali seperti sebuah mantra. Tapi tanganku yang memegang dua cangkir teh tak mau berhenti gemetar. Aku membuka mata, mendesah untuk yang terakhir kalinya lalu menuju ruang tamu.

Dia duduk di sofa paling ujung, kakinya menyilang dan tubuhnya terlihat tegang. Aku meletakkan teh di depannya dan duduk di sofa yang berseberangan dengannya.

"Apa yang ingin kau katakan?" mulaiku. Aku ingin semua ini cepat berakhir.

"Pertama aku minta maaf!"

"Oke!" jawabku datar. Dan dia terlihat lebih santai.

"Kedua beri aku kesempatan!" Kedua alisku langsung naik, tidak paham dengan apa yang dia bicarakan.

"Kesempatan?" Tanpa sadar aku sudah melipat kedua tanganku di dada seakan itu adalah pertahanan terbaik. "Seperti apa?"

"Biarkan aku membuktikan tak semua pria itu seperti ayahmu!" Aku tak yakin dengan apa yang kulihat karena untuk sesaat matanya terlihat bercahaya seperti neon putih yang berkelip.

Kekeh tawa meluncur dari bibirku. "Mungkin memang tidak. Tapi aku tak mau mencoba untuk meyakini seorang pria!"

"Karena kau pikir semua pria berengsek?"

"Kurang lebih," gumamku.

"Dua bulan. Beri aku kesempatan untuk masuk dalam hidupmu!" ucapnya. "Dan jika pemikiranmu tak berubah aku akan pergi!"

"Tidak!"

Aku sudah cukup berurusan dengan pria dan tak berniat untuk melakukannya lagi.

Jika ayahku sendiri mampu melakukan hal semacam itu, entah hal apa yang bisa dilakukan pria lain padaku.

"Kumohon! Setidaknya biarkan aku mencoba, Ash!"

"Jangan bergerak!" ucapku saat dia hendak berdiri untuk menghampiriku. "Tetap di situ!"

"Ash ... hanya sekali!" Dia menyisir rambut hitamnya dengan jemarinya. Membuat rambut itu berantakan. Wajahnya terlihat tersiksa seakan penolakanku membuat dunianya seperti neraka.

"Kenapa?" Aku bergeser dengan gelisah di kursiku. "Kenapa kau berusaha sekeras ini?"

"Kau tak akan percaya alasanku!" Dia memandang cangkir tehnya. Menolak untuk bertatapan denganku.

Dan itu membuatku berpikir kalau ini hanya permainnya. Hanya lelucon yang sama sekali tidak lucu.

Sama seperti saat aku masih berusia 14 tahun, ada teman lelakiku yang menjadikanku taruhan. Dia bertingkah seolah sangat menginginkanku dan ketika aku berpikir bahwa dia benar-benar menyukaiku, aku mendengar pembicaraannya bersama teman-teman lelakinya.

"Bagaimana Tris? Jika seminggu lagi kau masih belum bisa mendapatkan Ash. Lima puluh dolarmu akan melayang!" Dia kemudian tertawa dan memukul bahu temannya.

"Percayalah, dia akan tergila-gila padaku!" Waktu itu dia tertawa begitu keras, mentertawakanku seakan aku orang paling idiot di dunia.

Aku begitu marah waktu itu. Dan semuanya berakhir dengan aku memukul hidungnya sampai patah. Pagi harinya Orangtuanya datang ke rumahku dan meminta ganti rugi. Aku tidak tahu Ibuku memberinya berapa dolar tapi malamnya Ayahku sudah memukuli Ibu karena membuang-buang uang.

"Ash!" panggil Hans. Mengembalikanku dari lamunanku. "Apa yang kau pikirkan?"

"Apa kau ingin mempermainkanku? Membuatku jatuh hati lalu pergi? Apa seperti itu?" tanyaku. Dan dia meledak.

"Apa?" teriaknya. Matanya kembali terlihat menyala dan tiba-tiba saja aku merasa dingin, gemetar, dan takut. "Demi apapun aku tak akan melakukan hal semacam itu!"

Aku tak dapat bicara, bibirku kebas dan lidah kelu. Udara serasa memadat membuatku sulit bernapas dan tiba-tiba Hans sudah berada di sampingku. Seperti gerakan kilat yang tak dapat ditangkap oleh mata. Tangannya terulur untuk merengkuhku, untungnya aku sudah dapat kembali menggerakkan tubuhku. Aku menghindar, berdiri mengambil jarak darinya. Mataku menelisiknya dengan tercengang.

"Bagaimana kau melakukannya? Kau itu apa?" Suaraku terdengar seperti cicit tikus yang sedang tersedak.

Dia menelengkan kepalanya, terlihat mengamatiku, matanya masih bercahaya, dan tatapannya membakarku dengan gairah yang tidak masuk akal. Aku ingin tangannya menyentuhku, bibirnya melumat bibirku turun keleherku dan menimbulkan sensasi yang begitu didambakan. Dia ikut berdiri, melangkah perlahan untuk mendekatiku, dan aku masih terpatri pada mata kelabu bercahayanya.

Tinggal dua langkah lagi dan ia akan dapat menjangkauku. Aku menguatkan tekatku mendorong semua pemikiran liar kesudut gelap otakku. Tangannya terangkat siap mengusap bibirku dan aku dapat bergerak mundur menghindarinya. Tangannya menggantung di udara. Ekspresinya terlihat terkejut dan kagum seakan aku baru saja melakukan hal yang begitu menakjubkan.

"Apa maumu?" Suaraku masih terdengar serak, serat akan hasrat yang begitu mendamba akan sentuhannya.

"Beri aku kesempatan," ucapnya. Dia tak lagi mendekat, sorot matanya meredup dan aku merasa dapat mengendalikan tubuhku dengan lebih mudah. Gairah itu lenyap, semuanya kembali normal.

"Aku tak punya alasan untuk memberimu kesempatan!" jawabku. Kami berhadap-hadapan, saling melemparkan tatapan tertajam kami satu sama lain.

"Aku Matemu!" jawabnya. "Itu lebih dari sekedar alasan."

Kali ini aku tidak tertawa, aku jelas menangkap nada serius dari ucapannya.

"Aku tak mengerti, kenapa kau memilih kata 'Mate'? Bukan kata lazim seperti cinta, sayang, atau menginginkanku seperti yang biasa diucapkan manusia pada umumnya." Aku berhenti bicara. Mengingat serangkaian peristiwa yang baru saja terjadi.

Mungkinkah dia bukan manusia?

Tapi itu terdengar begitu gila, tak masuk dinalar dan mengelikan.

Tapi apa yang baru saja terjadi juga tidak masuk akal!

Kemudian otakku mengingat salah satu buku yang dibaca Cam. Tentang Werewolf  dan Mate dan gigitan dan aku berjengit. Aku ingat adegan yang kubaca adalah saat Si Pria menggigit leher pasangannya hingga berdarah.

"Apa kau Werewolf?"

Dia terlihat tidak suka aku menyebutnya seperti itu tapi dia juga terlihat geli, seakan menikmati lelucon pribadi.

"Percayalah! Aku bukan anjing liar berbulu itu," jawabnya. Senyum sedikit menghiasi bibirnya yang sedari tadi tegang.

"Lalu kau itu apa? Apa kau berbahaya? Apa kau ingin menggigitku? Meminum darahku?" tanyaku. Aku mengambil langkah mundur. Dan punggungku menabrak dadanya yang keras dan panas, karena dia sudah berada di belakangku sekarang.

Napasnya berada di leherku, lidahnya menjilat dengan manis diikuti gigitan yang terasa seperti sengatan. Aku tersentak, memutar tubuhku dan kembali menjauhinya, memberinya tatapan marah karena dia berani memperlakukannku seperti itu. Meski sebagian dari diriku menginginkannya lagi.

"Aku juga bukan penghisap darah," jawabnya, tak terpengaruh dengan tatapanku. "Meski kuakui kau begitu manis."

Aku gemetar karena kalimat terakhirnya. Dengan sisa-sisa kekuatanku, aku mengumpulkan semua pikiranku yang kacau balau. "Aku tak peduli kau itu apa! Dan aku mau kau pergi dari sini sekarang!"

"Ash, satu kesempatan!" mohonnya lagi, wajahnya yang tadi terlihat bergairah kembali terlihat terluka.

"Tetap tidak!" tegasku. "Apa yang baru saja kau lakukan sudah membuktikan kalau kau sama seperti pria-pria berengsek lain. Kau hanya menginginkan tubuhku! Sekarang pergi!"

Dia terlihat tersentak, seakan ucapanku menghantamnya seperti gelombang pasang dan ia terlihat menyesal.

"Maafkan aku! Aku lepas kendali, Ash. Aku menginginkanmu seutuhnya, bukan hanya tubuhmu! Aku tidak memandangmu seperti itu." Dia melangkah mendekatiku.

"Aku tak percaya! Sekarang pergi!" teriakku. Aku terkejut saat akhirnya ia mendesah kalah dan menunduk.

Mengingat kemampuannya, aku yakin dia dapat melakukan apapun yang dia mau tanpa mempedulikan penolakannku. Memaksaku dan mendapatkan kepuasan untuk dirinya sendiri. Tapi untuk saat ini aku menyisihkan pemikiran itu.

"Aku belum menyerah! Aku akan mencoba lagi!" ucapnya dengan menatap tepat ke manik mataku. Dan dia pergi.

Aku masih tertegun, berdiri dalam diam dan kesulitan memilah pikiranku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top