Delapan

Tubuhku bergetar hebat dan aku menggigil ketakutan. Hawa dingin seakan memerangkapku menyerap semua rasa hangat dan menenggelamkanku. Aku masih belum bisa bergerak dan aku ragu apakah aku dapat bergerak lagi. Seharusnya aku sudah mati. Bagaimana bisa aku masih hidup setelah menerima semua rasa sakit ini. Rasanya sangat tidak adil jika aku masih dibiarkan hidup hanya untuk merasakan semua kengerian ini.

Aku masih merasakan berat badan ayahku yang menghimpit tubuhku. Masih mencium aroma alkohol dari tubuhnya. Masih mendengar deru napasnya yang teratur saat tidur. Tapi aku masih belum dapat bergerak atau pun bicara. Rasanya ada tangan-tangan yang meraihku. Menahanku agar tak beranjak dari tempat tergelapku. Dan aku pikir itu bagus. Rasanya lebih mudah jika tak mengingatnya. Sayangnya semua ingatan itu terlalu jelas untuk di lupakan, berkilau dengan tajam lalu muncul di kepalaku untuk diputar ulang. Kemudian aku mulai kembali menangis tanpa suara, isakan tertahan dan jika tanganku tak terikat mungkin aku akan mencabik diriku sendiri. Saat satu adegan berakhir, adegan yang lain menggantikannya. Memberikan rasa sakit yang berbeda, tusukan yang berbeda dan kengerian yang berbeda. Saat satu adegan yang kupikir tak akan muncul dalam rangkaian putaran ingatan mimpi burukku berputar di kepalaku. Napasaku tertahan.

Ini ingatan saat aku masih tujuh tahun. Saat pertama kali aku menanyakan kenapa aku punya ayah seperti itu pada ibuku. Waktu itu hari ulang tahunku. Ibu membelikanku sebuah gaun cantik berwarna merah muda, memakaikannya ke tubuhku, menyisir rambutku membentuk gelombang indah, mendandaniku hingga aku terlihat seperti Dewi kecil. Setidaknya itu yang dikatakan ibuku. "Kau cantik. Seperti Dewi. Dewi kecil ibu." Dulu kupikir Dewi itu hebat. Cantik, baik, dan mungkin selalu bahagia. Tapi mungkin menurut ibuku bukan hal seperti itu yang terpikirkan. Dia pikir aku indah dan kuat. Aku akan mampu menerima segala rasa sakit dan terus bertahan.

Kemudian ibu membawaku ke dapur. Sisa botol minuman ayah sudah disingkirkan, dan di sana di atas meja makan, sebuah kue tart biru dengan hiasan cream berbentuk bunga aster di atasnya menungguku. Api dari tujuh buah lilin yang tertancap di kue itu menari, bergoyang seakan tak sabar untuk di padamkan. Waktu itu aku langsung memeluk ibuku, tertawa, dan kehilangan kata-kata. Tapi saat ibu mulai menyanyikan lagu dan aku sadar kami hanya berdua. Aku menanyakannya, "Kenapa ayah tidak di sini?" suaraku terdengar lembut dan berharap waktu itu. Temanku dulu selalu bercerita tentang pesta ulang tahun yang selalu dihadiri ayah dan ibunya. Jadi kenapa hanya ibu yang ada untukku. Mungkin begitu pikirku waktu itu.

Ibuku mengusap kepalaku lembut dan memaksakan sebuah senyum kecil untuk muncul di bibirnya. "Ayahmu sedikit berbeda." Aku menatap ibuku dengan bingung.

Aku tahu ayahku berbeda bahkan sejak aku kecil. "Ayah tak menyayangi kita. Itukan bedanya?" Darah langsung surut dari wajah ibuku digantikan warna pucat dan mata yang berkaca-kaca. "Kenapa aku punya ayah seperti itu?" Nadaku sedikit merajuk waktu itu.

"Dia dulu tidak seperti itu. Dia akan kembali, Honey. Kau akan melihatnya nanti. Dia pria yang baik. Dia pernah menyelamatkan ibu dari kehancuran. Dia hanya tersesat saat ini." Ibu memelukku dan dia menangis. Dan untuk beberapa waktu aku mempercayai ucapan ibuku.

Tapi kenyataannya ayah tak pernah kembali. Dia tersesat dan hilang.

Saat kenangan itu berakhir aku sedikit memiliki pegangan. Tempat untuk menambatkan apapun yang masih tersisa dari diriku. Dengan kekuatan yang masih tersisa aku mendorong tubuh ayahku dan bergeser untuk turun. Rasa nyeri menghujam seluruh tubuhku. Aku sadar aku butuh seseorang, dan aku tahu pasti siapa yang bisa menolongku. Jadi aku berjalan menuju celana panjang ayahku yang teronggok di lantai dan menarik keluar ponselnya dari kantungnya. Itu sedikit sulit dengan keadaan tanganku yang terikat. Tapi aku berhasil dan memasukkan nomor Camrynn. Menunggu hingga akhirnya dering ke tiga dia mengangkatnya.

"Ya Mr. Ackerley?" Suaranya mengantuk dan aku sadar ini masih pukul lima dini hari.

"Cam?" Begitu dia mendengar suaraku dia langsung berubah serius.

"Ash? Ada apa?" tanyanya panik.

Tapi ternyata aku tak cukup kuat. Tangan-tangan itu kembali menggapaiku, menyeretku keruangan tergelapku. Hingga aku mulai terisak. Aku tak berani menjerit. Aku takut monster itu bangun dan memulai kengerian itu lagi. Jadi aku hanya mengeluarkan suara tangis yang tertahan dan napas terengah.

"Ash! Ada apa?" tanya Cam lagi.

Aku akhirnya dapat sedikit menarik diriku dari tangan-tangan itu. "Cam, aku takut! Kemarilah!"

Kemudian aku tak dapat mengendalikan tanganku  yang gemetaran dan menjatuhkan ponsel itu. Aku memaksa kakiku membawa tubuhku ke pojok ruangan. Menjauh sejauh mungkin dari monster itu. Aku terpuruk. Memeluk kedua lututku. Seakan hal itu dapat membuatku tetap utuh meski kenyataannya aku sudah hancur. Aku mulai menangis lagi dan melihat semua ingatan yang berbutar di kepalaku. Mengejekku dan terus menenggelamkanku.

***

Aku tak tahu sudah berapa lama aku meringkuk di sudut ruangan hingga pintu itu terbuka dan memperlihatkan sosok Camryn. Matanya masih sembab dan rambutnya masih acak-acakan, bahkan ia masih mengenakan piamanya.

Matanya melebar dan tangannya membekap mulutnya. Tatapannya bergulir menatap aku yang ada di sudut ruangan dan ayahku yang masih terbaring di ranjang. Ia masih membeku tak mampu bergerak dan bicara. Hingga akhirnya ia mulai dapat mengendalikan diri dan berlari ke arahku. Ia memelukku. Dan ikut menangis bersamaku. Tangannya membelai punggungku.

"Oh, Ash! Katakan ini tidak benar!" Dia melepaskan pelukannya dan mengamati wajahku. Dan dengan setiap detik yang berlalu tanpa adanya penyangkalan dariku. Dia tahu itulah yang terjadi. "Ash! Itu sangat buruk!"

Dia mulai melepas ikatan di tanganku. Kemudian menelepon. Kudengar dia memangil orang di ujung telepon dengan panggilan Dad. Itu ayahnya. Dia bicara dengan pelan, mungkin takut ucapannya akan melukaiku lalu sambungan itu berakhir dan dia menekan tiga angka lalu kembali menelepon. Tebakanku 911. Dan benar saja setelah dia selesai dia kembali menghampiriku. "Aku sudah menelepon Polisi. Mereka akan segera datang jadi kau lebih baik segera memakai baju!"

Aku masih belum bergerak. Rasanya tubuhku seperti terbuat dari timah. Berat dan kaku. Jadi Cam mengambil pakaian secara acak dari lemariku dan memakaikannya untukku. Dia terus mengucapkan kata-kata menenangkan tapi aku tak terlalu mendengarnya, suaranya tertelan jeritan di otakku. Jeritan-jeritan melengking yang memekakkan telinga. Jeritanku semalam.

Polisi tiba beberapa saat kemudian. Ada lima orang, tiga diantaranya meringkus ayahku dan dua lainnya menghampiriku. Menanyakan sesuatu, seperti apa yang terjadi? Bisakah aku menceritakannya pada mereka? Bagaimana kronologinya? Aku hanya diam hingga akhirnya mereka menyerah dan mengatakan mungkin aku mengalami trauma yang parah. Cam membawaku ke mobilnya, selama perjalanan dia mencoba bicara padaku meski aku bahkan tak memperhatikan satu kata pun yang terlontar dari bibirnya. Semakin lama wajahnya ikut pucat, dan Cam menangis.

"Ash! Jangan membuatku takut!" teriaknya.

Aku meliriknya. "Hanya beri aku waktu, Cam!"

Dia mendesah. Menghentikan tangisannya. Dan mengangguk.

Aku tak tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk pulih. Atau mungkin setidaknya cukup pulih untuk dapat berpura-pura baik-baik saja. Karena setiap kali aku hampir mencapai titik kehampaan yang tenang, gelombang besar ingatan mimpi buruk kembali menerjangku. Membuatku kembali lebur dan harus memulai semuanya dari awal. Seperti lingkaran setan yang tak berakhir. Kami tiba di rumahnya, ibunya langsung membukakan pintuku dan membantuku masuk ke rumah. Sama seperti Cam, dia memelukku dan mencoba meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja. Sayangnya aku bukan gadis bodoh. Aku tahu semua tidak akan baik. Aku tahu semua sudah hancur.

Saat Mrs. Baker menuntunku menuju kamar aku sempat berpapasan dengan Mr. Baker. Dia mencoba untuk mengusap puncak kepalaku dan aku mulai menangis dengan histeris. Aku tahu dia tak akan melukaiku, tapi bagian diriku yang jauh tertanam di dalam sudut otakku, berteriak membangkitkan semua kenangan itu. Hingga akhirnya ayah Cam mengerti dan memilih untuk menyingkir.

Kamarku didominasi warna oranye lembut, seperti warna matahari terbenam. Indah dan tenang. Ada satu ranjang dengan empat tiang untuk mengikat kelambu berwarna biru pucat. Satu lemari di sudut, satu rak buku yang masih kosong, dan satu meja belajar dan meja rias yang saling berseberangan. Ada satu set televisi dan satu sofa serta karpet minimalis bermotif kotak-kotak abstrak di antara sofa dan televisi itu. Jendela kamarku menghadap ke kebun belakang milik keluarga Baker, menampilkan pemandangan pohon willow besar yang di bawahnya ditanami bunga-bunga mawar indah. Jika aku tidak dalam keadaan kacau seperti ini, aku pasti tak dapat menahan senyum.

"Kuharap kau suka," ucap Mrs. Baker lembut.

Aku mengangguk dan sedikit meremas tangannya. "Terimakasih Mrs. Baker."

Dia tersenyum. "Kau seperti putri kami sendiri. Ayo aku akan menemanimu tidur!"

"Tidak. Saya butuh waktu sendiri." Aku menatapnya memohon pengertian.

"Baiklah. Jika kau butuh sesuatu kau bisa memanggil kami." Aku mengangguk. Dan Mrs. Baker keluar, menutup pintu dan aku kembali sendirian.

Aku merangkak ke atas ranjang mengubur diriku ke dalam selimut tebal. Aku mencoba menghalang semua rasa takutku, mencari diriku yang dulu agar dapat kembali hidup. Tapi aku tak menemukannya yang kulihat hanya diriku yang sekarang. Rusak, hancur, mengenaskan, dan hanya menjadi sebuah cangkang kehidupan yang berisi jiwa yang hampa.

Apakah aku akan kembali? Dan jika aku kembali maka aku akan kembali seperti apa? Ketika otakku tak sanggup untuk menopang kesadaranku kembali, aku terlelap ke dalam ketiadaan. Berharap semoga mimpi buruk tak mampu menggapaiku dan untuk sesaat membiarkanku dalam kehampaan yang damai.

A/N:

Hallo!!!

Aku gak tau mau ngomong apa?

Jadi gak usah banyak ngomong!

See you next part!!!

- Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top