51|| Akhir ☀

'Tak semua harapan dapat kita wujudkan. Oleh karena itu, ketika kita memilih untuk memiliki harapan, maka kita harus siap dengan hasilnya.

☀☀☀

"Fira! Jangan memaksakan diri!" bentak Endang kepada Fira.

"Bun ...." lirih Fira.

Endang tetap kekeuh dengan pendiriannya. "Sekali bunda bilang tidak, ya, tidak, Fira!"

Tidak ada yang dapat Fira lakukan selain menangis. Fira merutuki dirinya yang sendiri yang sangat tidak berguna hari ini. Tubuhnya kaku tidak dapat digerakkan sama sekali, dan Fira sangat marah akan hal itu.

Ayolah!! Kaki!! Ayo, gerak! Jangan mati seperti ini! Ayo, berlari! Ayo! Kesal Fira dalam hati.

Fira terus memaksakan kakinya untuk menciptakan sebuah pergerakkan kecil. Namun sayang, sampai saat ini pun, tubuhnya tidak ada yang bergerak selain tangan kanannya.

Kenapa harus terluka separah ini? Mengapa engkau menyiksaku seperti ini? Izinkan hamba melihatnya sekali lagi, izinkan hamba menggerakan kedua kaki hamba untuk menyusulnya.

Endang menangis melihat Fira yang terus berusaha menggerakkan anggota tubuhnya walaupun sesekali suara rintihan yang begitu memilukan dan menyakitkan keluar dari bibir mungil Fira.

Hamba ingin mengucapkan maaf dan terima kasih untuk terakhir kalinya sebelum dia pergi. Tolong berikan hamba sebuah keajaiban untuk dapat keluar dari situasi seperti ini, Ya Allah....

Endang memeluk tubuh Fira, tidak peduli jika itu dapat menyakiti beberapa bagian tubuh Fira. "Berhenti, Fir! Kamu menyakiti diri kamu sendiri!" ucap Endang pelan.

"Bun, Fira mau ketemu Mario!" teriak Fira.

Terima kasih, Ya Allah.... Terima kasih karena telah mengizinkan hamba untuk mengeluarkan suara hamba.

Fira terus saja berdoa dan terus memohon pertolongan kepada Tuhan YME. Baginya tidak ada lagi yang dapat membantunya selain Allah SWT. Dan Fira yakin, Allah SWT tidak akan pernah menyiksa umat di luar batas kemampuan umatnya.

Endang terkejut mendengar Fira dapat berteriak. Dua hari sudah Fira sadar dari koma, baru kali ini Fira mengeluarkan suaranya cukup keras. "Tidak, Fira! Berhenti!"

"AYAH!!!" teriak Fira di sela-sela tangisannya dan juga dekapan sang Bunda.

"Bun, Fira ingin bertemu Mario," lirihnya.

Lintang yang mendengar teriakan Fira langsung memasuki ruang rawat Fira ditemani oleh Gina. Lintang sangat terkejut melihat putri semata wayangnya yang begitu terluka dan terlihat bersedih.

"Endang, lepas! Kamu menyakiti Fira!"

Bukan, Yah, bukan Bunda yang menyakiti Fira. Tapi kepergian Mario lah yang menyakiti Fira.

Endang langsung melepas dekapannya yang terlihat mengurung Fira itu. Fira kembali memaksakan dirinya untuk bergerak sampai akhirnya suara rintihan yang begitu melengking terdengar di telinga mereka.

"ARGH!!!!"

"FIRAAAA!!!"

Dan setelah itu, dokter serta beberapa pihak medis memenuhi ruangan Fira.

☀☀☀

"Saya mohon jangan ada yang membebani pikiran Fira untuk saat ini, kita beruntung karena Fira tidak mengalami benturan cukup keras di bagian kepalanya, tapi tulang punggung, kaki, dan juga leher Fira saat ini sangat rapuh. Oleh sebab itu, jangan membebani Fira dengan membuat Fira memaksakan diri seperti ini lagi, tulang Fira masih dalam masa pemulihan dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama," jelas Dokter Ibrahim --dokter spesialis tulang-- kepada Lintang dan juga Endang.

"Seperti yang saya beritahu beberapa hari lalu, Fira mengalami patah tulang di beberapa bagian tertentu, dan juga mengalami kelumpuhan sementara di kedua kakinya. Jadi, saya mohon kerja samanya untuk membuat Fira tetap tenang," jelas Dokter Ibrahim lagi.

Endang tidak dapat berkata-kata lagi, begitu mendengar penjelasan dokter untuk kedua kalinya.

"Istri saya sudah memperingati Fira untuk tidak memaksakan diri untuk menggerakkan anggota tubuhnya, namun sepertinya Fira sangat keras kepala dan terus berusaha keras agar dapat menggerakkan kedua kakinya," jawab Lintang tenang sembari mengelus bahu istrinya yang kini bersandar dengannya.

"Apa ada yang ingin Fira lakukan dengan kedua kakinya?"

"Fira ingin ke bandara," sahut Endang cepat.

Dokter Ibrahim tersenyum. "Seberapa besar keinginan Fira untuk pergi?"

Endang berharap-harap cemas sembari menunggu Fira tersadar kembali. Endang terus menuturkan doa dan juga kata-kata semangat untuk Fira. Ia tidak peduli Fira mendengar ucapannya atau tidak, yang ia inginkan adalah Fira segera sadar.

"Kak, maafin, Bunda. Ayo, bangun!" lirih Gina.

Gina menggenggam erat tangan kanan Fira yang terdapat jarum infus. "Kak, bangun, katanya kakak mau ketemu Abang," Gina meracau sembari menangis.

Gina sedih melihat kondisi kakaknya saat ini. Ia lebih senang melihat kakaknya itu marah-marah daripada diam dan tertidur seperti ini. Gina sangat tidak suka Fira yang tertidur.

Andaikan Gina mempunyai banyak waktu untuk menemui Mario, namun sayang, waktu mengkikis jarak dia dan Mario. Mario seolah menghindar dari Gina semenjak Mario mendonorkan darahnya. Saat bertemupun Mario hanya duduk diam di depan ruangan Fira.

Tidak ada hanya Gina yang merasakan perubahan Mario akhir-akhir ini, tapi sahabat Mario yang lainnya pun merasa seperti itu. Sebelum kepergian Mario, Mario lebih menjadi pribadi yang pendiam.

Gina sangat tahu, jika perpisahan bukanlah suatu hal yang diinginkan oleh mereka berdua. Gina pun sangat tahu, mereka saling menyayangi, namun saling diam. Gina pun sangat tahu jika sekarang keduanya saling mengkhawatirkan.

"Ayo, Kak, bangun! Kakak enggak mau membuat Abang sedih, 'kan?" Gina terus mencoba membangunkan Fira.

Fira tetap diam 'tak menunjukkan tanda-tanda ia akan sadar. Dan Gina terus meracau sembari menangis di samping tubuh Fira.

"Kak, sedikit lagi kita sampai! Ayo, bangun! Jangan bikin Abang sedih karena kakak tetap tidur seperti ini!"

Tidak ada yang dapat menggambarkan bagaimana cemasnya Gina dan juga Endang yang duduk di dalam mobil ambulans di samping ranjang lipat yang terdapat Fira di atasnya. Gina dan Endang sama-sama mengharapkan kesadaran Fira.

Dengan banyaknya persyaratan dari pihak rumah sakit, akhirnya Fira dapat meninggalkan rumah sakit untuk beberapa jam. Dan dengan menggunakan mobil ambulans dan juga diawasi oleh dokter Ibrahim dan juga suster, mereka berangkat ke bandara secepat yang mereka bisa.

Dokter Ibrahim tidak ingin kejadian seperti beberapa saat lalu terulang kembali. Karena Fira yang memaksakan diri menggerakkan anggota tubuhnya, beberapa tulang bergeser dan itu membuat kesembuhan Fira semakin lama.

Gina tersenyum begitu melihat jari-jari pucat Fira bergerak. "Kak...."

Ibrahim langsung mengambil alih, ia mengeluarkan alat medisnya dan kembali memeriksa keadaan Fira. Ibrahim tersenyum lega dan meneteskan air matanya sembari menatap Fira yang menggerakkan kepalanya gelisah.

"Keinginan Fira untuk bertemu dia, benar-benar besar," gumam Ibrahin.

"Kakak pasti bangun, 'kan?" tanya Gina.

"Kita tunggu saja,"

Rasanya seperti menabrak batu besar dan tertancap besi yang menghunus tubuh. Sakit.

Sakit ketika Endang harus melihat Fira memejamkan matanya. Kondisi tubuh yang seharusnya kian membaik kini harus semakin memburuk karena sebuah perpisahan. Endang tidak mengerti mengapa Fira dan Mario begitu memiliki ikatan sekuat ini.

"Khmmm," gumaman pelan keluar dari mulut Fira.

Endang menolehkan kepalanya ke arah Fira. Fira tersenyum tipis sembari menatap Gina. Tangan kanan Fira bergerak untuk menyentuh tangan Gina.

"Jangan nangis gitu, ah, jelek tahu," ucapnya pelan.

Gina bukannya tersenyum, ia justru semakin mengencang tangisannya. Fira kembali melirik ke sekelilingnya, ia dapat melihat Endang serta dokter tersenyum ke arahnya. Fira lagi-lagi tak kuasa menahan air matanya untuk turun.

Tangan Gina yang terbebas langsung bergerak mengusap wajah Fira. "Kakak juga jangan nangis," ucapnya menyemangati.

"Kakak terlambat, ya, Gin?" tanyanya. "Kakak gak bisa ketemu Mario lagi, ya?"

Wajah Gina mendadak semakin panik begitu mendengar ucapan Fira. "Enggak, kakak belum terlambat, kita pasti bisa ketemu Abang," ucapnya.

Fira mengulas senyum tipis sembari terus mengeluarkan air matanya. "Sakit," gumamnya.

Gina dan Endang langsung menatap Fira begitu panik. "Apanya, kak, yang sakit?" tanya mereka berdua.

Ibrahim langsung memeriksa Fira, mulai dari tekanan darah, sampai mengetuk beberapa bagian tubuh Fira yang sudah mati rasa.

"Sakit?"

"Enggak,"

"Jangan dipaksakan bergerak dulu, ya, tulang kamu masih rawan,"

"Separah itu?"

Tidak ada lagi yang mengeluarkan suaranya. Gina dan Endang hanya mampu menangis. Ibrahim tidak tega memberitahu yang sebenarnya kepada Fira.

"Fira, gak lumpuh, 'kan?"

Endang mengelus kepala Fira yang sudah tidak lagi terbalut perban. "Jangan mikir aneh-aneh dulu," gumamnya. "Kamu tahu gak kita mau ke mana?"

"Ke pemakaman?" tebak Fira mengejutkan Gina.

"Kita mau ke bandara, kak!"

"Emang aku masih hidup?" tanya Fira lagi.

"Kamu masih hidup sayang,"

"Aku kira ini semua adalah mimpi,"

☀☀☀

Mario terus menoleh ke belakang, berharap wanita yang dia harapkan berada di sana untuk melihatnya sebelum pergi. Namun, Mario sangat tahu, keadaan Fira saat ini tidak memungkinkan ia bisa datang ke sini. Mario tahu itu, tapi dia tidak berhenti berharap.

Dika merangkul tubuh Mario yang lebih tinggi darinya. "Lu terlalu tegar, Mar, kalau mau nangis, nangis aja," gumamnya.

Mario menoleh ke samping. "Gue gak cengeng kayak lo," balasnya.

Dika memang menangis, sejak dulu ia sangat takut dengan sebuah perpisahan. Baginya perpisahan terjadi bagi mereka yang tidak berjodoh. Dan Dika sangat tidak ingin menganggap pertemanan dirinya dan Mario tidak berjodoh.

"Mar, pokoknya lo wajib kabar-kabaran sama gue via email, jangan sampai enggak, Mar!" kini Andre ikut merangkul Mario dari sisi yang berbeda dengan Dika.

Andre dan Dika sangat tahu siapa yang sedang ia tunggu-tunggu kedatangannya. Mereka tidak ada yang berani mengatakan Fira tidak dapat meninggalkan rumah sakit. Karena merekapun sama seperti Mario, tidak berhenti berharap.

Emily menangis di dalam pelukan Vino, hatinya begitu perih melihat tiga orang terdekatnya saling merangkul seperti ini. Jika dulu, sebuah pelukan sangat membuat Emily senang, namun kali ini sebaliknya. Pelukan itu adalah pelukan perpisahan yang mungkin tidak dapat mereka lakukan lagi.

"Em, yang paling sulit dari sebuah persahabatan adalah perpisahan dan perpecahan," gumam Vino sembari mengelus punggung Emily berharap itu mampu mengurangi kesedihannya.

"Gue tahu itu, gue tahu! Tapi kenapa harus secepat ini, dan tanpa alasan yang jelas," jawab Emily.

Kini ketiga sahabatnya bukan lagi saling merangkul, mereka saling memeluk satu sama lain begitu erat. Dika dan Andre sudah mengeluarkan air matanya dan juga kata-kata perpisahan yang sangat tidak ingin Emily dengar. Rendi di samping Vino juga terlihat menghapus air matanya.

Beberapa anak AMAPA juga terlihat mengelilingi Mario. Mereka tidak rela Mario pergi sejauh ini. Martin duduk di salah satu kursi memperhatikan semuanya dalam diam.

"Vin, ini semua terlihat enggak adil untuk Fira. Mario pergi di saat Fira lagi butuh dia,"

"Em, percaya sama gue, ini semua demi kebaikan semuanya," jawab Vino.

Mario melepas pelukan teman-temannya. Dan kini ia berjalan menghampiri Emily dan Vino. Emily langsung menatap tajam Mario masih dengan air mata yang turun begitu deras.

"Apa?! Lo mau ngomong selamat tinggal juga sama gue?!" sinis Emily.

Mario tersenyum tipis melihat respon Emily kepada dirinya. Mario tidak membalas ucapan Emily, ia lebih memolih untuk menarik Emily ke dalam pelukannya. Emily yang terkejut hanya mampu memukul-mukul dada Mario.

"Lo jahat!!! Lo jahat, Mar!!" Emily meluapkan emosinya.

Mario tetap diam dan mempererat pelukannya, mencoba untuk membuat Emily tenang.

"Mar, lihat Fira, Mar! Dia di rumah sakit! Dan lo pergi gitu aja ninggalin dia?! Lo tahu gak seberapa sedihnya dia pas tahu lo pergi di saat dia tersadar?! Lo tahu gak? Seberapa terlukanya Fira saat menyadari Nabila meninggal?! Lo tahu gak, sih, Mar?!!!"

Mario mengangguk. Hatinya tersentuh dengan ucapan-ucapan Emily. Ia tidak bisa membayangkan itu semua. Ia benar-benar tidak sanggup membayangkan.

"Gue titip Fira sama lo, ya," gumam Mario.

Emily semakin murka. "MARIO RAMADHAN yang gue kenal gak akan lari dari tanggung jawab kayak gini! Mana lo yang selalu melindungi Fira? Mana Mario yang selalu melangkah di belakang Fira? Mana Mario yang selalu ...." Emily tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya.

Emily terdiam dan menangis semakin kencang di dalam pelukan Mario. Semua yang melihat dan mendengar begitu tersentuh. Emily seolah dapat mewakilkan perasaan Fira saat ini.

"Em, maafin gue, maaf kalau gue ngecewain lo,"

"Lo memang terlalu mengecewakan, Mar," balas Emily cepat.

"Gue mohon, jangan pernah lupain Fira dan yang lain," sambungnya.

Mario mengangguk. Kini tangan Mario bergerak untuk memegang bahu Emily dan sedikit mendorong Emily mundur beberapa langkah.

"Gue harap akan ada pertemuan kedua untuk kita semua," gumam Mario seperti sebuah janji.

Emily mengangguk cepat sembari terus menangis, tidak peduli jika cairan kental dari hidung ikut keluar. Mario memejamkan matanya beberapa saat kemudian membukanya kembali dan langsung menarik Vino ke dalam rengkuhannya.

"Sorry, gue gak bisa jaga Fira lagi, gue titip Fira sama lo, ya," ucap Mario.

"ABANG!!!" teriak seseorang menabrak punggung Mario.

Semua langsung mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terjadi. Namun, mereka tidak menemukan apapun. Yang mereka lihat hanyalah Gina yang berlari dan langsung menabrak punggung Mario.

Vino membelalakkan matanya begitu melihat Gina di balik punggung Mario. Mario pun melepas pelukannya dari Vino dan langsung berbalik badan.

Dilihatnya Gina yang sedang emnangis tersedu-sedu sembari menunduk. Jemari tangan Gina terlihat gemetar. Mario langsung memeluk Gina yang lebih rendah darinya. Mario dapat merasakan tubuh seseorang yang ia anggap adiknya sendiri gemetar hebat.

"Abang..." lirihnya.

Mario meneteskan air matanya kali ini, ia tidak sanggup mendengar nada sedih dari Gina. Itu rasanya seperti ia mendengar kesedihan Fira. Emily bergerak memutar mencari seseorang yang mungkin saja berada di sini. Semua melakukan hal yang sama. Mereka mengharapkan kehadiran Fira.

Dengan tangan gemetar Gina memberikan surat yang berada di genggamannya ke arah Mario. Mario menatap surat yang kini berada di depan wajahnya. Mario mengambilnya.

Gina sudah tidak mampu mengeluarkan kata-katanya lagi. Yang ia lakukan hanya menangis di dalam pelukan Mario. Mario layaknya abang bagi Gina dan Gina tidak ingin berpisah dengan Mario.

"Abang," ucap Gina lalu melepaskan diri dari Mario.

Gina tidak berkata apa-apa lagi selain menunjuk ke balik punggung Mario. Semuanya mengikuti arah tangan Gina dan detik itu juga semuanya melemas di tenpat.

Fira duduk di kursi roda yang didorong oleh Lintang sedang menangis sembari memeluk boneka doraemon di pangkuannya. Alat bantu pernapasan terlihat melingkar di hidung Fira, serta dengan tubuh yang masih berbalut pakaian rumah sakit, membuat semua orang menatap iba Fira.

Martin yang melihat kedatangan Fira dan keluarga langsung bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Lintang dengan cepat. Mario ingin berlari untuk mencegah kemungkinan buruk yang akan dilakukan oleh Martin. Namun, belum juga Mario melangkah, ia langsung diam di tempat begitu melihat Martin mengambil alih posisi Lintang.

Kini Martin mendorong kursi roda Fira ke arah Mario. Isak tangis Fira semakin terdengar. Semua teman Mario berdiri memutari Mario.

Mario berlutut begitu Fira sudah beberapa langkah di depannya. Semua menatap haru mereka berdua. Mereka sangat tahu jika Fira memaksakan diri untuk ke sini, terlihat dari dokter dan suster yang berdiri di belakang Martin.

"Kenapa maksain?" lirih Mario.

Fira tersenyum tipis masih dengan air mata yang membasahi kedua pipinya. Martin tetap setia berdiri di belakang kursi roda Fira. Menyaksikan semuanya secara langsung, kisah remaja yang begitu pelik.

Fira tidak berkata apa-apa di depan Mario. Ia hanya menyodorkan boneka doraemon yang sejak tadi ia peluk ke arah Mario. Mario terus menunduk menatap kaki Fira yang di gips.

"Maaf gue pergi di saat lo lagi kayak gini," gumam Mario.

"Ambil dulu," ucap Fira. Mario pun mengambil boneka tersebut.

"Jangan lupain gue, ya, makasih atas perhatian lo selama ini, maaf kalau gue pernah membuat lu terluka," tambahnya.

Mario tidak dapat mengatakan apa-apa lagi. Mario bangkit berdiri lalu memeluk tubuh ringkih Fira sangat hati-hati. "Satu empat tiga, Fir," bisik Mario.

"Satu empat tiga dua, Mar," balas Fira.

Jika perpisahan adalah akhir dari sebuah persahabatan. Maka hal yang harus kita lakukan berikutnya adalah berharap kita menemukan kebahagiaan atau berharap untuk kembali dipertemukan di masa yang akan datang.

TAMAT

2446 words untuk part akhir, parah sih.

Setelah sekian lama akhirnya cerita ini berhasil aku tamatkan. Terima kasih banyak untuk pembaca setia Speranza yang tidak bisa aku sebutkan satu-satu❤💙 berkat kalian aku berhasil menamatkan cerita ini☺

Aku cuma mau tahu kesan dan pesan kamu terhadap Speranza, kalau bisa yang panjang ya:') sumpah aku suka banget baca kesan pesan dari orang😂 karena itu semacam penyemangat gitu.

ah udah gamau basa basi lagi, intinya terima kasih💙💙💙

Love, fan.
9 Januari 2018
21 Februari 2018

Mau epilog + extra part?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top